Share

Sang Pewaris
Sang Pewaris
Author: kimmy ara

Leon kecil, bernama Ucil

Aku berjalan terseok-seok dengan sebelah kaki pincang dan wajah lebam karena habis dipukuli. Sesekali aku berhenti lalu meringis saat menyentuh luka di wajah tirusku. Di bawah pohon jambu samping rumah, aku, Ucil,  duduk di atas balai-balai yang terbuat dari bambu. Punggung bersandar pada pohon jambu, dengan sebelah kaki diluruskan. Aku termenung, pikiran menerawang jauh, seolah mencari jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi otak kecilku.

 

“Hey,” sebuah suara membuyarkan lamunan. Aku berusaha tersenyum, yang malah jadi lebih mirip seringai, demi melihat sosok yang kini telah duduk manis di sampingku.

 

“Berkelahi lagi?” Kembali sosok itu bertanya, tapi kali ini tangannya mulai membuka sebuah kotak yang ada pangkuannya. Kotak obat. Aku hanya meringis sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku memang akan berubah menjadi orang bodoh jika berhadapan dengan sosok satu ini.

 

Sosok yang selalu ada saat aku merasa sendiri, sosok yang selalu membantu berdiri saat aku jatuh, atau saat aku bersedih. Tapi sosok ini juga bisa berubah menjadi sangat cerewet jika aku melakukan kesalahan. Kesalahan yang belum tentu adalah sebuah kesalahan.

 

Namanya Azalea, seperti nama bunga. Cantik dan anggun. Dia satu-satunya manusia yang mau berteman denganku, menurutku! Tentunya, ibuku tidak dihitung.

 

Aku masih asyik memperhatikan gerak-gerik Alea, saat tiba-tiba kepala itu mendongak. Ada hening yang tercipta, kala pandangan kami bertemu, lalu canggung.

 

“Sini!” Alea menarik tanganku agar mendekat padanya, membuat rasa yang mulai menggumpal di dada menjadi semakin menggila. Kini dia mulai mengoleskan obat di sekitar luka dengan mulut yang tak berhenti mengoceh. Anehnya, bibirku malah tertarik ke atas, membentuk lengkung sempurna.

 

“Idih! Malah senyum-senyum.” Itulah yang kumaksud dengan kesalahan yang belum tentu kesalahan. Bagi Alea, adalah kesalahan tiap kali aku pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja dan aku hanya bisa meringis menahan sakit tiap kali tangannya menekan luka di wajahku, sedikit lebih kuat.

 

***

 

“Ibu hari ini gak usah kerja, biar Ucil saja nanti yang kasih makan kambing Mang Mamat, sepulang dari sekolah. Ibu istirahat saja, ya Bu?” Kusuapi ibu dengan perlahan, rasa perih menyeruak menyelusuri ruang kalbu. Tanpa sadar mataku mulai berembun. Cepat-cepat aku bangkit, mengambil cangkir plastik di atas meja usang yang salah satu kakinya sudah dimakan rayap, mengisinya dengan air lalu menyodorkan ke tangan ibu.

 

“Minum dulu, Bu!” ucapku pelan, berharap ibu tidak menyadari suaraku yang bergetar.

 

“Kamu enggak usah tungguin ibu selesai makan, ibu masih bisa sendiri. Kamu berangkat sekolah saja, Nak! Nanti telat.” Diterimanya cangkir yang kusodorkan dengan sebelah tangan, satu tangannya kemudian meraih tanganku dan di genggamnya erat. Hangat!

 

“Iya, Bu. Ini juga Ucil mau berangkat, kok!” Kubalas genggaman tangan ibu, berusaha meyakinkan beliau bahwa semua akan baik-baik saja. Walaupun aku sendiri tidak yakin akan hal itu. Setelahnya, aku bangkit dan merapikan tempat tidur ibu yang juga berada di ruangan itu.

 

Rumah kami memang hanya terdiri dari dua ruangan. Ruangan utama, yang berfungsi sebagai ruang multifungsi, dan ruang dapur untuk memasak. Di ruang utama ini, ada sebuah ranjang kayu tua, dengan kasur yang sudah kempes dan penuh dengan tambalan. Di sisi tempat tidur, ditaruh mesin jahit rusak yang beralih fungsi menjadi nakas, tempat menaruh obat dan air minum untuk ibu. Lalu di tengah ruangan ada kursi kayu dan meja yang kaki-kakinya sudah lapuk dimakan rayap.

 

Sebelum berangkat ke sekolah, aku akan menyiapkan sarapan untuk ibu, menyuapinya, lalu menyimpan piring bekas makan ke dapur. Kemudian meletakkan teko dan cangkir di atas mesin jahit rusak dekat tempat tidur, agar beliau lebih mudah mengambil air jika sewaktu-waktu beliau haus.

 

“Ucil pamit Bu!” kucium punggung tangannya sebelum meraih tas usang yang tergantung di samping pintu, satu-satunya tas yang kumiliki.

 

“Ucil ...!” lirih, ibu memanggil membuat langkahku terhenti. Entah kenapa, jantung berdetak lebih cepat saat mendengar ibu memanggil dengan cara seperti itu.

