Hari itu Arga benar-benar keok sama jadwal padatnya. Dari kuliah pagi yang dosennya nggak pernah ngurangin materi, dilanjut praktikum sampai tangan belepotan obat hewan, plus mampir ke rumah Kairo buat ngurusin Oyen, si kucing sok artis yang hobi muntah di waktu tidak tepat.
Begitu mesin mobilnya mati di halaman, Arga turun sambil meregangkan badan. Rumahnya berdiri megah dengan nuansa Japanese style atap miring dengan kayu gelap, taman batu, dan kolam kecil yang airnya tenang banget. Dari luar memang elegan, persis rumah-rumah di drama Jepang yang bikin orang langsung nyangka pemiliknya adalah orang penting. "Selamat sore, Arga," sapa Pak Rudy, tukang kebun merangkap penjaga mini zoo di belakang rumah. Di sanalah hewan-hewan eksotis Arga dirawat: ada ular, landak mini, sampai buaya kecil. Arga mengangguk ramah. "Sore, Pak Rudy. Semua hewan baik-baik aja kan?" Tanya Arga. "Puji Tuhan sehat semua. Tinggal nak Arga aja yang keliatan capek," jawab pak Rudy yang menyadari kelelahan dalam diri Arga. Arga terkekeh kecil. "Iya, Pak. Hehe... saya masuk dulu ya." Pintu rumah terbuka otomatis, menampilkan ruang tamu super mewah dengan interior minimalis elegan. Sofa kulit, lampu gantung mahal, rak kayu berisi buku dan penghargaan keluarga. Semua terlihat sempurna... tapi dingin. Arga melangkah masuk dan yang menyambutnya hanyalah keheningan. Tak ada suara teriakan "Kak!" ala Yuki, tak ada aroma masakan hangat dari dapur, tak ada obrolan receh. Ayahnya? Pasti masih di kantor, rapat. Ibunya? Paling sibuk meeting sosialita atau acara perusahaan. Seperti biasa, rumah ini cuma jadi tempat singgah, bukan tempat pulang. Arga menghela napas panjang. "Kalau di rumah Kairo, baru buka pintu aja udah diserbu suara cempreng Yuki. Ramai, ribut, tapi hangat," gumamnya lirih. Ia meletakkan tas ke sofa, duduk sebentar sambil memandang langit-langit. Rasanya kontras banget. Di satu sisi, rumahnya elegan penuh prestise. Di sisi lain, hampa. Untuk pertama kalinya, Arga bener-bener sadar... mungkin dirinya iri pada Kairo. Bukan soal adiknya yang ngeselin, tapi soal rasa hangat yang nggak pernah ia punya sejak kecil. Arga merebahkan tubuhnya di sofa kulit yang dingin. Dengan satu tangan menopang kepala, ia meraih ponselnya. Sekadar iseng, ia membuka I*******m dan mengklik akun dengan username, @Yukijessamine__ "Oh iya... bocil bawel itu baru nge-follow gue," gumam Arga sambil terkekeh kecil. Ia pun mengetuk profil Yuki. Seketika, layar ponselnya dipenuhi warna-warni keceriaan khas anak gadis yang belum mikirin beratnya hidup. Ada foto Yuki bareng mamanya waktu makan sushi, dengan ekspresi lucu khas dirinya. Ada juga momen Yuki dan Kairo mancing, Kairo serius pegang pancingan, sementara Yuki malah pose peace sign sambil pegang cacing umpannya. Arga tersenyum lebar. "Dasar bocah... hidupnya kayak variety show." Tapi semakin ia scroll, senyumnya pelan-pelan meredup. Ada banyak foto keluarga, ada mama, ada Kairo, tapi tidak pernah sekalipun muncul sosok ayah. Arga berhenti di satu foto: Yuki dan Kairo duduk di teras, dengan caption "Duo bodyguard mama." "Hm..." Arga mengetuk dagunya. Potongan puzzle itu mulai nyambung di kepalanya. Pantas Kairo selalu ngotot ngomongin soal jaga adik, soal nggak mau pacaran dulu, soal harus jagain mama... Semua masuk akal kalau memang mereka nggak punya figur ayah di rumah. Arga menghela napas. "Jadi itu alasannya... Kai lebih mikirin keluarganya daripada dirinya sendiri." Ia bersandar lagi, menatap langit-langit rumahnya yang mewah