Kedua mata mereka saling bertemu. Rafka memandangi kecantikan wajah kakak iparnya meski tidak memakai make up sama sekali. Wanita itu tampak cantik alami dengan rambut panjangnya yang masih terlihat sedikit basah.
"Ra—Rafka. Maafkan, aku." Tergagap Rania mengatakannya. Ia semakin merasa salah tingkah di hadapan Rafka. "Baiklah. Kamu bisa bangun sekarang. Tubuhmu berat juga rupanya." Rafka tersenyum smirk. Ia justru senang bisa menggoda Rania. Rania terkejut. Ia segera berdiri tegak berusaha menjauhkan dirinya dari sang adik ipar. "Kamu beristirahatlah. Aku ke luar dulu," pamit Rania kemudian. "Rania, tunggu!" tahan Rafka. Rania pun berbalik badan. "Bisakah kamu memanggilku dengan sebutan kakak?" Sejak pertama kali Rania menikah dengan Amar, tidak pernah Rafka memanggilnya dengan sebutan kakak ipar. Lelaki itu selalu menyebut nama karena usia Rania memang jauh di bawahnya. "Of, course. Tapi aku lebih suka memanggilmu Rania." "Em ... sudahlah. Itu tidak penting. Aku harus segera ke dapur." Bergegas Rania keluar dari kamar Rafka dan memilih untuk menyiapkan menu makan pagi. Wanita itu sampai lupa tidak mengecek ponselnya kembali. "Mas Amar pulang tidak, ya? Atau langsung bekerja lagi? Tapi 'kan dia tidak membawa baju ganti?" monolog Rania masih berusaha bersikap tenang. Rafka bercermin di kamarnya. "Padahal aku tadi belum jadi mengatakan sesuatu kepada Rania. Dia sudah main pergi saja." Rafka mengenakan sebuah t-shirt milik Amar. Barang-barangnya masih tertinggal di apartemennya. Lelaki itu turun ke lantai bawah dan memilih duduk di kursi ruang makan. Ia menemukan kue yang tadi malam sudah dipersiapkan oleh Rania. "Happy Anniversary ke-3." Rafka membaca tulisan pada kue itu. "Jadi tadi malam Rania menyiapkan sebuah kejutan untuk Mas Amar? Tetapi justru dia sendiri yang mendapatkan sebuah kejutan? Pantas saja ia begitu seksi dan menggoda." Tentu Rafka tahu pakaian lingerie yang dikenakan oleh Rania yang jatuh berserakan di lantai. Ia juga masih ingat aroma parfum menggoda yang dikenakan kakak iparnya. Rafka menoleh saat mendengar suara langkah kaki seseorang berjalan ke arahnya. Ia adalah Rania yang sibuk mempersiapkan sarapan. Karena tidak tega melihat Rania kesulitan. Lelaki tampan itu berinisiatif untuk membantu kakaknya. "Duduklah. Aku akan membantumu mempersiapkan semuanya." "Tapi, Ka?" protes Rania. "Tidak masalah. Aku sudah biasa melakukannya seorang diri." Rania tersenyum tipis. Bahkan Amar tidak pernah membantunya sama sekali. Suaminya tersebut selalu sibuk dengan ponselnya saat Rania menyajikan sarapan untuknya. Rania lalu menoleh ke arah meja makan. "Astaga, aku lupa membereskannya." Rania membawa kue itu dan ia masukkan ke dalam kulkas. "Sudah berkurang kuenya. Apa jangan-jangan Rafka yang memakannya? Kebiasaan!" Rania geleng-geleng kepala. Sejak dulu Rafka tidak pernah berubah. Selalu menyomot makanan yang dibuat Rania tanpa ijin terlebih dahulu. Padahal jelas-jelas makanan itu ia buat untuk suaminya. Rania kembali ke meja makan, ia duduk dan menanti kedatangan Rafka. "Jadi Mas Amar tidak pulang?" tanya Rafka setelah mendudukkan bokongnya di kursi berhadapan dengan Rania. "Beberapa bulan belakangan ini Mas Amar selalu seperti itu. Kalau pulang pun selalu larut malam." Rafka memperhatikan raut wajah Rania yang penuh kesedihan. Tentu ia bisa merasakan jika wanita itu kesepian. Apalagi kakaknya belum dikaruniai seorang anak. "Bagaimana jika Mas Amar selingkuh? Bukankah ia hanya seorang pekerja biasa di perusahaan milik orang lain?" "Mas Amar memang hanya karyawan biasa. Tetapi kadang ia merangkap jadi sopir pribadi yang mengantarkan pulang atasannya." "Menarik sekali." Rafka manggut-manggut. Ia semakin yakin jika kakaknya berbuat curang di belakang Rania. 