Pagi itu, sinar matahari nyelip dari balik tirai, jatuh tepat ke wajah Vira. Gadis itu meringis kecil, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan. Begitu sadar dirinya tidak sendirian di ranjang, jantungnya langsung melonjak.
Napasnya tercekat. Tubuhnya refleks mundur sedikit, tangan gemetar menarik selimut sampai menutupi dada. “A-anjir…” gumamnya pelan, suara bergetar. Ia bisa ngerasain kakinya dingin, jemarinya kaku, kayak habis ketangkep basah.
Rakha yang sedari tadi duduk di pinggir ranjang, buru-buru mengalihkan pandangan. Padahal tadi matanya sempat jatuh ke wajah Vira. Ada jeda hening, kaku, dan bikin ruangan terasa lebih sempit dari biasanya.
“Lo… udah bangun?” suara Vira serak, nyaris patah di ujung.
“Hm.” Rakha nyeletuk seadanya, menunduk, “Lo tidur kayak orang kecapekan banget.”
Degupan jantung Vira makin nggak karuan. Tubuhnya panas, telapak tangannya basah oleh keringat. Ia meremas selimut erat-erat, seolah kain tipis itu bisa jadi perisai. Bayangan kejadian semalam muncul sekilas, bikin tenggorokannya tercekat.
“Gue… semalam…,” katanya tersendat. Nafasnya naik turun, dada sesak kayak dicekik.
Rakha menghela nafas panjang, bahunya turun sedikit. “Sorry, Ra… gue beneran nggak bisa nahan. Gue masih normal. Lo tau sendiri gimana lo semalam… Kalau lo nggak mulai godain gue dulu, mungkin gue nggak bakal kepancing. Dan mungkin semua ini nggak bakal kejadian.”
Kuping Vira langsung panas. Jari-jarinya bergetar di atas selimut, matanya membesar tapi buru-buru ia tundukkan. Suaranya pelan, lirih, hampir nggak terdengar, “Gue juga… nggak tau kenapa bisa nyasar ke kamar lo. Gue beneran ngira ini unit gue.”
Rakha nyengir miring, nada sarkas keluar begitu aja. “Iya, ngira-ngira ujung-ujungnya tidur di ranjang gue juga? Pinter banget.”
“Lo pikir gue sengaja apa?!” Vira akhirnya mendongak, tapi matanya berkaca-kaca. Tangannya gemetar sampai selimut berkerut. “Gue mabuk! Otak gue udah nggak bisa mikir normal waktu itu!”
Rakha terdiam sebentar, lalu mendecak pelan. “Ya tetep aja… semalam udah kejadian. Dan lo nggak bisa pura-pura lupa gitu aja.”
Ucapan itu kayak tamparan. Vira nunduk lagi, jemarinya mencengkeram ujung selimut sampai memutih. Badannya bergetar halus, entah karena marah, malu, atau takut sama pikirannya sendiri.
“Ya udah… anggap aja— nggak pernah terjadi,” katanya akhirnya. Suaranya bergetar, jauh dari tegas.
Rakha menatapnya lama. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Gue gak pakai pengaman.”
Detik itu juga, Vira gemetaran makin parah. Matanya melebar, napasnya tercekat. Ia buru-buru bangkit, nyambar bajunya dengan tangan yang masih kaku, lalu kabur ke kamarnya sendiri.
Begitu pintu terkunci rapat, Vira jatuh terduduk di baliknya. Tangan menutupi wajah, bahunya naik turun cepat.
“Lupain.”
Di kamar sebelah, Rakha menyalakan rokok, menghembuskan asap pelan. Senyum tipis muncul, meski matanya masih terpaku ke arah pintu yang tadi ditutup Vira.
“Terserah lo. Gue juga nggak peduli lagi…” gumamnya. Tapi nadanya jelas berlawanan sama isi kepalanya.
Hari-hari berikutnya, suasana apartemen jadi aneh. Biasanya mereka ribut soal hal sepele—musik keras, pintu kebanting, heels nyasar. Tapi kali ini beda.
Setiap papasan di lorong, bukannya adu mulut, mereka malah cuma saling lirik sekilas lalu buru-buru mengalihkan pandangan.
