"Ini rumah siapa?" Lisa turun dari motor, menatap rumah dengan halaman sejuk dan asri di depannya. Tanah halaman dan tanamannya masih basah, mungkin baru saja disiram.
Lisa tidak punya ide sama sekali rumah siapa yang Ares datangi kali ini. Ares tidak mungkin kan mengajak Lisa pergi ke salah satu rumah temannya?
"Masuk aja dulu." Ares juga turun dari motor, melepas helm. Pemuda itu melangkah ke teras diikuti Lisa di belakangnya. Belum sampai mengetuk pintu, seseorang di dalam rumah sudah membukakan pintu dari dalam.
"Oh ternyata kalian berdua. Kapan sampai?"
Lisa tersenyum ketika melihat seseorang yang menyambut di depan pintu. Itu Oma, nenek Ares. Pertama dan terakhir kali Lisa bertemu saat acara pernikahan dua minggu yang lalu.
Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu yang selalu mendampinginya di hari pernikahan. Ia ingat sekali Oma sempat bercerita panjang lebar tentang pernikahannya dul
Matahari masih bersinar terik di atas sana. Lisa melirik jam tangan, pukul setengah tiga. Ia segera duduk di dekat Ares, di trotoar dengan dedaunan rimbun di atasnya, memberikan es kelapa muda yang baru saja ia beli kepada pemuda itu."Minum dulu, Res. Belum ketemu masalahnya?" Lisa bertanya.Motor Ares tiba-tiba macet tadi. Entah karena apa. Padahal Lisa sudah menyusun kegiatan yang akan ia lakukan di rumah setelah pulang sekolah nanti---ia punya banyak tugas. Sepertinya Lisa memang perlu menjadwal ulang hal itu setelah ini.Lisa juga baru tahu motor semahal dan sekeren milik Ares bisa macet juga di tengah jalan. Yang jadi masalah, ponsel pemuda itu lowbat sehingga tidak bisa meminta bantuan bawahan papanya. Bisa saja memakai ponsel Lisa, tetapi pemuda di sebelahnya itu tidak ingin sekali menganggu papanya yang sedang berada di luar negeri. Ralat, sebenarnya Ares hanya gengsi. Lira menghubungi bundanya saja dicegah, bil
"Sa, ayo nonton!"Lisa menekuk wajah, menoleh malas ke arah Ares. "Liat nggak sih aku lagi ngapain?" ujarnya lalu melanjutkan acara menyapu ruang tengah."Setelah nyapu Walking Dead, ya? Season tujuh." Ares berkata lagi.Lisa menggeleng. "Aku mau ke kamar."Dasar, Ares. Lisa tidak mengerti mengapa pemuda itu jadi ketagihan menonton film thriller. Padahal terakhir menonton saja ekspesinya ketakutan dan sering reflek ingin memeluknya. Bukannya PD, tapi sepertinya Ares bukan ketagihan menonton film thriller, tetapi ketagihan reflek mendekat ke Lisa. Dasar, modus. Ia jadi malas menonton film thriller dan semacamnya bersama pemuda itu. Tidak seru sama sekali."Besok nggak ada PR.""Tapi besok harus bangun pagi." Lisa menimpali, masih menyapu.Sebenarnya Lisa tidak pernah menyapu rumah barunya. Bi Inah yang selama ini melakukannya. Berhubung Bi Inah dan Pak Udin izi
Ruang perpustakaan sepi senyap.Lisa berjalan memutari rak buku sejarah, mencari buku yang bisa menunjang tugas sekolahnya. Ia hanya sendiri, tidak ada Ares. Lisa tadi pergi diam-diam meninggalkan Ares di kantin saat istirahat. Mungkin saat ini pemuda itu sedang kebingungan mencari dirinya.Saat ingin mencari tempat duduk untuk membaca, tiba-tiba Lisa terjegal kaki seseorang yang menyembul keluar dari salah satu meja perpustakaan. Beruntung tangannya sigap menumpu meja, sehingga tidak sampai jatuh ke lantai."Lisa? Kamu nggak papa? Sori kakiku bikin kamu hampir jatuh," ucap seseorang.Lisa menoleh, menemukan Kak Bayu berdiri sembari menatap bersalah ke arahnya. Beberapa kertas soal terlihat di atas meja yang ia tempati. Pantas saja. Kak Bayu itu tinggi. Kakinya pasti panjang sehingga Lisa bisa terjegal saat berjalan tadi.Lisa mengangguk, tersenyum. "Nggak kenapa-kenapa kok, Kak. Santai," ujarnya. "
