Share

02

Jezin duduk di taman dengan menaikkan satu kakinya diatas lututnya. Sangat angkuh. Mulutnya sibuk mengulum lolipop yang ada di tangannya. 

Matanya tak lepas dari pintu masuk kantor penyiar. Mengabsen semua orang yang keluar masuk dari sana. 

Sudah dua jam dia duduk di sana. Tapi belum ada tanda-tanda keberadaan sosok yang ia cari. 

"Apa Peri lemot itu memberiku alamat palsu?" Jezin mulai jengkel. 

Ia melangkahkan kaki panjangnya ke arah kantor penyiar itu. Ia memutuskan mencarinya langsung di dalam. 

"Awas saja kalau Remo berani mempermainkanku. Akan aku cium dia sampai kejang-kejang. Tidak akan ada hari esok baginya."

Jezin mengeluarkan senyum pembunuhnya. Masuk ke kantor penyiar itu dengan tatapan tajamnya. 

Seorang gadis dari meja informasi mengikuti Jezin dengan pandangannya. Ia seakan tersihir oleh wajah tampan bak lukisan itu. Jezin tak peduli dan melewatinya begitu saja. 

"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu." Gadis itu menghampiri Jezin. Ini pertama kalinya gadis itu melihat jezin. Sudah pasti Jezin bukan pegawai disini. 

"Ah yah. Saya mencari seseorang." Jezin ingin melanjutkan lagkahnya. Namun gadis itu kembali bertanya. 

"Saya akan memanggilkannya untuk Anda, Tuan. Siapa yang ingin Anda temui, Tuan?"

"Seorang gadis berambut panjang. Tingginya sedada saya. Wajahnya cantik dan berkulit putih."

Gadis itu mengedip-ngedipkan matanya bingung. Bagaimana dia akan menemukan gadis seperti yang disebutkan Jezin. Sudah pasti banyak gadis dengan ciri-ciri itu di sini. 

"Maaf, Tuan. Banyak gadis dengan ciri-ciri yang Tuan sebutkan. Tuan harus menyebutkan nama orang yang Tuan cari."

"Saya tidak tau namanya." Jawabnya santai. Jezin lalu berdehem pelan. 

"Haruskah aku memperlihatkan wajah gadis itu dari telapak tanganku. Apa dia tidak akan pingsan. Ah, kenapa dunia manusia begitu menyusahkan." Jezin membatin. 

Gadis itu tersenyum lega mendengar Jezin tidak tau nama gadis yang  ia cari. Itu menandakan dia sedang tidak mencari kekasihnya. 

"Tuhan, jika Engkau memberiku kekasih setampan ini, aku janji akan menjadi gadis paling baik di dunia ini." Gadis itu tak berkedip menikmati wajah tampan Jezin. 

Jezin menyadari gadis di sampingnya mulai terpikat olehnya. 

"Maaf, Nona. Tapi aku tidak tertarik dengan gadis baik."

Jezin mendekat dan berbisik ditelinga gadis itu. "Kau harus menjadi gadis nakal jika ingin mendekatiku." Jezin lalu menarik ujung bibirnya. Tersenyum licik. Gadis itu tersenyum malu menyadari jarak Jezin sangat dekat dengannya. 

Tidak jauh dari tempat Jezin berdiri. Sosok yang ia kenal muncul. Terlihat sangat menawan dengan dress selutut yang ia kenakan. 

"Hei lihat. Dia adalah gadis yang aku cari. Cepat panggilkan untukku." 

"Reni? Bagaimana Reni bisa bertemu dengan pria tampan ini?" Batin gadis itu mengerutkan kening. 

"Hei Ren, seseorang mencarimu." Gadis itu menghampiri Reni. 

"Aku? Siapa Sel?" Seli, nama gadis itu. 

"Seorang pria tampan. Bagaimana kau menggodanya hingga dia datang ke kantor mencarimu?" Goda Seli. 

"Aku memberinya minyak tokek." Reni menanggapi dengan wajah yang ia buat seserius mungkin. Lalu mereka terkekeh. 

"Tapi siapa pria itu. Aku belum pernah bertemu dengannya." Timpalnya kemudian. 

"Temui saja dulu."

Reni mengangguk lantas meninggalkan Seli. Ia berjalan ke arah Jezin yang sedari tadi memperhatikannya. 

"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" 

Jezin tersenyum lebar melihat wajah cantik Reni. Jezin menikmati drama yang ia mainkan. Melihat Reni sudah tidak mengingatnya. 

"Wah, Nona. Kau sangat manis saat di tempat kerja."

"Maaf, Tuan. Apa kita pernah bertemu sebelumnya? "

"Tentu saja. Tapi sepertinya kepalamu terbentur benda keras. Itulah kenapa kau sangat cepat melupakanku."

"Tapi kepala saya baik-baik saja, Tuan."

"Benarkah? Lalu, haruskah aku membuatmu mengingatku disini. Disaksikan banyak orang."

Jezin mencondongkan kepalanya mendekati Reni. Lengannya ia lipat di depan dada. Lalu mengeluarkan senyum nakalnya. 

Reni bergidik ngeri melihatnya. 

"Kita bicara di luar, Tuan."

Reni berjalan lebih dulu. Ia merutuki nasibnya. Bagaimana bisa dia bertemu dengan makhluk mesum seperti ini. 

Mereka memilih ke kafe yang tak jauh dari kantor Reni. Tidak terlalu ramai. Cukup nyaman untuk suasana sore. 

Jezin mendaratkan bokongnya tanpa menunggu dipersilahkan oleh Reni. Reni yang melihat itu mendengus tak suka. Tapi Jezin tak peduli.

"Silahkan, Tuan. Nyonya."

Seorang pelayan menyodorkan buku menu. Pandangannya tak lepas dari Jezin. Lagi-lagi Jezin memikat gadis yang melihatnya. 

"Cappucino dingin 1." Reni menyodorkan kembali buku menu itu. 

"Samakan saja." Jezin bahkan tanpa membuka buku menu yang disodorkan padanya. Pandangannya fokus ke arah Reni. 

"Apa yang harus saya ingat mengenai Anda, Tuan?"  Reni membuka suara setelah pelayan itu meninggalkan mereka. 

"Menurutmu, apa yang terjadi antara kita berdua?" Jezin tersenyum nakal. 

"Hahaha. Yang benar saja, Tuan. Apa yang bisa terjadi di antara kita. Aku bahkan tidak mengenal Anda."

"Berusahalah lebih keras lagi. Hubungan diantara kita sangat spesial. Aku akan sedih jika kau tidak mengingatku." 

"Bisakah Anda langsung saja mengatakannya, Tuan. Saya tidak punya waktu bermain-main dengan Anda." Reni mulai kesal. 

"Baiklah. Aku harap kau tidak terkejut mendengarnya."

Lagi-lagi Jezin tersenyum puas. Reni menunggu penjelasan Jezin. 

"Apa kau merasa wajahku terlalu tampan?" Jezin bertanya dengan gaya sombongnya. 

"Tidak juga. Biasa saja. Aku hanya merasa pernah melihat wajahmu disuatu tempat."

Jezin tersenyum kecut. Bagaimana bisa Reni tidak mempan dengan pesonanya. Ini pertama kalinya seorang gadis mengatakan dia tidak tampan. 

"Lalu kenapa kau pernah mengaku-ngaku menjadi kekasihku dihadapan teman-temanku"

Reni yang mendengar pengakuan Jezin terkejut. Buat apa dia mengakui orang lain sebagai kekasihnya saat dia sudah punya kekasih. Apalagi kekasih dari pria mesum yang duduk di hadapannya ini. Bahkan ini pertama kalinya ia bertemu dengannya. 

"Apa Anda gila, Tuan? Ini pertemuan pertama kita. Bagaimana mungkin saya mengaku menjadi kekasih Anda."

"Hahaha. Apa ada orang gila setampan ini?" Jezin terbahak dengan nada angkuhnya. 

"Kau harus memperbaiki kesalahanmu. Kau tidak bisa asal mengakui orang setampan diriku sebagai kekasihmu. Apa kau sangat ingin memiliki kekasih setampan diriku? Tapi tidak ada yang tertarik padamu? "

"Hahaha. Anda sangat percaya diri, Tuan. Kekasihku jauh lebih tampan dari Anda. Tenang saja, saya tidak tertarik sedikitpun dengan wajah Anda yang KATANYA tampan itu." Kesabaran Reni sudah habis.

Wajah Jezin berubah serius. Ia memandang tajam gadis yang sudah berani beradu mulut dengannya. Seketika ia menampilkan senyum tipisnya. Terlihat menakutkan. 

"Dia sudah punya kekasih? Bagus. Dia hanya perlu mencampakkan pria itu. Lalu aku akan datang dengan sentuhan bibir mautku." Batin Jezin dengan senyum liciknya. 

"Bagaimana pun juga, aku berada di pihak yang dirugikan. Kau memaksaku mengakui dirimu sebagai kekasihku di hadapan teman-temanku. Kau harus bertanggung jawab."

"Aku tidak akan bertanggung jawab dengan hal yang tidak aku lakukan. Ini hanya pernyataan sepihak dari Anda Tuan. Siapa yang bisa menjamin Anda berkata jujur."

"Salahkan kepala kecilmu itu karena tidak mengingatnya."

"Tidak ada alasan bagiku tidak mengingat hal yang aku lalui, Tuan. Aku tidak memiliki penyakit Alzheimer. Dan aku juga tidak pernah mengalami kecelakaan. Ini murni bualan Anda." Reni meraih tasnya ingin meninggalkan tempat itu. Emosinya memuncak berbicara dengan Jezin. 

"Apa yang akan kau lakukan untukku jika aku membawakan bukti padamu?"

Reni berbalik. Ia menatap Jezin tajam. Tak kalah tajam dari tatapan elang Jezin. 

"Aku akan berlutut meminta maaf pada Anda, Tuan. Mungkin saat itu aku kerasukan hantu perawan yang tergila-gila pada orang kurang waras seperti Anda."

