Share

Suami yang Seharusnya

“Aku kasih ide untuk bercerai?” 

Mario terdiam sejenak. Menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Setelah itu barulah dengan yakin dia berujar, “Iya.”

“Ngga mungkin,” tampik Cassie tak kalah yakin. “Aku ngga mungkin pernah berpikiran begitu. Aku ngga mau jadi janda,” akunya sambil bergidik ngeri membayangkan statusnya berubah menjadi seekstrem itu di umur yang masih muda.

Mario mendengkus. 

“Memangnya cuma kamu yang bakal punya status begitu? Aku sendiri juga akan menyandang status duda, tapi mau ngga mau kita harus bercerai. Kita ngga bisa terus-menerus mempertahankan rumah tangga yang ngga ada landasan perasaan apa pun.”

“Ya tapi cerai bukan jawabannya.”

“Lalu apa?”

Pertanyaan Mario benar-benar mendesak Cassie. Sudah tertekan dengan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah, berumur empat tahun lebih tua, ditambah pula dengan kenyataan jika dirinya sempat memiliki ide untuk bercerai. Apa benar semudah itukah gagasan tersebut terlontar dari bibirnya? Saking tidak kuatnya dihantam oleh bertubi-tubi fakta mencengangkan, kepala Cassie rasanya ingin meledak.

“Beri tahu aku jalan lain apa yang mesti kita ambil selain bercerai?” desak Mario.

“Cukup. Kepalaku sakit,” rintih Cassie kembali menekuk kedua lutut ke atas dan menenggelamkan wajahnya di sana. 

Belum cukup sebenarnya bagi Mario, tapi dia memang tidak bisa memaksa Cassie di tengah keadaannya yang memprihatinkan seperti ini. Mario harus lebih bersabar. 

Pintu kamar terbuka. Sosok Andrea, Edwin, Lily, dan Samuel muncul dari balik pintu, kemudian berbondong-bondong masuk ke dalam kamar. Mario beranjak dari duduknya. Meraih kedua bahu Cassie dan mengajaknya berbaring.

“Aku minta jangan bahas apa pun soal tadi." Mario berbisik.

Cassie yang masih digerayangi oleh rasa pusing yang tak kunjung hilang, membiarkan begitu saja Mario menyentuh area tubuhnya. Setelah itu Mario berlanjut menyelimuti Cassie dengan selimut yang ada dan mengusap lembut dahi Cassie tatkala kedua orang tua beserta mertuanya mendekat.

“Bagaimana? Apa yang terjadi selama kami tinggal?” tanya Samuel pada Mario.

Mario melirik sekilas ke arah sang papa yang sudah ada di sampingnya. Disusul dengan kemunculan sang mama, Andrea juga Edwin—mertuanya. Mereka berempat berdiri di setiap sisi tempat tidur Cassie. Rasanya seperti kedatangan empat orang polisi yang siap menginterogasi dan Mario cukup gugup karenanya.

“Aku cuma ajak Cassie bicara sebentar dan minta dia untuk istirahat.”

Andrea yang merasa aneh dengan gerak-gerik Cassie pun akhirnya bertanya, “Cassie, kamu kenapa?”

Cassie terdian lemas. Matanya terpejam selagi menahan sakit di kepalanya. Sepertinya perbincangan dengan Mario tadi memang terlampau berat. Tidak seharusnya Cassie memutuskan ingin tahu semuanya sekarang dan tidak seharusnya juga Mario mengutarakan semuanya saat ini juga. 

“Apa boleh aku pulang sekarang?” cetus Cassie tiba-tiba. Saat itu juga bola mata Andrea langsung meluncur ke arah Edwin yang berdiri di sisi depan ranjang. “Aku lebih nyaman istirahat di kamarku sendiri dibanding di sini.”

“Umm, Cassie …,” Andrea kembali menatap Cassie, “dokter bilang kamu baru bisa pulang besok dan itu pun kamu juga ngga pulang ke rumah Mama dan Papa, tapi kamu pulang ke rumah kamu dan Mario.”

Ini dia. Satu kejutan lainnya kembali datang. Entah akan ada berapa lagi kejutan yang harus Cassie dengar di hari ini. 

Cassie bertukar pandang antara Andrea dan Mario. 

“Rumahku dan Mario?” 

Andrea tersenyum. “Iya. Kamu tinggal dengan Mario di sini—di Bandung. Mario dan orang tuanya kan memang tinggal di Bandung. Tempat kerja Mario juga di Bandung, jadi kamu ikut dengan Mario tinggal di Bandung,” jelas Andrea dengan intonasi pelan dan lembut. Berharap informasi yang dia sampaikan tidak terlalu membuat Cassie terkejut.

“Atau mungkin,” sontak semua pasang mata mengarah pada Mario sekalinya lelaki itu bicara. Tidak terkecuali Cassie. “Atau mungkin ada baiknya untuk sementara waktu ini Cassie tinggal di Jakarta dulu dengan Mama?”

Baru kali ini Cassie setuju dengan ucapan Mario.

“Aku setuju," cetus Cassie mengangguk kencang dan cepat.

“Mario, Cassie kan sekarang sudah menjadi tanggung jawab kamu. Sudah seharusnya kamu yang bantu Cassie selama dia dalam proses pemulihan," ujar Lily memberi saran seraya menyentuh lembut punggung Mario.

Jika sang mama telah bertitah, sulit bagi Mario untuk menolak. Apalagi di depan mertuanya. Begitu pun Cassie. Meskipun dia tidak ingat sedekat apa dirinya dengan sang mama mertua, tapi yang Cassie tahu, ucapan orang tua memanglah tidak bisa dibantah. Alhasil, keduanya hanya bungkam dan tidak bisa mengelak apa pun.

