Begitu pintu mobil tertutup rapat, napas Rakha akhirnya pecah dalam helaan berat. “Astaga…” gumamnya, sambil menyandarkan kepala ke setir. Kantong kecil di tangannya terasa jauh lebih berat daripada sekadar plastik tipis berisi test pack.
“Gila... apes banget sih gue hari ini,” gumamnya dengan nada setengah kesal, setengah panik. “Kenapa harus ketemu si bego itu pas banget keluar apotek...” Dia mengacak rambutnya, frustrasi. Kantong belanja kecil itu seakan menatap balik, bikin jantungnya makin deg-degan. Rakha menghela napas lagi, kali ini lebih panjang, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Allah, kenapa ribet banget, sih... baru juga mau cari jawaban, eh malah hampir ketahuan,” ucapnya lirih, nyaris seperti orang ngomel sama dirinya sendiri. Rakha menekan pedal gas tanpa banyak pikir, membiarkan deru mesin mengisi keheningan malam. Jalanan seolah jadi pelarian singkat dari riuh yang masih menggema di kepalanya. Begitu sampai di basement apartemen, ia memutar kemudi perlahan, mengarahkan mobilnya ke spot parkir yang sudah seperti milik pribadi—tempat ia hampir selalu menepi setiap pulang. Mobil berhenti sempurna. Mesin dimatikan. Sekilas ia menarik napas dalam, menatap kosong ke setir sebelum akhirnya keluar. Rakha keluar dari mobil, langkahnya sedikit terburu seolah kantong plastik kecil di genggamannya bisa meledak kapan saja. Udara basement terasa pengap, namun keringat dingin di pelipisnya sama sekali bukan karena cuaca. Ia menekan tombol lift, berdiri sambil mengetuk-ngetukkan kaki, gelisah. Begitu pintu terbuka, Rakha langsung masuk dan menekan angka 3. Nafasnya masih berat, tangan yang memegang plastik itu sempat bergetar. Entah kenapa, tanpa sadar Rakha membuka kantong belanja kecil itu. Benda mungil dengan kotak karton tipis, test pack muncul di tangannya. Dia menatapnya lama, wajahnya mengeras, lalu bergumam, “Apapun hasilnya gue akan selalu di samping Vira” Spontan, Rakha berdiri tegak, matanya membesar seakan baru sadar dengan kata-kata yang tanpa sengaja ia lontarkan barusan. "Eh... barusan gue ngomong apaan sih? Kenapa gue sampai segitunya peduli sama dia? Kenapa gue pengen selalu ada buat dia? Jangan-jangan... gue beneran udah jatuh cinta sama Vira? batinnya. Pintu lift hampir menutup rapat, tapi tiba-tiba sebuah tangan menyelip masuk, menghentikan pintu itu. Rakha sontak kaget. Seorang tetangga cowok yang cukup akrab dengannya di lantai tiga masuk sambil tersenyum tipis. Tapi senyum itu mendadak hilang begitu matanya jatuh pada benda yang sedang digenggam Rakha. Keheningan singkat. Mata mereka bertemu. Rakha membeku di tempat, test pack itu jelas-jelas terlihat, tak mungkin lagi disembunyikan. “Eh… lo…” suara si tetangga keluar pelan, Rakha langsung spontan menyembunyikan test pack itu ke balik punggungnya, berusaha terlihat biasa saja padahal jantungnya berdetak kencang. “Oh ini… disuruh nyokap gue,” katanya dengan sedikit gemetar, matanya melirik ke arah lain biar nggak terlalu ketahuan gugup. Tetangga itu hanya mengangguk pelan, tapi matanya masih sempat melirik ke arah Rakha dengan ekspresi penasaran. “Oh gitu… Gue kira Lo hamilin anak orang. Soalnya Lo keliatan panik banget tadi.” Rakha langsung tergelak kaku, cepat-cepat mengusap dagunya sambil menahan senyum canggung. “A–a… enggak lah, Bro. Nyokap gue tuh suka parno, katanya buat jaga-jaga buat adik gue. Jadi ya gue yang disuruh beli. Masa iya gue… hamilin anak orang” ucapnya dengan nada sedikit gemetar. Tetangga itu tertawa kecil sambil menyikut pelan lengan Rakha. “Hehe, gue kira Lo udah ngasih gue calon ponakan baru.” Rakha nyaris keselek napas