Mungkin karena keseriusanku memikirkan Syarif, atau karena sering berdoa, secara mengejutkan keajaiban itu datang. Suatu hari, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari dirinya!
‘Assallamualaikum, Mbak Ryana. Saya Syarif, panitia acara yatim piatu beberapa minggu lalu. Moga masih ingat, ya.’Alhamdulillah! Aku merasa sangat bahagia dan bersyukur ketika membaca pesan WA itu. Bukan hanya karena Syarif menghubungiku, tapi kedatangan pesannya membuatku yakin bahwa dia pun ternyata menyimpan nomor HPku. Berarti dia tidak melupakanku. Berarti dia pun merasa penting untuk terus menjalin silaturahmi denganku.Duhai, betapa bahagianya ketika aku memikirkan hal itu.'Walaikumsalam, tentu masih ingat. Apa ķabar, Mas Syarif?' Segera kubalas WA-nya dengan penuh sukacita.'Alhamdulillah, baik Mbak. Maaf kalau saya lancang. Di ķantor Mbak Ryana ada lowongan, gak? Untuk sepupu saya.''Sepupunya lulusan apa? Cari kerja di bidang apa?''Lulusan SMA. Kerja apa saja boleh.'Masya Allah! Mungkin inilah jawaban Allah untuk doaku. Sangat kebetulan, kantor kami memang sedang mencari office boy baru, untuk menggantikan mas Rahmad yang bulan depan akan resign. Maka Syarif pun segera kusuruh menghubungi sepupunya.‘Segera kirim lamaran, ya. Nanti keduluan orang lain jika telat dikit aja.’Kuberharap, esok hari Syarif datang ke kantorku bersama sepupunya. Lalu kami akan bertemu, melepas kangen, ngobrol dengan akrab dan romantis.Tapi kekecewaan harus mampir di hatiku, sebab ternyata sepupunya datang sendirian. Dia seorang perempuan, bernama Susi, lumayan cantik, usia sembilan belas tahun, gayanya agak centil dan banyak bicara."Kamu dan Syarif sepupuan dari mana?" ujarku ketika kami bertemu dan ada kesempatan ngobrol."Sepupu jauh, Bu. Saya kurang paham silsilahnya," sahut Susi."O, gitu. Tapi kalian akrab, ya?""Iya. Akrab banget. Rumah kami juga dekat."Aku manggut-manggut. "Gimana tadi hasil tesnya? Kamu diterima?""Belum tahu, Bu. Katanya mau dikabarin besok.""Aku doakan moga kamu diterima, ya.""Aamiin, terima kasih, Bu. Saya memang lagi butuh kerja, untuk bantu orang tua."Aku tersenyum. Dan aku benar-benar mendoakan agar Susi diterima bekerja di kantorku. Bukan karena aku memikirkan orang tuanya yang harus dibantu, tapi memikirkan diriku sendiri yang membayangkan bahwa Susi akan menjadi perantara yang tepat bagiku untuk mengenal Syarif lebih dekat.* * *Aku merasa sangat bersyukur ketika esok harinya mendapat kabar bahwa Susi diterima sebagai office girl baru di kantor kami. Betapa bahagianya hati ini!Pagi-pagi sekali, ketika aku tiba di ruangan kerja, orang pertama yang kucari adalah Susi. Kulihat dia sedang mengepel lantai di lobi."Selamat ya," sapaku sambil tersenyum cerah. "Kamu pasti senang karena bisa membantu orang tuamu.""Iya. Bu. Syukur banget. Makasih bantuannya.""Aku tidak membantu apa-apa, kok. Yang memutuskan kamu diterima kan manajer HRD. Aku cuma staf biasa, bukan bagian HRD pula.""Tapi karena ada Bu Ryana, aku gampang diterima. Sekarang susah cari kerja, kalo gak kenal orang dalam.""Hehehe... iya deh. Terima kasihnya kuterima. Sebagai imbalannya, aku boleh minta sesuatu?"Susi tertegun sebentar, lalu ia menjawab, "Wah, maaf, Bu. Saya baru mulai kerja, belum punya uang.""Oh My God!" aku terhenyak, merasa tak enak hati atas kesalahpahaman itu. "Eng.... maksudku bukan itu, Susi. Aku cuma minta tolong agar kamu tidak memanggilku Ibu. Panggil Mbak saja.""Oh itu, hehehe..." Susi cengengesan. "Boleh, Bu. Eh... Mbak.""Terima kasih, ya. Rasanya belum pantas aku dipanggil ibu. Masih single gini.""O, iya. Kirain Bu... eh Mbak Ryana udah nikah. Tapi calonnya udah ada kan, Mbak?"'Sudah. Sepupu kamu itu,' ujarku di dalam hati.