“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Fika yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.
“Sudah, Mas,” angguk Fika pelan.
“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.
“Sekarang, Mas?”
“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”
Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.
Vira tersenyum formal pada Abi. Merasa kursi yang ditarik Abi ditujukan untuknya, maka Vira tidak segan duduk di sana. “Makasih, Bi.” Vira memberi anggukan kecil pada gadis yang ada bersama Abi, tanpa menyapanya. Gadis yang sama ditemui Vira, ketika ia berada di kantor Abi tempo hari. “Aku ada janji sama pak Ilham, tapi dia kejebak macet.”
Abi berdecih, sambil menarik kursi di samping Vira. Ia lantas duduk tepat berseberangan dengan Fika, dan tidak lagi menolehkan wajah pada gadis itu karena kehadiran Vira. “Aku jadi tambah curiga? Kamu sama orang itu ada hubungan.”
Vira tersenyum miring dan menggeleng. “Sudah kubilang, dia itu cuma klien. Tapi, yaaa, kami bisa dibilang seperti teman.”
“Lebih baik aku yang kamu jadikan “teman”,” sahut Abi masih tidak putus asa untuk menjadikan Vira miliknya. Karena pernah ditikung Aga, maka kali ini Abi tidak akan membiarkan Vira kembali menjadi milik orang lain.
“Ayolah, Bi. Pak Ilham itu cuma teman biasa.” Harus berapa kali Vira menjelaskan pada Abi, dirinya sudah tidak tertarik menjalin hubungan romantis dengan seorang pria. Satu hal signifikan yang Vira rasakan setelah bercerai dari Aga adalah kebebasan. Ia tidak perlu terikat dengan tanggung jawab, dan bisa melakukan apa pun tanpa harus memikirkan statusnya sebagai seorang istri.
Meskipun begitu, Vira tetap tidak mengabaikan tanggung jawabnya pada Awan. Ya, walaupun sebagian besar hidup Awan saat ini ada bersama Aga dan istri barunya.
“Dan, untuk tujuan apa kalian ketemu di sini?” selidik Abi penuh curiga.
“Ada beberapa berkas yang harus pak Ilham tanda tangani.”
“Dan kenapa harus tanda tangan di restoran?”
“Karena dia yang ngajak ketemu di sini.” Vira menggeleng sambil menepuk punggung tangan pria itu. “Kamu sendiri?” Dagu serta tatapan Vira tertuju pada Fika. Lebih baik mengalihkan obrolan, daripada terus dicecar oleh kecurigaan Abi yang tidak beralasan. “Di sini?”
“Ohh …” Abi menoleh pada Fika sekilas. “Dia Fika yang waktu itu dibawa papa ke kantor. Dia magang jadi aspriku selama dua bulan,” jelas Abi tidak berpanjang-panjang. “Jangan cemburu. Aku baru aja ketemu klien di sini, dan rencana mau balik kantor, tapi kamu datang.”
Vika memutar malas bola matanya. “Buat apa aku cemburu ...
Di saat Abi hanya sibuk bercengkrama dengan Vira, di situlah Fika menyadari dirinya bukan siapa-siapa. Bahkan, status Fika sebagai seorang asisten pribadi pun, sama sekali tidak ada apa-apanya di mata Abi. Fika seolah tidak ada, dan sama sekali tidak penting untuk diajak bicara.
“Maaf, Mas Abi.” Fika memberanikan diri menyela obrolan yang seolah tidak akan berhenti itu.
Abi dan Vira sontak terdiam karena suara Fika.
“Ada apa, Fik?” tanya Abi.
“Kalau memang nggak ada kerjaan lagi, bisa saya balik duluan?” Bukannya tidak ingin bersikap profesional, tetapi semakin lama, hatinya semakin teriris pilu melihat kedua orang yang “berdebat” di depan mata. “Saya nggak enak kal—”
“Kamu ke sini sama saya, Fik.”