sendiri. “Sialan, jangan ngomong gitu dong, bisa masuk kuping orang terus nyebar gosip aneh-aneh lagi,” ucapnya dengan senyum kikuk. Tetangga itu hanya nyengir, lalu mengangkat alis. “Yaudah deh. Eh, tapi gue perhatiin, Lo sama Vira kenapa sih? Biasanya tuh suara ribut Lo berdua bisa bikin gue nggak bisa tidur. Sekarang tiba-tiba sepi, kayak apartemen kosong. Jangan-jangan kalian baikan? Atau malah diem-dieman?” Rakha mengusap tengkuknya, matanya berkedip gugup sambil menimbang kalimat. “Ehm… gimana ya. Kita lagi… lagi capek aja kali, Bro. Jadi males ribut. Lo tau sendiri kan, tiap hari kerja udah bikin kepala panas. Ribut sama Vira malah bikin tambah migren,” ucapnya mencoba santai, meskipun nada suaranya agak terbata. Tetangga itu menatapnya sambil terkekeh, seolah nggak sepenuhnya percaya. “Halah, alesan. Jangan-jangan Lo udah beneran nyaman tuh sama dia. Nggak kerasa kan?” Rakha tercekat, refleks mengusap dagunya lagi, kali ini lebih lama. Dalam hati, ia bergumam sendiri, apa jangan-jangan bener? Kenapa gue malah peduli sama dia… kenapa gue nggak pengen jauh darinya?“Parah sih… gue beneran jatuh hati ya, tanpa sadar.” Tanpa sadar, sudut bibirnya perlahan terangkat, senyum kecil muncul begitu saja. Ia bahkan nggak ngeh kalau dirinya udah senyum-senyum sendiri.Vira masih nyengir puas karena berhasil bikin Rakha sewot. Tapi detik berikutnya, tatapan mereka bertemu, dan hening mendadak jatuh. Bukan hening yang canggung, tapi hening aneh yang bikin jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Rakha buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk ngerapiin meja makan yang sebenarnya udah nggak berantakan sama sekali. "Yaudah, ayok kita keluar belanja. Bahan makanan di kamar lo juga pasti udah habis, kan? Sekalian aja." Vira sempat kaget dengan ajakan itu, matanya melebar. "Hah? Sore-sore gini, Rak? Males banget gue keluar." Rakha nyengir tipis, lalu ngambil kunci mobil dari meja. "Justru sore gini enak, masih terang, nggak panas, nggak juga terlalu rame. Udah, ayo. Gue anterin." Ada sesuatu di nada suara Rakha yang bikin Vira nggak bisa nolak. Entah karena beneran butuh belanja, atau karena cara Rakha ngomong barusan bikin hatinya nggak tenang. Akhirnya, dengan sedikit manyun, dia ambil tas kecilnya. "Iya, iya. Tapi lo yang
Vira menahan napas, tangannya gemetar waktu ngebuka tisu pembungkus itu. Rakha yang duduk di sebelahnya sama sekali nggak bisa nyembunyiin deg-degannya, bahkan dia refleks ngegepalin tangan di atas lutut. Perlahan, garis tipis mulai muncul. Vira langsung nutup mulutnya pakai tangan satunya, mata membelalak. “Rak…” suaranya serak, hampir nggak keluar. Rakha buru-buru condong, ngeliat lebih dekat. Wajahnya serius sebentar, lalu tiba-tiba senyum lebar kebentuk di bibirnya. “Iyah… kamu beneran hamil,” katanya dengan nada mantap, tapi matanya berbinar aneh. Belum sempet Vira nyerap kata-kata itu, Rakha langsung berdiri setengah lompat dari tempat duduknya, neriakin dengan antusias, “YESSS!!! Gue punya anak! Wih gila, Vir, kira-kira anaknya mirip gue atau lo yah? Kalau mirip gue pasti ganteng, kalau mirip lo—” “Ihh, Rakha! Bego banget sih lo!” Vira langsung motong dengan suara agak keras, wajahnya panas setengah kesel setengah panik. “Kita kan belum nikah! Ini namanya ha
Lift berbunyi ting ketika pintu terbuka di lantai tiga. Rakha buru-buru melangkah keluar, tapi suara temannya menahannya sebentar. “Rak!” panggilnya. Rakha menoleh cepat. “Apa lagi?” Temannya menyunggingkan senyum setengah menggoda, setengah serius. “Apa pun hasilnya nanti… jangan kabur, Bro." Rakha mendengus, buru-buru nyela. “Kan udah gue bilang, ini buat nyokap gue, bukan buat Vira—” Rakha langsung nutup mulutnya sendiri, terlambat sadar. Temannya mendelik, nyaris teriak. “HAH?! VIRA??” Rakha panik, wajahnya merah padam. “Eh, anj— maksud gue bukan gitu! Salah ngomong gue tadi.” Temannya menyilangkan tangan, tatapan penuh kecurigaan. “Rakha, Rakha… lo pikir gue bego? Dari dulu kalian ribut mulu kayak Tom & Jerry, sekarang tiba-tiba lo keluar malem-malem beli beginian, terus keceplosan nyebut nama Vira? Gila, plot twist banget hidup lo.” Rakha nyaris kehabisan kata-kata. “Sumpah, nggak kayak yang lo pikirin. Gue cuma… ya dia tadi sakit, muntah-muntah. Gue panik, mak
Begitu pintu mobil tertutup rapat, napas Rakha akhirnya pecah dalam helaan berat. “Astaga…” gumamnya, sambil menyandarkan kepala ke setir. Kantong kecil di tangannya terasa jauh lebih berat daripada sekadar plastik tipis berisi test pack. “Gila... apes banget sih gue hari ini,” gumamnya dengan nada setengah kesal, setengah panik. “Kenapa harus ketemu si bego itu pas banget keluar apotek...” Dia mengacak rambutnya, frustrasi. Kantong belanja kecil itu seakan menatap balik, bikin jantungnya makin deg-degan. Rakha menghela napas lagi, kali ini lebih panjang, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Allah, kenapa ribet banget, sih... baru juga mau cari jawaban, eh malah hampir ketahuan,” ucapnya lirih, nyaris seperti orang ngomel sama dirinya sendiri. Rakha menekan pedal gas tanpa banyak pikir, membiarkan deru mesin mengisi keheningan malam. Jalanan seolah jadi pelarian singkat dari riuh yang masih menggema di kepalanya. Begitu sampai di basement apartemen, ia memutar kemudi pe
Perlahan pelukan itu akhirnya terlepas. Vira masih bisa merasakan hangatnya, tapi ia buru buru mengalihkan pandangan. wajahnya tetap pucat, keringat dingin masih menetes di pelipis. Rakha menarik nafas, lalu tanpa banyak bicara dia meraih tangan Vira, menuntunnya keluar dari kamar mandi. Gerakannya hati hati seolah takut cewek itu bakal jatuh. "Duduk dulu" ucap Rakha pelan sambil menuntun Vira ke tepi ranjang. Vira menurut, meski matanya terus mengikuti gerak gerik Rakha. Ada sesuatu yang aneh dalam cara cowok itu bersikap, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Rakha berdiri sebentar di depan pintu lalu menoleh "Aku keluar dulu bentar, beli test pack". Vira mengernyit "Lo... beneran serius?" Rakha menatapnya sebentar, matanya penuh keyakinan "Gue nggak main main, kalau emang ada apa apa kita harus tau secepatnya." Rakha melangkah cepat keluar unit, nafasnya terasa berat. Tangannya otomatis merogoh saku celana, mencari kunci mobil kesayangannya. Begitu sampai di
Beberapa hari mereka masih seperti itu, papasan, pura-pura gak liat atau paling angguk tipis. Sampai akhirnya, pagi itu.... Hari itu, lorong apartemen sepi. Vira baru keluar unitnya, niatnya cuma mau turun bentar. Pas banget ketemu Rakha mereka hanya saling lempar tatapan bentar. Belum sempat melangkah jauh, Vira mendadak berhenti. Tangannya menyekap mulut, wajahnya pucet. Rakha otomatis menoleh. Cewek itu goyah, badannya kelihatan lemas. Rakha langsung lari nyamperin, tangannya sigap menangkap bahu Vira biar gak jatuh. "Lo kenapa?!" suaranya sedikit panik, beda banget dari biasanya. Vira cuma menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca. Dia sudah gak kuat nahan mualnya yang makin parah. Rakha menoleh ke arah pintu kamarnya yang sedikit kebuka - yang tadi belum sempat kekunci. "Sini ikut gue.." Tanpa banyak mikir, Rakha menuntun Vira masuk ke kamarnya. membawa Vira masuk ke kamar mandi, begitu pintu kamar mandi terbuka Vira langsung lari kecil ke arah kloset dan muntah sej