"Hahaha. Tapi aku tidak butuh maafmu."

"Lalu apa yang anda inginkan?" 

"Akan aku pikirkan baik-baik." Jezin lalu berdiri menghampiri Reni berbisik di telinga Reni. "Bersiaplah. Aku harap kau mampu memenuhi janjimu. Jika tidak, ada harga yang harus kau bayar." 

Jezin lalu menepuk pundak Reni dua kali. Dan tertawa puas meninggalkan tempat itu . Ia bersiul penuh kemenangan tanpa mempedulikan Reni yang terbakar amarah. 

"Percaya diri sekali dia mengatakan kekasihnya lebih tampan dariku. Haruskah aku mengganti matanya dengan mata ikanikan? Sepertinya lebih baik. " Jezin mendengus kesal. Ia hanya menyembunyikan kekesalannya dihadapan Reni. Ia tidak ingin Reni merasa menang atas dirinya jika menampakkan wajah kesalnya. Dengan lihainya memasang wajah kemenangan. Namun nyatanya, dia jauh lebih kesal dari Reni. 

Ia berkali-kali merutuki Reni. Entah apa yang membuatnya begitu kesal. 

*****

Jezin tiba-tiba muncul di sudut kamar Remo. Ia melipat lenganya sembari mengikuti pergerakan Remo dengan pandangannya. 

Remo yang menyadari kehadirannya terjingkrat kaget. 

"Hei makhluk halus. Bisakah kau masuk lewat pintu. Lama-lama jantungku akan tergeletak di lantai karenamu."

"Kau yang mengajariku untuk tidak menggunakan kakiku."

"Tapi tidak untuk masuk ke rumahku. Kau harus mengetuk pintu seperti manusia."

"Tapi aku bukan manusia. Berlakukan itu untuk dirimu sendiri."

Remo melemparnya dengan buku yang ada ditangannya. Namun Jezin menangkapnya dan melemparnya ke rak berniat menggunakan kekuatannya untuk menyimpan buku itu rapi. Bukannya tersusun rapi. Ia malah membuat buku yang berjejer rapi berjatuhan ke lantai. 

"Jeziiiiinnnnnn." Teriak Remo murka. 

Jezin melangkah cepat keluar dari kamar Remo. Ia harus menghindari kemurkaan Remo. 

"Lakukan sesuatu untukku. " Setelah lama membuat kehebohan di rumah Remo, Jezin menyandarkan tubuhnya di sofa. 

"Apalagi yang kau inginkan? "

Jezin memperlihatkan hasil debat panjangnya dengan Reni. Telapak tangan bak Android bagi para peri. 

"Hei, kenapa kau membohonginya? " Remo mengerutkan keningnya tidak percaya. 

"Dia sangat angkuh. Dia berbeda dari gadis lain."

"Kau tidak boleh terlibat dengan urusan manusia. Kau hanya perlu melakukan tugasmu, Jezin." Remo menegaskan. 

"Aku hanya ingin sedikit menghukumnya. Dia sangat angkuh." Jezin berusaha meyakinkan Remo. 

"Bukankah para peri tidak menyukai wanita angkuh?"

"Itu hanya dari kacamata pribadimu. Kau merasa dia angkuh karena dia tidak tertarik dengan ketampananmu."

"Hei. Kali ini saja. Bantu aku." Jezin menampilkan senyum memelasnya. 

Remo menatapnya tidak tega. Yah. Hubungan mereka memang sedekat itu. 

"Apa yang harus aku lakukan?" Jawab Remo berat. 

"Masukkan sesuatu yang menampilkan dia menyeretku dan mengaku sebagai kekasihku pada benda ini." Jezin melemparkan telfon genggam ke arah Remo. 

"Aku tidak tau cara menggunakan benda ini." Remo membolak-balikkan benda pipih itu. 

"Kau kira aku tau menggunakannya?" Jezin mendengus malas. 

"Aku melihat manusia selalu menekan benda ini. Seperti ini." Remo menekan layar benda yang ada ditangannya itu. Seperti orang yang sedang mengetik. 

"Kau salah. Mereka selalu menyimpan benda itu di telinga mereka. Lalu berbicara sendiri."

Remo masih meneliti benda yang ada ditangannya itu. 

"Bagaimana bisa kau menyuruhku menggunakan benda aneh ini."

"Aku tidak menyuruhmu menggunakan benda itu. Aku hanya ingin kau memasukkan pengakuan gadis itu ke dalam sana. Aku lihat manusia menggunakan benda itu untuk melihat apa yang ingin mereka lihat."

"Sepertinya aku harus menyeret gadis itu lalu memasukkannya ke dalam sini."

"Maka dia akan tau rencana kita, Peri Lemot."

"Lalu?"

Tidak ada cara lain, mereka harus belajar menggunakan benda itu. Hal itu menjadi langkah awal untuk menjerat Reni. 

Andai saja mereka tidak takut rencananya ketahuan, Remo sudah pasti langsung menyulap Reni memasuki benda pipih itu. Sangat menyusahkan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status