Share

Bab 7

"Mak, rumah Kak Laila bagus banget ya," ucap anak berusia empat tahun yang baru saja turun dari angkot.

Setelah membayar, Bu Hambar menjawab pertanyaan anaknya.

"Iya, kakakmu udah jadi orang kaya. Kamu bisa minta apa aja."

Riuh gembira keempat anak Bu Hambar, menyambut ucapan sang ibu.

Dipandangi rumah di hadapannya.

Rumah siapa lagi, jika bukan rumah keluarga Pak Tono. Rumah bergaya modren dengan pagar besi mengelilingi serta perpaduan cat warna putih dan krem membuat rumah minimalis itu terlihat mewah. Apalagi sekeliling rumah banyak pepohonan dan rerumputan hijau, menambah kesan sejuk dan teduh.

Ya, Bu Hambar baru kali ini menginjakkan kaki di rumah besannya. Saat acara pernikahan dan resepsi tidak bisa datang karena di kampung halaman sedang masa tanam padi. Sebagai buruh, tentu saja Bu Hambar tidak bisa meninggalkan sumber mata pencariannya.

Sebagai perwakilan, maka Paman Laila yang mendampingi. Setelah mempunyai kesempatan untuk datang, tidak membuang waktu Bu Hambar datang ke kota, berbekal uang pinjaman dari seorang saudagar kaya di desanya. Apalagi mendengar kabar jika besannya orang berada, tentu saja wanita itu sangat antusias.

"Kamu pintar, La. Anak Emak," gumam Bu Hambar dengan senyum yang mengembang sempurna.

Dengan semangat 45 Bu Hambar menghampiri pos satpam. Setelah memberi tahu maksud dan tujuan, dia dipersilahkan masuk karena kedatangannya sudah di tunggu-tunggu keluarga Pak Tono.

"Mak, Mak, ada tadah air hujan di sini, lihat ini, besar sekali," teriak heboh salah satu anak Bu Hambar, saat melihat guci besar yang terpajang di teras rumah.

Si kecil yang penasaran berlari menghampiri kakaknya. Namun, tiba-tiba kaki kecilnya tergelincir dan menabrak guci besar yang terpajang apik.

Prang!

Guci antik nan mahal milik Bu Tari hancur berkeping-keping. Tidak ada bagian yang bisa diselamatkan. Seketika mata Bu Hambar melotot, membayangkan uang dalam kantong akan melayang. Tentu saja, dia tidak rela itu terjadi.

"Kamu itu gimana sih! Itu guci pasti mahal," bisik Bu Hambar sembari memandang nanar guci yang tidak berbentuk lagi. Sesekali dia mengusap keringat yang tiba-tiba mengucur deras.

keempat anak Bu Hambar diam ketakutan.

'Matilah, habis duitku! Ayo berpikir, cari alasan,' gumamnya dalam hati.

"Aduh, kenapa jadi begini? Hey, kamu apakan guci itu? Dasar anak nakal." Roni berteriak sembari berkacak pinggang.

Anak-anak Bu Hambar saling merapatkan tubuh. Mereka sangat ketakutan melihat mata Roni yang melotot tajam. Belum sempat mencari alasan sudah tertangkap basah oleh suami dari anak sulung Bu Tari.

"Anaknya diajarin Bu, di rumah orang jangan banyak tingkah, ini barang mahal," hardik Roni tanpa ampun.

Belum hilang rasa terkejut Bu Hambar, harus mendengar anak bungsunya dimaki, jiwa bar-barnya terpancing. Dengan emosi dia menggulung lengan baju, lalu berkacak pinggang.

"Enak aja ngata-ngatain anak saya. Anak saya nggak salah. Cuma guci aja, heboh. Tenang aja ini punya besan saya. Kamu cuma pekerja aja sombong sekali."

Mulut Roni menganga, terkejut dirinya dianggap pekerja di rumah mertuanya sendiri.

"Apa pekerja?" Roni menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, pekerja sombong. Awas kamu saya adukan besan sa-"

Belum selesai Bu Hambar membela anaknya, terdengar derai langkah kaki mendekat.

"Allahuakbar, guci Ibuk pecah, Mas. Kok bisa?" Santi yang baru tiba di teras terkejut mendapati guci kesayangan ibunya sudah menjadi serpihan.

Bu Tari menggeser tubuh Santi, lalu menutup mulut dengan kedua tangan. Hendra dan pak Tono pun tidak kalah terkejut. Guci langka pemberian Hendra seharga 50 juta hancur sudah.

"Siapa yang berani mecahkan ini?" tanya Santi dengan wajah merah padam.

Bu Hambar mulai ketar ketir melihat Santi dan yang lainnya menatap, mencari siapa dalangnya. Dia meremas daster lusuh yang dipakai. Ada ketakutan, tetapi segera dia berpikir guna mengambil hati sang besan Agar uang yang hanya tinggal beberapa lembar di saku baju tidak keluar dari tempatnya. Dia mengubah ekspresi menjadi sedih dan berlutut seraya mengutip serpihan guci. Maksud hati ingin menarik simpati Bu Tari.

"Maafkan anak saya Bu Tari, dia nggak sengaja menyenggol guci ini. Anak ini nggak tau apa-apa, badannya gemetar karena untuk sampai di sini kami nggak makan agar hemat ongkos. Tolong jangan marahi anak saya, seperti pembantu Ibu ini." ucap Bu Hambar sambil menunjuk Roni. Sontak saja lelaki itu membeliakkan mata.

"Kamu-"

"Roni! Sudah, Nak," tegur Bu Tari.

Bu Hambar terkejut mendengar besannya memanggil lelaki yang berada tidak jauh darinya dengan sebutan Nak, tetapi dia pikir kelembutan hati Bu Tari yang membuat orang lain dianggap seperti anak sendiri.

Hatinya masih saja sibuk memikirkan langkah apa yang harus dilakukan agar terbebas dari situasi yang tidak menguntungkan.

Bu Tari merasa iba melihat besannya yang terisak sembari memeluk ke empat anaknya. Ditambah anak kecil seusia cucunya terlihat ketakutan.

Kemudian Bu Tari membantu besannya itu berdiri.

"Sudah Bu, nggak apa. Biar nanti Santi aja yang bersihkan."

Sementara Santi sempat melayangkan protes, tetapi mendengar titah ibunya untuk yang kedua kali, Santi tidak bisa menolak lagi. Padahal tubuhnya sudah letih, sebab memasak lauk pauk sedari pagi untuk menyambut kedatangan Bu Hambar.

"Mari Bu, kita masuk istri saya udah menyiapkan makan siang," ujar Pak Tono seraya melangkah memasuki rumah.

"Tapi, itu gucinya gimana, Pak? Pasti itu mahal. Saya benar-benar minta maaf." Bu Hambar pura-pura menanyakan nasib guci. Padahal hatinya senang jika tidak perlu mengganti.

"Cuma guci, nanti bisa beli lagi." Pak Tono terkekeh sembari melihat istrinya meminta persetujuan atas ucapannya.

Mendengar penuturan pak Tono otomatis senyum licik terbit dari bibir Bu Hambar, tetapi tidak ada yang menyadari itu.

"Iya, nggak usah sungkan, mari masuk." Bu Tari membimbing besannya itu memasuki rumah.

Saat memasuki ruang tamu tatapan takjub sangat jelas terlihat di mata Bu Hambar. Ruang tamu yang tidak besar, tetapi dihiasi barang-barang mahal. Ditambah Perpaduan warna krem dan putih memberikan kesan elegan. Bu Hambar melepas tangan besannya, lalu duduk di sofa sembari mengusap pelan. Senyumnya mengembang sempurna. Disusul keempat anaknya juga menikmati kelembutan sofa.

Ada yang duduk diam. Ada juga yang melompat-lompat.

"Ya Ampun, Bu Tari ini sofa lembut sekali." Bu Hambar berteriak heboh. Dia sangat antusias atau lebih terkesan norak dan tidak bisa menjaga etika.

Semua orang memandang aneh kelakuan Bu Hambar.

"Bu, nanti saya bawa pulang boleh, ya."

Sebelum mengiayakan permintaan besannya, Bu Tari menatap sang suami. Setelah Pak Tono mengangguk barulah wanita itu mengangguk, terpaksa. Sementara Hendra hanya bisa tepuk jidat melihat kelakuan mertuanya.

'Kenapa bisa begini, ya Allah,' keluh Hendra dalam hatinya.

Lelaki itu semakin merasa jika keluarga Laila berlebihan, tetapi lagi, lagi Hendra berpikir positif tentang istrinya itu.

"Urusan sofa bisa nanti, sekarang kita ke ruang tengah, yuk. Santi sudah menyiapkan cemilan untuk anak-anak," ujar Pak Tono agar besannya itu meninggalkan sofa yang sudah berantakan di mana-mana.

"Ah, iya kebetulan sekali kami belum makan. Ibu dan Bapak tau aja kami lapar." Bu Hambar berucap malu-malu dan tidak tahu malu.

"Buk, di mana Laila? Ini Emaknya kenapa nggak di sambut?" bisik Pak Tono karena dari tadi tidak melihat keberadaan Laila.

"Entah di mana, Pak. Tadi masih di ruang tengah, tapi sekarang nggak ada." Bu Tari ikut berbisik.

Bu Hambar duduk dengan santainya di ruang tengah. Diikuti anak-anaknya. Begitu juga Bu Tari ikut duduk dan memberi kode pada Santi untuk segera mengeluarkan cemilan.

"Eh, Laila kamu ngapain?" Santi terkejut saat masuk ke dapur melihat iparnya melahap kue brownis yang tersusun rapi di piring.

"Ah, ma-mau coba dulu Mbak, ada racunnya nggak soalnya 'kan untuk keluargaku." Laila berbicara gugup. Namun berusaha terlihat biasa saja.

Santi menaikkan sebelah alis, lalu menelisik wajah iparnya itu. Laila semakin salah tingkah, tangan menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Jadi kamu nuduh aku ngeracuni keluargamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status