"Kakak hati-hati, ya?" kata Tessa setelah ibu hamil itu turun dari mobil.
Kresna melukis senyum. "Kamu tenang aja."
"Soalnya udah mendung ini." Tessa menengadah melihat ke atas langit. Tampak memang awan-awan putih sudah berkumpul di sana.
"Iya, pokoknya kalau udah beres aku telepon kamu atau Oni."
"Kakak sih kenapa juga mau belanja sendiri ke supermarket enggak ajak Bi Roro?" kesal Tessa lebih ke takut madunya ini kenapa-kenapa. Lagi hamil muda lho, kan khawatir.
"Enggak usah lebay deh, aku mau jalan-jalan dan pilih-pilih sendiri." Kresna menepuk bahu Tessa. "Kamu enggak usah khawatir, Kakak enggak mungkin digigit genderewo di dalem."
"Ya kali, Kak. Genderewo kan enggak gigit."
"Emang genderewo ngapain?" tanya Kresna kebingungan, sebenarnya ia memang hanya ngarang saja.
"Ya mana aku tahu, Kak Ena. Udah ah, kebiasan kalau udah bahas yang enggak penting teh," sahut Tess
"Maaf menunggu lama," ucap Alando sopan setelah duduk di hadapan laki-laki berjas abu-abu.Laki-laki yang sedang sibuk dengan laptopnya itu pun tersenyum lantas menutup laptop. Kemudian dia mengulurkan tangan dengan sopan. "Apa kabar, Pak Alando?""Baik, Pak Rendra. Maaf, sepertinya saya terlambat datang," sahut Alando, menjabat tangan Rendra."Tentu saja tidak. Saya sengaja datang pagi karena harus mengerjakan sesuatu." Rendra melepaskan jabatan tangan."Luar biasa. Dari yang saya dengar, anda mengerjakan sendiri flyer untuk brand anda, apa itu benar?" Alando melukis senyum. Tidak bisa dipungkiri memang, Rendra adalah sosok yang rajin dan kreatif."Ya, begitulah. Saya tidak puas jika harus menyewa seorang desain grafis. Lagipula saya punya ilmu tentang desain, tidak ada salahnya saya pakai, agar bisa menjadi ilmu yang bermanfaat," jelas Rendra kembali membuat Alando kagum.Oke, laki-laki beristri em
Apakah kejam ketika seorang laki-laki meminta untuk menikah lagi? Atau laki-laki makhluk yang pantas disalahkan atas poligami yang terjadi?Jawabannya tentu saja tidak. Banyak alasan laki-laki mau menikah lagi. Alasan yang cukup logis tepatnya. Itu pulalah yang terjadi pada Rendra. Bukan kemauan dia untuk memiliki istri lebih dari satu. Inginnya Rendra juga bisa setia. Namun, dulu sabarnya memang kurang melimpah, hingga membuat dirinya rakus memilih wanita.Mata Rendra menatap sendu sosok perempuan cantik di depannya kini. Wanda, sekertarisnya itu sepertinya kelelahan dan memilih tidur di ruang kerja.Wanda ini adalah sosok istri yang pintar. Tiga tahun pertama kebersamaan mereka membuat Rendra merasa wanita ini adalah perempuan luar biasa dan berhati besar. Apalagi saat dia memutuskan ikhlas untuk sang suami menikah lagi.Ya, tepatnya sekitar tujuh tahun lalu perempuan itu menangis tersedu-sedu dengan posisi sama seperti saat ini.
Pagi yang cerah tapi tidak secerah hati Kresna saat ini. Dirinya terpaksa mengikuti kemauan Wanda, karena perempuan itu mengancam akan memberitahu Rendra perihal dirinya dengan Alando. Ah, dasar Kutu Kupret! Nyebelin banget kan istri suaminya itu.Dan, hal yang membuat Kresna makin kesal adalah, Wanda tahu semua tentang Kresna dan Alando. Usut punya usut mereka memang sudah berkerja sama. Lebih tepatnya, Wanda mengatakan itu pada Kresna.Oh, Tuhan! Kresna benar-benar tidak bisa apa-apa saat diancam seperti itu oleh Wanda. Memang sebaiknya jujur, karena lebih baik pahit di awal dari pada sakit nantinya. Tetapi, Kresna tidak bisa melakukan itu. Kalau saja Kresna jujur, bisa saja Rendra menceraikannya.Tidak, Kresna tidak mau itu terjadi, terlebih ada buah hati mereka dalam rahimnya kini. Maka, dengan terpaksa Kresna pun turun dari mobil untuk segera masuk kantor suaminya."On, kamu tunggu sebentar, ya? Nanti kamu anter saya lag
Dasar emang Cowok Muka Tembok Beton! Kresna rasanya ingin terus mengumpat karena ikut dengan Alando adalah hal yang menyialkan. Tapi, mau bagaimana lagi? Tadi dia memaksa Kresna.Niatan dia memang untuk hemat, ya hemat dengan memilih motor buat jadi kendaraan yang ditunggangi demi mencari nafkah, tapi bagi Kresna, si Alando ini enggak mikir dulu sebelum bawa motor.Bannya kempes di jalan. Mana jalanan sepi, sudah magrib. Kresna terpaksa mendorong benda berbahan besi yang beratnya nauzubillah. Bukan beruntung malah buntung kalau gini caranya."Masih jauh, ya, tambal bannya?" tanya Kresna sambil mengelus keringat di dahi. Kini dirinya sudah tidak mendorong lagi. Tadi hanya membantu si mantan mendorong karena ban motor sempat ambles ke jalanan yang bolong. Auto uyek-uyekan ngeluarin ban motor dari lubang. Ah, dasar apes! Mana motor berat.Kresna juga sakit perut tadi dan tanpa malu berulang-ulang kentut karena tak bisa ditahan. Mana s
"Kenapa kamu enggak telepon Oni?" Rendra bertanya sambil menyetir."HP aku lowbet, Mas. Tadi pas berangkat lupa bawa chageran," sahut Kresna jujur."Oh, gitu, pantesan. Tapi kamu enggak apa-apa, kan? Kamu nunggu lama?" cecar suaminya sambil sesekali melirik Kresna. Dia sangat khawatir, terlebih tempat tadi memang tampak sepi."Enggak, Mas. Enggak lama kok." Kresna berbohong kali ini karena tidak mau suaminya malah jadi ada masalah sama si Alando. Maksudnya suaminya jadi mikir negatif sama mantan Kresna itu."Syukur kalau gitu. Gimana kerja kamu, enggak capek, kan?""Enggak, Mas. Mas enggak usah khawatir, aku baik-baik aja. Semuanya berjalan lancar." Kresna menambahkan senyum manis agar suaminya semakin yakin dirinya tidak apa-apa. Meski sebenarnya Kresna agak risih, karena Alando kerap kali datang ke lokasi syuting, bawa makanan, atau apalah. Seperti waktu sore tadi. Kresna yakin laki-laki itu tidak serta-merta d
[Karena aku hamil, aku mau kamu gugurin bayi kamu. Kalau kamu nanya kenapa. Itu karena aku lebih berhak buat Mas Rendra.]Itulah isi pesan yang dikirim Wanda pada Kresna. Orang yang membaca pesan itu sempat terkejut. Namun, dirinya berusaha mengendalikan diri untuk tenang. Perlahan dia taruh lagi ponsel itu di atas meja rias."Mas, mau makan malam di sini atau mau di rumah Mbak Kanti?" tanya Kresna pada sang suami.Rendra melukis senyum manis, lalu menghampiri Kresna. Dikecupnya kening istrinya itu dengan lembut. "Enggak usah, Sayang. Mas mau makan di rumah Kanti aja. Enggak apa-apa, kan? Kanti soalnya mau masak katanya," tutur Rendra lembut."Oh, ya udah, enggak apa-apa. Aku makan sama Bi Roro saja." Kresna menjawab sambil senyum juga.Laki-laki berkemeja abu muda itu melewati Kresna lalu mengambil jas yang tersampir di sofa. Tadi, Rendra baru saja melaksanakan ibadah sholat isya dulu di kamar Kresna.&nb
Suara tangis yang tersedu-sedu membuat Rendra tak kuasa untuk tidak menghampiri istrinya. Rendra perlahan duduk di samping Kanti di sofa ruang tamu. "Sayang," panggil Rendra lembut sambil mengelus bahu Kanti. Kanti bergeming, tidak mau dia mengatakan apa pun. Kata-kata Wanda sudah merobek harapannya untuk bisa bersenang-senang dengan Rendra malam ini. "Udah, Mas pulang aja!" perintah Kanti sambil mengusap cepat air mata yang jatuh tanpa izin. Dasar air mata enggak tahu diri! Bikin malu! Kanti jadi merasa lemah di hadapan istri pertama Rendra. "Pulang ke mana? Mas kan udah pulang." Rendra berusaha memeluk tubuh yang nyaris bergetar itu, Kanti juga tidak menolak dia butuh pelukan saat ini. "Ke rumah istri Mas," sahutnya tanpa membalas pelukan Rendra. Melihat Kanti tidak bergerak selain mengusap air mata, Rendra semakin mengeratkan pelukan. "Kamu istri Mas, Sayang." Kanti diam. Bibirnya menahan getaran akibat sakit hati. Tentu saja, siapa yang tidak sakit hati? Dicibir tentang kek
"Kamu tolong awasi Kresna!" ujar Rendra, setelah mobilnya berhenti di kediaman istri ketiganya. "Iya, Mas, aku ngerti. Mas jangan kepikiran, ya! Nanti kita pastikan dulu." Kanti melukis senyum, berharap suaminya tidak cemas atas berita yang tadi dia sampaikan. "Kamu enggak salah! Sebelum ini pun Mas udah tahu kalau Kresna ketemu sama mantannya, cuma Mas terlalu berpikir positif, sampai Mas kecolongan sekarang," jawab Rendra sambil mengelus bahu Kanti. "Lalu untuk Wanda, bagaimana, Mas?" Kanti menatap suaminya cemas. Sebab, apa yang dia dengar dari Wanda dan laki-laki yang katanya mantan Kresna itu adalah hal yang cukup membuat Kanti kaget juga. "Kamu jangan khawatir!" pinta Rendra, "untuk masalah Wanda, biar Mas yang urus dia, dia tanggung jawab Mas." Kanti mengambil tangan kanan Rendra lalu mencium punggung tangan itu. "Ya udah, aku berangkat, Mas. Nanti aku kabarin kalau ada apa-apa." "Iya, Sayang." Rendra mengecup puncak rambut Kanti. Perempuan berusia empat tahun lebih mud