Paris, Prancis.
Empat tahun berlalu ...
Suara ketukan heels menuruni podium sedikit terdengar bercampur dengan suara tepuk tangan dan musik yang berdentum. Tampak seorang wanita cantik berambut cokelat panjang dan bergelombang memberikan senyuman terbaik, di kala baru saja mendapatkan sebuah pernghargaan dengan nominasi artis wanita pendatang baru terbaik.
Paras cantiknya begitu menawan membuat semua tamu undangan seakan tersihir. Gaun pesta bewarna merah—begitu menyala memberikna kesan cantik, seksi, dan anggun. Piala di tangan membuat banyak orang kagum akan prestasi menjulang.
Ya, dia adalah Adeline Hart. Berawal dua tahun lalu dari tak sengaja mengikuti casting mencari artis berbakat—membuat dirinya kini cukup dikenal. Roller coaster yang dia alami. Tak jarang dia mendapatkan banyak penolakan, karena logat Bahasa Prancis yang masih belum kental.
Namun, Adeline wanita cantik berdarah Amerika itu, tetap berupaya keras memberikan yang terbaik. Terus berlatih bahasa. Terus mengikuti setiap tahap casting. Bahkan rela ditolak berkali-kali untuk sebuah alasan yang menurutnya kurang jelas.
Kesabaran dan ketekunan Adeline Hart membuahkan hasil. Wanita cantik itu kini menyabet nominasi artis wanita terbaik. Ini bermula dari film yang dia mainkan meledak dipasaran—membuatnya banyak mendapatkan pundi-pundi luar biasa.
Adeline tak pernah menyangka berada di posisi ini. Air mata rasanya tak pernah kering untuk setiap pengorbanan yang dia lakukan. Seperti pepatah mengatakan bahwa rasa lelah akan terbayarkan untuk orang yang selalu mampu sabar.
“Adeline! Kau luar biasa!” Nora Vale, manajer Adeline, langsung memberikan pelukan pada Adeline.
Adeline tersenyum dan membalas pelukan itu. “Terima kasih, Nora! Ini semua berkat dukunganmu.”
Nora mengurai pelukan itu. “Aku hanya memberikan dukungan saja. Tapi sejatinya kau yang telah banyak berjuang. Adeline, kau hebat.”
Adeline kembali melukiskan senyumannya, menanggapi ucapan Nora.
“Ah, ya, aku baru mendapatkan berita bagus untukmu!” seru Nora tak sabar.
“Apa itu?” tanya Adeline tampak tak sabar.
Nora langsung mengajak Adeline meninggalkan acara itu. Tampak jelas dia tak sabar ingin memberi tahu Adeline. Dia membawa Adeline pintu keluar. Acara belum benar-benar selesai, tetapi karena Adeline sudah mendapatkan piala penghargaan, jadi itu sudah aman.
“Kau ingin mengatakan apa, Nora?” tanya Adeline bingung.
Nona menatap Adeline dengan senyuman di wajahnya. “Tebak, apa yang ingin aku katakan padamu.”
Kening Adeline mengerut dalam. “Aku bukan paranormal yang bisa menebak-nebak. Katakan apa yang sampaikan padaku?”
Nora meraih kedua bahu Adeline. “Jadi, begini ada satu proyek film besar. Rencananya film ini akan tayang di seluruh negara. Film ini diangkat dari salah satu novel best seller. Dan kau tahu? Kau ditunjuk sebagai pemeran utama. Karena kau menang kategori artis terbaik, kau langsung ditunjuk oleh produser film Luxe Vision Entertainment. Ah, dan kemungkinan salah satu investor besar dari Luxe Vision Entertainment besok akan tiba di Paris. Dia akan mengajak seluruh staff Luxe Vision Entertainment sekaligus para pemeran proyek film baru ini untuk makan malam bersama. Kau tidak akan menolak, kan?”