“Saya bisa pesan taksi,” ujar Fika mulai berdiri sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia tersenyum, dan memberi anggukan kecil pada Vira. “Biar Mas Abi bisa ngobrol lebih bebas lagi sama ibu Vira. Jadi, saya permisi.”
“Oke, hati-hati di jalan,” balas Abi dengan cueknya. “Kamu bisa reimburse dananya ke kantor. Lapor aja sama bu Ina.”
“Baik, Mas … makasih.”
~~
Kembali, sore itu Fika melajukan mobilnya ke rumah Bening. Meskipun perkataan Bening selalu tajam dan ceplas ceplos, tetapi, saudaranya itu bisa dibilang berada di pihak Fika. Di saat mama dan papanya tetap memberi semangat untuk melakukan pendekatan dengan Abi, hanya Bening yang seolah mengerti kondisi Fika.
Untuk itulah, sepulang kerja Fika kembali mampir ke rumah Bening hanya untuk berkeluh kesah. Terserah mau diusir seperti kemarin, yang penting Fika sudah mengeluarkan unek-uneknya.
Melihat ada mobil asing yang terparkir di carport, dan pintu depan yang terbuka, Fika menebak sedang ada tamu di rumah Bening. Namun, hal tersebut tidak mengurungkan niat Fika untuk tetap masuk ke dalam rumah.
“Tante … di sini?” Kaki Fika terhenti sebentar, ketika melihat Arum di ruang tengah. Mama mertua Bening itu menengok sebentar, lalu kembali mencari sesuatu di tasnya.
“Sendirian, Fik?” tanya Arum masih menunduk dan mencari sesuatu. “Mamamu nggak ikut?”
“Aku baru pulang magang, Tan.” Fika kembali mengayunkan kaki, menghampiri Arum. “Mbak Ning, ke mana?”
“Di kamar mandi,” ujar Arum lalu menghempas tas di pangkuan. Ia mendesah, karena tidak kunjung menemukan apa yang dicari. “Tante lagi nungguin hasil tespeknya dia.”
“Tespek?” Fika duduk dengan perlahan di samping Arum. “Yang buat ngecek hamil itu, kan?”
“Iya.”
“Mbak Ning hamil?” Rasanya tidak mungkin, karena Fika sempat mendengar Bening mengatakan tidak pernah mau memiliki anak.
“Dari kemaren-kemaren ngeluh badannya nggak enak,” terang Arum. “Yang masuk anginlah, yang mendadak demam, mual-mual, tapi disuruh ke dokter nggak mau.”
“Terus, mas Aga ke mana?”
“Lagi di jalan mau pulang,” terang Arum yang sontak berdiri ketika melihat Bening kembali masuk ke ruang tengah. Dengan rasa penasaran yang begitu besar, Arum berjalan cepat menghampiri sang menantu sambil melihat tespek yang ada di tangan Bening. “Gimana? Garis dua, kan?” buru Arum dengan yakin. Ia sangat berharap Bening hamil, dan memiliki cucu perempuan.
“Satu.” Bibir Bening sudah memberengut, dan sedikit menghentakkan kakinya.
“Yang bener!” Arum merampas hasil tespek itu dari tangan Bening, lalu ternganga lebar. Sejurus kemudian, tangan kanannya melayang, memukul lengan Bening karena geregetan. “Dua gini, loh, Ning!”
“Satu, Maaa.” Bening hendak merengek saja rasanya. Terkadang, Bening merasa tertekan dengan sikap Arum yang selalu saja memerintah seenaknya.
“Ini, lhooo.” Arum menunjuk satu garis samar, yang berada sejajar dengan garis merah yang berwarna tegas. “Ini, dua.”
“Kan, nggak kelihatan, Ma,” sanggah Bening membela diri, tetapi tidak berani bicara keras dengan wanita itu. “Berarti belum jadi dua.”
