Aku berjalan terseok-seok dengan sebelah kaki pincang dan wajah lebam karena habis dipukuli. Sesekali aku berhenti lalu meringis saat menyentuh luka di wajah tirusku. Di bawah pohon jambu samping rumah, aku, Ucil, duduk di atas balai-balai yang terbuat dari bambu. Punggung bersandar pada pohon jambu, dengan sebelah kaki diluruskan. Aku termenung, pikiran menerawang jauh, seolah mencari jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi otak kecilku.
“Hey,” sebuah suara membuyarkan lamunan. Aku berusaha tersenyum, yang malah jadi lebih mirip seringai, demi melihat sosok yang kini telah duduk manis di sampingku. “Berkelahi lagi?” Kembali sosok itu bertanya, tapi kali ini tangannya mulai membuka sebuah kotak yang ada pangkuannya. Kotak obat. Aku hanya meringis sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku memang akan berubah menjadi orang bodoh jika berhadapan dengan sosok satu ini. Sosok yang selalu ada saat aku merasa sendiri, sosok yang selalu membantu berdiri saat aku jatuh, atau saat aku bersedih. Tapi sosok ini juga bisa berubah menjadi sangat cerewet jika aku melakukan kesalahan. Kesalahan yang belum tentu adalah sebuah kesalahan. Namanya Azalea, seperti nama bunga. Cantik dan anggun. Dia satu-satunya manusia yang mau berteman denganku, menurutku! Tentunya, ibuku tidak dihitung. Aku masih asyik memperhatikan gerak-gerik Alea, saat tiba-tiba kepala itu mendongak. Ada hening yang tercipta, kala pandangan kami bertemu, lalu canggung. “Sini!” Alea menarik tanganku agar mendekat padanya, membuat rasa yang mulai menggumpal di dada menjadi semakin menggila. Kini dia mulai mengoleskan obat di sekitar luka dengan mulut yang tak berhenti mengoceh. Anehnya, bibirku malah tertarik ke atas, membentuk lengkung sempurna. “Idih! Malah senyum-senyum.” Itulah yang kumaksud dengan kesalahan yang belum tentu kesalahan. Bagi Alea, adalah kesalahan tiap kali aku pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja dan aku hanya bisa meringis menahan sakit tiap kali tangannya menekan luka di wajahku, sedikit lebih kuat. *** “Ibu hari ini gak usah kerja, biar Ucil saja nanti yang kasih makan kambing Mang Mamat, sepulang dari sekolah. Ibu istirahat saja, ya Bu?” Kusuapi ibu dengan perlahan, rasa perih menyeruak menyelusuri ruang kalbu. Tanpa sadar mataku mulai berembun. Cepat-cepat aku bangkit, mengambil cangkir plastik di atas meja usang yang salah satu kakinya sudah dimakan rayap, mengisinya dengan air lalu menyodorkan ke tangan ibu. “Minum dulu, Bu!” ucapku pelan, berharap ibu tidak menyadari suaraku yang bergetar. “Kamu enggak usah tungguin ibu selesai makan, ibu masih bisa sendiri. Kamu berangkat sekolah saja, Nak! Nanti telat.” Diterimanya cangkir yang kusodorkan dengan sebelah tangan, satu tangannya kemudian meraih tanganku dan di genggamnya erat. Hangat! “Iya, Bu. Ini juga Ucil mau berangkat, kok!” Kubalas genggaman tangan ibu, berusaha meyakinkan beliau bahwa semua akan baik-baik saja. Walaupun aku sendiri tidak yakin akan hal itu. Setelahnya, aku bangkit dan merapikan tempat tidur ibu yang juga berada di ruangan itu. Rumah kami memang hanya terdiri dari dua ruangan. Ruangan utama, yang berfungsi sebagai ruang multifungsi, dan ruang dapur untuk memasak. Di ruang utama ini, ada sebuah ranjang kayu tua, dengan kasur yang sudah kempes dan penuh dengan tambalan. Di sisi tempat tidur, ditaruh mesin jahit rusak yang beralih fungsi menjadi nakas, tempat menaruh obat dan air minum untuk ibu. Lalu di tengah ruangan ada kursi kayu dan meja yang kaki-kakinya sudah lapuk dimakan rayap. Sebelum berangkat ke sekolah, aku akan menyiapkan sarapan untuk ibu, menyuapinya, lalu menyimpan piring bekas makan ke dapur. Kemudian meletakkan teko dan cangkir di atas mesin jahit rusak dekat tempat tidur, agar beliau lebih mudah mengambil air jika sewaktu-waktu beliau haus. “Ucil pamit Bu!” kucium punggung tangannya sebelum meraih tas usang yang tergantung di samping pintu, satu-satunya tas yang kumiliki. “Ucil ...!” lirih, ibu memanggil membuat langkahku