* * *Dari Susi, aku akhirnya bisa mengenal Syarif lebih dekat. Aku beberapa kali memintanya bercerita tentang sepupunya itu, tapi tentu saja kuusahakan agar sikapku tak berlebihan. Nanti kalau Susi curiga, lalu dia melapor ke Syarif, dan cowok yang kutaksir itu menganggapku terlalu agresif dan terkesan murahan, kan gawat!Namun walau penuh kehati-hatian, aku bersyukur karena berhasil mengorek beberapa info penting dari Susi. Beruntung karena Susi orangnya sangat "bocor' kalau sedang bicara."Dia masih jomblo, Mbak.""Belum punya pacar?""Dia tak mau pacaran. Mau langsung nikah kalo ketemu yang cocok. Begitu katanya.""O, baguslah. Memang harus seperti itu. Berarti dia alim banget, ya?""Sekarang iya. Tapi waktu sekolah, dia nakal banget.""Masa? Nakal seperti apa?""Hobi tawuran, berantem, suka bolos. Bude sama Pakde pusing mikirin dia.""Tapi ketika kami ketemu, dia terlihat sopan dan baik banget.""Itu karena dua hal, Mbak.""Dua hal?""Iya. Hal pertama, Mas Riprip itu....""Siapa tuh Mas Riprip?""Mas Syarif. Susi biasa manggil dia begitu.""O, I see. Teruskan, deh."Susi mengangguk. "Hal pertama, dia emang sopan banget sama orang yang baru kenal. Kalo udah akrab, baru deh dia rame. Banyak ngomong. suka becanda..., heboh deh, pokoknya.""Masa?""Iya, suer!"Aku manggut-manggut."Hal kedua, dia udah tobat. Gak kayak dulu lagi.""O, gitu?""Iya. Mbak. Rajin shalat, gak pernah lagi ngelawan ortu, rajin ngaji, berhenti ngerokok.""Jadi dulu dia merokok juga?""Sejak SMP, Mbak.""Terus berhentinya kapan?""Lupa. Tiba-tiba udah berhenti aja.""Berarti, eng... kalau aku boleh mengambil kesimpulan nih.... Syarif dulu bukan orang baik, tapi sekarang jadi baik. Begitu ya?""Dulu bejat kayak preman, sekarang alim kayak remaja masjid, Mbak."Aku manggut-manggut. Timbul rasa kagum karena menemukan salah satu sisi positif dari pribadi Syarif. Dalam usia yang masih sangat muda, dia berhasil melepaskan diri dari akhlak dan kebiasaan-kebiasaan buruk, berubah jadi manusia yang jauh lebih baik.Hm... kok mirip pengalamanku, ya? Aku juga punya masa lalu yang lumayan buruk. Tapi nanti saja kuceritakan, ya."Sepengetahuan Susi, apa yang membuat Syarif berubah drastis?" aku jadi tergoda untuk bertanya lagi."Eng...," Susi berpikir sejenak, seperti berusaha mengingat sesuatu. "Kalo gak salah, setelah ditegur gurunya karena tawuran.""Oh....""Dulu Mas Riprip emang brutal orangnya, Mbak. Suka berantem.""Oh, ya?""Iya, mantan anak jalanan, sih.""Hah? Anak jalanan?""Iya, Mbak. Tamat SMA, dia bukannya kuliah, malah jadi pengamen dan pemulung. Hidup di jalanan setahun lebih.""Kok bisa? Kenapa dia tak mau kuliah?""Gak tau, Mbak. Dulu dia sering bilang pengen kuliah. Tapi gak tahu kenapa, tamat SMA dia bilang gak usah kuliah.""Apa karena tak ada biaya?""Ada, kok. Bude udah nabung sejak lama untuk biaya kuliah dia.""Berarti apa dong, alasannya?""Tauk!"Aku tertegun, merasa ada yang aneh dengan cerita Susi. Terlebih ketika kuingat kedua kakaknya yang lulusan perguruan tinggi. Syarif yang ingin kuliah, justru hanya tamat SMA dan memutuskan untuk jadi loper koran. Mengapa? Pasti bukan karena alasan ekonomi. Lantas apa?Tiba-tiba rasa penasaranku menjadi sangat besar. Aku juga terperanjat, tak menduga jika masa lalu Syarif penuh liku-liku seperti itu. Tapi entah kenapa, itu tidak mengurangi sedikit pun rasa cintaku padanya. Bahkan aku semakin tergila-gila padanya, kangen tiap hari padanya.Dan aku semakin sering menangis sendiri di kamar mandi, hanya karena kangen pada Syarif.Terkadang aku merasa aneh dengan perilaku yang tidak seperti biasanya itu. Tapi aku lebih sering berpikir bahwa mungkin ini pertanda jodoh. Mungkin karena aku dan Syarif adalah jodoh atau belahan jiwa.Mungkin kamu menganggap diriku bodoh. Tapi seperti yang pernah kukutakan sebelumnya, aku seperti menikmati kebodohan itu.POV: SYARIFSecara tak terduga, tiba-tiba hadir