Share

5. Plin Plan

“Sudah direkam semua?” tanya Abi setelah pertemuan dengan kliennya selesai. Cita yang duduk di sampingnya, hanya diberi tugas untuk merekam, dan menyimak seluruh pembicaraan yang ada. Abi ingin, Fika menajamkan insting dan melatih intuisinya. Karena Abi tahu benar, Fika bukanlah gadis seperti Vira. Fika terlalu lembut, dan cenderung tidak bisa bersikap tegas.

“Sudah, Mas,” angguk Cita pelan.

“Kalau begitu, aku mau kamu bikin resumenya dan kirim ke emailku,” lanjut Abi akan bersungguh-sungguh bersikap profesional kali ini. Walau masih setengah hati, karena kinerja gadis itu sedikit lambat bagi Abi.

“Sekarang, Mas?”

“Nanti aja kalau sudah di kantor,” geleng Abi. “Selesaikan sebelum kamu puuu … Vira? Di sini juga?”

Abi tersenyum lebar penuh kehangatan, ketika melihat Vira menghampiri mejanya. Seperti biasa, wanita itu selalu terlihat rapi, elegan, dan penuh ketegasan. Abi sontak berdiri, lalu mengitari meja untuk menarik kursi yang berseberangan dengannya.

Vira tersenyum formal pada Abi. Merasa kursi yang ditarik Abi ditujukan untuknya, maka Vira tidak segan duduk di sana. “Makasih, Bi.” Vira memberi anggukan kecil pada gadis yang ada bersama Abi, tanpa menyapanya. Gadis yang sama ditemui Vira, ketika ia berada di kantor Abi tempo hari. “Aku ada janji sama pak Ilham, tapi dia kejebak macet.”

Abi berdecih, sambil menarik kursi di samping Vira. Ia lantas duduk tepat berseberangan dengan Fika, dan tidak lagi menolehkan wajah pada gadis itu karena kehadiran Vira. “Aku jadi tambah curiga? Kamu sama orang itu ada hubungan.”

Vira tersenyum miring dan menggeleng. “Sudah kubilang, dia itu cuma klien. Tapi, yaaa, kami bisa dibilang seperti teman.”

“Lebih baik aku yang kamu jadikan “teman”,” sahut Abi masih tidak putus asa untuk menjadikan Vira miliknya. Karena pernah ditikung Aga, maka kali ini Abi tidak akan membiarkan Vira kembali menjadi milik orang lain.

“Ayolah, Bi. Pak Ilham itu cuma teman biasa.” Harus berapa kali Vira menjelaskan pada Abi, dirinya sudah tidak tertarik menjalin hubungan romantis dengan seorang pria. Satu hal signifikan yang Vira rasakan setelah bercerai dari Aga adalah kebebasan. Ia tidak perlu terikat dengan tanggung jawab, dan bisa melakukan apa pun tanpa harus memikirkan statusnya sebagai seorang istri.

Meskipun begitu, Vira tetap tidak mengabaikan tanggung jawabnya pada Awan. Ya, walaupun sebagian besar hidup Awan saat ini ada bersama Aga dan istri barunya.

“Dan, untuk tujuan apa kalian ketemu di sini?” selidik Abi penuh curiga.

“Ada beberapa berkas yang harus pak Ilham tanda tangani.”

“Dan kenapa harus tanda tangan di restoran?”

“Karena dia yang ngajak ketemu di sini.” Vira menggeleng sambil menepuk punggung tangan pria itu. “Kamu sendiri?” Dagu serta tatapan Vira tertuju pada Fika. Lebih baik mengalihkan obrolan, daripada terus dicecar oleh kecurigaan Abi yang tidak beralasan. “Di sini?”

“Ohh …” Abi menoleh pada Fika sekilas. “Dia Fika yang waktu itu dibawa papa ke kantor. Dia magang jadi aspriku selama dua bulan,” jelas Abi tidak berpanjang-panjang. “Jangan cemburu. Aku baru aja ketemu klien di sini, dan rencana mau balik kantor, tapi kamu datang.”

Vika memutar malas bola matanya. “Buat apa aku cemburu ...

Di saat Abi hanya sibuk bercengkrama dengan Vira, di situlah Fika menyadari dirinya bukan siapa-siapa. Bahkan, status Fika sebagai seorang asisten pribadi pun, sama sekali tidak ada apa-apanya di mata Abi. Fika seolah tidak ada, dan sama sekali tidak penting untuk diajak bicara.

