"Hahhh, syukurlah."
Lidya merasa campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Ardiansyah menolak untuk menikah dengannya. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran karena situasi ini semakin rumit. Hatinya berdebar-debar tak menentu."Tapi, perkataan kakek Hendra juga benar. Jika aku menikah dengan Ardi, setidaknya aku bisa berlindung di bawah nama besarnya." Lidya, kembali bimbang."Hm, aku berharap kakek bisa mencari jalan keluar. Hanya kakek Hendra yang bisa aku andalkan saat ini," gumam gadis itu.Lidya duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap kota dari kejauhan. Perasaannya bercampur aduk."Kenapa aku merasa lega dengan penolakan Ardiansyah? Bukankah ini justru membuktikan bahwa aku tidak siap untuk pernikahan ini?" tanyanya dengan ragu."Apakah aku salah telah membayangkan sesuatu yang tak mungkin terjadi?" tanya gadis itu dalam kebingungannya.Ternyata, gadis itu juga merasa sedikit kecewa atas penolakan yang diterimanya. Ia merasa tidak pantas mendapatkan kebahagiaan dalam hal apapun.Lidya masih berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi langit yang telah gelap sempurna. Pikirannya melayang ke masa lalu, teringat momen-momen manis bersama Ardiansyah sewaktu masih kecil dulu.Setiap kali mereka bertemu, Lidya selalu merasa kikuk dan takut untuk menunjukkan perasaannya."Mengapa aku tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku padanya?" gumam Lidya pada dirinya sendiri.Dia tahu betul bagaimana kondisi Ardiansyah yang jarang terbuka pada orang lain, terutama pada wanita. Status sosial dan kedekatannya dengan keluarganya menjadi penghalang besar dalam hati Lidya.Sebenarnya, Lidya menyukai Ardiansyah sejak lama tapi ia tidak ingin mengungkapkan perasaannya karena tahu bahwa Ardiansyah bukanlah orang yang mudah untuk diraih. Selain konglomerat, Ardiansyah juga anak dari majikan ayahnya yang kini telah sama-sama tiada karena kecelakaan maut."Apakah dia benar-benar tidak percaya padaku? Apakah dia sudah memutuskan sebelumnya?" pikir Lidya, hatinya remuk.Gadis itu merasa seperti diberi label penolakan tanpa ada kesempatan untuk membuktikan kejujurannya.Sementara itu - ditempat lain, Ardiansyah duduk sendiri di ruangannya. Pria itu merenungkan kembali keputusan yang dibuatnya, saat mendapatkan tawaran dari sang kakek.Keputusannya menolak pernikahan telah membuatnya merasa campur aduk. Kakeknya pasti merasa kecewa, tetapi dia tidak bisa memaksa dirinya untuk menikahi seseorang yang tidak dicintainya.Dalam keheningan, pikiran Ardiansyah melayang ke masa kecilnya bersama Kakek Hendro. Kebersamaan mereka yang penuh kasih dan pelajaran hidup yang berharga."Bagaimana aku bisa mengecewakan Kakek seperti ini?" pikir Ardiansyah, dengan perasaan bersalah yang menghantuinya."Atau, aku buat saja kesepakatan dengan gadis jelek itu?" gumam Ardiansyah, merasa telah menemukan jalan keluar.Pada kenyataannya, pikiran Lidya dan Ardiansyah bertabrakan dalam keraguan masing-masing. Mereka sama-sama terjebak dalam pertarungan batin, antara keinginan untuk memenuhi harapan orang lain dan keinginan untuk mengikuti hati mereka sendiri.Sementara itu, Ardiansyah masih duduk termenung di ruang kerjanya, merenungkan keputusannya yang membuatnya menolak pernikahan yang diatur oleh kakeknya. Dia merasa adanya sesuatu yang tidak terungkap, suatu perasaan yang selama ini ia sembunyikan."Mengapa aku selalu menjaga jarak? Apakah aku terlalu takut pada perasaanku sendiri?" Ardiansyah bertanya pada dirinya sendiri.Pria itu menyadari betapa sulitnya untuk membuka hatinya pada Lidya, takut akan konsekuensi dari hubungan yang melibatkan perbedaan status dan ekspektasi keluarga.Ardiansyah juga tidak bisa mengungkapkan perasaannya pada Lidya karena terlalu egois dan tidak menyukai latar belakang Lidya yang kerja dalam dunia keartisan."Ah, dunia artis itu bebas. Dia juga pasti begitu," tuduh Pria itu, menyapu rata."T-api, sejak dulu aku mengenalnya. Dan aku lihat ... dua bukanlah orang yang gampang terbujuk rayuan," gumam Pria itu yang mulai berpikir.Tapi cepat pria itu menggeleng. Menurutnya, gadis itu pasti sudah tidak virgin lagi atau gosip-gosip yang beredar bahwa Lidya ada main dengan produser ataupun sutradara itu benar. Hal itu yang membuatnya tidak bisa menerima tawaran kakeknya untuk menikah.Sekarang, pria itu membalikkan pesan dari Kakek Hendra di ponselnya. Di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk yang sulit untuk diungkapkan. Dia telah terlalu lama memendam ketidaksetujuannya terhadap dunia keartisan, termasuk Lidya."Lidya pasti tidak sepolos yang terlihat. Bagaimana mungkin seseorang di dunia keartisan bisa bersih dari segala kontroversi?" pikir Ardiansyah dalam kebimbangan."Hm, sebaiknya aku bertemu dengan gadis jelek itu lebih dulu untuk sebuah kesepakatan." Ardiansyah tersenyum tipis, setelah menemukan jalan keluar."Awas saja jika ia menolak! Tapi, aku pikir dia tidak akan bisa menolaknya jika dalam keadaan seperti ini."Gosip-gosip tentang hubungan Lidya dengan produser atau sutradara telah mempengaruhi pandangannya terhadap kepribadian Lidya, yang sebenarnya sudah dikenalinya sejak kecil.Tapi demi sang kakek, Ardiansyah ingin bertemu dengan Lidya terlebih dahulu untuk berbicara secara khusus. Ia ingin membicarakan sesuatu hal yang penting terkait tawaran sang kakek untuk mereka.Di balik keputusan tersebut, Ardiansyah tidak ingin kakeknya tahu jika pembicaraannya dengan Lidya bukanlah membicarakan masa depan mereka dengan terjadinya pernikahan. Tapi Ardiansyah akan meminta pada Lidya supaya berpura-pura menikah dengannya, tapi dengan catatan dan perjanjian pernikahan yang hanya mereka saja yang tahu.***Sementara itu, Lidya masih saja terdiam di depan jendela kamarnya. Pikirannya terus menggali kenangan tentang Ardiansyah. Dia merasa kecewa, sakit atas penolakan tersebut saat menyadari betapa Ardiansyah tidak sepenuhnya menerima dirinya."Sialan kau, Ardi. Bisa-bisanya kau menolakku tanpa pertimbangan, atau setidaknya bertemu denganku terlebih dahulu!" geram gadis tersebut dengan rahang mengeras.Tapi gadis itu juga tampak tersenyum tipis, di saat ingat semua yang pernah ia lakukan bersama Ardiansyah di masa kecil mereka."Hahhh ... a-ku, rindu masa-masa kecil yang tanpa beban dewasa seperti sekarang."Namun, apa yang gadis itu tahu tentang prasangka yang Ardiansyah miliki tentangnya?Kebersamaan keluarga Lidya dan Ardiansyah semakin terjalin erat dengan kehadiran anak kedua mereka yang bernama Ardila. Rafael sangat senang memiliki adik perempuan, dia selalu merasa senang bermain-main dan ikut serta merawat adiknya. Seiring berjalannya waktu, Ardila tumbuh menjadi anak yang cantik dan aktif.Sementara itu, Lidya semakin sibuk di rumah karena harus menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga dan juga merawat kedua anaknya. Namun, Ardiansyah selalu membantu Lidya dalam mengurus anak-anak dan juga memenuhi kebutuhan mereka. Mereka saling mengasihi dan merasa bahagia karena bisa bersama-sama selalu.Untuk pekerjaan, Lidya sudah lama tidak ikut campur dan menyerahkan sepenuhnya pada suaminya. Ia fokus di rumah sejak kehamilan anak keduanya, karena tidak ingin terjadi sesuatu pada saat ia hamil - trauma saat hamil pertama yang penuh drama.Saat ini, perusahaan Kusuma Group semakin maju, Ardiansyah semakin banyak waktu yang harus dihabiskan untuk bekerja. Namun, dia tetap
"Emh ... aku juga tidak tahu, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah, Ard. Apakah mungkin, kamu memiliki rahasia yang tidak kau beritahukan padaku?" ucap Lidya mencoba menerka-nerka."Rahasia? Ah, tidak ada. Aku tidak akan membuatmu cemas, Lidya. Aku berjanji padamu, bahwa aku tidak memiliki rahasia yang disembunyikan darimu. Mungkin seseorang hanya ingin mencoba memanipulasi kita, atau bahkan kamu telah dibuat bingung oleh segala sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini." Ardiansyah mencoba menenangkan istrinya dengan lembut, ia merasa memang tidak memiliki rahasia apapun yang disembunyikan."Hm, syukurlah."Lidya merasa lebih tenang dengan jawaban suaminya dan ia merasa aman bersama Ardiansyah."Terima kasih, sayang. Kamu selalu mengerti aku dan membuatku merasa tenang," sambung Lidya dengan mengelus pipi suaminya - lalu mencium bibir Ardiansyah singkat."Aku selalu akan berada di sampingmu, sayang. Apapun itu!" ucap Ardiansyah memeluk istri tercintanya.Kini mereka menikmati makan mala
"Terima kasih sudah menemaniku untuk makan siang hari ini, Sarah. Kamu benar-benar selalu memikirkan hal yang terbaik untukku." Lidya tersenyum dan merasa bersyukur, sambil melihat jam di sebelah kanannya."Sama-sama, Bu Lidya.""Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Oh, kita harus segera menyelesaikan pekerjaan, Sarah. Kita tidak bisa melakukannya sampai malam, karena aku tidak mau lembur hingga malam hari."Lidya membuka laptopnya dan mulai membuat strategi-strategi baru untuk pemasaran produknya, sementara Sarah duduk di sampingnya dan mulai mengambil catatan yang penting.Mereka bekerja bersama-sama sampai menyelesaikan tugas yang mereka berdua kerjakan, dan benar-benar selesai pada pukul 7 malam. Lidya dan Sarah merasa lelah tetapi berhasil merampungkan pekerjaan tersebut."Bu Lidya, pekerjaan sudah selesai. Saya akan menunggu Ibu sampai pulang atau saya pulang duluan?" tanya Sarah memastikan."Baiklah, terima kasih, Sarah. Lebih baik kamu menunggu aku pulang, ya? Aku tinggal sedikit l
Kini kehidupan Lidya lebih tenang setelah mendapatkan kabar tentang kematian Beno, meskipun ia juga prihatin atas nasib pria tersebut.Beno merupakan salah satu fans berat Lidya - semasa ia menjadi artis pada saat itu. Sementara Beno yang memaksakan kehendaknya dengan cara menyalahgunakan kekayaan dan kekuasaan orang tuanya untuk mendapatkan Lidya dengan berbagai cara. Meskipun Beno sudah mengetahui jika Lidya telah menikah dengan Ardiansyah sekalipun.Namun, Lidya tidak pernah merespons atau memberikan harapan palsu pada Beno. Lidya hanya menganggap Beno sebagai fans dan tidak pernah memberikan perlakuan khusus. Namun, meskipun begitu, Beno tetap bersikukuh dengan pendekatan yang salah tersebut - bahkan dengan cara menculik untuk memaksakan kehendaknya."Hahhhh ..."Lidya membuang nafas panjang setelah kejadian yang memprihatinkan, yang dialami Beno. Sebenarnya Lidya juga merasa terkejut dan sedih atas berita yang didengarnya itu. Ia merenungkan tentang pentingnya hidup dengan cara y
Gerri hanya bisa melihat bagaimana Beno yang semakin terjerumus dalam kehidupan penjara yang rusak dan kejam, karena merasa sudah berkuasa. Ia merasa sedih melihat seorang manusia kehilangan pengendalian dirinya dan menghancurkan hidupnya sendiri dengan mengkonsumsi barang-barang haram tersebut, padahal di dalam penjara adalah tempat untuk merenungkan segala kesalahan yang pernah dilakukan sebelum masuk ke sel tahanan ini."Hai, Beno. Apa yang kau pikirkan? Apa kau tidak merasa kasihan pada dirimu sendiri?" ujar Gerri tanpa ekspresi wajahnya, saat ada kesempatan untuk berbicara dengan Beno.Tapi tanggapan Beno justru tidak mengenakkan. Pria arogan itu tersenyum sinis, lalu menggertaknya. "Apa yang kau tahu? Kau bukan siapa-siapa di sini. Biarkan aku menjalani hidupku sendiri, pecundang!"Gerri menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Beno. "Tapi kau sendiri tahu kalau kehidupanmu semakin rusak dan sia-sia. Apa yang kau cari selain kesenangan sesaat?" tanyanya dengan maksud menyadarkan
Lidya dan Rafael menjelaskan jika mereka sedang membahas persiapan untuk hari pertama sekolah Rafael yang akan datang. Ardiansyah mendengarkan dengan seksama dan memberikan beberapa saran tambahan untuk putranya."Rafael, kau harus berani dan percaya diri di sekolah. Jangan takut untuk mengambil inisiatif dan berbicara dengan teman-temanmu," ucap Ardiansyah dengan senyum lembut.Rafael mengangguk patuh, menunjukkan bahwa ia akan mengingat semua saran yang diberikan oleh orang tuanya. Lidya dan Ardiansyah melanjutkan membicarakan hal-hal lain tentang keluarga mereka dan Ardiansyah memutuskan untuk membuka sebuah topik yang sudah lama ia pendam."Lid, selama ini aku merasa tidak enak hati karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Aku merasa seperti aku tidak bisa memberikan cukup waktu dan perhatian yang cukup untukmu dan Rafael," ucap Ardiansyah dengan wajah yang terlihat jelas jika sedang bersedih.Lidya tersentak dan menatap suaminya, "Apa maksudmu, Ard?""Aku merasa terhutang bud