“Jadi, Mbak Ning hamil, Tan?” tanya Fika yang juga tidak mengerti dengan hasil yang tertera. Fika tahu bila hasil tespek menunjukkan dua garis, maka hal tersebut menandakan kehamilan. Namun, bila satu garisnya hanya terlihat samar, hal tersebutlah yang tidak diketahui oleh Fika.
“Hamil ini, hamil!” seru Arum kembali menyerahkan hasil tespek ke tangan Bening. “Lihat hape Mama, nggak?” tanyanya tanpa melepas senyum lebar di wajah. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu datang juga. Arum akan kembali memiliki seorang cucu lagi dari Aga. “Dari tadi Mama cariin nggak ada.”
“Hamil …” Bening menggenggam erat hasil tespeknya di tangan. Padahal, ia baru saja setuju melepas KB untuk melakukan program hamil atas bujuk rayu Aga. Namun, mengapa hasilnya begitu cepat? Mengapa Bening sudah hamil, padahal ia belum terlalu siap menghadapi kehamilan pertamanya?
“Iya!” sahut Arum dengan yakin. “Mama cari hape di dapur dulu. Mau telpon Aga, sama cari dokter kandungan. Nanti malam kita langsung periksa.”
Melihat Arum pergi menuju dapur, dengan membawa kegembiraannya Fika lantas menghabiskan jarak dengan Bening. Ia memeluk saudara perempuannya itu, lalu berujar dengan tulus. “Selamat, ya, Mbak. Bentar lagi Awan mau punya adek.”
Akan tetapi, bukan jawaban yang Fika dapatkan dari Bening. Namun, tubuh sang kakak mulai berguncang kecil, sehingga Fika buru-buru mengurai pelukannya. “Mbak Ning kenapa?”
“Aku hamil, Fikaaa!” rengek Bening langsung teringat dengan kenakalannya di masa remaja. “Nanti gimana besarinnya? Nanti, nanti kalau anakku cewek gimana? Terus, kayak aku?”
“Ha?” Jelas saja Fika bengong untuk sesaat. “Memangnya, kalau mirip Mbak Ning kenapa? Bukannya Mbak Ning itu pintar, cantik, ter—”
“Diam kamu!” Bening menggaruk kepala dengan kedua tangan. Berjalan ke sofa, lalu menghempas tubuhnya di sana. Entah ke mana perginya hasil tespek yang ada di genggaman, karena Bening sudah tidak lagi memikirkannya. Pergaulan di zaman Bening saja sudah cukup mengerikan, bagaimana nanti? Saat anaknya sudah beranjak dewasa dan lepas dari pengawasan Bening.
Fika bungkam setelah dihardik Bening. Namun, tetap saja Fika mengikuti Bening dan duduk di samping wanita itu. “Aku telpon mama dulu.”
“Hm, telponlah,” kata Bening. “Tapi nggak usah datang. Bilang aku mau pergi sama mama Arum ke dokter.”
Lebih baik Bening memastikan lagi kondisinya di dokter kandungan. Ia masih tidak percaya, bila garis samar yang ada di tespek juga menandakan kehamilan.
“Eia, kamu ngapain ke sini lagi?” tanya Bening sedikit bingung melihat Fika kembali muncul di rumahnya. “Abi lagi?” tebaknya.
Fika tersenyum datar, sambil mengeluarkan ponsel dari tas. “Rasanya aku mau nyerah jadi asistennya. Nggak kuat lihat mas Abi berduaan sama bu Vira.”
“Dasar plin plan!” Meskipun sudah tidak bersemangat, tetapi Bening masih punya tenaga untuk menghardik Fika. “Punya pendirian kenapa, Fik? Kalau memang mas Abi nggak suka sama kamu, ya, sudah! Nggak usah dikejar-kejar. Fokus aja jadi asistennya, terus cari cowok lain! Dahlah, nggak usah ditengok-tengok cowok begitu. Mulai sekarang, fokus magang aja, terus fokus kuliah. Nggak pake plin plan lagi. Ngerti?”
Fika menelan ludah, lalu mengangguk. “Iya, ngerti.”
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela