Alia berjalan perlahan, gamis berwarna hijau army ia angkat sedikit saat menuruni anak tangga. Gamis hadiah dari Rizal tiga tahun yang lalu kini bisa ia kenalan lagi. Berat badan Alia turun drastis. Tak main-main tujuh kilo turun dalam waktu tiga bulan. Semua itu tak luput dari pola makan sehat dan rajin berolahraga. Wanita berumur tiga puluh satu tahun itu nampak lebih muda dengan tubuh idealnya. Terkadang rasa benci dan kecewa membuat orang memperhatikan penampilannya. Seperti yang Alia rasakan. Setelah mengetahui perselingkuhan Alvan, wanita berbulu mata lentik itu kian menjaga penampilan dan berat badan. Semua ia lakukan agar Alvan merasa menyesal telah meninggalkannya demi Mega. "Mau kemana Al?" tanya Rizal saat berpapasan dengannya di teras depan. Lelaki dengan wajah penuh kharisma itu tak berkedip saat melihat penampilan Alia. Dalam hati ia memuji kecantikan sang adik. "Mau ke lapas?" jawab Alia dengan santainya. "What? Dengan dandanan secantik ini? Jangan bilang kamu ma
Pov Alvan"Pak Alvan, ada kunjungan!" ucap seorang sipir berkulit sawo matang itu. "Siapa, Pak?" tanyaku penasaran. Semenjak mendekam di penjara, belum ada keluarga yang menjengukku. Ibu, bapak, Sasya dan Mega seolah menghilang dari muka bumi. Apa mereka tak kasihan padaku? Apa mereka tak merindukan kehadiranku? "Seorang perempuan dan seorang lelaki. Saya tidak tahu namanya. Silahkan Pak Alvan temui sendiri." Sopir itu berjalan menemaniku menuju ruang kunjungan. Berbagai tanda tanya memenuhi pikiranku. Siapa dua orang yang mengunjungiku?Masuk ke ruang kunjungan dengan perasaan tak menentu. Mataku membola sempurna saat melihat siapa yang mengunjungiku di lapas ini,Alia dan Rizal. Mataku tak lepas dari memandang wanita yang kini bergelar sebagai mantan istri. Alia menggunakan gamis berwarna hijau army yang diberikan Rizal sebagai hadiah ulang tahunnya. Baju yang dulu tak muat kini bisa dipakai kembali. Wanita itu justru semakin cantik setelah berpisah denganku. Alia semakin meme
Pov SasyaOweek... Oweekk.... Tangis Aira terdengar nyaring di telinga. Sudah dua hari tangis itu merusak ketenangan hidupku. Bayi itu menangis tak tahu waktu, pagi, siang, malam selalu menyanyi dengan lagu yang sama. Lama-lama aku bisa gila jika trus tinggal bersamanya. "Ibu!" teriakku lantang. "Apa to Sya? Kamu gak lihat ibu sedang berusaha menenangkan Aira.""Pusing aku, Bu! Bisa gila jika mendengar tangis Aira terus!" Ku tutup kuping rapat-rapat. "Buatkan susu, Sya!" perintah ibu sambil berusaha menenangkan tangis Aira. Berjalan gontai menuju dapur. Mataku membola melihat susu dalam adah yang tinggal dua sendok takar. Mau tak mau ku buatkan dengan sisa susu yang ada. Keterlaluan Mega, dasar ibu gila! Tega-teganya ia meninggalkan anaknya di sini. Tanpa memberi uang untuk membiayai kebutuhan tuyul kecil itu pula. Menyesal aku menyetujui Mas Alvan menikah dengannya. Dasar wanita matre! "Sasya cepat!" Segera ku berikan botol berisi susu pada ibu. Ibu dengan telaten menggengong
Pov Alia"Iya memang kamu tak akan pernah mengulanginya lagi karena kalian sudah hidup masing-masing. Dan satu hal yang perlu kamu tahu. Setelah masa iddah Alia selesai, kami akan segera menikah."DEGUcapan Bang Rizal membuatku terpaku. Apa aku tak salah dengar? Ini bukan mimpi kan? Astaga, drama macam apa lagi ini? Belum sempat aku menjawab tangan Bang Rizal menarikku keluar ruangan kunjungan. Aku hanya bisa mengekor tanpa protes. Rasanya seperti terhipnotis. Menurut tanpa sebuah perlawanan. Sepanjang jalan menuju mobil. Kami hanya saling diam. Aku sendiri tak tahu harus berkata apa. Ucapan Bang Rizal membuatku membisu. Entahlah, aku sendiri tak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini. Kendaraan roda empat milik Bang Rizal melaju meninggalkan lapas. Entah kemana tujuannya setelah ini, aku sendiri tak tahu. Mobil terus berjalan lurus, aku tahu akan kemana karena ini bukan arah rumah atau kantor. Aku lebih memilih pura-pura tidur karena bingung harus bicara apa. "Ini bocah