“Maaf, Mas Abi.” Fika memberanikan diri menyela obrolan yang seolah tidak akan berhenti itu.

Abi dan Vira sontak terdiam karena suara Fika.

“Ada apa, Fik?” tanya Abi.

“Kalau memang nggak ada kerjaan lagi, bisa saya balik duluan?” Bukannya tidak ingin bersikap profesional, tetapi semakin lama, hatinya semakin teriris pilu melihat kedua orang yang “berdebat” di depan mata. “Saya nggak enak kal—”

“Kamu ke sini sama saya, Fik.”

“Saya bisa pesan taksi,” ujar Fika mulai berdiri sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia tersenyum, dan memberi anggukan kecil pada Vira. “Biar Mas Abi bisa ngobrol lebih bebas lagi sama ibu Vira. Jadi, saya permisi.”

“Oke, hati-hati di jalan,” balas Abi dengan cueknya. “Kamu bisa reimburse dananya ke kantor. Lapor aja sama bu Ina.”

“Baik, Mas … makasih.”

~~

Kembali, sore itu Fika melajukan mobilnya ke rumah Bening. Meskipun perkataan Bening selalu tajam dan ceplas ceplos, tetapi, saudaranya itu bisa dibilang berada di pihak Fika. Di saat mama dan papanya tetap memberi semangat untuk melakukan pendekatan dengan Abi, hanya Bening yang seolah mengerti kondisi Fika.

Untuk itulah, sepulang kerja Fika kembali mampir ke rumah Bening hanya untuk berkeluh kesah. Terserah mau diusir seperti kemarin, yang penting Fika sudah mengeluarkan unek-uneknya.

Melihat ada mobil asing yang terparkir di carport, dan pintu depan yang terbuka, Fika menebak sedang ada tamu di rumah Bening. Namun, hal tersebut tidak mengurungkan niat Fika untuk tetap masuk ke dalam rumah.

“Tante … di sini?” Kaki Fika terhenti sebentar, ketika melihat Arum di ruang tengah. Mama mertua Bening itu menengok sebentar, lalu kembali mencari sesuatu di tasnya.

“Sendirian, Fik?” tanya Arum masih menunduk dan mencari sesuatu. “Mamamu nggak ikut?”

“Aku baru pulang magang, Tan.” Fika kembali mengayunkan kaki, menghampiri Arum. “Mbak Ning, ke mana?”

“Di kamar mandi,” ujar Arum lalu menghempas tas di pangkuan. Ia mendesah, karena tidak kunjung menemukan apa yang dicari. “Tante lagi nungguin hasil tespeknya dia.”

“Tespek?” Fika duduk dengan perlahan di samping Arum. “Yang buat ngecek hamil itu, kan?”

“Iya.”

“Mbak Ning hamil?” Rasanya tidak mungkin, karena Fika sempat mendengar Bening mengatakan tidak pernah mau memiliki anak.

“Dari kemaren-kemaren ngeluh badannya nggak enak,” terang Arum. “Yang masuk anginlah, yang mendadak demam, mual-mual, tapi disuruh ke dokter nggak mau.”

“Terus, mas Aga ke mana?”

“Lagi di jalan mau pulang,” terang Arum yang sontak berdiri ketika melihat Bening kembali masuk ke ruang tengah. Dengan rasa penasaran yang begitu besar, Arum berjalan cepat menghampiri sang menantu sambil melihat tespek yang ada di tangan Bening. “Gimana? Garis dua, kan?” buru Arum dengan yakin. Ia sangat berharap Bening hamil, dan memiliki cucu perempuan.

“Satu.” Bibir Bening sudah memberengut, dan sedikit menghentakkan kakinya.

“Yang bener!” Arum merampas hasil tespek itu dari tangan Bening, lalu ternganga lebar. Sejurus kemudian, tangan kanannya melayang, memukul lengan Bening karena geregetan. “Dua gini, loh, Ning!”

“Satu, Maaa.” Bening hendak merengek saja rasanya. Terkadang, Bening merasa tertekan dengan sikap Arum yang selalu saja memerintah seenaknya.

“Ini, lhooo.” Arum menunjuk satu garis samar, yang berada sejajar dengan garis merah yang berwarna tegas. “Ini, dua.”

“Kan, nggak kelihatan, Ma,” sanggah Bening membela diri, tetapi tidak berani bicara keras dengan wanita itu. “Berarti belum jadi dua.”

“Jadi, Mbak Ning hamil, Tan?” tanya Fika yang juga tidak mengerti dengan hasil yang tertera. Fika tahu bila hasil tespek menunjukkan dua garis, maka hal tersebut menandakan kehamilan. Namun, bila satu garisnya hanya terlihat samar, hal tersebutlah yang tidak diketahui oleh Fika.

“Hamil ini, hamil!” seru Arum kembali menyerahkan hasil tespek ke tangan Bening. “Lihat hape Mama, nggak?” tanyanya tanpa melepas senyum lebar di wajah. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu datang juga. Arum akan kembali memiliki seorang cucu lagi dari Aga. “Dari tadi Mama cariin nggak ada.”

“Hamil …” Bening menggenggam erat hasil tespeknya di tangan. Padahal, ia baru saja setuju melepas KB untuk melakukan program hamil atas bujuk rayu Aga. Namun, mengapa hasilnya begitu cepat? Mengapa Bening sudah hamil, padahal ia belum terlalu siap menghadapi kehamilan pertamanya?

“Iya!” sahut Arum dengan yakin. “Mama cari hape di dapur dulu. Mau telpon Aga, sama cari dokter kandungan. Nanti malam kita langsung periksa.”

Melihat Arum pergi menuju dapur, dengan membawa kegembiraannya Fika lantas menghabiskan jarak dengan Bening. Ia memeluk saudara perempuannya itu, lalu berujar dengan tulus. “Selamat, ya, Mbak. Bentar lagi Awan mau punya adek.”

Akan tetapi, bukan jawaban yang Fika dapatkan dari Bening. Namun, tubuh sang kakak mulai berguncang kecil, sehingga Fika buru-buru mengurai pelukannya. “Mbak Ning kenapa?”

“Aku hamil, Fikaaa!” rengek Bening langsung teringat dengan kenakalannya di masa remaja. “Nanti gimana besarinnya? Nanti, nanti kalau anakku cewek gimana? Terus, kayak aku?”

“Ha?” Jelas saja Fika bengong untuk sesaat. “Memangnya, kalau mirip Mbak Ning kenapa? Bukannya Mbak Ning itu pintar, cantik, ter—”

“Diam kamu!” Bening menggaruk kepala dengan kedua tangan. Berjalan ke sofa, lalu menghempas tubuhnya di sana. Entah ke mana perginya hasil tespek yang ada di genggaman, karena Bening sudah tidak lagi memikirkannya. Pergaulan di zaman Bening saja sudah cukup mengerikan, bagaimana nanti? Saat anaknya sudah beranjak dewasa dan lepas dari pengawasan Bening.

Fika bungkam setelah dihardik Bening. Namun, tetap saja Fika mengikuti Bening dan duduk di samping wanita itu. “Aku telpon mama dulu.”

“Hm, telponlah,” kata Bening. “Tapi nggak usah datang. Bilang aku mau pergi sama mama Arum ke dokter.”

Lebih baik Bening memastikan lagi kondisinya di dokter kandungan. Ia masih tidak percaya, bila garis samar yang ada di tespek juga menandakan kehamilan.

“Eia, kamu ngapain ke sini lagi?” tanya Bening sedikit bingung melihat Fika kembali muncul di rumahnya. “Abi lagi?” tebaknya.

Fika tersenyum datar, sambil mengeluarkan ponsel dari tas. “Rasanya aku mau nyerah jadi asistennya. Nggak kuat lihat mas Abi berduaan sama bu Vira.”

“Dasar plin plan!” Meskipun sudah tidak bersemangat, tetapi Bening masih punya tenaga untuk menghardik Fika. “Punya pendirian kenapa, Fik? Kalau memang mas Abi nggak suka sama kamu, ya, sudah! Nggak usah dikejar-kejar. Fokus aja jadi asistennya, terus cari cowok lain! Dahlah, nggak usah ditengok-tengok cowok begitu. Mulai sekarang, fokus magang aja, terus fokus kuliah. Nggak pake plin plan lagi. Ngerti?”

Fika menelan ludah, lalu mengangguk. “Iya, ngerti.”

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
mba beb kok jadi Cita? bukan Fika? kaaaan jadi ingat Cita sama Arya oneng.....
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
yeeeyyy mbk Bening hamil.. bakalan dapat warisan saham hotel nih. hehehe
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
mertuanya bening kayaknya asik banget nih orangnya ...... dengerin tuh fika apa kata kakakmu..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status