"Mak, rumah Kak Laila bagus banget ya," ucap anak berusia empat tahun yang baru saja turun dari angkot.
Setelah membayar, Bu Hambar menjawab pertanyaan anaknya."Iya, kakakmu udah jadi orang kaya. Kamu bisa minta apa aja."Riuh gembira keempat anak Bu Hambar, menyambut ucapan sang ibu.Dipandangi rumah di hadapannya.Rumah siapa lagi, jika bukan rumah keluarga Pak Tono. Rumah bergaya modren dengan pagar besi mengelilingi serta perpaduan cat warna putih dan krem membuat rumah minimalis itu terlihat mewah. Apalagi sekeliling rumah banyak pepohonan dan rerumputan hijau, menambah kesan sejuk dan teduh.Ya, Bu Hambar baru kali ini menginjakkan kaki di rumah besannya. Saat acara pernikahan dan resepsi tidak bisa datang karena di kampung halaman sedang masa tanam padi. Sebagai buruh, tentu saja Bu Hambar tidak bisa meninggalkan sumber mata pencariannya.Sebagai perwakilan, maka Paman Laila yang mendampingi. Setelah mempunyai kesempatan untuk datang, tidak membuang waktu Bu Hambar datang ke kota, berbekal uang pinjaman dari seorang saudagar kaya di desanya. Apalagi mendengar kabar jika besannya orang berada, tentu saja wanita itu sangat antusias."Kamu pintar, La. Anak Emak," gumam Bu Hambar dengan senyum yang mengembang sempurna.Dengan semangat 45 Bu Hambar menghampiri pos satpam. Setelah memberi tahu maksud dan tujuan, dia dipersilahkan masuk karena kedatangannya sudah di tunggu-tunggu keluarga Pak Tono."Mak, Mak, ada tadah air hujan di sini, lihat ini, besar sekali," teriak heboh salah satu anak Bu Hambar, saat melihat guci besar yang terpajang di teras rumah.Si kecil yang penasaran berlari menghampiri kakaknya. Namun, tiba-tiba kaki kecilnya tergelincir dan menabrak guci besar yang terpajang apik.Prang!Guci antik nan mahal milik Bu Tari hancur berkeping-keping. Tidak ada bagian yang bisa diselamatkan. Seketika mata Bu Hambar melotot, membayangkan uang dalam kantong akan melayang. Tentu saja, dia tidak rela itu terjadi."Kamu itu gimana sih! Itu guci pasti mahal," bisik Bu Hambar sembari memandang nanar guci yang tidak berbentuk lagi. Sesekali dia mengusap keringat yang tiba-tiba mengucur deras.keempat anak Bu Hambar diam ketakutan.'Matilah, habis duitku! Ayo berpikir, cari alasan,' gumamnya dalam hati."Aduh, kenapa jadi begini? Hey, kamu apakan guci itu? Dasar anak nakal." Roni berteriak sembari berkacak pinggang.Anak-anak Bu Hambar saling merapatkan tubuh. Mereka sangat ketakutan melihat mata Roni yang melotot tajam. Belum sempat mencari alasan sudah tertangkap basah oleh suami dari anak sulung Bu Tari."Anaknya diajarin Bu, di rumah orang jangan banyak tingkah, ini barang mahal," hardik Roni tanpa ampun.Belum hilang rasa terkejut Bu Hambar, harus mendengar anak bungsunya dimaki, jiwa bar-barnya terpancing. Dengan emosi dia menggulung lengan baju, lalu berkacak pinggang."Enak aja ngata-ngatain anak saya. Anak saya nggak salah. Cuma guci aja, heboh. Tenang aja ini punya besan saya. Kamu cuma pekerja aja sombong sekali."Mulut Roni menganga, terkejut dirinya dianggap pekerja di rumah mertuanya sendiri."Apa pekerja?" Roni menunjuk dirinya sendiri."Iya, pekerja sombong. Awas kamu saya adukan besan sa-"Belum selesai Bu Hambar membela anaknya, terdengar derai langkah kaki mendekat."Allahuakbar, guci Ibuk pecah, Mas. Kok bisa?" Santi yang baru tiba di teras terkejut mendapati guci kesayangan ibunya sudah menjadi serpihan.Bu Tari menggeser tubuh Santi, lalu menutup mulut dengan kedua tangan. Hendra dan pak Tono pun tidak kalah terkejut. Guci langka pemberian Hendra seharga 50 juta hancur sudah."Siapa yang berani mecahkan ini?" tanya Santi dengan wajah merah padam.Bu Hambar mulai ketar ketir melihat Santi dan yang lainnya menatap, mencari siapa dalangnya. Dia meremas daster lusuh yang dipakai. Ada ketakutan, tetapi segera dia berpikir guna mengambil hati sang besan Agar uang yang hanya tinggal beberapa lembar di saku baju tidak keluar dari tempatnya. Dia mengubah ekspresi menjadi sedih dan berlutut seraya mengutip serpihan guci. Maksud hati ingin menarik