"Hadeh, gue kira lo hilang dari peradaban," oceh Jihan ketika membukakan pintu apartemennya untuk Laura.Tak segera menjawab. Laura mendorong bahu sahabatnya agar segera menyingkir dan membuatnya bisa memasuki apartemen wanita itu.Mengempaskan tubuh lelahnya di atas sofa, Laura mengembuskan napas lega. Menyamankan diri ketika akhirnya bisa meluruhkan rasa lelah."Capek banget ya nyari duit."Berkacak pinggang di depan sahabatnya yang tengah berleha-leha, Jihan mendengkus, "tumben ngeluh.""Gue juga manusia biasa, yang kadang mengeluh soal hidup. Tapi seringnya disuarakan dalam hati. Nggak koar-koar kayak lo.""Gue nggak ngeluh, cuma curhat sama diri sendiri."Mengibaskan tangan tak acuh, Laura enggan menanggapi ocehan Jihan, "lo ada tamu suguhin minum kek. Panas banget di luar, kasih yang bikin seger, Ji.""Apaan? Sini gue ceburin ke bak mandi biar seger.""Buruan Ji, dehidarasi nih kayaknya gue.""Lo kalau dehidrasi bukan butuh air minum. Tapi segepok uang biasanya.""Itu sih kalau
"Masuk!" Darius berseru keras, agar sosok yang baru saja mengetuk pintu bisa mendengar instruksinya.Ketika pintu ruang kerjanya terkuak. Sosok Laura muncul dengan senyuman secerah matahari di jam dua belas siang."Pagi Pak," sapa gadis itu, usai menutup pintu dan mengayunkan langkah. Memasuki ruang kerja Darius."Pagi," Darius membalas singkat, dengan kening yang mengernyit mendapati kedatangan sekretarisnya sembari membawa nampan alih-alih berkas yang biasa diberikan padanya.Berdeham-deham meluruhkan rasa gugupnya. Laura meletakan nampan berisi segelas susu coklat dan sepiring sandwich.Ikut menjatuhkan pandangan pada apa yang disuguhkan Laura. Kernyitan dikening Darius kian dalam, "ini apa?""Susu coklat dan sandwich."Apa pria itu masih mengantuk? Masa iya minuman dan makanan di depannya dia tak tau namanya?Mengela napas panjang Darius menutup laptop yang sudah dipelototinya lima belas menit yang lalu. Sesampainya di kantor dia memang segera mendekam di ruangannya untuk menyeles
"Kamu Laura?"Suara yang tiba-tiba tertangkap pendengarannya membuat Laura yang seperti anak hilang di tengah keramaian, menolehkan kepala dan memberi anggukan dengan wajah bingung."Ya," menatap wanita asing di depannya, Laura mengerutkan kening, "anda—""Gue Cindy," mengulurkan tangan, ia memperkenalkan diri lebih dulu sebelum Laura menyelesaikan ucapannya.Ah, Cindy sepupunya Darius?Segera membalas uluran tangan gadis itu, Laura mengukir senyuman, "saya Laura.""Jangan terlalu formal," Cindy bersedekap usai jabatan tangan dengan Laura usai. "Jadi lo perempuan bayaran itu?"Laura terbelalak mendengar pertanyaan blak-blkan dari Cindy. Dengan gugup, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, khawatir ada yang mencuri dengar."Jangan bahas itu di sini," Laura mengikis jarak dengan Cindy, "dan gue bukan perempuan bayaran," tambahnya sembari mendesis kesal."Tapi Tante Ratu bilang—""Apa kita bisa mencari tempat lain untuk membicarakan hal ini?"Astaga ..., kenapa Ratu harus membagi perjanjia
"Cewek lo mana? Nggak ikut?""Dia sibuk.""Sibuk apa takut ketemu gue sama Tante Ratu?"Mengela napas, Darius menatap sepupunya. Berusaha menebalkan kesabaran yang selalu menipis saat bersinggungan dengan Cindy."Gue nggak mau ribut."Mendengkus sinis, Cindy melirik Darius yang memilih menyibukan diri dengan ponsel. Meminimalisir konfrontasi dengannya."Pelet tuh cewek kenceng banget kayaknya. Bikin lo ketempelan dia bertahun-tahun."Mengela napas gusar, Darius mengantongi ponselnya. Bangkit dari duduknya yang satu meja dengan Cindy. "Kabur lagi? Lo bikin gue tersinggung tau nggak? Berasa virus yang harus dihindari.""Gue cuma berusaha menghargai pesta sepupu kita. Kalau sampai ada ribut-ribut, kasihan Mayang. Pestanya kacau.""Lo dari tadi ngoceh soal ribut. Emang siapa sih yang ngajak ribut? Nggak ada perasaan. Gue datengin meja lo buat ngobrol. Anggap aja menjalin silaturahmi, memperbaiki hubungan kita yang kaku dan dingin kayak balok es."Darius sudah akan kembali bicara. Membala
