Share

Menikmati Kebodohan

Saat sedang santai di kantor, kubuka aplikasi F******k, singgah di fan page Komunitas Nuansa. Kuperhatikan satu-persatu statusnya, termasuk orang-orang yang berkomentar.

Dari situlah, aku berhasil menemukan akun Syarif. Aku merasa sangat gembira, karena berkesempatan mencari tahu mengenai dirinya lebih detil. Aku sangat antusias dan penasaran, kepo sekepo-keponya, ingin mengetahui profil Syarif sampai sedalam-dalamnya.

Kuperhatikan profil pria yang telah merebut hatiku itu dengan penuh antusias. Kubaca satu-persatu status yang dia tulis. Kuamati foto-foto yang dia pajang.

Banyak sekali fakta yang kutemukan dari halaman Facebooknya itu. Ternyata dia masih single dan tak kulihat anda-tanda dia sedang pacaran (duh, senangnya hatiku!). Dia hobi sepakbola, membaca, fotografi, dan desain grafis. Ketika SMA, dia aktif di ekskul teater. Jadi pasti dia pandai berakting.

Yang mengejutkanku, ternyata Syarif juga aktif di Gerakan Islam Lurus!

'Kok bisa? Kok selama ini aku tak tahu? Kok selama ini kami belum pernah ketemu?'

Hm.... mungkin dia hanya aktif di wilayah. Sedangkan aku di pusat. Mungkin kami belum pernah ketemu, atau tidak saling melihat. Atau aku yang kurang perhatian terhadap orang-orang di sekelilingku. Wallahualam!

Dari status-status di beranda Facebooknya, kusimpulkan bahwa Syarif sangat religius, punya prinsip hidup yang sangat kuat.

'Diriku terlalu keren untuk merokok. Stop merokok sebelum rokok menghabisi nyawamu!'

'Alhamdulillah, hafalan Quranku makin banyak. Buat bekal melamar istri.'

'Banyak temanku yang kalo syuting, suka ngajak cewek-cewek sexy berpakaian tak sopan. Menurutku itu bodoh!'

Hei, ternyata dia artis, pemain film? Wah, keren! Tapi soal wanita berpakaian sexy, aku juga tidak suka.

'Kenapa ya, sejak dulu aku sulit banget menyatakan cinta? Cuma bisa dipendam, bikin sakit hati. Ya nasib!'

Jadi Syarif termasuk tipe pria seperti itu? Berarti selama ini dia belum pernah pacaran? Jika benar, tentu sangat bagus, karena dirinya terhindar dari salah satu maksiat.

Tapi seandainya dia mencintaku, apa sifatnya ini nanti tidak jadi penghalang untuk mengungkapkan isi hatinya? Bagaimana jika dia tak berani bilang cinta padaku? Bagaimana jika dia tak berani melamarku? Duh... aku jadi galau gara-gara status yang satu ini. Padahal aku bahkan belum tahu apakah dia tertarik atau tidak padaku.

'Aku sering takut, gimana kalau hanya bisa memberi makan mie instan untuk istri dan anak-anakku kelak? Ya Allah, tolong berikan aku rezeki yang banyak!'

Ya Allah! Sebuah status yang membuatku terharu karena ikut prihatin. Namun di sisi lain timbul kekaguman, karena status ini menyiratkan prinsip hidup Syarif yang ingin menjadi seorang pria yang bertanggung jawab bagi keluarganya. Memikirkan itu, rasa kagumku padanya semakin besar.

Dari akun F******k Syarif pulalah, aku berhasil menemukan akun saudara-saudaranya. Kedua kakaknya perempuan, sedangkan adiknya laki-laki. Yang sulung bernama Syifa, lulusan S1 dari sebuah universitas swasta di Jakarta. Kakak keduanya bernama Nafisa, juga lulusan S1 dari sebuah perguruan tinggi swasta. Sedangkan adik bungsunya bernama Rizki, kelas dua SMP.

Hm, jarak antara Syarif dengan adik bungsunya ternyata jauh. Sekitar sepuluh tahun

Aku terkejut saat menemukan fakta mengenai kedua kakaknya yang telah meraih gelar sarjana.

'Kenapa Syarif justru hanya lulusan SMA?'

Dulu aku mengira karena orang tuanya tidak mampu. Namun jika melihat profil saudara-saudaranya itu, keherananku mulai timbul.

Berarti dia tidak melanjutkan study, bukan karena faktor ekonomi. Lantas apa? Karena Syarif memang tak ingin kuliah?

Rasanya mustahil. Sebab dalam pertemuan kami di panti asuhan dulu, kulihat pertanda bahwa dia ingin kuliah, "Saya BELUM kuliah, Mbak." Penggunaan istilah 'belum' biasanya mengandung arti bahwa suatu saat dia ingin kuliah. Tapi kenapa Syarif justru tidak kuliah, padahal kemungkinan keluarganya mampu membayar biayanya?

Aku merasakan ada hal yang aneh dan ganjil. Apakah itu gerangan? Aku belum punya ide apapun.

Tapi aku terus memikirkan Syarif. Hampir setiap detik, bayangannya memenuhi ruang hati dan pikiranku.

Aku juga heran, kenapa demikian besar rasa penasaranku padanya, sampai-sampai kuhabiskan waktu hanya untuk mencari data dirinya sebanyak mungkin di media sosial?

Ada apa dengan diriku, kok berperilaku aneh begini?

* * *

‘Ryana, sudah lewat dua hari, lho. Kamu sudah ada keputusan?’

Tiba-tiba pesan WA dari Mbak Sinta masuk lagi. Aku jadi gugup, menyadari sebuah kelalaian. Aku sudah berjanji shalat istilkharah, untuk menentukan apakah menerima lamaran Rangga atau tidak.

Namun hingga saat ini, janji tersebut belum juga kutunaikan. Lucunya, aku justru sudah minta petunjuk pada Allah saat muncul kegelisahan atas kehadiran Syarif. Seorang pria yang sebenarnya belum kukenal sama sekali. Jatuh cinta memang sering membuat seseorang bertindak aneh!

'Maaf banget, Mbak. Ada masalah pribadi yang menyebabkan saya harus menunda. Tolong sampaikan permintaan maaf saya pada Rangga. Bisakah proses ta'aruf ini kita pending dulu? Tapi bukan berarti saya menolak. Saya belum bersikap apapun.'

Kukirim pesan itu segera, berharap Mbak Sinta memahami masalah yang kuhadapi.

Hm... sepertinya aku pun harus bicara langsung pada Rangga. Meminta maaf padanya. Aku tak mau masalah ini membuat hubungan kami renggang. Kami adalah satu tim. Tugas kami dalam berdakwah jangan sampai terganggu oleh masalah pribadi seperti ini. Aku berharap, hubungan kami tetap akrab seperti semula.

Duhai! Tiba-tiba aku merasa seperti sedang berjudi! Kukorbankan sesuatu yang hampir pasti (Rangga) untuk sesuatu yang sama sekali belum pasti (Syarif).

Rangga adalah pria yang hampir memenuhi semua kriteriaku mengenai jodoh. Sementara Syarif justru sangat tidak sesuai kriteriaku. Bahkan sangat jauh di bawah kriteriaku.

Tapi kenapa aku justru sangat jatuh cinta pada Syarif, tergila-gila padanya, dan sangat ingin menikah dengannya? Padahal kami baru kenal, baru sekali bertemu?

Betapa bodohnya aku! Tapi entah kenapa, aku justru menikmati kebodohan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status