Lisa tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini Ares bertingkah menjijikkan; cemburu tidak jelas.Sehari yang lalu Ares cemburu hanya karena Lisa satu kelompok diskusi dengan Dimas. Tadi, sebelum ke kantin, Ares sebal karena Lisa selalu sibuk chatting dengan Vian---padahal tidak se-alay itu. Dan sekarang, saat Lisa dan Kak Bayu keluar dari perpustakaan kemudian berbincang-bincang sebentar, tiba-tiba pemuda Reigara itu datang, merangkul pundak Lisa lalu menariknya pergi dari sana."Eh?" Lisa yang kaget segera berhenti melangkah, membuat pemuda di sebelahya ikut berhenti."Mau kemana?" tanyanya."Ayo balik ke kelas," kata Ares datar.Kak Bayu di belakang sana langsung terkekeh. "Udah sana pergi, Sa. Lagian sebentar lagi bel masuk," ujar kakak kelasnya itu.Lisa mengangguk, berucap, "Yaudah, duluan ya, Kak."Kak kelasnya itu tersenyum.Setelahnya Ares kemb
Lisa menutup laptop, menyenderkan tubuh pada kursi belajar di belakangnya. Ia baru saja menyelesaikan tugas makalah Sejarah. Di sisinya, beberapa buku referensi menumpuk.Lisa tidak pernah main-main dengan tugas. Jika diberi, ia akan menyelesaikannya sebaik mungkin. Tidak hanya men-copy paste seperti murid-murid kebanyakan. Menurutnya itu kurang memuaskan. Ia ingin menciptakan sesuatu, bukan hanya meminjam milik orang.Lisa suka Sejarah. Baginya mempelajari sesuatu yang terjadi di masa lampau itu menyenangkan. Ia bisa mengambil pelajaran, memahami bahwa kehidupan itu tidak selalu berada di atas satu titik.Seperti bagaimana manusia dahulu hidup. Jatuh, kembali bangkit, lalu berada di puncak kejayaan, untuk kemudian hancur dan lenyap. Hal itu menyadarkan Lisa bahwa kesenangan itu sementara. Ada kalanya kesedihan mengambil alih. Dan manusia tidak tahu kapan hal itu terjadi.Lisa menoleh ketika handphone-nya yang berad
"Kapan sampai sini?" Lisa bertanya setelah bertemu Arvin."Sejam yang lalu," jawab pemuda itu. "Harusnya kemarin, tapi penerbangan nya di-delay. Cuaca Sydney ekstrim banget."Lisa ber-oh ria, mengangguk mengerti. "Yaudah, ayo. Mau kemana? Serius nggak ke rumah dulu? Nggak capek? Tidur bentar gitu? Terus bawaanmu gimana?" tanya Lisa, celingak-celinguk mencari koper Arvin."Aku nggak bawa apa-apa. Cuma tas satu." Arvin berkata, menunjukkan tas hitam selempang yang ia bawa."Serius?" Lisa menatap tak percaya. Arvin itu anti ribet sekali. Pergi Australia-Indonesia yang dibawa hanya satu barang. Oleh-oleh saja tidak ada. Dasar."Seriuslah. Makanya ayo jalan-jalan." Arvin bangkit berdiri, merangkul pundak Lisa. "Udah enam bulan nggak pulang. I miss everything in this country," ujarnya."Makannya jangan sok sibuk. Perasaan baru kuliah tahun kedua." Lisa mencebik."Justru i
My location unknowntryna find a way back home to you againGotta get back to you gotta gotta get back to youI don't want to be wasting time without youDon't want to throw away my life I need youSomething tells me we'll be alright***Jalanan ramai. Lampu-lampu kota menyala terang.Ares berjalan tidak terarah, menendang kencang-kencang apapun barang yang ia temui di jalan. Hampir enam jam ia berjalan mengelilingi kota. Berjalan, garis bawahi. Ia sudah seperti orang gila melihat rute perjalanannya yang benar-benar panjang. Lebih parahnya, ini hampir pukul sebelas malam dan ia masih tidak tahu akan kemana."Lagian, aku tanya, hubungan kita apa?"Ares tersenyum pahit. Perkataan Lisa terngiang-ngiang di otaknya. Ia tidak pernah merasa semenyedihkan ini. Jatuh cinta sendiri, dan tersakiti sendiri.Tidak... Ares tidak akan menyerah. Ia hanya sed
Lisa melirik sekilas jam dinding di kamarnya. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari.Di luar sana masih hujan deras, belum berhenti sejak pukul sebelas tadi. Lisa menaruh kain kompres di dahi Ares, mengecek sebentar suhu badan pemuda yang sedang terlelap di depannya dengan punggung tangan. Suhu tubuh Ares lumayan turun, tidak setinggi tadi, membuat Lisa bernapas lega. Padahal tadinya ia berencana menghubungi bundanya jika panas pemuda Reigara itu tidak turun juga.Masalahnya Lisa tidak berpengalaman. Ia tidak pernah menangani orang demam sendiri sebelumnya.Tadi Ares sempat bangun, makan roti sedikit, lalu minum obat. Setelahnya pemuda itu tidur. Bukan di kamarnya sendiri, tetapi di kamar Lisa. Ares terlalu lemas meskipun hanya untuk berpindah kamar.Dan yang membuat Lisa heran, tidak ada motor Ares di depan rumah saat Lisa mengeceknya. Pemuda itu pulang dengan apa? Berjalan kaki? Astaga... Yang benar saja?