Share

Bab 6

Author: Humairah97
last update Last Updated: 2023-07-28 11:39:54

"Pak, besan kita mau datang. Bagusnya masakkan apa, ya?" Bu Tari sedari tadi memikirkan membuat masakan apa untuk besannya itu, sehingga wanita paruh bayah itu tidak bisa memejamkan mata. Padahal hari sudah larut malam.

Pak Tono yang sudah memejamkan mata, kini kembali membuka matanya mendengarkan ocehan sang istri yang tidak ada habisnya.

"Masak apa ya, Pak?" Pertanyaan kedua di lontarkan. Namun, Pak Tono tidak juga menanggapi. Wanita paruh bayah itu menoleh. "Lah wong di tanya kok malah diam aja, dikasih solusi loh, Pak. Jangan diam aja."

"Dari tadi itu terus yang di bahas. Udah kamu masak yang biasa aja. Kalau nggak tanya Laila, ibunya suka apa." Pak Tono memberikan saran.

"Terserah Ibuk aja, yang penting makanan enak. Itu yang diminta ibuku." Begitu kata Laila kala Bu Tari menanyakan apa makanan kesukaan besannya.

Tentu saja Bu Tari semakin bingung harus memasak apa. Laila seakan tidak perduli akan kedatangan sang ibu. Dia terkesan tidak bahagia. Padahal sudah cukup lama wanita itu tidak bertemu ibunya. Selama ini dia tinggal bersama pamannyam

"Masak rendang jengkol aja, Buk. Wes makanan paling enak itu." Kembali Pak Tono memberikan saran. Setelah berpikir berulang kali saran itu di terima Bu Tari.

Akhirnya sepasang suami istri itu terlelap memasuki alam mimpi.

Sementara itu Laila dan Hendra banyak berbincang guna mengakrabkan diri. Tadi, Laila meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi jangan salah semua itu dia lakukan semata untuk menarik simpati Hendra. Sebab, dia menginginkan sesuatu agar bisa terpenuhi.

saat ini Laila duduk bersandar di dada bidang milik suaminya. setelah melakukan ibadah yang cukup melelahkan, Laila merasa lelah.

"Mas, ada HP keliaran terbaru, bagus banget loh." Laila menyodorkan gambar sebuah ponsel keluaran terbaru.

Hendra melihatnya dengan alis berkerut.

"Kenapa? Kamu mau HP itu?"

Laila tersenyum malu-malu, lalu mengangguk.

"Besok kita beli, sekalian jemput Emak di terminal, ya," ujar Hendra sembari mengusap kepala istrinya penuh rasa sayang.

"Udah larut, kita tidur ya." Lagi-lagi Laila hanya mengangguk karena dalam benaknya sudah terbayang ponsel baru nan mahal. Ponsel idamannya selama ini, tetapi karena tidak memiliki uang dia tidak bisa membeli. Berhubung Hendra adalah suami penyayang, Laila memanfaatkan dengan baik.

Dan, hatinya bersorak gembira ponsel idaman akan di dapat.

Pagi-pagi sekali Bu Tari sudah menyiapakan bahan untuk masak guna menyambut sang besan. Tadi sebelum subuh Santi dipaksa ibunya untuk berbelanja. Kesibukan di rumah minimalis itu terasa sekali. Ada anak Santi yang sudah bangun, bocah 4 tahun itu belajar mengaji di temani ayahnya. Suara kerasnya menggema ke seluruh ruangan.

"San, cepat masaknya," ujar Bu Tari sembari terus mengaduk rendang.

Santi hanya bisa patuh, tidak banyak membantah.

"Laila mana, Nduk? Belum turun juga?" Bu Tari bertanya karena tidak melihat menantunya.

"Tidurlah Buk, apalagi yang bisa dia kerjakan. Udah dua hari di sini, asik di kamar aja. Nggak ada sungkan-sungkannya sama mertua." Santi menjawab tersungut-sungut.

Ya, Laila sebagai menantu tidak pernah turun ke dapur membantu. Tempatnya selama beberapa hari di rumah ini adalah kamar. Saat Santi meminta bantuan pun Laila tidak mau, alasannya hanya satu yaitu lelah. Bu Tari pun tidak mempermasalahkan, wanita paruh bayah itu sangat memanjakan menantunya.

"Nggak boleh begitu, San. Dia itu adik kamu wajar santai-santai. Apalagi setelah pesta kemarin pasti masih terasa lelah."

"Ah, Ibuk mah selalu bela dia," ujar Santi sambil terus memotong wortel. Sesekali pisau dan talenan saling beradu menimbulkan suara, mewakili hati Santi yang kesal.

"Bukan bela, tapi kasian. Udah sekarang cepat bereskan ini biar bisa santai juga. Kaki Ibuk mulai terasa kram." Terlalu lama berdiri membuat kaki tuanya sering terasa sakit.

Tidak mau berdebat, Santi mengiyakan ucapan sang ibu.

"Kalian mau ke mana, Ndra?" tanya Santi saat melihat sepasang pengantin baru terlihat rapi.

"Mau pergi beli HP untuk Laila. Kami pergi dulu ya, Mbak."

Laila tersenyum melihat tatapan tidak suka dari Santi. Kemudian mendekat.

"Maaf ya, aku nggak bisa bantu, Mbak. Maaf ya, Buk." Dia memperlihatkan wajah menyesal karena tidak dapat membantu. Namun semua itu hanya ke pura-puraan saja.

Alih-alih menjawab Santi meneruskan pekerjaannya sambil mengerucutkan bibir, sebal.

"Udah sana, beli apa yang kamu mau. Urusan rumah ada Ibuk sama Mbak-mu." Bu Tari mengibaskan tangan agar Laila tidak mendekat dan segera pergi. Sebab, takut penampilan Laila rusak dan bau bumbu.

Kemudian Laila pergi tanpa beban. Wajahnya berseri-seri sebentar lagi bisa memamerkan ponsel baru pada ibunya.

Ponsel telah di beli, Laila langsung menggunakannya tanpa ada rasa segan dan sungkan. Saat berkumpul melihat ponsel baru miliknya yang berharga belasan juta itu, semua orang di kejutkan oleh suara benda jatuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salah Pilih Istri   Bab 116

    "Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m

  • Salah Pilih Istri   Bab 115

    Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi

  • Salah Pilih Istri   114

    Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p

  • Salah Pilih Istri   Bab 113

    Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap

  • Salah Pilih Istri   Bab 112

    "Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."

  • Salah Pilih Istri   Bab 111

    "Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status