terhenti. Entah kenapa, jantung berdetak lebih cepat saat mendengar ibu memanggil dengan cara seperti itu. “Iya, Bu? Apa ada yang ibu butuh kan lagi atau ada yang sakit?” Kuletakkan kembali tas yang telah tersandang ke atas meja. Mendekati ibu dengan perasaan, yang entah .... “Tidak ada apa-apa, Nak! Ibu cuma mau minta tolong, nanti kamu lewat dari depan rumah Wak Samsul suruh kemari, ada yang mau Ibu omongin.” Aku mengangguk. “Sudah, sana berangkat! Keburu siang.” “Iya, Bu! Ibu juga jangan lupa minum obat. Jangan kerjain apa-apa, istirahat saja biar cepat sembuh.” Aku berlalu dari hadapan ibu, setelah mengucap salam. Entah kenapa, hari ini terasa ada yang aneh. *** Sekolah masih sepi saat aku melangkahkan kaki memasuki gerbang. Sekolah tempatku belajar bukanlah sekolah besar dan luas. Jadi, aku bisa melihat seluruh bagian depan sekolah dari sini dan seperti biasa, di depan kelas 6 -A sudah berdiri lima orang anak laki-laki sebaya denganku. Amir, Bondan, Agus, Reza dan Bono. Aku sudah mengerti kenapa mereka menunggu di depan kelas, apalagi kalau bukan minta contekan Pe-er. Aku meneruskan langkah menuju kelas. Setelah dekat, dengan malas kukeluarkan buku tulis dari dalam tas lalu menyodorkan ke arah Bondan yang langsung di sambutnya dengan seringai. “Bagus! Gua kira lo gak bakalan tepati janji lo. Hehe.” Bondan menggebuk kepalaku memakai buku yang baru saja kuberikan, membuat keempat temannya tergelak, dan melakukan hal yang sama dengan tangan dan kaki mereka kepadaku sebelum melangkah masuk ke dalam kelas. Kukepal tangan dengan kuat, menahan luapan emosi yang hampir saja tak terbendung. “Kok, bengong? Ayo, masuk!” tiba-tiba saja Alea sudah berdiri di belakang. Seperti di hipnotis, kuikuti Alea ke dalam kelas, masih membisu karena amarah yang belum sepenuhnya hilang. Setelah meletakkan tas, Alea duduk di kursi bersisian denganku. Ada kotak bekal di tangannya. “Nih, tadi bunda masak nasi goreng, disuruh deh bawain. Kamu pasti belum sarapan. Dimakan ya!”Alea meletakkan kotak bekal itu di atas meja, aku memandang ragu. Ada rasa bahagia, menyadari Alea peduli padaku seperti saat ini. Namun rasa itu berubah menjadi perih, membayangkan kepedulian itu hanya karena rasa kasihan. Tidak lebih.
Aku bergeming, menyadari bahwa aku tak pantas. Tak pantas menerima perhatian seperti ini, walau hanya sebatas kasihan. Ucil, memangnya siapa dirimu? “Ayo, dimakan! Atau aku suapin?” ujarnya berseloroh, tapi mampu menghadirkan hawa panas di wajah. Melihat aku masih diam saja, Alea membuka kotak bekal dan mengambil sendok yang sudah tersedia di dalam lalu menyendok sesuap nasi goreng dan mengarahkannya padaku dengan ekspresi wajah menggemaskan. Dua alisnya dibuat turun naik dengan senyum di bibir. Buru-buru kutahan tangannya, dan rasa itu kembali bergejolak, saat tangan kami bersentuhan, membuat jantung berdetak sepuluh kali lebih cepat. Tuhan, tolong! Aku tidak mau kena serangan jantung. Kutarik kembali tanganku dengan cepat. Alea seketika menunduk, ada rona merah di wajah putihnya, membuat kecantikannya meningkat seribu persen. Aku tersenyum kaku, setelah mengambil sendok dari tangannya, langsung melahap nasi goreng di hadapanku dengan khusyu’ tanpa berani mengangkat wajah. Apalagi yang bisa kulakukan di saat seperti ini, agar tidak kelihatan bodoh, selain melahap nasi goreng ini. Eh, tunggu! Apa aku memang terlihat bodoh? “Arrgghh.” Aku mengerang, frustasi. Tak ada pilihan lain, kecuali menghabiskan nasi goreng enak ini. Bagaimana tak enak, jika bumbunya pas, ditambah telur ceplok, dimasak dengan kasih sayang, diberi oleh cinta dan dimakan orang kelaparan, pastinya, enaknya pol! “Wah, nasi goreng! Kayaknya enak nih!” sedang asyik menikmati sarapan, tiba-tiba Agus sudah ada di depan kami dengan seringai di bibir, dia merampas sendok dari tanganku dan langsung menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. “Bon, ada nasi goreng gratis nih!” Agus berteriak memanggil Bondan, yang di sahuti dengan suitan dan tawa oleh teman-temannya.Bersambung.
