Share

7. Berusaha Tenang

“Pagi, Mas Abi,” Fika segera berdiri, menyapa seraya memberi anggukan sopan pada Abi. Pria yang baru saja masuk ke ruangan kerjanya itu, tampak kusut dan tidak serapi biasanya. Rambut yang biasanya tertata rapi dengan pomade, atau gel rambut, kini terlihat kering dan cenderung tidak beraturan. Jika ditelisik lagi, Abi sepertinya hanya menyisir rambut seadanya dengan jari-jarinya. 

“Pagi,” balas Abi dengan anggukan yang sama. Sejurus itu, ia berhenti dan mengangkat tangan, untuk menghentikan Fika yang akan melangkah dari kursinya. “Nggak usah bikin kopi, saya sudah kebanyakan kopi dari semalam.”

“Ohh.” Fika mengangguk. Kembali duduk dan berhadapan dengan laptopnya. Ini kali pertama, Fika membawa laptop untuk bekerja di firma Abi agar ia tidak hanya duduk bengong seperti yang sudah-sudah. “Saya sudah minta jadwal Mas Abi hari ini sama bu Ina. Hari ini Mas Abi ada sidang jam 10, dan jam dua siang, Mas ada janji dengan orang dari Perhumas, untuk membahas seminar kerja sama.”

Tangan Abi bergerak pelan, saat menarik kursi kerjanya. Ia menatap aneh, sekaligus bingung pada Fika, karena pagi ini semua terasa berbeda. Gadis itu tidak lagi terlihat melamun, dan kebingungan seperti biasanya. Bahkan, kali ini Fika membawa laptopnya untuk bekerja. 

Abi yakin, perubahan sikap Fika saat ini ada hubungannya dengan Rasyid, dan pembatalan perjodohan mereka. 

“Kamu, batalin rencana perjodohan kita?” Abi ingin mendengar hal itu langsung dari mulut Fika. Dengan begitu, setidaknya Abi bisa sedikit menelisik “drama” yang ada. Siapa tahu saja, semua ini adalah rencana Fika untuk menarik perhatian Abi. 

Karena Abi masih ingat dengan jelas, dahulu kala Bening pernah mengatakan Fika menyukainya. Jadi, sementara ini Abi akan mengikuti permainan yang ada. Tetap waspada dan tidak boleh terjebak permainan papanya, juga Fika.

“Iya, Mas.” Fika menegakkan tubuh dan menurunkan sedikit layar laptopnya, agar bisa melihat Abi. Ia sengaja menghadapkan laptopnya ke arah Abi, supaya tatapan Fika tidak selalu tertuju pada pria itu. “Seperti yang sudah saya bilang kemarin, saya nggak punya rencana nikah muda. Jadi, lebih baik perjodohan ini dibatalin aja.”

“Cuma itu?” Dari gelagat Fika, Abi tahu ada yang masih disembunyikan gadis itu. 

“Iya, cuma itu.” Daripada terus dicecar Abi, lebih baik Fika mengalihkan pembicaraan mereka. “Nanti, apa saya harus ikut Mas Abi ke pengadilan? Atau, di kantor aja seperti kemaren-kemaren.”

BIla ingin menuruti kata hati, jelas saja Abi tidak ingin Fika ikut bersamanya. Namun, karena ia sudah berjanji untuk bersikap profesional, maka Abi tidak punya jawaban lain. 

“Kamu ikut.” Andai hari ini adalah hari libur, maka Abi akan berada seharian di kamar. Pengusiran Rasyid tadi malam, membuat dirinya sama sekali tidak mood untuk bekerja dan masih ingin mengkonfrontasi sang papa. 

Apa Abi harus mengorbankan perasaannya, dan setuju untuk menikahi Fika?

Semua ini tidak akan terjadi, bila Vira bersedia menikah dengannya. Namun, wanita itu terlalu keras kepala dan susah untuk dibujuk. 

“Baik, Mas.” Fika menurut saja, dan tidak akan membantah. Mencoba bertahan dan menunaikan tugasnya menjadi asisten pribadi Abi sampai waktu yang telah ditentukan. 

“Laptopmu ditinggal aja,” kata Abi. “Nggak akan kepake di persidangan.”

Fika mengangguk dan kembali menurut. Namun, ada satu hal lagi yang harus disampaikan Fika pada pria itu. “Nanti, saya mau bawa mobil sendiri ke pengadilan.”

“Kenapa?” Abi masih belum menyentuh apa pun di meja kerjanya. Setelah duduk beberapa saat yang lalu, ia hanya bersandar dan meneliti ekspresi Fika. 