"Giliran lo," mengedipkan satu mata, Cindy memberi semangat pada Laura yang tersenyum kaku.Berdiri canggung di depan Darius, Laura berusaha menebas paksa rasa gugupnya.Ingat. Saat ini, pria di depannya bukan atasan di tempat kerjanya. Tapi target yang harus bisa Laura taklukan."Jadi, saya boleh berdansa dengan anda?"Mengulurkan tangan, Darius membalas pertanyaan Laura dengan isyarat jika dia menerimanya."Saya tidak tau kamu teman Cindy?" sembari menggerakan tubuh secara perlahan. Darius mulai membuka obrolan."Bukankah itu sebuah kebetulan yang tak terduga Pak? Oh, atau bisa saya panggil nama saja? Cindy atau pun ibu Pak Darius pasti heran jika saya memanggil anda dengan embel-embel, Pak."Darius mendengkus. Menatap sosok sekretarisnya yang malam ini tampak menawan dengan riasan yang berbeda dari biasanya. Ketika bekerja di kantor atau pun dalam kesehariannya. Tak terlalu tebal, tapi cukup pas dan mampu membuat pangling."Bukankah saya pernah meminta hal itu sama kamu?""Meminta
"Putus? Bukankah kalian sudah bersama selama lima tahun?" Jemari lentik berkuteks merah itu mengelus seduktif dada bidang pria yang kini mendekapnya.Mendongakan kepala hingga tatapan mereka bertemu, Laura mengukir senyum muram, "kau ingin mengakhiri hubungan yang sudah terjalin selama lima tahun, demi wanita yang baru kau kenal kurang dari dua minggu sepertiku?""Kau berbeda Sekar." Pria itu menatap penuh damba, lalu mengecup punggung tangan Laura yang membuatnya nyaris hilang akal. Apa wanita dalam pelukannya ini adalah penyihir? Dia mampu menjeratnya hanya dalam waktu singkat. Bahkan membuatnya berani menjanjikan sebuah komitmen, setelah nanti mengakhiri hubungan dengan wanita yang masih menyandang status sebagai kekasihnya selama lima tahun terakhir.Harus diakui dia memang brengsek. Sekali pun memiliki kekasih tak membuatnya lepas dari para wanita lainnya. Tapi sebagian besar hanya dianggapnya sebagai bentuk senang-senang menghilangkan penat. Tidak lebih.Tak ada satu pun dari pa
Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja hingga menimbulkan bunyi konstan. Sementara tangan satunya menjadi penyangga dagu. Laura mulai bosan. Sudah lima belas menit pantat semoknya menempati kursi disebuah private room restoran ternama. Tapi sosok yang ditunggu tak juga memperlihatkan batang hidungnya.Hadeh, belum apa-apa sudah ngaret. Gimana mau membuat kesepakatan?Baiklah, jika lima menit lagi masih belum datang. Laura tak akan segan angkat kaki dari tempat ini.Bodo amat uang seratus juta gagal mengisi rekeningnya agar kian chubby. Mood Laura sudah terjun payung sekarang.Melirik penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangan kirinya, Laura mulai lelah menunggu.Sudahlah! Batalkan saja. Lebih baik rebahan di kontrakannya ketimbang duduk sampai pantat panas.Bye! Seratus juta.Laura baru saja mencangklongkan tas kebahu kanannya, lalu bangkit dari tempat duduknya. Saat pintu tiba-tiba saja terbuka. Menginterupsi pergerakannya yang hendak pergi.Mengejap, Laura membeku di tempatny
Melemparkan diri ke atas tempat tidur. Laura terlentang, sembari menatap langit-langit kamarnya.Mengembuskan napas gusar. Gadis itu meraih foto seorang pria yang akan menjadi targetnya.Dari sekian banyak makhluk penghuni bumi. Kenapa harus pria itu?! Kenapa harus Darius Bhalendra, bos galaknya? KENAPA?!Dan yang lebih gila. Laura sudah membuat kesepakatan dengan Ratu—wanita paruh baya yang baru diketahuinya merupakan ibu dari bosnya."Cari mati gue. Astaga Laura! Otak lo pasti ketinggalan pas tadi ketemuan sama emaknya si bos." menjambaki rambutnya sendiri, Laura terus mengocehkan kegusarannya.Tumpukan uang di dalam koper membuat pikiran Laura tumpul. Tapi setelah menginjakan kaki di kontrakannya, nyali Laura seketika menciut. Kesadarannya yang sempat lenyap terhipnotis uang seratus juta, akhirnya kembali. Apalagi setiap melihat foto Darius yang di dapatkannya dari Ratu tadi."Ke dukun aja kali ya, biar bos galak gue langsung klepek-klepek." anggap saja Laura memilih jalur express