tapi hampa. Mendadak, ia merasa ada sesuatu yang hangat dari keceriaan Yuki di I*******m. Seolah-olah, lewat foto-foto itu, Arga ikut merasakan punya keluarga yang rame, meski cuma lewat layar. "Ribut sih, tapi kayaknya enak punya adik cerewet," gumamnya sambil senyum kecil. Tak lama, ponselnya bergetar. Notifikasi baru muncul. "Yukijessamine__ posted a new story." Arga pun buka. Ternyata isinya Yuki selfie sambil pakai masker lumpur, lengkap dengan caption: "Belajar sambil glowing, guys! Wish me luck buat try out besok ✨" Arga terbahak. "Astaga, ini anak... bener-bener bikin timeline gue rame." Arga melangkah keluar menuju halaman belakang, tempat favoritnya: mini zoo ala-ala. Bukan main, koleksi hewan di situ bisa bikin anak-anak komplek mangap kalau lihat. Ada ular yang berjejer rapi di etalase kaca bening, bunglon yang warnanya suka berubah kayak mood orang pacaran, landak mini imut, sampai kura-kura dengan ukuran bervariasi—dari yang sekecil donat sampai sebesar baskom. Arga duduk di kursi kayu panjang, lalu matanya jatuh pada satu sosok pelan tapi pasti: seekor kura-kura Sulcata bernama Maomao. Si Maomao lagi sibuk mengunyah daun segar, slow banget, seakan dunia nggak ada deadline. Arga menepuk pelan tempurungnya. "Maomao... kamu harus beranak-pinak ya. Biar nggak kesepian. Jangan kayak aku, anak tunggal. Bosan tau nggak kalau nggak punya teman ribut di rumah." Maomao menoleh sebentar, lalu lanjut kunyah tanpa peduli. Kruukk... kruukk. Arga menghela napas dramatis. "Lihat tuh... kalau kamu punya anak banyak, mereka bisa rebutan makanan, bisa dorong-dorongan, bisa bikin ribut. Seru, Maomao. Jangan kayak aku, masuk rumah aja sunyi, keluar rumah baru rame gara-gara kamu sama geng hewan lain." Si kura-kura melanjutkan makannya dengan tenang, bahkan seperti sengaja memalingkan muka. Arga mengacak rambutnya sendiri. "Dih! Kok gue curhatnya sama kura-kura, sih?!" katanya sambil tertawa miris. Namun, entah kenapa, rasanya sedikit lebih lega. Setidaknya ada makhluk hidup yang mau dengerin ocehannya, meskipun jawabannya cuma kunyahan lambat ala Maomao. ——— Keesokan harinya, setelah agenda kampus yang super padat, mulai dari kuliah, praktikum, sampai dikejar deadline tugas, Arga dan Kairo memutuskan mampir ke coffee shop langganan. Misi mereka sederhana: melepas penat sebelum kembali disiksa tumpukan tugas. Andai saja tumpukan duit bisa kayak tumpukan tugas, mungkin dunia ini terasa lebih indah. Arga duduk santai, menyesap es kopi susu kekinian, sementara jemarinya sibuk scrolling I*******m. Timeline penuh dengan wajah-wajah teman sekelas yang sama-sama lelah tapi masih sempat eksis. Namun, matanya langsung berhenti ketika melihat sebuah story baru. Yuki. Di layar, Yuki terlihat ceria sambil memegang kertas hasil try out. Wajahnya sumringah, pose jempolnya penuh percaya diri. Captionnya pun nggak kalah heboh: i did it! Jadi peserta try out dengan nilai tertinggi. Mama! Kak @Kairoarsenio ayo traktir makan sushi! Arga refleks tersenyum lebar. Rasanya ikut bangga melihat pencapaian si adik sahabat. Dengan ringan, jemarinya langsung mengetik reply: selamat dek! Pertahankan sampai hari ujian tiba. Belum sempat Arga menekan tombol kirim, Kairo yang duduk di seberang memperhatikan ekspresi temannya. "Kenapaan lo senyum-senyum gitu?" tanya Kairo sambil menyeruput Americano yang pahitnya kayak kehidupan. Arga cuma geleng kepala, senyum makin lebar. "Deket sama cewek, ya?" goda Kairo lagi, kali ini matanya menyipit curiga. "Apaan sih! Enggak lah! Gue lagi lihat story adik lo. Lo di-tag tuh." Arga nyodorin layar HP-nya ke Kairo. Kairo melirik cepat, lalu balik menatap Arga dengan ekspresi awas aja lu. "Aneh banget lo. Obsesi sama adik gue, ya? Jangan macam-macam lo, Ga!" Arga langsung mengangkat kedua tangannya, seolah pasukan polisi baru ngegrebek. "Yaelah, tenang kali! Gue cuma seneng aja lihat tingkah adik lo. Maklumlah, gue anak tunggal. Nggak pernah ngerasain punya adik cerewet, imut, nyebelin sekaligus nyemangatin gitu." Kairo masih manyun, tapi nggak bisa membantah. Dalam hati, ia tahu kalau Arga emang beda. Temennya ini nggak pernah segampang itu jatuh hati ke cewek, jadi wajar kalau perhatian Arga lebih ke arah brother mode. Tapi tetap saja, sebagai kakak, Kairo punya alarm bawaan yang langsung berbunyi begitu ada cowok nyenggol Yuki. Arga kembali menatap layar HP, kali ini tanpa sadar senyum tipisnya muncul lagi. Kalau ditanya apa alasannya, ia sendiri nggak bisa jawab jelas. Yang pasti, melihat Yuki bahagia itu... entah kenapa bikin hatinya ikut adem.Kampus hari itu seperti pasar malam. Ramai, riuh, penuh orang lalu-lalang dengan selebaran di tangan. Bedanya, bukan ada yang jualan cilok atau bakso bakar, tapi selebaran visi-misi calon ketua klub. Semua mahasiswa kelihatan heboh, seolah hari ini bakal menentukan nasib dunia.Di pojok gedung B, Kairo duduk tegak dengan wajah serius ala calon pejabat. Di depannya ada banner sederhana bertuliskan:"Kairo Arsenio – Calon Ketua Klub Hewan Kesayangan. Visi: Hewan sehat, hati hangat. Misi: Lebih banyak vaksin, lebih sedikit drama."Orang-orang lewat dan mengangguk-angguk, karena memang visinya masuk akal, nggak lebay, dan Kairo terlihat profesional. Bahkan kucing liar yang nyelonong pun kayaknya setuju.Sementara itu, di ruangan sebelah, suasana jauh lebih... ehm... meriah. Arga berdiri di atas panggung mini, pakai kemeja casual tapi tetap berkarisma. Slide presentasinya penuh foto-foto hewan eksotik. Ada ular dengan efek kilat dramatis, bunglon warna-warni kayak lampu disko, dan kura-kur
Hari itu Arga benar-benar keok sama jadwal padatnya. Dari kuliah pagi yang dosennya nggak pernah ngurangin materi, dilanjut praktikum sampai tangan belepotan obat hewan, plus mampir ke rumah Kairo buat ngurusin Oyen, si kucing sok artis yang hobi muntah di waktu tidak tepat.Begitu mesin mobilnya mati di halaman, Arga turun sambil meregangkan badan. Rumahnya berdiri megah dengan nuansa Japanese style atap miring dengan kayu gelap, taman batu, dan kolam kecil yang airnya tenang banget. Dari luar memang elegan, persis rumah-rumah di drama Jepang yang bikin orang langsung nyangka pemiliknya adalah orang penting."Selamat sore, Arga," sapa Pak Rudy, tukang kebun merangkap penjaga mini zoo di belakang rumah. Di sanalah hewan-hewan eksotis Arga dirawat: ada ular, landak mini, sampai buaya kecil.Arga mengangguk ramah. "Sore, Pak Rudy. Semua hewan baik-baik aja kan?" Tanya Arga."Puji Tuhan sehat semua. Tinggal nak Arga aja yang keliatan capek," jawab pak Rudy yang menyadari kelelahan dalam