Adeline terdiam mendengar cerita Nora yang menggebu-gebu. Matnya sedikit mengerjap beberapa kali, menunjukkan jelas keterkejutan. “Wait, tadi apa kau bilang? Aku dapat proyek film besar yang diambil dari salah satu novel best seller? Kau tidak bohong, kan?”
Nora mendecakkan lidahnya pelan. “Mana mungkin aku bohong, Adeline. Apa yang aku katakan ini sungguhan. Jadi, kau setuju, kan?”
Senyuman merekah di wajah Adeline. “Tentu saja, Nora! Jika ini proyek besar, pasti aku akan menerima. Kau jelas tahu aku sangat butuh banyak uang. Terima kasih, Nora! Kau terbaik.”
Dua wanita itu kini melemparkan senyuman, dan saling berpelukan.
***
Le Jules Verne, salah satu restoran mewah di Paris yang letaknya dekat dengan Menara Eiffel menjadi tempat di mana acara makan malam antara Adeline dan pihak Luxe Vision Entertainment berada. Tidak hanya bagian Luxe Vision Entertainment saja yang datang, tapi ada investor besar yang turut hadir di jamuan makan malam itu.
Adeline datang lebih awal tentunya. Dia malam itu tampil anggun dengan gaun mini berwarna navy, dengan model kemben. Rambut cokelatnya diikat—model pony tail—menunjukkan leher jenjang terlihat indah. Perhiasan sederhana menyempurnakan penampilannya.
Adeline tampak cantik dan elegan, meski hanya dengan riasan tipis. Pun perhiasan yang dia pakai tidak mencolok. Bisa dikatakan meski berpenampilan sederhana, dia tetap Adeline Hart yang cantik dan anggun.
“Adeline, kau selalu tampil sempurna,” kata sang produser memuji penampilan Adeline.
Adeline tersenyum. “Terima kasih.”
“Kita tunggu sebentar, ya? Investor besar Luxe Vision Entertainment tadi memiliki meeting penting. Beliau kemungkinan akan sedikit terlambat,” ucap sang produser lagi merasa tak enak, karena membuat Adeline harus menunggu.
“Tidak masalah. Aku mengerti orang sehebat beliau pasti memiliki jadwal yang padat. Tentu aku akan sabar menunggu,” jawab Adeline lembut, dan anggun.
“Adeline, tadi aku dengar dari banyak staff wanita Luxe Vision Entertainment mengatakan kalau investor besar ini sangat tampan,” bisik Nora di telinga Adeline.
“Kalau memang tampan, aku harus apa, Nora?” balas Adeline sambil menggelengkan kepalanya.
Nora terkekeh pelan. “Siapa tahu kau menemukan jodoh. Kau kan selama ini selalu banyak menolak pria yang mendekatimu. Tapi, kalau billionaire tampan yang mendekatimu, jangan ditolak. Aku setuju.”
Adeline mendengkus, mendengar ucapan Nora. Wanita itu enggan menanggapi ucapan manajernya, karena menurutnya manajernya itu adalah orang yang sangat konyol.
Namun, fakta tentang Adeline banyak didekati pria adalah kenyataan. Tak sedikit pria yang berlomba menarik perhatiannya, tetapi Adeline tak pernah tertarik. Ini tentang keteguhan dan tentang tujuan hidup. Wanita itu tak pernah tertarik menjalin semua hubungan.
Tak selang lama, di kala Adeline sedang ingin mengambil minuman, tiba-tiba saja aroma woody oud dan leather tercium di indra penciumannya. Detik itu raut wajahnya berubah di kala mencium aroma yang sudah lama sekali tak dia cium. Dia menoleh, mengalihkan pandangannya—pada sosok pria tampan dan tegas yang memasuki restoran.
Adeline terdiam beberapa saat melihat sosok pria tampan berpostur tinggi gagah, menunjukkan pesona yang tak main-main mendekat ke arahnya. Mata cokelat gelap pria itu seketika membuatnya berhasil tersihir.
