LOGINSosok Adrian hanya terlihat sekilas di antara kerumunan tamu .berdiri di dekat pilar marmer, memakai jas abu-abu gelap, wajahnya tersembunyi sebagian oleh bayangan lampu. Selena sempat mengedip, memastikan ia tidak salah lihat.Tapi Adrian ada di sana.
Seolah sengaja memancing gejolak di hatinya. Selena menahan napas. Dalam sekejap, ia menurunkan pandangannya, menyembunyikan kegelisahan di balik senyum lembut. Detik berikutnya, ia kembali menatap Dharma seolah tidak terjadi apa-apa. Dharma yang merasa diperhatikan,lalu ia menatap wajah istrinya yang malam ini terlihat begitu cantik. Sempurna. “Mas,” ucapku dengan nada sangat lembut. “Aku… boleh ke belakang sebentar? Tumitku terasa sakit sekali. Sepatunya agak sempit.” Aku Menunduk manis, menampilkan ketidakberdayaan yang nyaris sempurna. Seakan tak ada apa pun di pikirannya selain rasa sakit di kakinya. Dharma mengerutkan kening, tapi tidak curiga. Selena, istrinya itu memang selalu mengeluh soal high heels. ini bukan kali pertamanya. “Aku akan minta pelayan ambilkan sandal untukmu,” jawab Dharma singkat. Selena tersenyum, lalu menyentuh lengan Dharma ringan. “Tidak perlu, Mas. Aku cuma ke ruang rias sebentar. Dua menit saja… Setelah itu aku kembali ke sini. Kita harus tampil sempurna di depan tamu-tamu yang datang untuk kita.” Dharma terdiam sebentar, lalu mengangguk. Mendapatkan izin dari Dharma,aku berbalik perlahan, berjalan anggun melewati tamu-tamu yang memuji gaun dan wajah cantik yang kumiliki. Saat sudah cukup jauh dari pandangan Dharma, langkahku berubah menjadi lebih cepat, lebih ringan, seperti seseorang yang tahu persis ke mana ia harus pergi. Aku tidak menuju ruang rias. aku menuju lorong samping ballroom, tempat para kru hotel lewat membawa peralatan dan makanan. Lorong yang tidak diawasi kamera. Dari kejauhan,aku melihat siluet Adrian bergerak cepat menyelinap ke arah pintu samping. Aku mengangkat rok gaunnya sedikit, memastikan langkah ini tidak terdengar. “Adrian,” bisiknya lirih. Pria itu berhenti.Berbalik. Mata kami bertemu, wajah Adrian tampak masih sedikit bengkak. Karena pukulan Dharma saat di klinik. “Selena,” balas Adrian, suaranya rendah, nyaris tak terdengar. “Kenapa kamu di sini?” tanya Selena tanpa mendekat lebih jauh. Ia tidak bodoh. Jika ada seseorang lewat, bisa habis dirinya. Adrian mendekat satu langkah. “Aku pastikan, suamimu akan membayar ini semua.” Selena menelan ludah. “Dharma tidak sepenuhnya salah.” Adrian tidak menjawab. ia tidak suka saat Selena terdengar masih saja membela suaminya itu. Tiba-tiba saja, Langkah seseorang terdengar dari ujung lorong. Selena langsung bergerak. Dengan cepat ia menarik Adrian ke sisi dinding gelap, lalu memiringkan tubuhnya ke arah cahaya, memastikan hanya dirinya yang terlihat. Pelayan hotel lewat, menunduk sopan pada Selena yang tampak sedang mengecek tumit sepatunya. Tidak ada yang melihat Adrian berdiri hanya lima sentimeter di balik bayangannya. Begitu pelayan menjauh, Selena mendekatkan wajahnya pada Adrian. “Terkadang, kita tidak bisa menahan perasaan. tapi Adrian, berkat dirimu aku merasakan kenikmatan yang berbeda. Terimakasih dan selamat tinggal.” Adrian tampak hendak mengatakan sesuatu, tapi dengan cepat aku menempelkan jari ke bibirnya. “Jangan bicara, Adrian.” Ia menarik napas. “Jika Dharma tahu aku bertemu kamu… kamu bisa benar-benar menghilang.” Tatapan Adrian mengeras. “Aku tidak takut dengan Dharma.” “Bukan itu masalahnya,” Adrian terdiam. Aku tersenyum samar. membuat pria di hadapanku ini nampak kebingungan. Sebelum aku pergi, dengan lancang aku menarik kerah baju Adrian. Mengambil kesempatan itu untuk kembali mencicipi kenikmatan bibirnya. Setelah itu,aku melangkah pergi. Meninggalkan Adrian yang masih nampak terkejut. *** Tepat saat aku kembali ke ballroom, Dharma menatapku, seperti mengintimidasi lewat tatapannya. Aku hanya tersenyum anggun, kembali menggandeng lengan Dharma seolah tidak ada yang terjadi. “Maaf, Mas terlalu lama. tapi, Tumitku sudah baikan,” Dharma mengangguk pelan… namun matanya tetap memerhatikannya terlalu lama. Terlalu dalam.Seolah ia mencurigai sesuatu. Aku hanya tersenyum, terus mempertahankan senyuman itu. Berpura-pura tidak mengetahui bahwa Dharma mencurigai ku. “Jangan melewati batas, sayang.” Aku dapat merasakan bagaimana tangan kokoh Dharma mengusap bagian belakang tubuhku secara perlahan. Tidak hanya sebuah usapan, tangan itu sedikit meremas dan membuatku nyaris mendesah tertahan. Apakah Dharma Mengetahuinya?Hayo tebak, Dharma tau gak sih?
Ruang VIP itu dipenuhi cahaya hangat kekuningan, memantul di dinding berlapis kayu gelap dan kaca kristal yang berkilau. Meja panjang di tengah ruangan sudah terhidang rapi makanan.dengan piring porselen putih, sendok garpu perak, gelas anggur yang berkilat. Aroma daging panggang, truffle, dan saus mahal bercampur menjadi satu, terlalu mewah untuk perutku yang masih terasa mual oleh sisa kejadian sore tadi.Aku duduk di sisi Dharman dan seberang kami, Darlo Castellanos duduk tegap dengan jas gelapnya yang menjadi ciri khasnya. wibawa dingin yang tak pernah benar-benar ramah. Di sampingnya, Anggun Castellanos tersenyum tipis, elegan, seolah semua hal di dunia selalu berada di bawah kendalinya. Senyum itu terasa seperti topeng mahal yang tak pernah retak.Di sisi lain meja, Arta Wijaya tampak santai, tapi matanya terlalu awas untuk benar-benar disebut tenang. Salma Wijaya duduk di sampingnya, anggun dengan gaun sederhana berwarna krem, sorot matanya lembut namun penuh perhitungan.seoran
Adrian tidak bergerak, tubuhnya tetap berdiri di tempat seolah perintah Dharma barusan tidak pernah diucapkan. Bahunya tegak, tangan dimasukkan ke saku celana, sikapnya terlihat terlalu santai untuk seseorang yang baru saja diminta pergi.seketika.Senyum tipis di wajah Dharma menghilang, digantikan sorot mata yang tajam dan dingin. Ia melangkah setengah langkah ke depan.“Ada yang belum jelas?” tanya Dharma, suaranya terdengar begitu datar.Adrian mengangkat wajahnya sedikit, menatap lawan bicaranya dengan ekspresi yang tidak kalah datarnya seperti Dharma.. Ada kilat samar di matanya, sesuatu yang menyerupai senyum tapi tidak pernah benar-benar sampai ke bibir.“Aku hanya memastikan,” jawab Adrian tenang, “bahwa kau tidak salah paham.”Aku bisa merasakan tubuhku menegang lagi. Jari-jariku mencengkeram ujung bajuku, napasku tertahan tanpa kusadari.“Salah paham soal apa?” Dharma menyela cepat.Adrian mengalihkan pandangannya dan untuk sepersekian detik, matanya bertemu denganku. Tatapa
Mobil Adrian berhenti tepat di depan gerbang rumah Dharma yang menjulang tinggi, besi hitamnya kokoh dengan ornamen sederhana. Mesin masih menyala, lampu depan menyorot jalan masuk yang lenggang, membuat bayangan pepohonan di halaman bergeser pelan. Dua penjaga mendekat,salah satunya menunduk sopan ke arah kaca jendela yang sedikit terbuka. “Maaf, Pak,” ucapnya hati-hati. “Kami belum menerima izin untuk membuka gerbang.” Adrian mengangguk singkat, ekspresinya datar. “Kami tunggu.” Sahut Adrian yang begitu tebang.Aku duduk kaku di kursi penumpang, punggungku terasa lurus oleh ketegangan yang belum juga luruh. Rumah itu ada di depan mata,tempat yang seharusnya terasa aman.namun kini justru terasa seperti batas lain yang harus kulewati dengan napas tertahan. Menit-menit berlalu. , Keheningan kembali mengambil alih. kali ini dipenuhi oleh detak jantungku sendiri. Aku menatap gerbang itu, seolah bisa membaca jawabannya dari sela-sela besi yang tertutup rapat. Lampu mobil lain mu