Suatu sore, Yuki sedang sibuk dengan "konten masterpiece"-nya. Ia berdandan ala-ala karakter aneh: pakai bandana hijau ngejreng, bedak belepotan, bibir merah menyala kayak habis makan lima kilo cabe rawit, plus jaket bolong yang harusnya sudah pensiun jadi lap meja. Dengan penuh percaya diri, ia menari di depan kamera ponselnya.Tiba-tibatok tok tok!pintu rumah diketuk. Yuki spontan melirik jam dinding."Oh, pasti kak Kairo. Pulang cepat juga," gumamnya.Dengan langkah riang, ia membuka pintu. Tapi begitu pintu terbuka, dunia serasa berhenti.Yang berdiri di depan sana bukan Kairo yang tatapannya dingin bak kulkas dua pintu, melainkan Arga... dengan senyum ramah plus tawa ngakak melihat Yuki dalam penampilan absurd itu.Yuki sontak membeku."..."Lalu, refleks:"AAAAAAAAA!!!"Yuki lari terbirit-birit ke kamarnya, masih pakai bandana hijau ngejreng itu."Kak Arga duduk aja di sofa yaaa!!!" teriaknya dari lantai dua, suaranya pecah kayak toa masjid yang kebasahan.Beberapa detik kemud
Jemari Yuki terus menggeser layar ponselnya, seperti sedang mencari harta karun yang tak kunjung ditemukan. Fokusnya hanya satu: akun Arga. Sudah sepuluh kali mengetik nama yang sama di kolom pencarian, tapi hasilnya nihil."Dia ansos kali, ya?" gumam Yuki sambil memiringkan kepala, seolah layar ponselnya akan memberi jawaban kalau dilihat dari sudut berbeda.Tumpukan buku pelajaran di depannya? Sudah jadi pajangan. Pikirannya sibuk merangkai skenario bagaimana caranya menemukan jejak digital Arga.Lalu—ting!—satu ide cemerlang melintas."Ah! Cari dari akun Kairo aja!"Begitu melihat profil kakaknya, Yuki baru sadar... ia bahkan belum mem-follow Kairo sama sekali. Lebih parah lagi, akun Kairo dikunci, jadi ia tak bisa mengintip daftar followers atau following.Tak butuh waktu lama, Yuki langsung kirim permintaan pertemanan. Dan, dengan suara lantang khasnya, ia berteriak dari lantai satu,"Kak!!! Terima followan aku!!!"Di lantai dua, Kairo yang sedang tenggelam dalam laporan praktiku
Malam itu, setelah makan malam bersama sang mama dan Kairo, bukannya langsung masuk kamar seperti biasanya, Yuki malah berjalan pelan-pelan menyusuri lorong lantai dua. Bukannya ke kamarnya sendiri, ia justru melipir ke tempat yang sering jadi zona terlarang: kamar Kairo.Seperti biasa, pintunya tidak dikunci. Kairo memang tidak pernah belajar dari kesalahan—terutama kesalahan punya adik perempuan bernama Yuki.Kamar itu gelap, tenang, dan dominan warna hitam. Dari tempat tidur, lemari, sampai lampu meja. Semua matching dan teratur. Sangat kontras dengan kamar Yuki yang lebih mirip kapal pecah pasca badai.Tanpa ragu, Yuki menjatuhkan diri ke atas ranjang Kairo."WOI DEK!!!" suara Kairo terdengar seperti alarm darurat. Ia baru saja keluar dari kamar mandi, rambut masih basah dan memakai kaus lusuh."Kenapa sih kamu di sini?! Jangan seenaknya tidur di ranjang aku! Nanti ketularan virus tingkah aneh kamu."Yuki berguling manja, memasang senyum licik. "Aku cuma mau tanya sesuatu kok."Ka
Dari luar, rumah dua lantai bergaya modern minimalis itu tampak seperti hunian keluarga dambaan Pinterest, bersih, estetik, dan adem. Tapi begitu pintu dibuka, suasananya lebih mirip drama survival.Di ruang tengah, seorang gadis remaja dengan bantal lepek di kepala melotot kesal ke arah tangga. Yuki, calon mahasiswa yang masih jungkir balik belajar soal SNBT, benar-benar terganggu."KAK! Sumpah, ini udah naik turun tangga ke berapa kali?!" teriaknya, memicing ke arah Kairo yang lagi-lagi turun tangga dengan langkah panik, seperti sedang ikut lomba lari estafet."Ssst! Pelan dikit, itu si Oyen muntah lagi! Kayaknya dia nggak cocok naik motor deh, atau... ya ampun, jangan-jangan dia stres denger aku nyanyi di perjalanan?" Kairo bergumam, setengah berbicara ke diri sendiri.Kairo, mahasiswa semester dua jurusan pendidikan dokter hewan, baru banget ngerasain kerasnya hidup dunia praktikum. Dan hari ini, dia dititipi seekor kucing jingga untuk dibawa ke kampus besok.Masalahnya, si kucing