LOGIN
Bab 1 – Malam yang Selalu Gagal
Sudah dua tahun aku tidur di ranjang yang sama dengan suamiku, tapi setiap malam rasanya seperti tidur sendiri. Kehangatan suami-istri yang seharusnya hadir di antara kami, justru menguap seperti asap. Dan malam ini, aku mulai lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Mas Dharma, suamiku, baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos abu-abu dan celana tidur. Aku duduk di tepi ranjang. Kami tampak seperti dua orang asing yang terjebak di kamar yang sama, tapi tak tahu cara saling mendekat. “Kau belum tidur?” tanyanya datar, sambil menyalakan lampu tidur di sisi tempatnya. Aku menggeleng. “Aku hanya ingin bicara sebentar, sebelum kita tidur, mas.” Mas Dharma berhenti sejenak. Aku tahu, kalimat itu saja sudah cukup membuatnya canggung. Ia duduk di sisi ranjang dengan punggungnya tegak. “Kita... nggak bisa terus begini,” kataku dengan suara nyaris bergetar. Ia menatapku dengan tatapan tajam. “Maksudmu?” Aku menarik napas panjang. “Sudah dua tahun, Mas. Dua tahun kamu selalu bilang lelah, sibuk, stres... sampai kita tidak pernah—” Kata-kataku hanya mampu sampai tenggorokan. Sunyi. Aku sampai bisa mendengar detak jantungku yang tidak karuan. Mas Dharma mengalihkan pandangan. “Jangan mulai lagi!” katanya terdengar ketus. Aku mendekat, menatap wajahnya dari jarak dekat. “Atau mungkin, karena aku kurang menggoda, mas?” Mas Dharma mendengus. “Kamu nggak ngerti. Aku cuma butuh waktu.” “Waktu?” suaraku meninggi tanpa sadar. “Dua tahun bukan waktu yang sebentar!” Pria itu berdiri, berbalik membelakangiku. Bahunya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. “Aku nggak mau bahas ini lagi,” katanya pelan, tapi cukup untuk memutuskan sisa kesabaranku. Aku berdiri, menghampirinya. “Kamu pikir aku senang tiap malam pura-pura tidur lebih dulu? Pura-pura nggak kecewa? Pura-pura nggak dengar kamu nyalahin dirimu sendiri di kamar mandi?” Mas Dharma terdiam. Aku bisa melihat rahangnya mengeras. “Kalau mas mau,” lanjutku, “kita bisa konsultasi masalah ini ke dokter—” “Cukup!” bentaknya tiba-tiba, membuatku terlonjak. “Aku nggak butuh apapun! Aku hanya... aku hanya belum siap!” Belum siap. Dua kata yang sudah terlalu sering kudengar, sampai rasanya hampa. Aku menatap punggungnya, dadaku terasa begitu sesak. “Belum siap untuk apa, Mas? Untuk menyentuh istrimu sendiri?” Mas Dharma tak menjawab. Aku tahu, setiap kata yang keluar dariku membuatnya semakin terpojok. Tapi diamnya justru lebih menyakitkan daripada marah. “Kenapa kamu nggak pernah mau cerita?” tanyaku lirih. “Aku istrimu, mas. Sampai kapan masalah ini selesai?” “Kamu nggak akan ngerti!” ucapnya lagi. Hatiku mencelos. Aku bangkit lagi, perlahan kembali mendekatinya. “Aku cuma ingin tahu... apa yang sebenarnya kamu sembunyikan?” Ia menarik napas panjang, lalu menghela dengan keras. Tapi ia tak mengatakan apa pun. Ia hanya mengambil rokok dari nakas dan menyalakannya dengan gusar. Asap tipis mulai memenuhi udara kamar. Aku berdiri di belakangnya. “Jadi ini caramu menghadapi masalah ini?” tanyaku. Aku menelan ludah, menahan tangis yang mendesak di tenggorokan. Mas Dharma tetap saja diam. “Aku hanya ingin hubungan kita berjalan normal, mas.” Ia mematikan rokoknya dengan kasar. “Berhenti berbicara seolah kau mengerti!” Suaranya meninggi, tapi kemudian meredup. “Kau pikir hanya kau yang lelah? Aku juga!” Kali ini, aku yang terdiam. Aku menatapnya lama, mencoba memahami. Tapi bagaimana bisa aku memahami sesuatu yang bahkan tak pernah ia jelaskan? Aku duduk di sisi ranjang lagi, memeluk lututku sendiri. Air mata akhirnya jatuh. Aku tahu aku mencintainya. Tapi cinta saja ternyata tak cukup kalau jarak ini tak pernah berkurang. Dalam diam, mataku menangkap sesuatu di meja rias, sebuah amplop kecil dengan nama dokter tercetak di pojoknya. Dokter yang sama seperti yang kulihat dulu, tanpa sengaja, di dompetnya. dr. Adrian Prasetya, Sp.And. Mas Dharma menoleh sebentar, melihat tatapanku yang tertuju ke amplop itu. Seketika wajahnya menegang. Ia mengambil amplopnya cepat dan memasukkannya ke dalam laci. “Jangan lihat!” katanya dingin. Aku hanya diam. Tak ada gunanya berdebat lagi malam ini. Mas Dharma kembali duduk di sisi ranjang, tapi jaraknya jauh. Punggung kami saling membelakangi. Malam ini kembali seperti biasa. Untuk kesekian kalinya, aku kembali tertampar oleh kenyataan bahwa malam pertama kami selalu gagal.Bab 6 Luka Hati yang Terpendam Setelah insiden perselingkuhan yang telah diketahui oleh Dharma, aku mencoba untuk bersikap seperti biasa. menyiapkan sarapan, makan malam untuk Dharma. walaupun aku tahu, pria itu tengah menyimpan lukanya dengan tetap terlihat tenang dan sikapnya semakin dingin padaku. “Mas, aku sudah siapkan sarapan,” ucapku pelan. Tapi Dharma hanya mengangguk singkat,mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tanpa kata, tanpa tatapan. Suara pintu yang menutup pelan justru terasa seperti ledakan di dadaku. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Siang hari, aku mencoba menenangkan diri dengan membersihkan rumah, memasak makanan kesukaan Dharma, lalu menata ruang makan dengan rapi. Namun saat malam tiba, Dharma hanya menyentuh piringnya sebentar sebelum bangkit dari kursi. “Sudah kenyang,” katanya datar. Padahal ia bahkan belum menyentuh setengahnya. Malam semakin larut. Dari kamar, aku bisa mendengar suara langkah Dharma menuju ruang kerja. Lampu
Bab 5 – Api yang Membara Pagi ini, Mas Dharma duduk di sofa ruang tamu, matanya menatapku lekat saat menyadari aku sudah berpakaian rapi. Aku mencoba tersenyum menutupi kegugupan. “Aku harus ke Superstar sebentar, ada urusan penting di sana,” kataku. Mas Dharma menatapku lama. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. “Superstar? Sendirian?” tanyanya dengan suara rendah tapi menusuk. Aku mengangguk, pura-pura tenang. “Iya, sebentar saja. Tidak lama. ada beberapa hal yang harus aku lakukan bersama Mama.” Superstar adalah restoran kebanggaan milik keluargaku. Hampir dua dekade ini keluargaku mempertahankan gelar sebagai restoran terbaik di Indonesia. Mas Dharma diam sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah… tapi jangan lama-lama. Kau tahu, aku jarang sekali di rumah akhir-akhir ini.” Aku tersenyum tipis, menelan rasa lega yang muncul di dada. Di perjalanan, perasaanku langsung campur aduk. Rasa bersalah muncul tanpa bisa dicegah. Aku merasa jahat karena telah berbohong pada suamiku,
Bab 4 – Sentuhan yang Terlarang Hari berikutnya, langkahku menuju klinik terasa berat. Aku tahu aku sedang menempuh jalan yang salah, tapi rasa kesepian di rumah dan perasaan yang muncul sejak pertemuan pertama dengan dr. Adrian terlalu kuat untuk diabaikan. “Aku pergi konsultasi, demi suami.” Aku mengulang kalimat itu untuk meyakinkan diriku sendiri. Walau hatiku tahu itu hanya setengah kebenaran. Pada dasarnya, aku hanyalah mencari-cari alasan. Setibanya di klinik, suasana familiar menyambutku. Resepsionis tersenyum, menyalamiku ramah. Tak lama kemudian, Adrian mempersilakanku masuk ke ruang praktik. “Selamat datang kembali, Bu Selena,” sapanya. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, membuat jantungku semakin berdebar kencang. “Terima kasih, Dok,” jawabku, suaraku sedikit bergetar. Aku duduk, dan ia menatapku lama, seakan menimbang apakah aku baik-baik saja. “Bagaimana perasaan Ibu hari ini?” Aku menunduk, memutar jemari di pangkuan. “Masih… sama, Dok. Masih sulit menghada
Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya Keesokan harinya, selepas Mas Dharma pergi ke kantor, aku menghampiri meja rias dan membuka laci. Ada dorongan aneh untuk membuka amplop yang tempo hari aku lihat. Namun rasa takut menahan. Bagaimana jika Mas Dharma marah? Bagaimana jika ini tidak sesuai dengan pikiranku? Tapi, aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran seperti ini. “Kenapa aku merasa bersalah hanya karena ingin tahu?” ucapku lirih. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sambil berharap agar Mas Dharma tidak akan tahu jika aku mengambil amplop ini. Dan di sinilah aku sekarang. Di klinik tempat dokter Adrian praktik terletak di pusat kota. Dari luar, klinik ini tampak sederhana, tapi bersih dan tenang. Tidak seperti rumah sakit besar, tempat ini terasa lebih pribadi. Aku berdiri di depan pintu kaca, menatap papan nama kecil bertuliskan: Andrology Care. Tanganku terasa dingin, dan aku nyaris berbalik ketika pintu terbuka dari
Bab 2 – Rahasia di Balik Nama Itu Pagi itu, sinar matahari yang menelusup melalui sela gorden mengusik tidurku. Aku melirik ke arah tempat tidur yang sudah rapi. Mas Dharma ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia selalu begitu, bangun sebelum aku sempat membuka mata seakan menghindari pagi bersamaku. Saat aku melangkah ke dapur, Mas Dharma sudah duduk di meja makan, menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Tangannya memegang cangkir kopi. “Pagi, Mas,” sapaku pelan mencoba mencairkan suasana. Ia menoleh sekilas, “Pagi.” Hanya itu. Tak ada percakapan lanjut, tak ada tawa kecil seperti dulu. Aku tahu, seharusnya aku berhenti berharap pagi-pagi kami akan kembali hangat. Aku duduk di seberangnya, mencoba menata napas. Ingatanku kembali ke kejadian semalam. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri, berpikir mungkin aku kurang menggoda, kurang cantik, kurang seksi atau terlalu kaku. “Mas...” aku akhirnya memberanikan diri memanggil. “Soal semalam….” “Aku cuma capek kerja, sudah, jangan mi
Bab 1 – Malam yang Selalu Gagal Sudah dua tahun aku tidur di ranjang yang sama dengan suamiku, tapi setiap malam rasanya seperti tidur sendiri. Kehangatan suami-istri yang seharusnya hadir di antara kami, justru menguap seperti asap. Dan malam ini, aku mulai lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Mas Dharma, suamiku, baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos abu-abu dan celana tidur. Aku duduk di tepi ranjang. Kami tampak seperti dua orang asing yang terjebak di kamar yang sama, tapi tak tahu cara saling mendekat. “Kau belum tidur?” tanyanya datar, sambil menyalakan lampu tidur di sisi tempatnya. Aku menggeleng. “Aku hanya ingin bicara sebentar, sebelum kita tidur, mas.” Mas Dharma berhenti sejenak. Aku tahu, kalimat itu saja sudah cukup membuatnya canggung. Ia duduk di sisi ranjang dengan punggungnya tegak. “Kita... nggak bisa terus begini,” kataku dengan suara nyaris bergetar. Ia menatapku dengan tatapan tajam. “Maksudmu?” Aku menarik napas panjang. “Suda