Adrian tetap fokus menyetir. Tangannya mantap di setir, pandangannya lurus ke depan, seolah jalanan di hadapannya adalah satu-satunya hal yang ingin ia lihat. Mobil melaju dengan kecepatan stabil, nyaris tanpa suara selain dengungan mesin dan gesekan ban di aspal.Aku menghela napas pelan,Kepalaku terasa penuh. Bukan karena lelah, tapi karena terlalu banyak pikiran yang saling tumpang tindih. Duduk di samping Adrian menghadirkan rasa canggung yang sulit kujelaskan.bukan tidak nyaman, tapi juga jauh dari tenang. Akhirnya aku memutuskan memejamkan mata, bukan untuk tidur, hanya ingin berhenti memandang pepohonan yang sejak tadi menjadi pemandangan utama jalanan ini.“Kalau pusing, bilang,” ucap Adrian tiba-tiba, suaranya rendah.“Aku tidak tidur,” jawabku tanpa membuka mata. “Hanya menutup mata saja.”“Hm.”Itu saja tanggapannya.Keheningan kembali turun, tapi kali ini terasa berbeda. Dalam gelap, pikiranku justru bekerja lebih aktif. Wajah Dharma terlintas, ucapannya tentang kejujuran,
Mesin mobilku tersendat untuk ketiga kalinya sebelum akhirnya mati total. Setir terasa ringan di tanganku, seperti sebuah pertanda buruk. Aku menepi sebisaku, menghentikan mobil di pinggir jalan yang bahkan nyaris tak layak disebut jalan. Hanya hamparan aspal sempit, pepohonan di kiri kanan, dan keheningan yang terasa menekan dada. aku merasa kecewa pada diriku sendiri karena tidak mendengarkan ucapan Dharma. seharusnya aku minta diantarkan saja. “Tidak… jangan sekarang,” gumamku pelan.Aku mencoba menyalakan mesin lagi, namun itu semua terasa sia-sia.aku menghembuskan napas panjang, lalu meraih ponsel di dalam tas. Tanganku sedikit gemetar saat layar menyala.Nama Dharma sudah hampir kutekan ketika layar itu tiba-tiba meredup. Baterai ponselku habis!“Tidak, tidak, tidak—”Layar mati tepat saat aku hendak menekan tombol panggil. Aku menatap ponsel itu beberapa detik, seolah dengan tatapan saja aku bisa menghidupkannya kembali. Tapi sia-sia. Yang tersisa hanya pantulan wajahku sendir
Adrian menatap malas wajah lawan bicaranya, suasana restoran yang cukup sepi membuat keduanya leluasa berbicara.“Bagaimana, kau sudah mengatakan bahwa aku pernah tidur dengan suaminya?”Adrian menatap Laura dengan mata yang tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kemarahan yang perlahan membara. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab.“Iya, aku sudah mengatakan hal itu. Jadi jangan buat semuanya terasa sia-sia.”katanya pelan, setiap kata dipilih dengan hati-hati.Laura mencondongkan tubuhnya ke arah Adrian, senyum tipis tapi tajam menghias bibirnya. “Oh, begitu. Jadi kau ingin aku diam saja? Kau pikir aku akan membiarkan hal ini begitu saja?” ucapnya sambil memainkan sendok di atas piringnya, seolah itu permainan strategi yang disengaja.Adrian menegakkan punggungnya, menatap lurus ke mata Laura. “Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Aku hanya ingin kita tetap fokus pada masalahnya.”Laura tertawa pelan, suara itu seperti campuran ejekan dan kepuasan pribadi. “Kau pikir aku aka







