Share

6. Pergilah

“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar,  Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.

“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres. 

Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera. 

“Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”

Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga. 

“Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela panjang. Satu tangan ia letakkan di pinggang, dan satu lagi bertumpu pada sisi kitchen island. “Mama sampe lupa nanya kerjaanmu? GImana setelah seminggu kerja sama Abi?”

Fika menggeleng dan tersenyum. Ia duduk di stool bar, dan meletakkan ponsel di kitchen island. Kemudian, Fika menatap sang mama yang berdiri berseberangan, dengan menopang dagu. “Nggak gimana-gimana, biasa aja.”

“Nggak ada perkembangan apa-apa?” Clara tahu FIka sangat menyukai Abi. Namun, bagaimana dengan Abi? Apa bisa Fika mengambil hati pria yang sudah lama menduda itu, lalu menikah dengan satu-satunya putra dari Rasyid Pamungkas?

Lagi-lagi Fika menggeleng. “Kayaknya, aku nggak mau lagi dijodohin sama mas Abi. Aku mau fokus kuliah aja, terus kerja dulu kayak mas Dean.”

“Gara-gara Bening, pasti, kan?” tebak Clara. “Kamu kemarin habis dari sana, terus berubah pikiran lagi.”

“Yang sekarang beneran, Ma,” ucap Fika penuh keyakinan. Karena Fika telah melihat tatapan memuja Abi pada Vira, di situlah ia harus memutuskan untuk mundur teratur. Terlebih-lebih, setelah Bening memintanya untuk fokus terhadap hidupnya saja. Tidak perlu memikirkan yang lain. “Aku mau magang beneran. Cari pengalaman, terus balik kuliah lagi.”

“Papa setuju!” Romi yang baru memasuki dapur langsung menghampiri putrinya, dan berdiri di sebelah Fika. “Kalau memang nanti ada jodoh sama Abi, pasti ada jalannya. Kalau nggak, Papa yakin Fika pasti dikasih jodoh yang terbaik.”

“Aku sudah nggak suka lagi sama mas Abi.” Fika mencebik pada sang papa, lalu mendorong Romi yang ingin merangkulnya. 

“Yakiin?” goda Romi dengan cepat menepis tangan Fika, lalu merangkul anak gadisnya itu dengan paksa. “Papa batalin jodoh-jodohannya sama Babe, loh, ya?”

“Batalin aja!” Fika kembali mendorong tubuh Romi agar menjauh darinya. “Papa, ihh, nggak usah rangkul-rangkul. Aku sudah besar, tauk!”

Romi tergelak karena protes putrinya. Saat ini, yang bisa Romi rangkul dan diajak bercanda hanyalah Awan semata. Itupun, kalau bocah itu datang ke kediamannya. Sementara kedua anaknya, sudah sibuk dengan dunianya masing-masing. 

“Ya, sudah. Nanti Papa obrolin lagi sama Babe,” kata Romi kemudian mengambil alih rantang susun dari tangan Clara. “Ini aja, Ma?”

“Bentar.” Clara berbalik, lalu mengambil sebuah tumbler yang sudah dipersiapkannya sendiri. “Bilangin ke pak Juki, jangan mampir-mampir dan harus Bening sendiri yang terima.”

“Oke!” 

Clara menghela panjang setelah kepergian Romi. Ia kembali fokus pada Fika untuk membicarakan masalah Abi. “Serius dibatalin?” tanyanya sekali lagi untuk memastikan.

“Serius, Ma, aku mau fokus kuliah aja habis nyelesain magangku di sana.”

Fika meraih ponsel di kitchen table, lalu membuka sebuah aplikasi pesan berwarna hijau. Ia mencari nama Abimanyu, kemudian mengetikkan sederet kalimat di sana. 