Hola 👋
Ini adalah karya pertama saya di Goodnovel, happy reading 😘😘
“Kembalikan!” Alea merampas kembali sendok dari tangan Agus, tapi anak itu mengelak membuat Alea melotot marah. “Kembalikan, kataku!” Lea menggebrak meja dengan kedua tangan, sedangkan Agus hanya terkekeh. “Sudah Alea, biarkan saja. Aku juga udah kenyang kok! Kita pergi saja.” ucapku berbisik, lalu menggandeng tangannya hendak melangkah ke luar kelas, namun ditepis oleh gadis itu. “Kembalikan, atau aku aduin sama ibu guru!” ancamnya, membuat tawa Agus seketika berhenti. “Nih! Makan aja sisa gua.” Dilemparkannya sendok yang berada di tangan begitu saja ke atas meja. “Kali ini gua ngalah, tapi lo liat aja nanti, apa yang bakalan terjadi sama temen lo yang burik itu.” Sambil mengucapkan itu, Agus menunjuk ke arahku yang hanya bisa diam tak tahu harus berbuat apa. Alea memungut sendok yang tergeletak begitu saja di atas meja, lalu menyimpan kembali kotak bekalnya ke dalam t
“Diam kalian semua, apa kalian gak punya hati? Ibu Ucil lagi sakit dan kalian malah sibuk menjelek-jelekkannya!” Alea menggebrak meja dengan wajah penuh amarah. “Bukannya Ucil emang jelek, siapa yang menjelek-jelekkan?” Bono menanggapi ucapan Alea dengan hinaan dan senyum sinis. Mendengar itu, teman-temannya malah lebih riuh bersorak. Kali ini mereka menyoraki Alea, dan melemparinya dengan kertas. “Huh, sok pahlawan!” “Pahlawan kesiangan!” Tiba-tiba seisi kelas diam, saat Pak Rahmat memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran. Dalam hati aku bersyukur, bukan karena terbebas dari hinaan mereka, tapi karena Alea. Aku tidak mau dia menjadi bulan-bulanan, cukup aku saja!Aku melirik sekilas ke arah Alea yang duduk dua kursi di depanku, tapi sepertinya dia baik-baik saja. Syukurlah. Seharian, aku tak bisa konsentrasi, tak satu pun pelajaran yang bisa diikuti, kata-kata Reza dan yang lainnya terus
Kuamati amplop putih di tangan, membolak-baliknya seolah akan ada sesuatu yang keluar dari sana. Sudah beberapa hari ini aku ingin membaca surat yang ditinggalkan oleh ibu untukku, tapi entah kenapa ada rasa enggan tiap kali aku hendak membukanya. Surat terakhir ibu, juga sebuah kotak yang beliau titipkan pada Wak Samsul sesaat sebelum beliau meninggal kini sudah berada di pangkuanku. Perlahan kubuka kotak berwarna biru itu. Di dalamnya ada pakaian dan selimut bayi, sebuah foto juga sebuah kalung. Sedikit mengernyit, mengamati benda-benda di depanku. Masih tak mengerti, kenapa ibu meninggalkan ini untukku. Jika ini milikku, kenapa baru sekarang di berikan? Jika milik orang lain, kenapa diberikan padaku? Berbagai macam pertanyaan berkelebat di kepala. Kuraih amplop yang tadi sempat kuletakkan, dan membukanya. Ragu, aku membaca. Seketika mataku melotot membaca kalimat demi
Kupandangi gambar wanita di foto itu, ada desir halus dan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Kualihkan pandangan menatap gambar pria di sebelahnya. Tampan! Garis wajah, bentuk hidung, sangat mirip dengan milikku. Benarkah pria di foto itu ayahku? “Aku tidak mau ikut denganmu. Lagi pula aku tidak mengenal mereka. Di sini aku sudah hidup nyaman dan bahagia.” Aku berdiri, hendak melangkah masuk ke dalam rumah. “Jangan berbohong! Aku tahu apa yang kamu alami. Aku memperhatikanmu, sejak pertama kali kesini.” Sanggahnya cepat dan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun, dia telah melanjutkan kalimatnya. “Jika kamu muak dengan keadaan ini dan jika kamu ingin mengubah hidupmu, ikut lah denganku.” Aku tercekat mendengar penuturan pria setengah baya ini. Benar apa yang di ucapkannya. Aku sudah muak dengan keadaan ini. Aku memang ingin mengubah hidup, tapi .... &
Setelah sarapan pagi ini, aku, nenek dan Pak Lukman berangkat ke Rumah Sakit. Untuk tes DNA kata nenek dan aku ikut saja. Lagi pula, aku tidak tahu apa itu tes DNA. Selagi menunggu hasil tes keluar, nenek cek up kesehatan atas permintaan Pak Lukman. Awalnya, nenek menolak tapi karena aku ikut mendesak akhirnya nenek luluh juga. Hari mulai siang saat kami keluar dari Rumah sakit. Pak Lukman berinisiatif untuk makan siang terlebih dahulu, sebelum melanjutkan aktivitas. Sebuah rumah makan lesehan menjadi pilihan. Menu ikan gurami goreng, lalap, dan sambal terasi, lengkap dengan tahu dan tempe bacem, mampu mengingatkanku pada masa sulit ketika ibu masih hidup. “Kenapa, Leon? Kamu teringat rumah lamamu?” tanya nenek. Aku sedikit tersenyum, lalu menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa, kok Nek! Hanya teringat Almarhumah Ibu, beliau sangat suka ikan gurami goreng, seperti ini,” sahutku dengan mata mulai berkaca-kaca.
