Share

Secuil Fakta

"Memang dasar laki-laki mesum!" 

"Hei, stop sebut aku mesum!"

"Ya apa lagi kalau bukan mesum?!" balas Cassie tak mau kalah. Semakin menarik selimut menutup seluruh tubuh, hingga yang tampak di dirinya hanyalah kepalanya yang menyembul dari dalam selimut.

Mario menegapkan tubuhnya dengan bersungut-sungut. Selama ini belum ada satu orang pun perempuan yang dengan berani menendangnya dan lucunya, rekor itu sekarang terpecahkan oleh seorang perempuan bernama Cassie, istrinya sendiri.

"Kalaupun kita memang pernah … ng … pernah lakuin itu, memang ada baiknya aku lupain aja! Aku ngga akan mau ingat-ingat lagi!" 

"Oh, kamu memang ngga perlu repot-repot mengingat soal itu, karena sebenarnya kamu sendiri pun juga berusaha untuk ngga pernah ingat soal pernikahan ini!” sahut Mario kesal. Masih emosi akibat tendangan Cassie tadi.

Cassie merespons dengan dahi mengerut. "Maksudnya?"

"Kita ngga pernah melakukan apa pun." 

"Apa pun?" tanya Cassie memastikan ulang. "Tapi ... kita kan udah nikah," lanjutnya hati-hati.

"Kenapa? Sekarang kamu justru menyesal waktu tahu kita belum melakukan apa pun?"

Cassie berdengap usai tahu jalan pikirnya terbaca dengan mudah oleh Mario. 

"Haha ngaco," ujarnya setengah tertawa sembari berpaling rikuh. "Terus kalau kita belum lakuin apa-apa, kenapa tadi kamu bilang begitu?" 

Helaan napas Mario terdengar lelah.

"Mau hilang ingatan atau ngga, celotehanmu tetap ngga berubah," gumamnya. 

Mario mulai berjalan mengarah pada kulkas mini. Membuka pintunya, lalu mengambil sekaleng minuman soda. Jarinya yang panjang itu dengan mudah membuka tutup kaleng. Bunyi desis yang menggiurkan pun seketika hadir di tengah-tengah suasana kamar yang hening.

"Hei, jawab dulu kenapa tadi kamu justru bicara begitu?"

"Aku cuma bercanda, oke? Sekaligus mengetes apa kamu benar-benar ngga ingat apa pun tentang kita," cetus Mario berlanjut meneguk minumannya. Jakunnya tampak naik turun menuntun aliran minuman soda melewati tenggorokan. 

Mario mengecap sisa-sisa manis minuman soda yang menempel di bibirnya yang tipis.

Melihat itu, Cassie menelan ludahnya sendiri.

"Meskipun kita udah menikah, kita ngga pernah melakukan apa pun selama 6 bulan ini. Jangankan berhubungan intim, bersentuhan atau ciuman pun—"

"Ah, oke!" sergah Cassie menolak pernyataan itu dilanjutkan. "Cukup. Aku paham ..., tapi kenapa?"

"Karena kamu ngga menyukaiku."

Kaleng minuman soda yang sudah kosong, dengan mudah dibuat remuk oleh Mario. Melihat ekspresi bingung yang tergambar jelas di wajah Cassie, tampaknya Mario butuh menjelaskan lebih detail terkait apa yang baru saja ia katakan.

"Bukannya kamu mau tahu kenapa?" tanyanya sambil melempar kaleng minuman soda ke dalam tempat sampah. "Itu jawabannya. Karena kamu ngga menyukaiku. Lebih tepatnya, kita memang ngga pernah saling suka, sayang, cinta, apalah itu," jelasnya santai. Seperti tidak ada beban ketika mengatakannya.

Kali ini Cassie menyipitkan matanya sebagai bentuk respons atas apa yang diucapkan Mario.

"Aku ngga bakal kena bercandaan kamu lagi.”

"Aku serius, Cassie." Mario bersungguh-sungguh. "Ngga ada satu pun dari kita yang setuju dengan pernikahan ini. Kita menikah dalam keadaan terpaksa. Itu faktanya."

Cassie masih memandang skeptis. 

"Jadi maksud kamu, kita dijodohin?"

“Dijodohkan dalam waktu yang benar-benar singkat.”

"Tapi aku baru 18 tahun. Ngga mungkin langsung diminta nikah. Mama Papa juga ngga pernah sekali pun bahas tentang itu,” timpal Cassie bersikap defensif.

"Tapi kenyataannya umur kamu sekarang udah 22 tahun dan kita langsung menikah seminggu setelah kamu lulus kuliah." Mario menjelaskan apa adanya, toh dokter sempat berkata bahwa tidak masalah apabila Cassie tahu yang sebenarnya.

"A-aku udah setua itu? Ngga. Aku ngga percaya," tampiknya menggelengkan kepala. 

"Terserah kamu mau percaya atau ngga, tapi aku cerita yang sebenarnya," ungkap Mario. "Kamu butuh bukti? Silakan aja kamu keluar dan beri pertanyaan ke siapa pun yang ada di rumah sakit ini: tahun berapa sekarang? Kamu mungkin menganggap mereka aneh karena mereka semua akan kasih jawaban yang sama, 2022, tapi bagi mereka kamulah yang aneh."

"2022?!" pekik Cassie masih sulit untuk mempercayai apa yang dikatakan oleh Mario. "Tapi aku baru aja lulus sekolah dan baru mau orientasi di ALBIU."

“Astaga udah kubilang kalau kamu udah lulus kuliah, Cassie. Kamu ngga perlu ikut orientasi apa pun lagi,” gerutu Mario mulai geram, tapi sebisa mungkin dia menahan emosi, karena Cassie tidak ingat pun bukan telak merupakan keinginannya.

Sadar jika otaknya belum siap memperoleh serangan fakta-fakta yang bertolak belakang dengan apa yang dia tahu, kepala Cassie mendadak pusing. Kedua tangannya berpindah posisi memegang kepala yang tengah menunduk ke dalam pangkuan. Cassie mengerang ketika bagian dalam kepalanya mulai terasa seperti tertusuk-tusuk sesuatu yang tak kasatmata.

Melihat itu Mario mendesah.

"Oke. Kelihatannya cukup sampai di sini fakta yang mesti kamu tahu. Sebenarnya aku ngga akan paksa kamu untuk segera ingat semuanya. Aku tahu pasti butuh proses, jadi kamu sendiri pun jangan terlalu memaksakan diri.”

Cassie masih mengerang pelan. Sayangnya kesakitan yang tengah dirasakan oleh sang istri tidak terlalu membuat Mario khawatir. Dia hanya berdiri di samping tempat tidur sambil menyembunyikan kedua tangan di dalam saku celana. Hanya melihat, tanpa melakukan apa pun. Tidak berniat menggunakan tangannya itu untuk menenangkan Cassie, meski itu hanya berupa usapan atau belaian di kepala.

"Istirahatlah lagi."

Mario hendak berbalik kalau saja Cassie tidak tiba-tiba mengangkat wajahnya dan berkata, "Tunggu."

"Apa? Aku ngga mau disalahkan atas munculnya rasa sakit di kepala kamu.”

"Kenapa aku bisa ada di rumah sakit?” tanya Cassie agak ragu, sebab mungkin saja kepalanya akan terasa makin sakit apabila mendengar jawaban Mario. 

“Udah. Cukup. Otakmu itu nanti makin parah. Masih ada hari lain untuk cari tahu.”

“Tapi aku mau tahu semuanya sekarang. Kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Kenapa aku bisa luka-luka begini? Dan kenapa …,” Cassie memandang Mario, “kenapa aku ngga bisa ingat apa pun tentang kamu?"

Butuh beberapa detik untuk Mario menjawab, sampai akhirnya dia membuka mulut dan berujar, "Kamu kecelakaan. Tertabrak mobil sewaktu mau menyeberang jalan dan benturan di kepala kamu itu yang mengakibatkan sebagian ingatan kamu hilang. Apa kamu juga ngga ingat tentang kecelakaan itu?"

Diam-diam Mario mengamati reaksi Cassie yang sepertinya memang tidak ingat apa pun yang berkaitan dengan sang suami.

Cassie masih berupaya mengubrak-abrik isi kepalanya untuk menemukan ingatan tentang kecelakaan yang dimaksud. Sialnya, dia tidak menemukan apa pun.

“Kenapa …,” tanyanya di sela-sela kefokusannya untuk mengingat, “kenapa aku bisa ketabrak mobil?”

“Kenapa kamu bisa tertabrak mobil? Kamu serius tanya itu? Lalu kamu mau jawaban apa? Karena memang udah takdirnya begitu atau karena memang kamu ceroboh main menyeberang jalan seenaknya tanpa lihat sekitar?” 

Mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi tiba-tiba saja Cassie memutus kefokusannya dalam berpikir, kemudian beralih memantapkan tatapannya pada Mario. 

Menemukan sorot mata Cassie yang seperti itu, sontak membuat Mario mengatupkan rahang. Bagaimana cara Cassie menatapnya kini, langsung mengingatkannya dengan tatapan Cassie padanya terakhir kali—tepat sebelum dia mengalami kecelakaan. Tatapan yang penuh dengan rasa tidak percaya juga rasa kecewa yang teramat sangat. 

“Kamu kelihatannya memang benar-benar benci aku," ujar Cassie.

Batin Mario menghela napas.

“Jangan bertingkah seolah-olah cuma aku di sini yang ngga suka kamu, karena sebaliknya kamu pun juga begitu. Kita memang ngga bisa sama-sama. Kita ngga cocok. Ada banyak hal yang ngga sejalan di antara kita,” jelas Mario lebih pelan seraya dengan cekatan duduk kembali di atas tempat tidur. Menghadap Cassie. Meski sesekali menengok ke arah pintu untuk mengecek apakah kedua orang tua beserta mertuanya telah kembali dari ruangan dokter.

“Dengar. Kita sama sekali ngga punya perasaan apa pun. Kita sama-sama menolak pernikahan ini, karena di samping alasan perasaan, kita juga terbilang masih muda dan masih ingin dengan bebas melakukan apa pun. Masing-masing dari kita masih punya rencana yang harus kita jalani.”

Cassie merenung. Sulit untuk mengaku, tapi apa yang dikatakan Mario memang benar. 

“I-iya. Aku juga belum siap untuk nikah."

“Betul,” timpal Mario menguatkan. “Cuma sayangnya saat itu kita terlalu takut untuk menolak keinginan orang tua kita dan akhirnya justru menyesal sekarang.”

Bagian dalam kepala Cassie mulai berdenyut halus. Refleks tangannya menyentuh area pelipis.

“Tapi kita masih bisa menghentikan ini sebelum berjalan semakin jauh," ujar Mario.

“Ngga tau kenapa aku ngga yakin.”

“Oh jadi sekarang kamu justru lupa dengan ide yang pernah kamu cetuskan dulu?”

Cassie mengernyit di tengah tangannya yang masih memegangi kepala. “Aku?”

“Iya. Kamu ngga ingat?”

Kepala Cassie menggeleng pelan. “Ide apa?”

“Bercerai.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status