“Oke, Ma. Cassie tetap tinggal dengan Mario,” ujar Mario memutuskan hasil akhir.

Sungguh Cassie merasa tidak senang mendengar keputusan itu. 

“Begitu dong. Anggap saja ini sebagai cobaan pertama kalian berdua. Siapa tahu dengan begitu rumah tangga kalian bisa menjadi jauh lebih baik. Lebih saling memahami dan menguatkan satu sama lain,” tutur Lily mengulas senyuman tulus. Tangannya tak henti-hentinya mengelus lengan Mario.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan siang dulu?” Samuel tiba-tiba mencetuskan ide yang disetujui oleh yang lainnya.

Mario melirik sekilas ke arah Cassie, “Mario di sini aja, Pa. Jaga Cassie."

Saat mertua serta kedua orang tuanya pergi, pintu telah tertutup dan tersisa dirinya dan Mario lagi, Cassie langsung bangun dari posisinya. 

"Kenapa kamu ngga bilang kalau kita udah tinggal berdua?" tanya Cassie mengutarakan keterkejutannya yang tertunda.

Mario bersedekap seraya menarik napas. Lelah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya tidak penting untuk dijawab. 

"Tanpa aku kasih tahu, harusnya kamu udah tahu dengan sendirinya."

"Tapi kita kan ngga saling suka, terus buat apa tinggal satu rumah?" lanjut Cassie terus-menerus menagih rasa ingin tahunya. "Jangan bilang kalau kita juga tidur di kamar yang sama?"

"Kita memang ngga punya perasaan apa pun, tapi bukan berarti kita bisa seenaknya menunjukkan itu di depan orang tua kita, karena yang mereka tahu hubungan kita berjalan sesuai dengan yang mereka mau. Jadi, iya. Kita tinggal serumah, tapi kita tidur di kamar yang berbeda."

Mendengar jawaban Mario, Cassie mengembuskan napas melalui mulut. Satu tangannya pun memegangi dada. Leganya bukan main.

"Lalu bagaimana?" tanya Mario kemudian. 

Kedua alis Cassie terangkat menanggapi pertanyaan Mario. 

"Bagaimana apa?"

"Soal perceraian kita."

"Tapi kalau kita cerai bukannya orang tua kita juga bakal jadi sedih dan marah? Ngga ada bedanya sama dulu kalau kita menolak menikah dari awal."

"Seenggaknya kita udah mengikuti apa yang mereka mau," balas Mario. "Kita pun udah berusaha menjalani, tapi kenyataannya kita memang ngga cocok. Apa kamu ngga ingat kalau kita selalu bertengkar hebat cuma karena masalah kecil?"

Ingin mencoba mengingat-ingat, tapi Cassie rasa tidak perlu. Dia memang tidak ingat apa pun tentang masa 6 bulan pernikahannya. 

"Mau dipaksa bagaimanapun caranya, pernikahan kita ngga akan berhasil, Cassie. Dan kalau memang udah begitu akhirnya, aku yakin orang tua kita pun juga pasti mengerti bahwa rumah tangga kita ngga akan bisa dilanjutkan."

Apa benar semudah itu?

"Tapi it's okay kalau misalnya kamu masih perlu berpikir. Cuma aku tekankan sekali lagi. Kita menikah tanpa ada rasa apa pun. Kamu pun masih muda. Harusnya masih bisa bebas melakukan apa pun tanpa ada suami yang menghalangi. Dan memangnya kalau hidupmu diatur olehku, kamu udah siap?"

Membayangkan hidupnya diatur oleh lelaki ketus seperti Mario, membuat bahu Cassie bergidik. Itu terlihat menyeramkan. Rasanya pasti bagaikan terjebak di dalam mimpi buruk seumur hidup.

"Belum siap, 'kan?" tebak Mario seratus persen benar. "Dan kamu pun pasti punya kriteria pasanganmu sendiri, Cassie. Begitu pun aku," lanjutnya mencoba lebih meyakinkan Cassie.

Itu dia! Kriteria pasangan!

Eh.

Tunggu.

"Oh, God." Cassie berseru pelan seraya mematung. Matanya terbuka lebar saat teringat sesuatu yang entah kenapa sama sekali tidak muncul di dalam kepalanya sejak awal. 

"Ada apa?" tanya Mario agak takut usai melihat ekspresi Cassie.

"Jonathan."

Mario mengernyit. "Jonathan?" tanyanya dikarenakan nama itu terdengar asing di telinganya. Jauh sebelum kecelakaan pun, Cassie juga tidak pernah menyebut nama itu.

Bukannya menanggapi Mario dengan memberi jawaban yang jelas, Cassie justru kelabakan mencari-cari sesuatu di sekelilingnya. Kepalanya terjulur ke sana kemari diikuti dengan gerak mata yang berpindah dengan cepat.

"Kamu cari apa sih?"

"Handphone! Di mana handphone-ku?"

Mario ikut mencari. Dia ingat jika semua barang-barang Cassie ada di dalam koper. Mungkin ponselnya juga ada di sana. Selama ini Mario tidak terlalu peduli dengan ponsel sang istri.

"Oke. Akan aku ambil, tapi siapa Jonathan?"

Di tengah-tengah kepanikannya, akhirnya Cassie menetapkan arah matanya pada Mario.

"Jonathan," katanya. "Dia pacarku dan dia yang harusnya nikah sama aku. Bukan kamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status