"Wanita itu adalah kamu, Alia. Maaf jika perasaan abang membuatmu tidak nyaman. Selama bertahun-tahun abang tersiksa dengan perasaan ini. Abang mencintai adik sendiri. Rasa yang berusaha abang tepis tapi justru semakin membelenggu. Kamu tahu, saat mama bilang aku bukan anak kandung mama. Sebagai hatiku sangat bahagia. Itu artinya abang tak salah mencintai kamu karena kita bukan sedarah. Ada rasa lega yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Alia mungkin ini bukan saat yang tepat. Abang hanya ingin kamu tahu, jika abang mencintaimu tulus."DEGJantungku seakan lepas dari sarangnya. Aku memang sudah mengira jika wanita itu adalah aku. Namun ketika kata itu keluar dari mulut Bang Rizal aku masih saja terkejut. Bingung, aku tak mampu menjawab apa pun. Karena sampai saat ini aku masih menganggap lelaki di hadapanku seorang kakak. Dan tak lebih dari itu. Ya Tuhan, apa yang harus ku katakan?"Tak usah kamu jawab, aku tahu ini sangat konyol dan membingungkan. Aku sendiri juga tak menge
Kami berhenti di pinggir jalan. Sebelah kiri ada sebuah gerobak dengan beberapa pembeli yang tengah mengantri. "Bubur Ayam Kang Jaka" itu tulisan yang menempel di gerobak berwarna kuning. Ku teluk jidat pelan, bisa-bisanya Bang Rizal membawaku makan di sini! Bukan, bukan karena makanan yang ada di pinggir jalan. Tapi karena aku tak menyukai semua jenis bubur. Termasuk bubur ayam. "Abang yakin kita makan di sini?" tanganku saat Bang Rizal melepas safety belt. "Karena di pinggir jalan?" Ku gelengkan kepala. Bukankah dia tahu jika aku tak masalah makan dimana pun? "Alia tidak suka bubur ayam, Bang! Abang lupa atau pura-pura lupa?" Ku manyunkan bibir, merajuk. Bang Rizal tersenyum lalu mengacak rambutku yang sudah tertutup hijab. Kebiasaan memang! Menghancurkan tatanan hijab yang ku kenakan. "Ayo, turun! Sekali-kali mencoba, jangan bilang tak suka jika belum pernah mencicipinya. Seperti hubungan jangan bilang tidak bisa jika kamu belum pernah mencobanya." Aku mencebik. Aku yakin d
Tok... Tok.... "Masuk!" Seorang lelaki muncul dari balik pintu. Dia berjalan mendekat dengan wajah masam. "Ada apa, Baim?" tanyaku. "Sebenarnya apa hubungan kamu dengan Rizal? Kenapa kalian lengket sekali? Seperti bukan hubungan kakak dan adik?"Aku terdiam. Ku perhatikan setiap gerak-gerik lelaki di hadapanku ini. Rasa cemburu menghilangkan logika. Lebih tepatnya menjadi waspada. Ini yang tengah di rasakan Baim, hingga dia berpikir jika aku menjalin hubungan intens dengan Bang Rizal. Apa jangan-jangan semua orang juga berpikir seperti itu? Karena kebanyakan orang menilai dari luar. Tingkah Bang Rizal tadi memang keterlaluan, di depan umum memperlakukan aku bak kekasihnya. Pantas saja jika Baim berpikir ke sana. "Apa kamu lupa bagaimana Bang Rizal bersikap saat bersamaku?" Baim masih diam, tangan kanannya menarik kursi dan segera menjatuhkan bobotnya. "Apa itu tidak berlebihan Al? Di muka umum dia seperti itu. Sudah seperti dengan kekasihnya saja." Ku letakkan bolpoin dan fok
"Tumben pakai mobil kamu, tidak pakai mobil Rizal?" tanya mama saat melihat mobilku yang ada di halaman rumah, sedang mobil Bang Rizal masih ada di dalam garasi. Semenjak Bang Rizal berada di Surabaya aku memang selalu memakai kendaraan roda empat miliknya. Benar kata Bang Rizal tempo hari, mobil itu sebagai pengobat rindu. Namun sepertinya aku tak perlu memakai mobil itu lagi. Aku harus segera melupakannya."Pengen ganti suasana." Mama hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Mama kembali masuk setelah aku berpamitan dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Kendaraan roda empat milikku meluncur meninggalkan halaman rumah. Aku menyetir dengan hati-hati. Ini adalah jam rawan kecelakaan karena banyak kendaraan berlalu lalang. Mobil berhenti saat lampu lalu lintas berwarna merah. Tak sengaja melihat seseorang yang ku kenal berdiri sambil membawa plastik bungkus mie instan menengadahkan di jendela mobil lalu berpindah ke mobil yang di belakangnya. Ku kucek mata ini, barang kali aku sal