Share

Bab 6

"Pak, besan kita mau datang. Bagusnya masakkan apa, ya?" Bu Tari sedari tadi memikirkan membuat masakan apa untuk besannya itu, sehingga wanita paruh bayah itu tidak bisa memejamkan mata. Padahal hari sudah larut malam.

Pak Tono yang sudah memejamkan mata, kini kembali membuka matanya mendengarkan ocehan sang istri yang tidak ada habisnya.

"Masak apa ya, Pak?" Pertanyaan kedua di lontarkan. Namun, Pak Tono tidak juga menanggapi. Wanita paruh bayah itu menoleh. "Lah wong di tanya kok malah diam aja, dikasih solusi loh, Pak. Jangan diam aja."

"Dari tadi itu terus yang di bahas. Udah kamu masak yang biasa aja. Kalau nggak tanya Laila, ibunya suka apa." Pak Tono memberikan saran.

"Terserah Ibuk aja, yang penting makanan enak. Itu yang diminta ibuku." Begitu kata Laila kala Bu Tari menanyakan apa makanan kesukaan besannya.

Tentu saja Bu Tari semakin bingung harus memasak apa. Laila seakan tidak perduli akan kedatangan sang ibu. Dia terkesan tidak bahagia. Padahal sudah cukup lama wanita itu tidak bertemu ibunya. Selama ini dia tinggal bersama pamannyam

"Masak rendang jengkol aja, Buk. Wes makanan paling enak itu." Kembali Pak Tono memberikan saran. Setelah berpikir berulang kali saran itu di terima Bu Tari.

Akhirnya sepasang suami istri itu terlelap memasuki alam mimpi.

Sementara itu Laila dan Hendra banyak berbincang guna mengakrabkan diri. Tadi, Laila meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi jangan salah semua itu dia lakukan semata untuk menarik simpati Hendra. Sebab, dia menginginkan sesuatu agar bisa terpenuhi.

saat ini Laila duduk bersandar di dada bidang milik suaminya. setelah melakukan ibadah yang cukup melelahkan, Laila merasa lelah.

"Mas, ada HP keliaran terbaru, bagus banget loh." Laila menyodorkan gambar sebuah ponsel keluaran terbaru.

Hendra melihatnya dengan alis berkerut.

"Kenapa? Kamu mau HP itu?"

Laila tersenyum malu-malu, lalu mengangguk.

"Besok kita beli, sekalian jemput Emak di terminal, ya," ujar Hendra sembari mengusap kepala istrinya penuh rasa sayang.

"Udah larut, kita tidur ya." Lagi-lagi Laila hanya mengangguk karena dalam benaknya sudah terbayang ponsel baru nan mahal. Ponsel idamannya selama ini, tetapi karena tidak memiliki uang dia tidak bisa membeli. Berhubung Hendra adalah suami penyayang, Laila memanfaatkan dengan baik.

Dan, hatinya bersorak gembira ponsel idaman akan di dapat.

Pagi-pagi sekali Bu Tari sudah menyiapakan bahan untuk masak guna menyambut sang besan. Tadi sebelum subuh Santi dipaksa ibunya untuk berbelanja. Kesibukan di rumah minimalis itu terasa sekali. Ada anak Santi yang sudah bangun, bocah 4 tahun itu belajar mengaji di temani ayahnya. Suara kerasnya menggema ke seluruh ruangan.

"San, cepat masaknya," ujar Bu Tari sembari terus mengaduk rendang.

Santi hanya bisa patuh, tidak banyak membantah.

"Laila mana, Nduk? Belum turun juga?" Bu Tari bertanya karena tidak melihat menantunya.

"Tidurlah Buk, apalagi yang bisa dia kerjakan. Udah dua hari di sini, asik di kamar aja. Nggak ada sungkan-sungkannya sama mertua." Santi menjawab tersungut-sungut.

Ya, Laila sebagai menantu tidak pernah turun ke dapur membantu. Tempatnya selama beberapa hari di rumah ini adalah kamar. Saat Santi meminta bantuan pun Laila tidak mau, alasannya hanya satu yaitu lelah. Bu Tari pun tidak mempermasalahkan, wanita paruh bayah itu sangat memanjakan menantunya.

"Nggak boleh begitu, San. Dia itu adik kamu wajar santai-santai. Apalagi setelah pesta kemarin pasti masih terasa lelah."

"Ah, Ibuk mah selalu bela dia," ujar Santi sambil terus memotong wortel. Sesekali pisau dan talenan saling beradu menimbulkan suara, mewakili hati Santi yang kesal.

"Bukan bela, tapi kasian. Udah sekarang cepat bereskan ini biar bisa santai juga. Kaki Ibuk mulai terasa kram." Terlalu lama berdiri membuat kaki tuanya sering terasa sakit.

Tidak mau berdebat, Santi mengiyakan ucapan sang ibu.

"Kalian mau ke mana, Ndra?" tanya Santi saat melihat sepasang pengantin baru terlihat rapi.

"Mau pergi beli HP untuk Laila. Kami pergi dulu ya, Mbak."

Laila tersenyum melihat tatapan tidak suka dari Santi. Kemudian mendekat.

"Maaf ya, aku nggak bisa bantu, Mbak. Maaf ya, Buk." Dia memperlihatkan wajah menyesal karena tidak dapat membantu. Namun semua itu hanya ke pura-puraan saja.

Alih-alih menjawab Santi meneruskan pekerjaannya sambil mengerucutkan bibir, sebal.

"Udah sana, beli apa yang kamu mau. Urusan rumah ada Ibuk sama Mbak-mu." Bu Tari mengibaskan tangan agar Laila tidak mendekat dan segera pergi. Sebab, takut penampilan Laila rusak dan bau bumbu.

Kemudian Laila pergi tanpa beban. Wajahnya berseri-seri sebentar lagi bisa memamerkan ponsel baru pada ibunya.

Ponsel telah di beli, Laila langsung menggunakannya tanpa ada rasa segan dan sungkan. Saat berkumpul melihat ponsel baru miliknya yang berharga belasan juta itu, semua orang di kejutkan oleh suara benda jatuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status