Adeline merasa dunianya seakan runtuh. Dia merasa bumi telah berhenti pada porosnya. Kakinya seperti jelly yang membuatnya tak bisa bergerak sedikit pun. Tangannya gemetar, bahunya sedikit terguncang akibat terkejutan melihat sosok yang sudah lama tak dia temui.
Mata itu tetap sama. Tetap menyejukkan, dingin, dan tajam.
Aura wajah itu tetap sama. Tetap arogan, tapi menawan.
Ini sudah gila. Harusnya dia tak lagi melihat sosok yang mati-matian sudah dia lupakan. Namun, apa-apaan ini? Kenapa seakan takdir mengajaknya bercanda?
Napas Adeline mulai sesak luar biasa. Dia seolah merasa bahwa ada benda tajam yang menusuk paru-paru, membuat pasukan oksigennya tak lagi sama. Sesaknya timbul dari rasa sakit yang luar biasa.
Asher?
Aroma anggur mahal tercium memenuhi ruang kerja mewah yang tertata sempurna. Suara jarum jam terdengar misterius, memecahkan keheningan. Asher berdiri di jendela besar, menatap hamparan gedung-gedung bertingkat tinggi.Aura wajah pria tampan itu memancarkan emosi yang tak bisa tertahankan. Namun, dia tak bisa meledakan amarah. Hanya geraman emosi di dalam dada yang menyesakkannya.“Tuan, apa Anda ingin saya jadwalkan kembali ke New York dalam waktu dekat?” tanya Paul, hati-hati. Sudah sejak tadi, dia berada di ruang kerja Asher. Tidak ada percakapan apa pun. Hanya keningan yang membuatnya jelas bingung. Ini kalimat pertama yang Paul ucapkan, setelah dirnya dan Asher tiba di pentouse.“Aku akan tetap di sini,” jawab Asher dingin, dan menusuk.Paul menggaruk tengkuk lehernya. “Tuan, tapi—”“Siapa pria bernama Raphael Duret? Kenapa dia berani sekali tadi menyela ucapanku?!” Asher melontarkan pertanyaan tajam, tak mengindahkan ucapan Paul.Paul terdiam sejenak, sedikit agak bingung. “Raph
“Adeline, kau benar-benar sangat beruntung. Jujur, aku tidak menyangka pemeran utama pria yang menjadi lawan mainmu difilm ini adalah Raphael Duret. Dia itu aktor terkenal yang banyak dipuja wanita. Kau tahu? Namamu bisa akan makin terkenal. Aku suka cara berpikir Cole. Apalagi tadi Cole sampai menyarankan kau dan Raphael untuk membangun chemistry. Itu luar biasa. Ide Cole cemerlang. Film ini, aku jamin akan laris dipasaran. Dan akan banyak orang yang mengidolakanmu dan Raphael sebagai pasangan sempurna.”Nora berceloteh dengan raut wajah ceria sambil mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Pertemuan membahas film telah berakhir. Setelah Asher Lennox pergi, tak lama pertemuan diakhiri oleh Cole Blake. Pun pembahasan inti film telah usai. Jadi, memang tak ada alasan untuk tetap berada lama di restoran.Saat Nora berceloteh tanpa henti, Adeline memilih diam dengan tatapan lurus ke depan. Wanita cantik itu seakan menunjukkan bahwa ada hal yang mengusik ketenangan jiwanya. Namun, lida
Restoran yang dipilih Cole Blake sangat privat. Bisa dibilang restoran ini sudah dibooking untuk acara pembahasan film. Tamu tak undang tak bisa masuk ke restoran. Ada alasan khusus, tentunya agar proyek film ini bisa dibahas secara pribadi. Hanya orang-orang yang terlibat di dalam proyek film ini saja yang bisa mendengar.Adeline duduk dengan tenang dan anggun tepat di samping Nora. Raphael yang merupakan pemeran utama pria duduk tepat di ujung di dekat Cole. Sementara Asher duduk di seberang Adeline—dengan aura wajah dingin, memancarkan rasa kesal dan penuh arogan.“Syuting film ini akan dilakukan dibeberapa negara. Pertama kali akan diadakan di New York. Perkiraan di New York selama satu minggu. Adegan-adegan penting akan diinfokan di skrip ke para pemeran. Tapi, saya minta setelah proses film ini selesai para pemeran harus sangat gencar dalam membantu memasarkan film ini,” kata Cole Blake sambil menatap semua orang yang hadir.“Aku sudah membaca inti cerita di novel yang diangkat
Mobil Nora meluncur membelah kota dengan kecepatan sedang. Terik sinar matahari menyinari, tampak begitu memukau. Menara Eiffel terlihat berdiri megah—dan banyak turis di sekitar yang menikmati pemandangan.Adeline duduk dengan tenang di kursi penumpang, dan di sampingnya adalah Nora yang mengemudikan mobil. Hari ini, setelah mendapatkan kabar Asher tidak lagi mempersulit, Cole Blake langsung mengadakan pertemuan penting. Entah dipertemuan ini ada Asher atau tidak, yang pasti Adeline hadir dipertemuan khusus untuk proyek film.Bohong jika Adeeline bisa menganggap Asher seperti orang lain. Tentu tatapannya tak bisa demikian. Hal yang bisa dia lakukan adalah berpura-pura di hadapan semua orang bahwa Asher hanyalah orang yang baru dia kenal. Tidak lebih.“Adeline, nanti Cole akan membahas cukup banyak adegan penting difilm termasuk dengan pemasaran,” kata Nora mengingatkan.Adeline mengangguk, dan tak bersuara apa pun. Menurutnya anggukkan sudah menjadi jawaban atas apa yang Nora katakan
Meja makan tak pernah hening. Sarapan pagi selalu ditemani dengan kembar yang bernyanyi-nyanyi sambil menikmati sarapan mereka. Anak kembar itu tampak selalu ceria—dan menunjukkan mereka tak pernah tahu bahwa ada kekacauan di sekitar mereka. Tentu semua itu karena Adeline selalu menutup rapat, agar kembar tidak tahu apa pun.Adeline duduk di kursi meja makan sambil menatap hangat kembar yang bersenandung riang di pagi hari. Anak kembarnya itu sudah tampan dan cantik memakai pakaian sekolah yang lengkap. Rambut Aurelia dikuncir kuda—menunjukkan pipi bakpau yang menggemaskan.Sementara Leo tampak rapi dengan potongan rambut yang menunjukkan seolah bocah laki-laki itu anak bangsawan. Ya, Adeline sangat pintar mengurus si kembar. Bahkan penampilan kembar sangat diperhatikan. Wanita itu tak mau sembarang memberikan hal-hal yang menurutnya penting.Saat melamun, Adeline tetap mencoba tenang. Pikirannya mulai agak kacau sejak bertemu lagi dengan Asher. Wanita cantik itu sadar bahwa malapetak
Aroma alkohol begitu kuat melebur bersamaan dengan tembakau. Kepulan asap yang sempat memenuhi ruangan, tetapi kepulan asap itu hanya sebentar, dan lenyap bagaikan tak pernah ada. Hanya tinggal aroma yang melebur bersamaan dengan aroma alkohol yang kuat.Asher duduk di kursi kebesarannya yang ada di ruang kerjanya, dengan aura wajah penuh amarah dan sorot mata tajam layaknya seperti ingin membunuh. Pria tampan itu terlihat ingin meledakan amarah, tetapi sejak tadi dia mati-matian menahan diri.Tangan kokohnya mencengkeram kuat gelas sloki. Kukunya sudah memutih akibat dia menekan sloki kuat. Jika tekanan makin kuat, bisa dipastikan sloki itu akan hancur lebur. Sekali lagi, pria tampan itu benar-benar berusaha keras meredam amarah yang membakar dirinya. Beberapa menit lalu, Adeline baru saja pergi dari hadapannya, tetapi dia seakan merasa bahwa bayang-bayang wanita itu masih di depannya. Gejolak api amarah sudah tak tertahankan. Semua bermula dari ucapan Adeline—yang seakan sukses me