'Sepertinya ia tidak pernah berubah. Dia bilang akan selalu menjaga Rania,' batin Rafka tidak terima. "Di perusahaan mana sekarang Mas Amar bekerja?" tanya Rafka penuh selidik. "Di Perusahaan Green Star. Kenapa?" Rania ingin tahu mengapa Rafka mempertanyakan soal itu. "Bukankah perusahaan itu, CEO dan pemiliknya adalah Clayrine Angelina? Dia adalah janda yang haus akan sentuhan." "Kamu sengaja memanas-manasi aku?" tanya Rania kesal. Wanita itu bermuka masam. Tentu saja ia cemburu mendengar perkataan Rafka yang seolah membenarkan jika Amar selingkuh. "Em, maaf, Ran. Sebaiknya kita makan saja sekarang. Aku benar-benar minta maaf." Sesaat kemudian terdengar bunyi dari perut Rania yang menandakan bahwa ia sedang lapar. Diam-diam wanita itu sudah menahan rasa laparnya sejak tadi. "Lihatlah, cacing di dalam perutmu sudah protes." Rafka tertawa. Rania pun ikut tertawa. Mereka tertawa bersama-sama hingga melupakan kesedihan yang baru saja hadir di hati wanita itu. Mereka makan secara lahap. Terlebih lagi Rafka. Ia tidak menyisakan makanan untuk diberikan kepada Amar. "Rafka? Kamu makan terlalu banyak. Kamu menghabiskan semuanya." "Sorry, Ran. Masakanmu selalu lezat sejak dulu. Hingga aku tidak bisa berhenti. Salah satu tujuanku pulang ke sini adalah karena aku rindu dengan masakan kamu." Rania tersenyum di dalam hatinya. 'Apa-apaan ini, Mas Amar saja tidak pernah memuji masakanku. Ia bahkan tidak mau dibawakan bekal dari rumah.' "Memangnya kamu tidak menyisihkan sendiri buat Mas Amar?" tanya Rafka kemudian. "Aku lupa, Ka. Bagaimana bisa aku sampai melupakannya?" Rania terlihat menyesal. Ia lebih fokus memasak untuk dirinya sendiri dan adik iparnya. "Mungkin kamu terpesona akan ketampananku. Atau—" Rafka sengaja menghentikan kalimatnya. "Apa maksud kamu, Rafka?" tanya Rania penuh curiga. "Oh, tidak. Aku bercanda saja." Rania melirik ke arah Rafka. Ia teringat dengan ucapan yang disampaikan lelaki itu tadi saat bangun tidur. "Em, kamu bilang sedang banyak masalah. Masalah apa? Kamu bisa bercerita kepadaku." Rafka menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia sedikit syok karena Rania menanyakan tentang masalah pribadinya. "Oke, maaf. Tidak masalah jika kamu tidak mau menceritakannya." Rania hendak pergi. "Nina selingkuh, Ran. Selama aku di luar negeri, dia menempati apartemenku bersama dengan selingkuhannya. Aku tidak suka dikhianati." Rafka memasang wajah datar. Sejak awal dia sudah menduga jika Nina hanya memanfaatkannya. Tetapi lelaki itu hanya mendiamkannya saja. "Kamu sabar, ya? Aku minta maaf telah membuatmu bersedih kembali. Aku—" Belum sempat Rania melanjutkan kalimatnya, terdengar suara bel pintu rumah. Rania menoleh seketika. "Pasti itu Mas Amar. Aku akan membukakan pintu untuknya." Rafka hanya menggedikkan bahu. Ia berdiri cepat. Lalu mulai mengemasi piring dan gelas yang kotor. Lelaki itu tidak begitu suka jika bertemu dengan kakaknya yang bersifat ambisius sejak dulu. Rania membukakan pintu dan melihat Amar berdiri di depannya. Ia tersenyum ramah kepada suaminya. "Mas Amar, kamu sudah pulang? Sini aku bawakan tasnya," ucap Rania. "Tidak usah." Amar menjauhkan tasnya. Membuat Rania merasa sedih. Lelaki itu berjalan mendahului Rania sambil merenggangkan dasinya. Ia terlihat sangat lelah dan tak bertenaga. "Mas, aku semalam mengirim pesan kepada Mas Amar. Kenapa tidak dibalas, Mas?" tanya Rania sambil melangkah berjalan membuntuti suaminya. "Kamu apa-apaan sih, Ran? Suami pulang bukannya disuruh istirahat malah direcokin seperti itu," jawab Amar dengan nada emosi. Dia duduk di kursi panjang ruang tamu. "Maaf, Mas." Rania tertunduk lesu. "Buatkan aku minuman!" perintah Amar. Rania mengangguk cepat dan segera berjalan menuju dapur. Ia melirik ke arah meja makan yang sudah bersih. Rania membuatkan segelas teh hangat dan beberapa camilan sehat di dalam toples yang ia buat sendiri semalam. "Ini Mas, minumannya. Mas pasti capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Rania lembut. "Kenapa kamu membuatkan aku teh? Kamu tahu sendiri 'kan aku lebih suka minum kopi!" bentak Amar begitu keras. "Ko–kopinya habis, Mas. Aku lupa beli kemarin. Maafkan aku, Mas." Rania menyesali kebodohannya. "Kamu di rumah ngapain aja? Begitu aja sampai lupa." Amar semakin kesal. "Mas, aku kemarin sibuk—" "Ah, sudahlah. Dasar istri tidak berguna. Setelah ini aku akan kembali ke kantor. Kamu sudah merusak mood-ku." Lelaki itu berdiri dari duduknya. Rania mencoba menyentuh lengan suaminya. "Mas, biar aku—" Amar semakin bertambah emosi. Ia menepis tangan istrinya dengan sangat kuat hingga wanita itu hendak jatuh tersungkur. "Augh, Mas. Sakit!" rintih Rania. Wanita itu bisa merasakan jika tubuhnya ditopang oleh seseorang. "Kamu baik-baik saja, Ran?" tanya Rafka khawatir. Rania segera menegakkan tubuhnya. Ia merasa tidak enak hati kepada Rafka yang mungkin saja mendengarkan pertengkarannya dengan Amar. "Aku tidak apa-apa Rafka," lirih Rania. Rafka masih berdiri di samping Rania. Ia bertindak seolah sedang melindungi kekasihnya. Amar tampak terkejut. Ia tidak menyangka jika ada Rafka di rumah itu. Seketika ia merasa kesal karena adiknya sejak dulu bisa dengan mudah memiliki segalanya termasuk karirnya yang semakin cemerlang hingga sekarang. "Rafka. Kamu ada di sini rupanya!" Amar memegangi dasi pada lehernya sembari menatap tak suka kepada adiknya. "Mas apa-apaan! Pulang-pulang marah-marah seperti itu." Rafka mencoba membela iparnya. Ia tidak tega melihat Rania disentak-sentak seperti itu oleh kakaknya. "Bukan urusanmu, Raf. Kamu sejak kapan ada di sini? Mau meminta rumahmu dan mengusir kami?" ujar Amar bertambah emosi. "Mas ngelunjak, ya?" Rafka pun ikut terbawa emosi. Hampir saja ia memukul kakaknya sendiri. Ia sudah melayangkan tangannya ke udara, tetapi Rania menghentikannya. "Sudah cukup, Rafka. Biarkan saja Mas Amar ke kamarnya. Ia pasti kecapaian karena sibuk bekerja," ungkap Rania yang justru membela suaminya. Jelas-jelas Amar bertindak semena-mena kepadanya. Rafka menurunkan tangannya. Jika bukan karena Rania ia pasti sudah memukuli kakaknya itu. Sedangkan Amar justru bersikap cuek. Ia naik tangga dengan berjalan santai menuju kamarnya. "Asal Mas tahu. Kemarin itu Rania sibuk menyiapkan kue ulang tahun pernikahan kalian. Mas ke mana, saja? Asyik bermain dengan janda itu?!" ujar Rafka berterus terang. Seketika Amar menghentikan langkahnya. Ia meremas tangannya sendiri, namun tak menjawab pertanyaan dari adiknya. Lelaki itu kembali berjalan cepat menuju kamarnya hingga ponselnya berdering berkali-kali. Segera Amar mengangkat telepon itu. "Iya, Sayang. Aku hanya pulang sebentar saja. Aku ada hadiah untukmu."Sebentar, sebentar.... Amar dapat telepon dari siapa nih???? Kok manggil sayang? Amar selingkuh??? 🤔
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m