“Pagi,” suara Vira lirih banget waktu ketemu Rakha di depan lift.
Rakha cuma angguk singkat, tangannya masuk ke saku celana pura-pura cuek.Di dalam lift, udara makin kaku. Biasanya Rakha nyetel musik keras-keras cuma buat nyebelin Vira, tapi kali ini ia diam, matanya tertuju ke lantai. Vira menunduk, pura-pura sibuk main ponsel.
Kalau ada tetangga lain yang lihat, mungkin bakal mikir mereka lagi baikan. Padahal kenyataannya bukan damai… tapi canggung. Dan justru itu yang bikin keduanya makin nggak tenang.
Malamnya, Vira bengong lama di depan kalender yang nempel di dinding kamarnya. Jari telunjuknya berhenti di tanggal yang ia lingkari. Wajahnya mendadak pucat. “Jangan bilang gue… telat?” bisiknya pelan.
Cowok itu Kevin, dia ngangkat dagu sambil nyengir ramah. “Hai, Vir." "Lo sendiri aja nih?" tanya Vira sambil senyum tipis. Kevin ngangguk "Iya nih, lagi nyari stok buat kosan. Lo?” Vira langsung geleng kecil, sambil nyengir balik. “Enggak, gue nggak sendirian. Sama temen seapartemen gue…” Dia noleh ke arah Rakha yang dari tadi mukanya udah jelas nggak nyaman. “Rakha. Kenalin, ini Kevin. Vin, kenalin ini Rakha.” Rakha nyodorin tangannya, tapi ekspresinya dingin banget. Kevin tetep nyambut dengan ramah, sementara tatapan Rakha jelas kayak ngomong, “Jangan macem-macem sama gue.” Habis jabat tangan, Kevin balik fokus ke Vira. “Lo kok akhir-akhir ini nggak pernah nongol lagi sih di tongkrongan? Anak-anak pada nanya juga, kira lo sibuk banget.” Rakha yang masih berdiri di samping troli, cuma bisa mendengus pelan. Tangannya ngepuk gagang troli keras-keras. Matanya melirik ke Vira sama Kevin yang ngobrol, dan entah kenapa, ada rasa nggak enak ngeliat mereka terlalu deket. Vira
Begitu mereka masuk minimarket, Rakha dorong troli dengan gaya sok serius. “Buruan, Vir. Mana list belanjaan lo? Gue males lama-lama di sini.” Vira langsung ngeluarin HP dari kantong, dengan santai nunjukin catatan belanjaan yang udah dia tulis rapi. “Nih, gue udah catet dari tadi.” Rakha melotot dramatis. “Hah? Jadi lo beneran ada list? Gue kira lo tipe orang yang belanja by feeling.” Vira ketawa kecil terus nyeletuk, “Yaelah, Lo juga belanja kan, bukan gue doang. Kulkas Lo kosong banget tuh, kayak otak lo. Hahaha.” Rakha langsung mendengus sambil pura-pura sakit hati. “Ih, keterlaluan banget lo. Ngeledek mulu kerjaannya.” “Ya abis gimana, faktanya emang kosong. Isi kulkas lo cuma botol kecap doang, Ra. Itu mah bukan kulkas, itu rak pameran kecap,” balas Vira, masih ngakak sendiri. Rakha geleng-geleng kepala, tapi senyum nggak bisa disembunyiin. Dia dorong troli lebih kenceng, pura-pura kesel. “Yaudah, mending lo yang jalanin nih troli sekalian.” “Waduh, nyerah cepet ama
Rakha jalan cepat menuju mobilnya, kunci udah dia pencet dari jauh biar lampunya kedip-kedip. Saking paniknya, dia bahkan nggak nyadar kalau Vira di belakang udah ketawa kecil liat kelakuannya. "Rak, santai kali… kayak dikejar debt collector aja," celetuk Vira begitu mereka sampai di mobil. Rakha ngelirik sebentar, lalu buru-buru buka pintu dan duduk di kursi supir. "Biarin, gue males banget liat muka tetangga itu lagi. Mulutnya tuh astaga kayak nggak ada tombol pause." Vira masuk, duduk di sampingnya. Dia masih senyum-senyum, saking nggak bisa nahan geli liat Rakha yang biasanya sok cool tapi sekarang malah kelabakan. "Yaelah, padahal tadi lucu banget, tau nggak? Lo tuh kayak… bocah ketahuan nyimpen contekan." Rakha langsung manyun. "Apaan sih. Nggak ada lucu-lucunya." Dia tancap gas, mobil melaju pelan keluar dari basement. Tapi di balik ekspresi kaku itu, hatinya masih deg-degan nggak karuan. Mobil melaju dengan tenang, lampu jalan mulai kelihatan redup-redup. Vira yang t
Vira masih nyengir puas karena berhasil bikin Rakha sewot. Tapi detik berikutnya, tatapan mereka bertemu, dan hening mendadak jatuh. Bukan hening yang canggung, tapi hening aneh yang bikin jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Rakha buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk ngerapiin meja makan yang sebenarnya udah nggak berantakan sama sekali. "Yaudah, ayok kita keluar belanja. Bahan makanan di kamar lo juga pasti udah habis, kan? Sekalian aja." Vira sempat kaget dengan ajakan itu, matanya melebar. "Hah? Sore-sore gini, Rak? Males banget gue keluar." Rakha nyengir tipis, lalu ngambil kunci mobil dari meja. "Justru sore gini enak, masih terang, nggak panas, nggak juga terlalu rame. Udah, ayo. Gue anterin." Ada sesuatu di nada suara Rakha yang bikin Vira nggak bisa nolak. Entah karena beneran butuh belanja, atau karena cara Rakha ngomong barusan bikin hatinya nggak tenang. Akhirnya, dengan sedikit manyun, dia ambil tas kecilnya. "Iya, iya. Tapi lo yang
Vira menahan napas, tangannya gemetar waktu ngebuka tisu pembungkus itu. Rakha yang duduk di sebelahnya sama sekali nggak bisa nyembunyiin deg-degannya, bahkan dia refleks ngegepalin tangan di atas lutut. Perlahan, garis tipis mulai muncul. Vira langsung nutup mulutnya pakai tangan satunya, mata membelalak. “Rak…” suaranya serak, hampir nggak keluar. Rakha buru-buru condong, ngeliat lebih dekat. Wajahnya serius sebentar, lalu tiba-tiba senyum lebar kebentuk di bibirnya. “Iyah… kamu beneran hamil,” katanya dengan nada mantap, tapi matanya berbinar aneh. Belum sempet Vira nyerap kata-kata itu, Rakha langsung berdiri setengah lompat dari tempat duduknya, neriakin dengan antusias, “YESSS!!! Gue punya anak! Wih gila, Vir, kira-kira anaknya mirip gue atau lo yah? Kalau mirip gue pasti ganteng, kalau mirip lo—” “Ihh, Rakha! Bego banget sih lo!” Vira langsung motong dengan suara agak keras, wajahnya panas setengah kesel setengah panik. “Kita kan belum nikah! Ini namanya ha
Lift berbunyi ting ketika pintu terbuka di lantai tiga. Rakha buru-buru melangkah keluar, tapi suara temannya menahannya sebentar. “Rak!” panggilnya. Rakha menoleh cepat. “Apa lagi?” Temannya menyunggingkan senyum setengah menggoda, setengah serius. “Apa pun hasilnya nanti… jangan kabur, Bro." Rakha mendengus, buru-buru nyela. “Kan udah gue bilang, ini buat nyokap gue, bukan buat Vira—” Rakha langsung nutup mulutnya sendiri, terlambat sadar. Temannya mendelik, nyaris teriak. “HAH?! VIRA??” Rakha panik, wajahnya merah padam. “Eh, anj— maksud gue bukan gitu! Salah ngomong gue tadi.” Temannya menyilangkan tangan, tatapan penuh kecurigaan. “Rakha, Rakha… lo pikir gue bego? Dari dulu kalian ribut mulu kayak Tom & Jerry, sekarang tiba-tiba lo keluar malem-malem beli beginian, terus keceplosan nyebut nama Vira? Gila, plot twist banget hidup lo.” Rakha nyaris kehabisan kata-kata. “Sumpah, nggak kayak yang lo pikirin. Gue cuma… ya dia tadi sakit, muntah-muntah. Gue panik, mak