“Fokus aja jadi asistennya. Fokus magang, fokus kuliah.” Kalimat Bening itu, selalu Fika lafalkan dalam hati sejak bangun tidur pagi tadi. Kakaknya itu benar, Fika tidak boleh plin plan dan harus punya pendirian. Sepertinya, sudah saatnya Fika berpaling dari Abi, dan membuka hatinya untuk pria lain.
“Ngapain, Ma?’” Dahi Fika mengerut saat melihat Clara sudah berada di dapur sepagi ini. Biasanya, semua hal akan dipersiapkan asisten rumah tangga, dan Clara hanya tahu beres.
Namun, tidak kali. Fika melihat rantang susun di kitchen island, dan masing-masing sudah terisi dengan lauk yang sangat menggugah selera.
“Ini, makanan buat mbakmu,” ujar Clara sambil menumpuk rantang susunnya satu per satu. “Kan, lagi hamil. Biar nggak makan sembarangan.”
Fika ikut senang, ketika tahu Bening benar-benar dinyatakan positif hamil tadi malam. Meskipun, Fika mendengar Bening masih saja tidak percaya bahwa saat ini sedang mengandung anak Aga.
“Oia.” Setelah menutup rantang susunya, Clara menghela panjang. Satu tangan ia letakkan di pinggang, dan satu lagi bertumpu pada sisi kitchen island. “Mama sampe lupa nanya kerjaanmu? GImana setelah seminggu kerja sama Abi?”
Fika menggeleng dan tersenyum. Ia duduk di stool bar, dan meletakkan ponsel di kitchen island. Kemudian, Fika menatap sang mama yang berdiri berseberangan, dengan menopang dagu. “Nggak gimana-gimana, biasa aja.”
“Nggak ada perkembangan apa-apa?” Clara tahu FIka sangat menyukai Abi. Namun, bagaimana dengan Abi? Apa bisa Fika mengambil hati pria yang sudah lama menduda itu, lalu menikah dengan satu-satunya putra dari Rasyid Pamungkas?
Lagi-lagi Fika menggeleng. “Kayaknya, aku nggak mau lagi dijodohin sama mas Abi. Aku mau fokus kuliah aja, terus kerja dulu kayak mas Dean.”
“Gara-gara Bening, pasti, kan?” tebak Clara. “Kamu kemarin habis dari sana, terus berubah pikiran lagi.”
“Yang sekarang beneran, Ma,” ucap Fika penuh keyakinan. Karena Fika telah melihat tatapan memuja Abi pada Vira, di situlah ia harus memutuskan untuk mundur teratur. Terlebih-lebih, setelah Bening memintanya untuk fokus terhadap hidupnya saja. Tidak perlu memikirkan yang lain. “Aku mau magang beneran. Cari pengalaman, terus balik kuliah lagi.”
“Papa setuju!” Romi yang baru memasuki dapur langsung menghampiri putrinya, dan berdiri di sebelah Fika. “Kalau memang nanti ada jodoh sama Abi, pasti ada jalannya. Kalau nggak, Papa yakin Fika pasti dikasih jodoh yang terbaik.”
“Aku sudah nggak suka lagi sama mas Abi.” Fika mencebik pada sang papa, lalu mendorong Romi yang ingin merangkulnya.
“Yakiin?” goda Romi dengan cepat menepis tangan Fika, lalu merangkul anak gadisnya itu dengan paksa. “Papa batalin jodoh-jodohannya sama Babe, loh, ya?”
“Batalin aja!” Fika kembali mendorong tubuh Romi agar menjauh darinya. “Papa, ihh, nggak usah rangkul-rangkul. Aku sudah besar, tauk!”
Romi tergelak karena protes putrinya. Saat ini, yang bisa Romi rangkul dan diajak bercanda hanyalah Awan semata. Itupun, kalau bocah itu datang ke kediamannya. Sementara kedua anaknya, sudah sibuk dengan dunianya masing-masing.
“Ya, sudah. Nanti Papa obrolin lagi sama Babe,” kata Romi kemudian mengambil alih rantang susun dari tangan Clara. “Ini aja, Ma?”
“Bentar.” Clara berbalik, lalu mengambil sebuah tumbler yang sudah dipersiapkannya sendiri. “Bilangin ke pak Juki, jangan mampir-mampir dan harus Bening sendiri yang terima.”
“Oke!”
Clara menghela panjang setelah kepergian Romi. Ia kembali fokus pada Fika untuk membicarakan masalah Abi. “Serius dibatalin?” tanyanya sekali lagi untuk memastikan.
“Serius, Ma, aku mau fokus kuliah aja habis nyelesain magangku di sana.”
Fika meraih ponsel di kitchen table, lalu membuka sebuah aplikasi pesan berwarna hijau. Ia mencari nama Abimanyu, kemudian mengetikkan sederet kalimat di sana.
“Pagi, Mas Abi. Saya mohon izin tidak masuk kerja hari ini, karena ada keperluan keluarga. Terima kasih, Afika Nugraha.”
~~~
“Tadi, Papa makan siang dengan pak Romi.”
Abi memelankan kunyahannya, lalu menatap Rasyid. Papanya itu, pasti akan membicarakan masalah perjodohannya dengan Fika. Sungguh kebetulan sekali, karena Fika hari ini tidak masuk bekerja dengan alasan keperluan keluarga.
Namun, Abi masih tidak bisa menduga, topik pembicaraan apa yang terjadi di antara Rasyid dan Romi.
“Terus?” tanya Abi.
“Fika bilang, dia nggak mau dijodoh-jodohin sama kamu lagi,” ungkap Rasyid lalu mengunyah makanannya sebentar.
“Baguslah.” Akhirnya, jelas sudah. Tidak akan ada lagi perjodohan dan Abi tidak perlu lagi pusing memikirkan kehadiran Fika di kantornya. Tidak perlu lagi ada perasaan risih, dan kesal ketika melihat wajah Fika yang berada satu ruang dengannya.
“Tapi, dia masih jadi asprimu, sampai waktu yang sudah ditentukan,” tekan Rasyid. Setelah ini, entah siapa lagi yang akan Rasyid dengatkan dengan Abi.
“It’s oke,” kata Abi seraya mengangguk. Setelah ini, Abi hanya tinggal memikirkan tentang Vira. Entah cara apa lagi yang bisa Abi lakukan, untuk menjadikan wanita itu miliknya. Vira terlalu keras, dan tegas, hingga pendiriannya sangat tidak bisa digoyahkan.
“Jadi, kamu tetap mau sendiri?” tanya Rasyid lagi. “Masih mau nunggu Vira yang keras kepala itu?”
“Cukup … doakan saja.” Masalahnya, Abi memang tidak tertarik dengan wanita mana pun selain Vira. Rasa kagumnya pada wanita itu sejak dulu, membuat Abi tidak bisa menghempas nama Vira dari hatinya begitu saja.
“Coba buka hatimu, Bi,” pinta Rasyid ingin melihat Abi berbahagia dengan pasangannya, selagi ia masih hidup dunia. Syukur-syukur, Rasyid bisa melihat cucunya lahir. “Kalau memang kamu nggak suka sama Fika, kamu bisa lebih membuka diri dengan perempuan lain.”
Dengan pembicaraan seperti ini, Abi tidak bisa melanjutkan makan malamnya. Lantas, ia meletakkan sendoknya di piring, lalu mengambil tisu untuk mengusap bibirnya. “Papa, aku sudah bilang, kalau aku cuma mau Vira yang jadi istriku.”
“Jangan keras kepala, karena Vira sudah nggak keinginan untuk menikah.” Rasyid jadi lelah sendiri, bila selalu memperdebatkan hal seperti ini. Daripada ia pusing memikirkan Abi yang masih bersikeras dengan keinginannya, lebih baik Rasyid menyudahi makan malam, lalu pergi ke kamar.
“Sekarang, semua terserah kamu.” Rasyid berdiri dan segera beranjak dari meja makan. “Papa sudah nggak mau ikut campur sama sekali. Minta Imah bereskan barang-barangmu dan pindahlah dari sini besok pagi-pagi sekali. Papa sudah nggak mau lihat muka kamu di rumah ini. Nggak usah lagi peduli sama Papa, dan hiduplah sesuai dengan keinginanmu mulai sekarang.”
Kepala Abi mendadak berdenyut nyeri. Rasanya tidak mungkin meyakinkan Vira untuk menikah dengannya, dalam waktu satu malam. Terlebih lagi, Abi juga tidak ingin berpura-pura menyukai Fika, dan setuju dengan perjodohan mereka berdua. Apalagi, Fika juga sudah mengatakan tidak ingin dijodohkan oleh Abi.
“Papa.” Abi menghela sebentar, lalu segera bangkit menyusul Rasyid. “Pa, menikah itu nggak gampang. Apalagi dijodohkan. Tolong pikirkan perasaan Fika juga, kalau dia jadi nikah dengan laki-laki yang cintanya buat orang lain. Dia yang nantinya menderita.”
“Ya! Terserah kamu,” kata Rasyid terus berjalan menuju kamarnya. “Papa sudah bilang nggak mau ikut campur dengan semua urusanmu.” Rasyid membuka pintu kamar, dan sebelum ia benar-benar menutupnya, Rasyi berkata, “pergilah! Lakukan semua yang kamu mau dan jangan lagi injakkan kakimu di sini.”
“Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.
“Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu
“Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak
“Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s
“Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta
“Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela