Lift berbunyi ting ketika pintu terbuka di lantai tiga. Rakha buru-buru melangkah keluar, tapi suara temannya menahannya sebentar.
“Rak!” panggilnya. Rakha menoleh cepat. “Apa lagi?” Temannya menyunggingkan senyum setengah menggoda, setengah serius. “Apa pun hasilnya nanti… jangan kabur, Bro." Rakha mendengus, buru-buru nyela. “Kan udah gue bilang, ini buat nyokap gue, bukan buat Vira—” Rakha langsung nutup mulutnya sendiri, terlambat sadar. Temannya mendelik, nyaris teriak. “HAH?! VIRA??” Rakha panik, wajahnya merah padam. “Eh, anj— maksud gue bukan gitu! Salah ngomong gue tadi.” Temannya menyilangkan tangan, tatapan penuh kecurigaan. “Rakha, Rakha… lo pikir gue bego? Dari dulu kalian ribut mulu kayak Tom & Jerry, sekarang tiba-tiba lo keluar malem-malem beli beginian, terus keceplosan nyebut nama Vira? Gila, plot twist banget hidup lo.” Rakha nyaris kehabisan kata-kata. “Sumpah, nggak kayak yang lo pikirin. Gue cuma… ya dia tadi sakit, muntah-muntah. Gue panik, makanya gue beliin. Udah, titik.” Temannya ngakak kecil, lalu menepuk bahu Rakha. “Ya udah deh. Gue nggak ikut campur. Cuma satu pesan gue, Bro…” Ia mencondongkan badan, senyumnya licik. “…jangan kebanyakan ngeles. Hati-hati nanti lo sendiri yang nyemplung.” Rakha mendengus sambil menahan malu. “Apaan sih… Ya udah, gue duluan. Besok jangan bikin gosip aneh-aneh lo!” Temannya ngakak lagi. “Santai, Bro. Semoga lo nggak meledak bareng si Vira!” Rakha makin cepat jalan menuju pintu apartemennya, pura-pura nggak denger, sementara jantungnya masih dag-dig-dug gara-gara keceplosan barusan. Begitu pintu apartemen dibuka, Vira yang tadinya rebahan di sofa langsung bangkit. Wajahnya masih pucat, rambutnya berantakan. Matanya melirik cepat ke plastik di tangan Rakha, tapi bibirnya justru manyun. “Lo seriusan beli?” tanyanya, setengah nggak percaya. Rakha menarik napas, lalu mengangguk sambil nyodorin kantong kecil itu. “Iya. Gue nggak mau kita cuma nebak-nebak. Daripada lo panik sendiri, mending kita buktiin sekarang.” Vira mengernyit. “Kita? Yang hamil gue, Rak. Bukan lo.” Nada suaranya ketus, tapi samar-samar ada getar aneh di sana. Rakha terdiam sejenak, lalu menurunkan suaranya, lebih lembut tanpa ia sadari. “Justru karena itu, Vir. Lo nggak sendirian, gue ada di sini." Vira menoleh, kaget karena Rakha nggak nyolot balik kayak biasanya. Tanpa sadar, Rakha nerusin lagi, kali ini agak ceplas-ceplos, “Lagian… ya emang gue bapaknya, kan? Gue yang bikin.” Vira langsung membeku. Matanya melebar, wajahnya merah padam dalam sekejap. “A-apa sih lo ngomong apa, Rak?” suaranya terbata, jelas dia grogi. Rakha juga sama paniknya. Baru sadar kalimatnya keblabasan, dia buru-buru ngusap tengkuk, ngerasa bodoh sendiri. “Eh… maksud gue bukan gitu. Ya… pokoknya jangan mikir lo sendirian, gitu aja.” Suasana mendadak hening. Degup jantung mereka berdua kayak kedengeran jelas di ruangan itu. Akhirnya Vira buru-buru ke kamar mandi “Gue… gue ke kamar mandi dulu.” Suaranya cepat, nyaris kayak kabur, lalu ia ngibrit masuk WC dan nutup pintu rapat-rapat. Rakha terdiam di sofa, nutup wajahnya dengan kedua tangan. “Astaga… kenapa mulut gue bisa keblabasan kayak gitu?” gumamnya, tapi entah kenapa di balik rasa malunya ada sedikit lega seolah beban di dadanya pelan-pelan berkurang. Di dalam kamar mandi, Vira berdiri dengan tangan sedikit gemetar. Plastik test pack itu udah dia buka, tapi rasanya jantungnya kayak mau copot. “Kenapa gue jadi segini paniknya, sih…” gumamnya pelan sambil ngaca. Wajahnya kelihatan pucat, tapi pipinya masih hangat gara-gara kalimat Rakha barusan yang tanpa sadar bikin dia salah tingkah. “Gue bapaknya… gue yang bikin.” Ucapan itu muter-muter di kepalanya, bikin perutnya tambah nggak tenang. "Apa jangan jangan-jangan Rakha mulai suka yah sama gue makanya dia jadi perhatian gini?". Vira geleng-geleng sambil ngetawain diri sendiri, “Vira, please deh… jangan kebanyakan halu. Dengan napas berat, Vira akhirnya memberanikan diri buat pakai test pack itu. Jarum detik jam di kamar mandi seakan bunyinya jadi makin keras. Satu menit aja rasanya kayak lima belas. Di luar, Rakha duduk di sofa sambil nggak bisa diem. Kakinya gelisah, tangannya mainin remote TV yang bahkan nggak dia nyalain. Dia nunduk, kepikiran, Ya Tuhan… kalau beneran gimana? Gue siap nggak, sih?. Dari balik pintu kamar mandi, suara Vira terdengar samar. “Rak…” Rakha langsung berdiri, mendekat ke pintu. “Kenapa, Vir? Lo baik-baik aja?” “Emm… ini…” Vira terdengar ragu, suaranya pelan banget. “Gue takut liat hasilnya.” Rakha nyenderin kening ke pintu, nadanya pelan tapi mantap. “Udah, buka aja, Vir. Apa pun hasilnya, lo nggak sendirian. Gue di sini kok.” Vira diam sebentar, lalu senyum kecil muncul di wajahnya. Senyum khasnya yang suka bikin Rakha salah tingkah. Dia ketawa pelan, agak menunduk. “Lo mulai suka gue, yah?” suaranya setengah bercanda tapi ada getar deg-degan di dalamnya. “Soalnya gue perhatiin… lo perhatian banget sama gue.” Rakha langsung kaget, matanya melebar, tenggorokannya tercekat. Dia garuk belakang lehernya, berusaha nutupin rasa gugup. “Ya… ya kan itu anak gue juga, bego.” jawabnya cepat, tapi suaranya agak patah-patah. Dalam hati Rakha malah makin kacau "Kenapa sih semua orang bikin gue gini? Kenapa harus dia juga yang bikin gue nggak bisa tenang?". Hening beberapa detik. Rakha akhirnya maju, duduk lebih dekat. Tangan Vira yang masih sedikit gemetar ditarik pelan, lalu mereka sama-sama natap test pack yang ada di genggaman. Dengan napas tertahan, Vira akhirnya buka tisu pembungkus itu…Cowok itu Kevin, dia ngangkat dagu sambil nyengir ramah. “Hai, Vir." "Lo sendiri aja nih?" tanya Vira sambil senyum tipis. Kevin ngangguk "Iya nih, lagi nyari stok buat kosan. Lo?” Vira langsung geleng kecil, sambil nyengir balik. “Enggak, gue nggak sendirian. Sama temen seapartemen gue…” Dia noleh ke arah Rakha yang dari tadi mukanya udah jelas nggak nyaman. “Rakha. Kenalin, ini Kevin. Vin, kenalin ini Rakha.” Rakha nyodorin tangannya, tapi ekspresinya dingin banget. Kevin tetep nyambut dengan ramah, sementara tatapan Rakha jelas kayak ngomong, “Jangan macem-macem sama gue.” Habis jabat tangan, Kevin balik fokus ke Vira. “Lo kok akhir-akhir ini nggak pernah nongol lagi sih di tongkrongan? Anak-anak pada nanya juga, kira lo sibuk banget.” Rakha yang masih berdiri di samping troli, cuma bisa mendengus pelan. Tangannya ngepuk gagang troli keras-keras. Matanya melirik ke Vira sama Kevin yang ngobrol, dan entah kenapa, ada rasa nggak enak ngeliat mereka terlalu deket. Vira
Begitu mereka masuk minimarket, Rakha dorong troli dengan gaya sok serius. “Buruan, Vir. Mana list belanjaan lo? Gue males lama-lama di sini.” Vira langsung ngeluarin HP dari kantong, dengan santai nunjukin catatan belanjaan yang udah dia tulis rapi. “Nih, gue udah catet dari tadi.” Rakha melotot dramatis. “Hah? Jadi lo beneran ada list? Gue kira lo tipe orang yang belanja by feeling.” Vira ketawa kecil terus nyeletuk, “Yaelah, Lo juga belanja kan, bukan gue doang. Kulkas Lo kosong banget tuh, kayak otak lo. Hahaha.” Rakha langsung mendengus sambil pura-pura sakit hati. “Ih, keterlaluan banget lo. Ngeledek mulu kerjaannya.” “Ya abis gimana, faktanya emang kosong. Isi kulkas lo cuma botol kecap doang, Ra. Itu mah bukan kulkas, itu rak pameran kecap,” balas Vira, masih ngakak sendiri. Rakha geleng-geleng kepala, tapi senyum nggak bisa disembunyiin. Dia dorong troli lebih kenceng, pura-pura kesel. “Yaudah, mending lo yang jalanin nih troli sekalian.” “Waduh, nyerah cepet ama
Rakha jalan cepat menuju mobilnya, kunci udah dia pencet dari jauh biar lampunya kedip-kedip. Saking paniknya, dia bahkan nggak nyadar kalau Vira di belakang udah ketawa kecil liat kelakuannya. "Rak, santai kali… kayak dikejar debt collector aja," celetuk Vira begitu mereka sampai di mobil. Rakha ngelirik sebentar, lalu buru-buru buka pintu dan duduk di kursi supir. "Biarin, gue males banget liat muka tetangga itu lagi. Mulutnya tuh astaga kayak nggak ada tombol pause." Vira masuk, duduk di sampingnya. Dia masih senyum-senyum, saking nggak bisa nahan geli liat Rakha yang biasanya sok cool tapi sekarang malah kelabakan. "Yaelah, padahal tadi lucu banget, tau nggak? Lo tuh kayak… bocah ketahuan nyimpen contekan." Rakha langsung manyun. "Apaan sih. Nggak ada lucu-lucunya." Dia tancap gas, mobil melaju pelan keluar dari basement. Tapi di balik ekspresi kaku itu, hatinya masih deg-degan nggak karuan. Mobil melaju dengan tenang, lampu jalan mulai kelihatan redup-redup. Vira yang t
Vira masih nyengir puas karena berhasil bikin Rakha sewot. Tapi detik berikutnya, tatapan mereka bertemu, dan hening mendadak jatuh. Bukan hening yang canggung, tapi hening aneh yang bikin jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Rakha buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk ngerapiin meja makan yang sebenarnya udah nggak berantakan sama sekali. "Yaudah, ayok kita keluar belanja. Bahan makanan di kamar lo juga pasti udah habis, kan? Sekalian aja." Vira sempat kaget dengan ajakan itu, matanya melebar. "Hah? Sore-sore gini, Rak? Males banget gue keluar." Rakha nyengir tipis, lalu ngambil kunci mobil dari meja. "Justru sore gini enak, masih terang, nggak panas, nggak juga terlalu rame. Udah, ayo. Gue anterin." Ada sesuatu di nada suara Rakha yang bikin Vira nggak bisa nolak. Entah karena beneran butuh belanja, atau karena cara Rakha ngomong barusan bikin hatinya nggak tenang. Akhirnya, dengan sedikit manyun, dia ambil tas kecilnya. "Iya, iya. Tapi lo yang
Vira menahan napas, tangannya gemetar waktu ngebuka tisu pembungkus itu. Rakha yang duduk di sebelahnya sama sekali nggak bisa nyembunyiin deg-degannya, bahkan dia refleks ngegepalin tangan di atas lutut. Perlahan, garis tipis mulai muncul. Vira langsung nutup mulutnya pakai tangan satunya, mata membelalak. “Rak…” suaranya serak, hampir nggak keluar. Rakha buru-buru condong, ngeliat lebih dekat. Wajahnya serius sebentar, lalu tiba-tiba senyum lebar kebentuk di bibirnya. “Iyah… kamu beneran hamil,” katanya dengan nada mantap, tapi matanya berbinar aneh. Belum sempet Vira nyerap kata-kata itu, Rakha langsung berdiri setengah lompat dari tempat duduknya, neriakin dengan antusias, “YESSS!!! Gue punya anak! Wih gila, Vir, kira-kira anaknya mirip gue atau lo yah? Kalau mirip gue pasti ganteng, kalau mirip lo—” “Ihh, Rakha! Bego banget sih lo!” Vira langsung motong dengan suara agak keras, wajahnya panas setengah kesel setengah panik. “Kita kan belum nikah! Ini namanya ha
Lift berbunyi ting ketika pintu terbuka di lantai tiga. Rakha buru-buru melangkah keluar, tapi suara temannya menahannya sebentar. “Rak!” panggilnya. Rakha menoleh cepat. “Apa lagi?” Temannya menyunggingkan senyum setengah menggoda, setengah serius. “Apa pun hasilnya nanti… jangan kabur, Bro." Rakha mendengus, buru-buru nyela. “Kan udah gue bilang, ini buat nyokap gue, bukan buat Vira—” Rakha langsung nutup mulutnya sendiri, terlambat sadar. Temannya mendelik, nyaris teriak. “HAH?! VIRA??” Rakha panik, wajahnya merah padam. “Eh, anj— maksud gue bukan gitu! Salah ngomong gue tadi.” Temannya menyilangkan tangan, tatapan penuh kecurigaan. “Rakha, Rakha… lo pikir gue bego? Dari dulu kalian ribut mulu kayak Tom & Jerry, sekarang tiba-tiba lo keluar malem-malem beli beginian, terus keceplosan nyebut nama Vira? Gila, plot twist banget hidup lo.” Rakha nyaris kehabisan kata-kata. “Sumpah, nggak kayak yang lo pikirin. Gue cuma… ya dia tadi sakit, muntah-muntah. Gue panik, mak