“Perkenalkan, nama saya Bagas Hutomo. Putra pemilik Grup Hutomo.” Serunya lantang membuatku ingin muntah.
Jadi ini, anaknya tante Soraya? Persis Ibunya! Aku bersenandika.
Semua anak bertepuk tangan, kecuali aku. “Hey! Kamu gak dengar, Kak Bagas memperkenalkan dirinya,” seru salah satu kakak kelas cewek yang penampilannya mirip ondel-ondel.
“Dengar!” sahutku acuh.
“Kenapa diam saja?” tanyanya, lagi.
“Trus gua harus bilang WOW! Gitu?” ucapku menirukan salah satu iklan televisi, membuat yang lain tertawa. Namun tidak demikian halnya dengan Bagas. Wajahnya seketika merah padam, dengan wajah ditekuk dia melangkah kearahku.
“Kamu jangan berlagak hebat disini!” Dia menjulurkan tangan kearahku berusaha untuk mendorong, aku sedikit bergeser ke samping menyebabkan tangannya mendapati tempat kosong. Tubuhnya terhuyung ke depan, membuat semua orang kembali te
Aku sedang melahap semangkok bakso saat, tiba-tiba saja ada bola terbang yang hinggap tepat di atas meja, menyebabkan bakso yang masih panas itu berhamburan. Sebahagian mengenai baju, juga wajah. Ku seka wajah dengan tisu, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari asal bola kesasar tadi. Pandangan langsung tertumpu pada Bagas dan gengnya yang terbahak-bahak melihat keadaanku. “Kau cari mati, rupanya!” desisku tajam. Sambil berkata begitu, bola yang sejak tadi sudah ditangan, kulempar kembali ke arag Bagas. Telak! Mengenai kepalanya. Seketika semua terdiam. Aku melompat dan menerjang Bagas. Perkelahian pun terjadi. Sorak sorai anak-anak meramaikan perkelahian itu. Bukan perkelahian sebenarnya, tapi pembantaian! Aku menghajarnya, tanpa memberi kesempatan untuk membalas. Teman-temannya? Mereka hanya menonton, tanpa berani membantu. Huh! Teman macam apa itu! “Leon! Lagi-lagi kalian. Apa tidak bosan berkelahi te
“Leon, Mama mau bicara sesuatu!” seru mama saat aku hendak berangkat ke sekolah. Kuhampiri mama dan duduk disebelah beliau. “Iya, Ma!” ku masukkan sepotong besar roti dengan selai nenas kedalam mulut, setelah menyahuti perkataan mama. “Mama berharap, kali ini kamu tidak akan berbuat yang aneh-aneh lagi di sekolah! Kamu tau? Mama sangat malu dipanggil ke sekolah gara-gara, tingkah absurd mu itu.” Wanita bergaun merah maroon, yang tadi sibuk dengan laptop di hadapannya itu, seketika menghentikan aktifitas. Kali ini mata bermanik coklat itu menatap lurus ke arah ku. Kedua tangan di silangkan di depan dada. Aku berdebar. “Sebenarnya, Guru itu hanya melebih-lebihkan, Ma!” aku membela diri. Kulihat alisnya terangkat, dengan kening berkerut. “Iya! Bukannya, Bu Maria bertanya, satu kalimat yang paling kufahami selama belajar dengannya? Dan kujawab, I love you! Salahnya dimana, coba? Kan, memang benar
Bukan depan, aku Ulang tahun yang ke -17. Nenek sudah memberi perintah pada Paman Lukman, untuk membuat acara pesta, di sebuah hotel berbintang.Rencananya, nenek akan mengundang seluruh kolega dan partner bisnis Hutomo grup. Sekaligus memperkenalkan pewaris Hutomo grup secara resmi.“Apa itu harus dilakukan Nek?” aku duduk di sebelah nenek, memperhatikan wanita tua yang masih terlihat sangat sehat itu, sibuk memberikan pengarahan kepada Paman Lukman, tentang konsep acara yang diinginkannya.“Perlu! Tentu saja, itu sangat perlu dilakukan, Leon! Partner bisnis kita, dan juga para relasi, sudah saatnya, mengetahui siapa pewaris grup Hutomo yang sesungguhnya.” nenek berbicara dengan tegas, membuatku tak bisa berkata apa-apa. Mungkin ini memang perlu untuk dilakukan, jadi aku ikut saja.Kemudian mama datang, dan bergabung dengan kami. Menyerahkan selembar kertas yang sudah berisi
“Apa, Ibu bilang? aku tidak boleh ikut campur? Kenapa, aku tidak boleh ikut campur! aku juga menantu Ibu. Bagas itu juga cucu ibu. Kenapa ibu selalu pilih kasih kepada kami? Aku sudah muak! Aku sudah muak Ibu perlakukan seperti ini!”“Diamlah Soraya! atau Apal perlu aku mengungkap semua rahasiamu di sini?”Mendengar ucapan nenek, tante Soraya mendadak bungkam. Diketakkannya gelas yang berada di genggaman, ke atas meja, lalu berbalik, dan hendak melangkah pergi, saat Bagas mencekal pergelangan tangan ibunya.“Ibu, apa-apaan, sih! Kenapa ibu menentang nenek?” di hardiknya wanita yang telah melahirkannya itu, dan menyeretnya keluar.“Maaf, Nek! Saya mohon maaf, untuk semua yang ada di ruangan ini, karena ibu saya telah merusak acara penting ini. Saya mohon maaf, yang sebesar-besarnya!” Sebelum pergi, Bagas meminta maaf kepada nenek dan seluruh tamu undanga
“Sorry ya, baju lo jadi kotor!” kusodorkan saputangan untuk cewek itu, dan disambutnya dengan senyum. “Makasih, kak! Ini bukan salah kakak, kok. Aku yang pengen datang ke acara ini. Hehe.” Cewek itu, masih sempat tertawa, padahal sudah di sakiti. Aku jadi merasa semakin bersalah. “Maaf, tapi aku belum tau nama kamu.” Ya, ampun Leon! Lo jadi cowok kok bego amat, sih? Udah sampe kesini-sininya, baru mau ngajak kenalan! Dasar! Kugaruk tengkuk yang tak gatal, melihat cewek itu kembali tertawa. Sumpah! Gua jadi ngerasa kek badut. Aku nyengir kuda, mengulurkan tangan, dan berkata,” Hai, aku Leon!” tapi cewek itu malah semakin kuat tertawa. Aku membeku. “Udah, santai aja lagi, kak! Ah, iya! Namaku Hanna,” diulurkannya tangan, menyambut jabatan tanganku, yang menganggur sejak tadi. Dia kembali tersenyum. J
Seminggu yang lalu. Siang yang cerah, tapi tidak seperti itu yang terlihat, di wajah cantik seorang gadis berseragam putih abu-abu, yang sedang menunggu bus, sejak tadi. Pandangannya hanya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tak lama, sebuah bus berhenti tepat di depannya, orang-orang pun berebut untuk naik, tak terkecuali gadis tadi. Dengan susah payah, setelah sebelumnya sempat di dorong-dorong, hingga hampir tertinggal, akhirnya dia berhasil untuk naik. Tapi ternyata tidak ada kursi yang kosong lagi untuknya, dengan terpaksa dia harus berdiri, dan berdesakan dengan penumpang lain, yang hampir semuanya cowok. Terdengar helaan nafas panjang dari bibir gadis itu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia lalu merogoh saku tas sekolah yang tergantung di punggung, dan mengambil ponsel. Sejenak dia sibuk dengan benda itu, lalu menyimpannya kembali. Suasana yang panas dan padatnya penumpang, membuat u
“Aku suka yang itu!” ucap Alea menunjuk sebuah jam tangan dengan tali berwarna silver, dipadu warna hitam bingkai kaca dan angka, juga jarum jam. Sangat elegan dan mewah.“Yang itu?” tanya Lukman, mengulangi pertanyaan Alea.“Hum!” jawab gadis itu dengan anggukan.Penjaga toko pun mengambil jam tangan yang dimaksud Alea dari dalam etalase kaca dan menyerahkannya pada Lukman. Wajah Lukman terlihat berseri-seri, melihat jam tangan pilihan Alea. Merk Rolex, kelihatannya dia juga menyukai model jam itu.“Bagus! Aku pesan yang ini!” seru Lukman, dan menyerahkan jam tangan itu kembali kepada penjaga toko, untuk di bungkus.“Apakah bisa dibungkus dengan kertas kado? Itu untuk hadiah soalnya!” ucap Lukman, pada penjaga toko, ragu!“Tentu saja, bisa Pak! Toko kami memang memberi pelayanan gratis untuk i
Pagi sekali, aku kembali menghubungi Paman Lukman. Beruntung, kali ini pria itu mengangkat tekeponku. “Halo, Leon! Ada apa pagi-pagi menelepon. Ini baru jam 6, apa terjadi sesuatu?” tanya pria di seberang sana. “Iya, Paman! Aku mau tanya hal penting!” “Hal penting? Baiklah! Aku akan segera kesana!” “Tidak perlu, Paman! Aku hanya mau tahu, hadiah dari Paman dua hari yang lalu, itu –“ tiba-tiba, aku merasa bodoh menanyakan hal itu pada Paman Lukman. Bukankah sudah jelas, jika kado itu darinya? Tapi aku penasaran. “Halo! Leon? Ada apa, sebenarnya kau mau menanyakan apa?” suara Paman Lukman di seberang terdengar sedikit tidak sabar. “Soal kado, yang Paman berikan,” aku mengulangi ucapanku. “Apakah, isi pesan di kartu itu, benar-benar dari Paman?” akhirnya aku mengubah pertanyaannya. “Iya! Kenapa? Apakah ada yang salah?” tanya Pa