“Biar … saya bisa langsung balik kantor, kalau Mas Abi ketemu dan mau ngobrol banyak sama teman-temannya.” Merasa diabaikan saat Abi bertemu dengan Vira, maka Fika tidak ingin hal tersebut terulang lagi padanya. 

Apa pun itu, Abi akan mengikuti permainan yang ada. Ia yakin sekali, semua ini hanyalah drama belaka. “Kalau begitu, oke! Kamu bisa bawa mobil sendiri, asal jangan sampai telat datang ke pengadilan.”

“Baik, Mas, terima kasih.”

~~~

“Fika.” Abi menyerahkan sebuah kertas bertuliskan satu nama, setelah keduanya keluar dari ruang sidang. “Cari tahu semua tentang orang itu dan laporkan ke saya secepatnya.”

“Ba—”

“Cari diam-diam.” Abi memotong dan terus saja berjalan menuju arah keluar gedung. “Kalau bisa … harus bisa! Kamu harus bisa cari tahu kegiatan, atau tempat yang sering dia kunjungi, atau … di—”

“Mas, bentar, Mas.” Fika berlari cepat, menyamakan langkah dengan Abi. “Kenapa, harus saya? Saya, kan—”

“Kamu asisten pribadi saya, kan?” Abi berhenti dan memutar tubuh ke arah Fika. “Dan kamu mau saya bersikap profesional, kan?”

Fika yang baru saja berhenti, segera mengangguk walaupun masih tidak mengerti tentang maksud Abi.

“So, welcome to the jungle,” kata Abi sembari merentangkan kedua tangannya. “Saya pengacara, dan salah satu tugas saya adalah ikut menyelidiki kasus yang sedang berjalan.”

“Terus … Vania Sesya?” Fika membaca nama itu dengan perlahan. “Dia ini siapa, Mas? Saya mulai cari tahunya dari mana? Saya nggak ngerti.”

“Dugaan sementara, dia itu simpanan pejabat yang kasusnya lagi saya tangani.” Dengan ini, Abi bisa sekaligus melihat kesungguhan Fika dalam bekerja. Sebenarnya, Abi sudah memiliki sebuah tim, untuk memeriksa semua bukti, ataupun menyelidiki kasus yang ia tangani. Namun, untuk yang satu ini, Abi ingin Fika sendiri yang melakukannya. 

Itulah akibatnya jika membuat Abi kesal. Karena Fika jualah, Rasyid akhirnya mengusir Abi dari rumah. Memang terlihat sedikit tidak profesional, tetapi Abi ingin memuaskan egonya dan melihat Fika kelimpungan. 

“Sim - simpanan pejabat?” Fika syok. Bibir mungilnya terbuka lebar, dan tidak tahu harus memulai dari mana. “Memangnya, ini tugas saya, Mas? Jadi, saya harus … kayak detektif, gitu? Ngikutin si …” Fika kembali mengangkat kertas yang diberi Abi, lalu membacanya. “Vania Sesya. Saya harus …”

Abi mengangkat tangan sebatas dada. Memberi kode agar Fika tidak melanjutkan pertanyaannya. “Sebentar, ada telpon.”

Abi berdecak, saat melihat nama asisten rumah tangga sang papa yang menelepon. Abi memang belum mempacking barang-barangnya yang ada di rumah Rasyid, dan ia juga tidak menitip pesan pada orang rumah. Jadi, kemungkinan besar sudah ada yang membereskan semua pakaiannya dan Abi diminta untuk mengambilnya segera. Atau, Imah menelepon karena kebingungan untuk mengirimkan barang-barang tersebut.

“Iya, Bik? Ada apa?” tanya Abi terburu.

“Babe, Mas.”

“Iya, kenapa?” buru Abi tidak sabar, karena Imah tidak langsung menjelaskan masalahnya. Paling-paling, Rasyid sedang mengomel dan menyuruh Imah membuang semua barang-barang Abi ke jalan.

“Babe pingsan, di kamar—”

“Apa?” tanpa memedulikan Fika, Abi segera berlari ke parkiran. Belum selesai masalah pengusiran Abi tadi malam, kini muncul masalah baru. 

“Mas!” Fika yang semakin kebingungan itu, segera menyusul Abi. “Mas Abi mau ke mana? Terus ini gimana?”

“Balik kantor, dan telpon bu Ina,” titah Abi sembari membuka pintu mobil. Berusaha tenang dan tidak panik, karena ia akan mengemudikan mobil. “Saya ada perlu, dan jangan telpon!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
Weh Abi kesel sama Babe eh si Fika yg kena. sabar Fika .....
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
lah dia yg keras kepala kenapa fika pula yg disalahkan.. emang aneh abi ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status