seorang gadis yang menarik perhatianku, membuatku jatuh cinta. Namanya Ryana.Pertemuan pertama kami terjadi di sebuah panti asuhan, saat komunitas yang aku ikuti - Komunitas Nuansa - mengadakan acara santunan di sana. Padahal saat itu yang kulihat baru punggungnya! Ia sedang jongkok di dalam mobil, mencari sesuatu di lantai.Saat kusapa dirinya, kepalanya mendongak, menoleh ke arahku, menatapku dengan ekspresi gugup serta malu, membuat hatiku berdesir dengan kuat. Namun sebagai juara pendam-memendam sejati, aku bisa menyembunyikan rasa tertarikku dengan sangat sempurna."Perkenalkan, saya Ryana."[‘Saya Syarif, Kamu cantik banget, deh. Nikah, yuk.’]"Nama saya Syarif, Mbak."Ia tersenyum. Hatiku mabuk kepayang, melayang-layang di udara.Perlu kujelaskan bahwa kejadian di panti asuhan itu adalah pertemuan pertama kami. Namun sebenarnya, aku sudah lama mengenal Ryana, karena kami sama-sama aktif di komunitas Gerakan Islam Lurus (GIL). Dia
Di suatu Sabtu malam, aku asyik bermain-main di depan laptop. Foto-foto Ryana hasil bidikanku pun kutatap dengan penuh cinta. Walau kupotret dari jarak jauh, namun hasilnya sangat jelas dan bagus. Maklumlah, pakai kamera DLSR dengan lensa tele yang cukup panjang.Kecantikan wajah Ryana makin terlihat jelas di foto-foto itu. Senyumnya alamiah, tidak dibuat-buat, dan sangat memikat. Dia mengenakan jilbab lebar yang modelnya sangat anggun, membuat dirinya terlihat lebih cantik dan menarik.'Duhai Ryana, sudah berapa banyak pria yang bertekuk lutut di hadapanmu? Sudah berapa banyak pria yang menyatakan cinta padamu? Pasti sangat banyak. Adakah satu di antara mereka yang beruntung memilikimu? Aku harap tak ada. Hanya akulah yang layak memilikimu. Kamu harus tahu itu!'"Cieee... malam Minggu kok gak ngapelin pacarnya, Mas?" tiba-tiba suara Susi membuat kaget. Sepupuku yang centil itu memang sedang bertandang ke rumah kami."Siapa yang mau diapelin? Lagian aku kan tak mau pacaran," sahutku s
‘Waalaikumsalam. Maaf Mas, baru reply. Tadi ada acara keluarga di rumah. Alhamdulillah kabar baik nih. Mas Syarif sendiri gimana?’Aku tertegun, menyesali buruk sangka terhadap Susi yang terlanjur mengotori hatiku. Menyesali buruk sangka terhadap Ryana, karena kukira dia tak menaruh perhatian sedikit pun terhadapku. Balasan pesannya seperti mengobati luka parah yang belum sembuh juga selama bertahun-tahun. kini jadi sembuh total, tanpa bekas sama sekali!Segera kumatikan MP3 Player. Kukunci rapat pintu kamar. Kuminum segelas air. Kubiarkan suasana hening menemani jari-jariku yang mengetik WA balasan untuk sang gadis pujaan hati.[‘Alhamdulillah, kabarku selalu baik jika kamu mencintaiku. Kabarku akan makin baik jika kamu mau menikah denganku.’]‘Alhamdulillah, kabar baik, Mbak. Thanks balasannya.’Ternyata isi hati tidak selamanya sama persis dengan yang terketik di layar ponsel. Aku sibuk mengutuki diri sendiri.'Sama-sama. Lagi
Sekitar 45 menit setelah masuk jalan tol, Mas Farid mengajak kami singgah di rest area 57. Dia mentraktir kami makan di sebuah restoran. Tentu saja kami semua sangat senang. Kami makan sambil ngobrol dan bercanda. Namun Rangga terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Dia diam saja."Ga, lu napa sih?" Doni menyikut lengan Rangga, menatap sahabatnya itu dengan heran. "Dari tadi diam aja.""Gak apa-apa, Bro," sahut Rangga kalem."Sariawan, ya?""Kagak!""Trus napa?""Diam lu! Pusing gue dengernya!"Aku meringis di dalam hati, merasa makin bersalah.Seusai makan, kami bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Aku merasa beruntung karena setelah shalat, sempat bertemu Rangga di teras sebuah toko. Segera kumanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya."Rangga, aku boleh bicara sebentar?""Tentang apa?""Aku minta maaf soal ta'aruf itu.""O, itu. Enggak apa-apa, kok.""K
Sesampai di Bandung, kami langsung menuju gedung tempat seminar berlangsung. Malam harinya, kami berencana bergabung dengan teman-teman ITB yang hendak mendirikan GIL di kampus mereka.Ada sekitar dua ratus peserta yang hadir memenuhi ruangan yang tidak terlalu besar di lokasi seminar tersebut. Di atas panggung, Mas Farid menyampaikan materi tentang sekularisme yang tidak dikenal dalam ajaran Islam. Namun sayangnya, banyak umat Islam yang menganut aliran tersebut.Saat menyimak uraian Mas Farid itulah, di jejeran bangku agak pojok kanan belakang, kulihat sesosok pria yang dalam beberapa minggu ini telah berhasil menyita sebagian besar ruang di hati dan pikiranku; Syarif!'Lho, kenapa dia ada di sini?' aku jadi heran dan penasaran sekaligus bahagia, karena bisa bertemu lagi dengannya. Aku ingin melepas kangen, ngobrol dengan akrab dan romantis. Duh, betapa indahnya!Aku sempat bingung, kenapa hasrat terhadap Syarif begitu menggebu-gebu? Kenapa aku
HARI PERTAMA: Aku mengirim WA untuk Syarif.'Gimana lamarannya? Sudah dikirim?'Sekitar sepuluh menit kemudian dia membalas, 'Belum. Lagi nyiapin contoh desain cover.''Okay, good luck ya.'HARI KEDUA: Kudatangi bagian HRD di kantorku."Ada kiriman lamaran gak, dari orang yang namanya Syarif?""Lamaran bidang apa?""Desainer cover.""Tak ada."HARI KETIGA: Tono dari bagian HRD menghubungiku."Lamarannya sudah masuk, tuh. Sudah kuserahkan ke Pak Irfan.""Okay, thanks ya, Ton.""Sama-sama."Segera kudatangi Pak Irfan untuk bertanya langsung padanya."Sudah baca lamaran dari Syarif, Pak?""Sudah. Secara teknis, hasil desain dia cukup bagus.""Alhamdulillah. Berarti diterima, dong?"Pak Irfan menggeleng, ada cibiran di bibirnya."Kenapa, Pak?""Kamu kan tahu, dalam membuat desain
HARI KESEMBILAN: Aku bengong sendirian di kantor, menatap layar laptop, memerhatikan satu-persatu status Facebook Syarif.Menurutku dia orang yang sangat unik. Saat menulis tentang dakwah, dia pakai gaya bahasa yang heroik, indah dan mengharukan.'Betapa bangganya saya, berada di tengah saudara-saudaraku seiman, para pejuang dakwah yang sangat saya cintai ini. Kita semua satu ukhuwah di dalam Islam. Saya mencintai kalian semua, karena kita satu tauhid!'Namun saat bicara tentang sepakbola, cara dia menulis sungguh bertolak belakang.'Hajar tuh, klub sepakbola k4mpungan! Norak semua!'Aku juga sempat menemukan beberapa status Syarif yang isinya mencela seseorang pakai kata-kata yang agak kasar.Kuperhatikan, Syarif sangat senang berdebat. Dia sering terlibat diskusi panas dengan banyak orang di Facebook. Ada satu nama yang kuperhatikan sering "bertengkar kata-kata" dengannya. Susanto, demikian nama orang itu. Sepertinya dia orang liberal, sangat benci kepada aktivis dakwah. Dia juga se
Secara tak terduga, Susi tersenyum, menatapku dengan jenaka. "Sudah Susi duga, Mbak," ujarnya masih dengan senyuman di bibirnya. "Berarti Susi pintar dong. Mbak? Bisa menebak hati orang.""Iya deh, pintar. Berarti kamu bisa menebak juga dong, isi hati Syarif?""Hm...," Susi diam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. "Menurut penerawangan Susi nih, Mas Riprip juga naksir Mbak Ryana, Iho."Aku tertegun. Syarif juga mencintaiku? Betapa bahagianya jika itu benar. Kurasakan sebuah desiran halus menjalar di rongga dadaku."Kamu tahu dari mana?" tetap kucoba bersikap tenang."Dari sikapnya. Tapi dia gak mau ngaku waktu Susi tanya.""HAH? Berarti kamu pernah ngomong soal itu sama dia?""Pernah, Mbak. Kelihatan banget kalo dia naksir Mbak Ryana. Tapi dia bilang sih, cuma kagum aja.""Berarti belum seratus persen pasti, dong?""Susah sih Mbak, menebak hati orang.""Jadi aku harus gimana? Kamu punya ide?""Coba Mbak Ryana ngomong langsung ke dia.""Menyatakan cinta padanya? Wah, aku tak akan mela