 

“Iya, Bu? Apa ada yang ibu butuh kan lagi atau ada yang sakit?” Kuletakkan kembali tas yang telah tersandang ke atas meja. Mendekati ibu dengan perasaan, yang entah ....

 

“Tidak ada apa-apa, Nak! Ibu cuma mau minta tolong, nanti kamu lewat dari depan rumah Wak Samsul suruh kemari, ada yang mau Ibu omongin.” Aku mengangguk.

 

“Sudah, sana berangkat! Keburu siang.”

 

“Iya, Bu! Ibu juga jangan lupa minum obat. Jangan kerjain apa-apa, istirahat saja biar cepat sembuh.” Aku berlalu dari hadapan ibu, setelah mengucap salam. Entah kenapa, hari ini terasa ada yang aneh.

 

***

 

Sekolah masih sepi saat aku melangkahkan kaki memasuki gerbang. Sekolah tempatku belajar bukanlah sekolah besar dan luas. Jadi, aku bisa melihat seluruh bagian depan sekolah dari sini dan seperti biasa, di depan kelas 6 -A sudah berdiri lima orang anak laki-laki sebaya denganku. Amir, Bondan, Agus, Reza dan Bono. Aku sudah mengerti kenapa mereka menunggu di depan kelas, apalagi kalau bukan minta contekan Pe-er. Aku meneruskan langkah menuju kelas. Setelah dekat, dengan malas kukeluarkan buku tulis dari dalam tas lalu menyodorkan ke arah Bondan yang langsung di sambutnya dengan seringai.

 

“Bagus! Gua kira lo gak bakalan tepati janji lo. Hehe.” Bondan menggebuk kepalaku memakai buku yang baru saja kuberikan, membuat keempat temannya tergelak, dan melakukan hal yang sama dengan tangan dan kaki mereka kepadaku sebelum melangkah masuk ke dalam kelas. Kukepal tangan dengan kuat, menahan luapan emosi yang hampir saja tak terbendung.

 

“Kok, bengong? Ayo, masuk!” tiba-tiba saja Alea sudah berdiri di belakang. Seperti di hipnotis, kuikuti Alea ke dalam kelas, masih membisu karena amarah yang belum sepenuhnya hilang.

 

Setelah meletakkan tas, Alea duduk di kursi bersisian denganku. Ada kotak bekal di tangannya.

 

“Nih, tadi bunda masak nasi goreng, disuruh deh bawain. Kamu pasti belum sarapan. Dimakan ya!” 

Alea meletakkan kotak bekal itu di atas meja, aku memandang ragu. Ada rasa bahagia, menyadari Alea peduli padaku seperti saat ini. Namun rasa itu berubah menjadi perih, membayangkan kepedulian itu hanya karena rasa kasihan. Tidak lebih.

 

Aku bergeming, menyadari bahwa aku tak pantas. Tak pantas menerima perhatian seperti ini, walau hanya sebatas kasihan.

 

Ucil, memangnya siapa dirimu?

 

“Ayo, dimakan! Atau aku suapin?” ujarnya berseloroh, tapi mampu menghadirkan hawa panas di wajah. Melihat aku masih diam saja, Alea membuka kotak bekal dan mengambil sendok yang sudah tersedia di dalam lalu menyendok sesuap nasi goreng dan mengarahkannya padaku dengan ekspresi wajah menggemaskan. Dua alisnya dibuat turun naik dengan senyum di bibir. Buru-buru kutahan tangannya, dan rasa itu kembali bergejolak, saat tangan kami bersentuhan, membuat jantung berdetak sepuluh kali lebih cepat. Tuhan, tolong! Aku tidak mau kena serangan jantung. Kutarik kembali tanganku dengan cepat.

 

Alea seketika menunduk, ada rona merah di wajah putihnya, membuat kecantikannya meningkat seribu persen. Aku tersenyum kaku, setelah mengambil sendok dari tangannya, langsung melahap nasi goreng di hadapanku dengan khusyu’ tanpa berani mengangkat wajah.

 

Apalagi yang bisa kulakukan di saat seperti ini, agar tidak kelihatan bodoh, selain melahap nasi goreng ini.

 

Eh, tunggu! Apa aku memang terlihat bodoh?

 

“Arrgghh.” Aku mengerang, frustasi. Tak ada pilihan lain, kecuali menghabiskan nasi goreng enak ini.

 

Bagaimana tak enak, jika bumbunya pas, ditambah telur ceplok, dimasak dengan kasih sayang, diberi oleh cinta dan dimakan orang kelaparan, pastinya, enaknya pol!

 

“Wah, nasi goreng! Kayaknya enak nih!” sedang asyik menikmati sarapan, tiba-tiba Agus sudah ada di depan kami dengan seringai di bibir, dia merampas sendok dari tanganku dan langsung menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

 

“Bon, ada nasi goreng gratis nih!” Agus berteriak memanggil Bondan, yang di sahuti dengan suitan dan tawa oleh teman-temannya.

Bersambung.

Hola 👋

Ini adalah karya pertama saya di Goodnovel, happy reading 😘😘

Comments (1)
goodnovel comment avatar
irbatkO
Cara berceritanya keren!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status