“Pagi, Mas Abi. Saya mohon izin tidak masuk kerja hari ini, karena ada keperluan keluarga. Terima kasih, Afika Nugraha.”

~~~

“Tadi, Papa makan siang dengan pak Romi.” 

Abi memelankan kunyahannya, lalu menatap Rasyid. Papanya itu, pasti akan membicarakan masalah perjodohannya dengan Fika. Sungguh kebetulan sekali, karena Fika hari ini tidak masuk bekerja dengan alasan keperluan keluarga. 

Namun, Abi masih tidak bisa menduga, topik pembicaraan apa yang terjadi di antara Rasyid dan Romi.

“Terus?” tanya Abi.

“Fika bilang, dia nggak mau dijodoh-jodohin sama kamu lagi,” ungkap Rasyid lalu mengunyah makanannya sebentar. 

“Baguslah.” Akhirnya, jelas sudah. Tidak akan ada lagi perjodohan dan Abi tidak perlu lagi pusing memikirkan kehadiran Fika di kantornya. Tidak perlu lagi ada perasaan risih, dan kesal ketika melihat wajah Fika yang berada satu ruang dengannya.

“Tapi, dia masih jadi asprimu, sampai waktu yang sudah ditentukan,” tekan Rasyid. Setelah ini, entah siapa lagi yang akan Rasyid dengatkan dengan Abi. 

“It’s oke,” kata Abi seraya mengangguk. Setelah ini, Abi hanya tinggal memikirkan tentang Vira. Entah cara apa lagi yang bisa Abi lakukan, untuk menjadikan wanita itu miliknya. Vira terlalu keras, dan tegas, hingga pendiriannya sangat tidak bisa digoyahkan. 

“Jadi, kamu tetap mau sendiri?” tanya Rasyid lagi. “Masih mau nunggu Vira yang keras kepala itu?”

“Cukup … doakan saja.” Masalahnya, Abi memang tidak tertarik dengan wanita mana pun selain Vira. Rasa kagumnya pada wanita itu sejak dulu, membuat Abi tidak bisa menghempas nama Vira dari hatinya begitu saja. 

“Coba buka hatimu, Bi,” pinta Rasyid ingin melihat Abi berbahagia dengan pasangannya, selagi ia masih hidup dunia. Syukur-syukur, Rasyid bisa melihat cucunya lahir. “Kalau memang kamu nggak suka sama Fika, kamu bisa lebih membuka diri dengan perempuan lain.”

Dengan pembicaraan seperti ini, Abi tidak bisa melanjutkan makan malamnya. Lantas, ia meletakkan sendoknya di piring, lalu mengambil tisu untuk mengusap bibirnya. “Papa, aku sudah bilang, kalau aku cuma mau Vira yang jadi istriku.”

“Jangan keras kepala, karena Vira sudah nggak keinginan untuk menikah.” Rasyid jadi lelah sendiri, bila selalu memperdebatkan hal seperti ini. Daripada ia pusing memikirkan Abi yang masih bersikeras dengan keinginannya, lebih baik Rasyid menyudahi makan malam, lalu pergi ke kamar. 

“Sekarang, semua terserah kamu.” Rasyid berdiri dan segera beranjak dari meja makan. “Papa sudah nggak mau ikut campur sama sekali. Minta Imah bereskan barang-barangmu dan pindahlah dari sini besok pagi-pagi sekali. Papa sudah nggak mau lihat muka kamu di rumah ini. Nggak usah lagi peduli sama Papa, dan hiduplah sesuai dengan keinginanmu mulai sekarang.”

Kepala Abi mendadak berdenyut nyeri. Rasanya tidak mungkin meyakinkan Vira untuk menikah dengannya, dalam waktu satu malam. Terlebih lagi, Abi juga tidak ingin berpura-pura menyukai Fika, dan setuju dengan perjodohan mereka berdua. Apalagi, Fika juga sudah mengatakan tidak ingin dijodohkan oleh Abi. 

“Papa.” Abi menghela sebentar, lalu segera bangkit menyusul Rasyid. “Pa, menikah itu nggak gampang. Apalagi dijodohkan. Tolong pikirkan perasaan Fika juga, kalau dia jadi nikah dengan laki-laki yang cintanya buat orang lain. Dia yang nantinya menderita.”

“Ya! Terserah kamu,” kata Rasyid terus berjalan menuju kamarnya. “Papa sudah bilang nggak mau ikut campur dengan semua urusanmu.” Rasyid membuka pintu kamar, dan sebelum ia benar-benar menutupnya, Rasyi berkata, “pergilah! Lakukan semua yang kamu mau dan jangan lagi injakkan kakimu di sini.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
covok emang nih Abi sama Vira keduanya benar² keras kepala
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status