Mag-log inBab 6 Luka Hati yang Terpendam
Setelah insiden perselingkuhan yang telah diketahui oleh Dharma, aku mencoba untuk bersikap seperti biasa. menyiapkan sarapan, makan malam untuk Dharma. walaupun aku tahu, pria itu tengah menyimpan lukanya dengan tetap terlihat tenang dan sikapnya semakin dingin padaku. “Mas, aku sudah siapkan sarapan,” ucapku pelan. Tapi Dharma hanya mengangguk singkat,mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tanpa kata, tanpa tatapan. Suara pintu yang menutup pelan justru terasa seperti ledakan di dadaku. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Siang hari, aku mencoba menenangkan diri dengan membersihkan rumah, memasak makanan kesukaan Dharma, lalu menata ruang makan dengan rapi. Namun saat malam tiba, Dharma hanya menyentuh piringnya sebentar sebelum bangkit dari kursi. “Sudah kenyang,” katanya datar. Padahal ia bahkan belum menyentuh setengahnya. Malam semakin larut. Dari kamar, aku bisa mendengar suara langkah Dharma menuju ruang kerja. Lampu tetap menyala hingga lewat tengah malam. Aku menunggu di depan pintu, membawa secangkir teh hangat. berharap agar Dharma mau menerima teh buatanku. Tapi, nyaliku ciut. akhirnya, aku hanya mampu duduk di lantai, bersandar pada dinding. Menunggu sampai Dharma keluar dari ruang kerjanya. *** Aku membuka mata, menatap sekeliling dan anehnya, tubuhku sudah berada diatas ranjang kamar. dengan perasaan terkejut, aku turun dari ranjang dan mencari keberadaan Dharma. Karena aku yakin, saat aku tertidur didepan ruang kerjanya dan ialah yang telah memindahkan tubuhku. aku mencari keberadaan Dharma di Kamar mandi, Dapur, ruang tengah namun keberadaan Dharma tidak ada. Saat aku keluar, ke area parkir. mobil Dharma masih terparkir rapi . Jadi, dimana Dharma? Aku menghela napas panjang, rasanya hatiku kian semakin berat. Sikap diam Dharma seperti sebuah selimut besar yang melilit tubuhku, rasanya begitu sesak. Dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku berlari kembali ke dalam kamar. Meraih ponselku dan mengetik sesuatu disebuah situs website. dan benar dugaanku, nama Adrian sudah tidak lagi ditemukan. Bahkan, nama kliniknya tidak ada di pencarian. aku terduduk lemas, seharusnya aku tidak melakukan hal bodoh itu. seharusnya aku bisa lebih menguatkan hati dan tidak tergoda dengan nafsu semata. Tapi, hal yang Adrian tawarkan begitu indah dan aku tak mampu menolaknya. “Apa yang kau lakukan?” Mendengar suara serak itu, membuat diriku tersadar dan mencari sumber suara itu. “M-mas Dharma?” “Kenapa menatapku seperti itu? kau pikir aku hantu?” Dharma kian mendekat, langkahnya terlihat begitu percaya diri. “Aku sudah menyiapkan acara anniversary pernikahan kita.” Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang sama sekali tidak ku mengerti. Seharusnya, aku senang Dharma masih mengingat hari anniversary pernikahan kami. tapi, disatu sisi aku begitu penasaran dengan keberadaan Adrian. entah apa yang telah dilakukan oleh Dharma, sampai jejak digital Adrian benar-benar bersih. “Kau tidak senang dengan keputusanku?” Pertanyaan yang dilontarkan Dharma, seperti dua mata pisau yang tajam dan siap ia tancapkan pada diriku. Keputusan apa maksudnya? Anniversary pernikahan yang dirayakan atau hilangnya seorang Adrian? Sikapnya juga terlihat sudah biasa dan tidak seperti kemarin-kemarin. Ia bersikap kembali normal, seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Adegan ciumanku dengan Adrian yang ia lihat tempo hari, seperti hilang begitu saja. “Bu-bukan seperti itu mas,” “Kalau begitu, bersiaplah nanti sore akan ada orang yang datang menyiapkan baju kita.” Setelah mengatakan hal itu, Dharma melangkah keluar. Aku menelan ludah berulang kali, rasanya ini terlalu aneh. Apa yang sebenarnya terjadi? *** Lampu-lampu kristal di langit-langit ballroom itu berkilau seperti bintang yang turun ke bumi. Musik lembut dari grand piano di sudut ruangan mengalun, menciptakan suasana hangat dan mewah. Aroma bunga mawar putih dan lilin aroma vanilla bercampur di udara, menyambut setiap tamu yang datang dengan senyum ramah para pelayan berjas hitam. Di tengah ruangan, sebuah meja bundar dihiasi vas kristal berisi mawar merah muda,lambang cinta yang masih mekar di usia pernikahan kedua. Di atas panggung kecil, layar LED menampilkan tulisan: "Happy 2nd Anniversary — A Journey of Love." Para tamu mengenakan gaun dan jas terbaik mereka, sementara kamera dari pihak hotel merekam setiap momen bahagia. Musik berubah menjadi lembut ketika aku dan Dharma melangkah masuk bergandengan tangan. Semua mata tertuju pada kami. Aku mengenakan gaun satin berwarna ivory, dengan rambut disanggul sederhana namun terlihat begitu elegan. Sementara Dharma, dalam setelan hitam klasik, tampak tenang dengan senyum tipis di wajahnya. Kami berdiri di tengah ruangan, disorot lampu temaram berwarna keemasan. Terdengar Gelas kaca beradu pelan. Dentang kecilnya tenggelam di tengah tepuk tangan dan tawa para tamu. Namun bagiku, suara itu seperti gema yang mengguncang hati.seolah mengingatkan, bahwa di balik pesta mewah ini, antara cinta dan kehormatan keluarga dipertaruhkan. Musik berganti menjadi lebih pelan. Lampu ballroom diredupkan, hanya menyisakan sorot keemasan di tengah ruangan, tempat Dharma dan Selena berdiri berhadapan. Semua mata tertuju pada mereka.pasangan yang menjadi pusat malam itu. Selena mencoba tersenyum, meski dadanya terasa sesak. Ia tahu senyum itu bukan lagi cerminan bahagia, melainkan topeng yang harus dipakai di depan semua orang. Dharma mendekat perlahan. Langkahnya tenang, matanya menatap dalam, seolah mencoba membaca hati Selena.Ia berhenti hanya sejengkal darinya, cukup dekat hingga aroma parfum mahal yang dipakainya terasa lembut menyentuh kulit. Suara riuh para tamu seolah lenyap. Hanya mereka berdua di tengah keramaian. Dharma menunduk sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinga Selena. Dari jauh, orang-orang berpikir ia akan menciumnya.bahkan beberapa tamu menahan napas, siap menyaksikan momen paling romantis malam itu. Namun, suaranya justru turun menjadi bisikan dingin yang hanya Selena yang bisa dengar. “Kau pandai sekali berpura-pura, Selena,” ucapnya lirih, nadanya setipis pisau. “Sampai semua orang percaya bahwa kita masih bahagia.” Selena tertegun. Jemarinya yang memegang gelas bergetar halus. Tapi ia tak membalas, tak bergerak, hanya tersenyum lebih lebar. senyum yang penuh luka namun tetap memesona di mata tamu-tamu yang melihat. Dari jauh, sorotan kamera menangkap adegan itu. suami yang tampak mencium istrinya dengan lembut. Nyatanya, itu hanya bisikan dingin yang memisahkan cinta dari kepura-puraan. Musik kembali mengalun, menutupi segala kebenaran yang nyaris terbongkar di tengah gemerlap malam. Saat Selena mengalihkan pandangannya ke arah para tamu, ia menangkap sosok yang sudah mengusik ketenangan hatinya. “Adrian?”Bab 6 Luka Hati yang Terpendam Setelah insiden perselingkuhan yang telah diketahui oleh Dharma, aku mencoba untuk bersikap seperti biasa. menyiapkan sarapan, makan malam untuk Dharma. walaupun aku tahu, pria itu tengah menyimpan lukanya dengan tetap terlihat tenang dan sikapnya semakin dingin padaku. “Mas, aku sudah siapkan sarapan,” ucapku pelan. Tapi Dharma hanya mengangguk singkat,mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tanpa kata, tanpa tatapan. Suara pintu yang menutup pelan justru terasa seperti ledakan di dadaku. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Siang hari, aku mencoba menenangkan diri dengan membersihkan rumah, memasak makanan kesukaan Dharma, lalu menata ruang makan dengan rapi. Namun saat malam tiba, Dharma hanya menyentuh piringnya sebentar sebelum bangkit dari kursi. “Sudah kenyang,” katanya datar. Padahal ia bahkan belum menyentuh setengahnya. Malam semakin larut. Dari kamar, aku bisa mendengar suara langkah Dharma menuju ruang kerja. Lampu
Bab 5 – Api yang Membara Pagi ini, Mas Dharma duduk di sofa ruang tamu, matanya menatapku lekat saat menyadari aku sudah berpakaian rapi. Aku mencoba tersenyum menutupi kegugupan. “Aku harus ke Superstar sebentar, ada urusan penting di sana,” kataku. Mas Dharma menatapku lama. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. “Superstar? Sendirian?” tanyanya dengan suara rendah tapi menusuk. Aku mengangguk, pura-pura tenang. “Iya, sebentar saja. Tidak lama. ada beberapa hal yang harus aku lakukan bersama Mama.” Superstar adalah restoran kebanggaan milik keluargaku. Hampir dua dekade ini keluargaku mempertahankan gelar sebagai restoran terbaik di Indonesia. Mas Dharma diam sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah… tapi jangan lama-lama. Kau tahu, aku jarang sekali di rumah akhir-akhir ini.” Aku tersenyum tipis, menelan rasa lega yang muncul di dada. Di perjalanan, perasaanku langsung campur aduk. Rasa bersalah muncul tanpa bisa dicegah. Aku merasa jahat karena telah berbohong pada suamiku,
Bab 4 – Sentuhan yang Terlarang Hari berikutnya, langkahku menuju klinik terasa berat. Aku tahu aku sedang menempuh jalan yang salah, tapi rasa kesepian di rumah dan perasaan yang muncul sejak pertemuan pertama dengan dr. Adrian terlalu kuat untuk diabaikan. “Aku pergi konsultasi, demi suami.” Aku mengulang kalimat itu untuk meyakinkan diriku sendiri. Walau hatiku tahu itu hanya setengah kebenaran. Pada dasarnya, aku hanyalah mencari-cari alasan. Setibanya di klinik, suasana familiar menyambutku. Resepsionis tersenyum, menyalamiku ramah. Tak lama kemudian, Adrian mempersilakanku masuk ke ruang praktik. “Selamat datang kembali, Bu Selena,” sapanya. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, membuat jantungku semakin berdebar kencang. “Terima kasih, Dok,” jawabku, suaraku sedikit bergetar. Aku duduk, dan ia menatapku lama, seakan menimbang apakah aku baik-baik saja. “Bagaimana perasaan Ibu hari ini?” Aku menunduk, memutar jemari di pangkuan. “Masih… sama, Dok. Masih sulit menghada
Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya Keesokan harinya, selepas Mas Dharma pergi ke kantor, aku menghampiri meja rias dan membuka laci. Ada dorongan aneh untuk membuka amplop yang tempo hari aku lihat. Namun rasa takut menahan. Bagaimana jika Mas Dharma marah? Bagaimana jika ini tidak sesuai dengan pikiranku? Tapi, aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran seperti ini. “Kenapa aku merasa bersalah hanya karena ingin tahu?” ucapku lirih. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sambil berharap agar Mas Dharma tidak akan tahu jika aku mengambil amplop ini. Dan di sinilah aku sekarang. Di klinik tempat dokter Adrian praktik terletak di pusat kota. Dari luar, klinik ini tampak sederhana, tapi bersih dan tenang. Tidak seperti rumah sakit besar, tempat ini terasa lebih pribadi. Aku berdiri di depan pintu kaca, menatap papan nama kecil bertuliskan: Andrology Care. Tanganku terasa dingin, dan aku nyaris berbalik ketika pintu terbuka dari
Bab 2 – Rahasia di Balik Nama Itu Pagi itu, sinar matahari yang menelusup melalui sela gorden mengusik tidurku. Aku melirik ke arah tempat tidur yang sudah rapi. Mas Dharma ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia selalu begitu, bangun sebelum aku sempat membuka mata seakan menghindari pagi bersamaku. Saat aku melangkah ke dapur, Mas Dharma sudah duduk di meja makan, menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Tangannya memegang cangkir kopi. “Pagi, Mas,” sapaku pelan mencoba mencairkan suasana. Ia menoleh sekilas, “Pagi.” Hanya itu. Tak ada percakapan lanjut, tak ada tawa kecil seperti dulu. Aku tahu, seharusnya aku berhenti berharap pagi-pagi kami akan kembali hangat. Aku duduk di seberangnya, mencoba menata napas. Ingatanku kembali ke kejadian semalam. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri, berpikir mungkin aku kurang menggoda, kurang cantik, kurang seksi atau terlalu kaku. “Mas...” aku akhirnya memberanikan diri memanggil. “Soal semalam….” “Aku cuma capek kerja, sudah, jangan mi
Bab 1 – Malam yang Selalu Gagal Sudah dua tahun aku tidur di ranjang yang sama dengan suamiku, tapi setiap malam rasanya seperti tidur sendiri. Kehangatan suami-istri yang seharusnya hadir di antara kami, justru menguap seperti asap. Dan malam ini, aku mulai lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Mas Dharma, suamiku, baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos abu-abu dan celana tidur. Aku duduk di tepi ranjang. Kami tampak seperti dua orang asing yang terjebak di kamar yang sama, tapi tak tahu cara saling mendekat. “Kau belum tidur?” tanyanya datar, sambil menyalakan lampu tidur di sisi tempatnya. Aku menggeleng. “Aku hanya ingin bicara sebentar, sebelum kita tidur, mas.” Mas Dharma berhenti sejenak. Aku tahu, kalimat itu saja sudah cukup membuatnya canggung. Ia duduk di sisi ranjang dengan punggungnya tegak. “Kita... nggak bisa terus begini,” kataku dengan suara nyaris bergetar. Ia menatapku dengan tatapan tajam. “Maksudmu?” Aku menarik napas panjang. “Suda