“Kira-kira dua belas tahun yang lalu, waktu kamu masih berumur dua bulan, seseorang mengambil kamu dari Box bayi di kamar saat mama sedang ke dapur membuatkan susu untukmu.” Mama mulai bercerita. “Saat kejadian itu, papa kamu sedang berada di luar kota. Karena panik, Mama menelepon papa, dan meminta papa untuk pulang.” Raut wajah mama seketika berubah muram, dielusnya punggung tanganku berulang kali dengan tangan yang mulai gemetar. “Papa pulang dengan pesawat tercepat, tapi saat dalam perjalanan dari bandara ke rumah, hiks ..!” mama tak mampu meneruskan ceritanya. Beliau terisak. Nenek menggeser posisi duduk di samping mama. Serta merta memeluk menantu tertuanya itu. “Sudah! Tidak usah diteruskan jika kamu belum kuat untuk bercerita.” Nenek menasihati mama, yang langsung kuiyakan. Begitu juga dengan Pak Lukman. “Biar saya yang memberitahu tuan muda, Nyonya!” pria yang sejak tadi lebih banyak
Sedang asyik termenung, aku dikagetkan suara bel tanda jam istirahat yang nyaring berbunyi. Aku terkesiap, dengan dada berdebar, menanti sebuah momen, di kantin ini. Tak sampai satu menit hingga suasana kantin menjadi ramai. Walaupun bukan kantin besar yang mewah, tapi kantin sekolah tetap menjadi tempat favorit siswa disaat jam istirahat. Aku menikmati gorengan dan segelas es teh dengan santai. Dari sudut mata, dapat kulihat pandangan menyelidik dari siswa yang berdatangan. Aku memang tidak memakai seragam sekolah. Tak berapa lama, orang yang kutunggu akhirnya memperlihatkan batang hidungnya. Segera aku bangkit dari duduk dan membayar gorengan yang tadi kupesan, tepat saat anak itu juga memilih makanan, aku menyela. Awalnya dia ingin membentak, tapi saat melihat siapa yang menyela, sikapnya langsung melunak. Sedikit gugup dia memberi ruang padaku dengan bergeser ke samping. Aku tersenyum sinis. Setelah menerima ke
Aku lulus dengan nilai baik tapi tidak memuaskan. Seharian semangatku hilang dan hanya uring-uringan di kamar. Bik Munah datang dan meminta agar aku menemui Nenek dan Paman di bawah.“Ada apa, Nek?” kuhempaskan tubuh ke sofa dengan wajah ditekuk. Bibir Paman sedikit tertarik ke atas hingga membentuk lengkung samar saat melihat wajah masamku.“Wajahmu, kenapa?” Gantian, Paman yang bertanya padaku sebelum nenek menjawab apa yang baru saja kutanyakan. Kulirik Paman dengan ekor mata, melipat tangan di depan dada lalu mendengkus kasar.“Bosan!” jawabku. Yang langsung disambut gelak tawa mereka berdua.“Kenapa gak main ke kompleks belakang rumah? Atau ke Mal, atau mau nenek belikan PS buat main game? Kamu mau apa, bilang saja.” Nenek meletakkan kertas-kertas yang tadi bertumpuk di pangkuannya ke atas meja lalu bergeser lebih dekat. Mengelus pucuk kepala dan mencium dari samping.“Hum, sebenarnya Leon kepingin komputer, atau