simpati Bu Tari."Maafkan anak saya Bu Tari, dia nggak sengaja menyenggol guci ini. Anak ini nggak tau apa-apa, badannya gemetar karena untuk sampai di sini kami nggak makan agar hemat ongkos. Tolong jangan marahi anak saya, seperti pembantu Ibu ini." ucap Bu Hambar sambil menunjuk Roni. Sontak saja lelaki itu membeliakkan mata."Kamu-""Roni! Sudah, Nak," tegur Bu Tari.Bu Hambar terkejut mendengar besannya memanggil lelaki yang berada tidak jauh darinya dengan sebutan Nak, tetapi dia pikir kelembutan hati Bu Tari yang membuat orang lain dianggap seperti anak sendiri.Hatinya masih saja sibuk memikirkan langkah apa yang harus dilakukan agar terbebas dari situasi yang tidak menguntungkan.Bu Tari merasa iba melihat besannya yang terisak sembari memeluk ke empat anaknya. Ditambah anak kecil seusia cucunya terlihat ketakutan.Kemudian Bu Tari membantu besannya itu berdiri."Sudah Bu, nggak apa. Biar nanti Santi aja yang bersihkan."Sementara Santi sempat melayangkan protes, tetapi mendengar titah ibunya untuk yang kedua kali, Santi tidak bisa menolak lagi. Padahal tubuhnya sudah letih, sebab memasak lauk pauk sedari pagi untuk menyambut kedatangan Bu Hambar."Mari Bu, kita masuk istri saya udah menyiapkan makan siang," ujar Pak Tono seraya melangkah memasuki rumah."Tapi, itu gucinya gimana, Pak? Pasti itu mahal. Saya benar-benar minta maaf." Bu Hambar pura-pura menanyakan nasib guci. Padahal hatinya senang jika tidak perlu mengganti."Cuma guci, nanti bisa beli lagi." Pak Tono terkekeh sembari melihat istrinya meminta persetujuan atas ucapannya.Mendengar penuturan pak Tono otomatis senyum licik terbit dari bibir Bu Hambar, tetapi tidak ada yang menyadari itu."Iya, nggak usah sungkan, mari masuk." Bu Tari membimbing besannya itu memasuki rumah.Saat memasuki ruang tamu tatapan takjub sangat jelas terlihat di mata Bu Hambar. Ruang tamu yang tidak besar, tetapi dihiasi barang-barang mahal. Ditambah Perpaduan warna krem dan putih memberikan kesan elegan. Bu Hambar melepas tangan besannya, lalu duduk di sofa sembari mengusap pelan. Senyumnya mengembang sempurna. Disusul keempat anaknya juga menikmati kelembutan sofa.Ada yang duduk diam. Ada juga yang melompat-lompat."Ya Ampun, Bu Tari ini sofa lembut sekali." Bu Hambar berteriak heboh. Dia sangat antusias atau lebih terkesan norak dan tidak bisa menjaga etika.Semua orang memandang aneh kelakuan Bu Hambar."Bu, nanti saya bawa pulang boleh, ya."Sebelum mengiayakan permintaan besannya, Bu Tari menatap sang suami. Setelah Pak Tono mengangguk barulah wanita itu mengangguk, terpaksa. Sementara Hendra hanya bisa tepuk jidat melihat kelakuan mertuanya.'Kenapa bisa begini, ya Allah,' keluh Hendra dalam hatinya.Lelaki itu semakin merasa jika keluarga Laila berlebihan, tetapi lagi, lagi Hendra berpikir positif tentang istrinya itu."Urusan sofa bisa nanti, sekarang kita ke ruang tengah, yuk. Santi sudah menyiapkan cemilan untuk anak-anak," ujar Pak Tono agar besannya itu meninggalkan sofa yang sudah berantakan di mana-mana."Ah, iya kebetulan sekali kami belum makan. Ibu dan Bapak tau aja kami lapar." Bu Hambar berucap malu-malu dan tidak tahu malu."Buk, di mana Laila? Ini Emaknya kenapa nggak di sambut?" bisik Pak Tono karena dari tadi tidak melihat keberadaan Laila."Entah di mana, Pak. Tadi masih di ruang tengah, tapi sekarang nggak ada." Bu Tari ikut berbisik.Bu Hambar duduk dengan santainya di ruang tengah. Diikuti anak-anaknya. Begitu juga Bu Tari ikut duduk dan memberi kode pada Santi untuk segera mengeluarkan cemilan."Eh, Laila kamu ngapain?" Santi terkejut saat masuk ke dapur melihat iparnya melahap kue brownis yang tersusun rapi di piring."Ah, ma-mau coba dulu Mbak, ada racunnya nggak soalnya 'kan untuk keluargaku." Laila berbicara gugup. Namun berusaha terlihat biasa saja.Santi menaikkan sebelah alis, lalu menelisik wajah iparnya itu. Laila semakin salah tingkah, tangan menggaruk kepala yang tidak gatal."Jadi kamu nuduh aku ngeracuni keluargamu?""Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami