Rafka berbicara seolah cemburu dengan Rania yang masih saja mencari suaminya. Padahal ia hanya seorang adik ipar yang tidak penting sama sekali.Akhirnya Rania pun mengangguk. "Iya, aku ingin cepat sembuh dan segera pergi dari sini."Rafka pun merasa lega. Diam-diam ia ingin mencari tahu tentang perselingkuhan kakaknya. Apakah benar selama ini Amar menjalin hubungan dengan janda itu atau tidak. Lelaki tampan itu tidak segan-segan untuk mengusir Amar dari rumahnya jika memang kakak kandungnya tersebut telah mengkhianati Rania.Rafka menyuapi Rania dengan sabar. "Walau makanan ini tidak selezat masakanmu, kamu wajib menghabiskannya.""Kamu curang, Raf! Aku belum bilang apa-apa, tetapi kamu sudah mengatakan kalimat itu.""Aku benar 'kan?" Rafka tergelak. Ia berusaha menghibur kakak iparnya meski tahu jika hati Rania sedang tidak baik-baik saja.Batin Rania terlihat resah. Entah mengapa ia tidak bisa membenci adik iparnya. Padahal wanita itu sempat kecewa dengan sifat Rafka yang berani men
Di malam yang cukup sepi, Rafka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah apartemen. Ya, dia ingin menemui Nina yang sampai saat itu masih berani menempati apartemen milik Rafka."Kamu tidak akan selamat, Nina. Lihat saja. Apa yang akan aku lakukan kepadamu!"Rafka sudah tidak sabar untuk mempermalukan mantan kekasihnya. Ia berharap wanita itu mendapatkan sangsi sosial.Setelah sampai di tempat yang dituju, lelaki tampan itu menutup pintu mobilnya dengan sangat keras. Ia melangkah cepat menuju lift dan memencet angka 20.Rafka memang memilih sebuah apartemen yang berada di lantai atas. Ia menyukai suasana yang terpampang nyata di depannya. Sebuah pemandangan ibu kota yang tampak indah meski tidak ramah lingkungan karena asap maupun kotoran dari banyaknya gedung tinggi di sana.Ting !Tidak butuh waktu lama, pintu lift telah terbuka. Rafka semakin mempercepat langkahnya. Ia membuka pintu apartemennya menggunakan password. Sedangkan card lock masih berada di tangan Nina.R
"Iya, Mas. Kalung. Kemarin aku menemukan kotak berwarna merah dengan sebuah kalung di dalamnya. Pasti itu untuk aku 'kan, Mas?" tanya Rania mencoba meyakinkan.Amar terdiam sejenak. Ia mencari alasan yang tepat agar Rania percaya kepadanya."Aku minta maaf, Ran. Kalung itu untuk Mama. Sudah lama aku tidak memberikan hadiah untuknya. Kamu tidak marah 'kan?" Amar membelai pipi istrinya.Raut wajah Rania berubah datar. "Oh, jadi untuk Mama." Wanita itu berusaha percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amar.Rania kembali memasang wajah bahagia. "Tentu saja aku tidak marah. Aku senang Mas Amar begitu peduli kepada Mama.""Terima kasih, Sayang. Aku capek banget hari ini. Mas tidur dulu, ya? Sebaiknya kamu juga tidur."Amar mengecup kening Rania. Kemudian membaringkan tubuh dan menarik selimut hingga sebatas dada.Rania menatap tubuh Amar dengan penuh rasa kekecewaan. Lagi-lagi ia harus terabaikan oleh suaminya sendiri.'Sampai kapan Mas akan terus seperti ini?' Rania berlalu pergi keluar dari
Tin ! Tin !Terdengar suara bunyi klakson. Mobil Rafka menghalangi jalan. Terpaksa ia harus menjalankan mobilnya untuk parkir di tempat yang lebih aman.Setelah memposisikan mobilnya dengan benar, Rafka segera turun ke luar. Berusaha mencari lelaki yang ia curigai tadi. Tetapi sayangnya Rafka sudah kehilangan jejak."Sial! Ke mana dia? Aku yakin jika lelaki itu adalah Mas Amar. Tetapi bukankah Rania tidak sedang berulang tahun?" Rafka berdecak kesal. Ia belum berhasil membuktikan jika Amar memang selingkuh."Ini semua gara-gara mobil tadi. Aku tidak memperhatikan suasana dan tempat dengan baik." Rafka terlihat kecewa. Ia masih penasaran dengan lelaki yang diyakininya adalah Amar.Sesaat kemudian, seorang pria paruh baya datang menghampiri Rafka. Dia adalah tukang parkir di tempat itu."Mohon maaf, Pak. Tadi saya sakit perut," ucapnya menyesal karena melihat Rafka yang menahan emosi gara-gara mobilnya salah tempat parkir.Rafka merasa tidak enak hati. Padahal ia tidak menyalahkan tukang
Rafka sedikit terkejut saat menyadari siapa yang datang. Bahkan ia tidak pernah berpikir sedikit pun akan peristiwa kebetulan yang sedang terjadi."Rania?""Rafka?" Rania pun tak kalah terkejut. Ia tidak menduga jika akan bertemu dengan Rafka di tempat itu."Horeee! Ada Kak Rania di sini.""Em, sebentar ya? Kakak harus menelepon seseorang." Rafka mengusap lembut kepada Julio lalu berjalan ke luar rumah saat Rania sudah masuk.Wanita itu terlihat kecewa. Melihat Rafka yang seolah sengaja menghindarinya.Mendengar teriakan Julio, membuat Rosita penasaran dan menghampirinya."Ada apa sih, teriak-teriak?" ungkap sang mama. Raut wajahnya seketika berubah saat menyadari sang menantu berkunjung ke rumah."Sore, Ma," sapa Rania seraya mengulurkan tangannya. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya."Kamu sendiri saja, Ran? Amar mana?" Bersamaan dengan pertanyaan itu, Rafka masuk kembali ke rumah dan bergabung bersama mereka. Rania memberikan bingkisan yang ia bawa. Ia membawakan makanan kesuka
"Ciyeeeee," celetuk Julio kemudian.Seketika Rafka dan Rania saling menjauh. Keduanya menjadi salah tingkah."Maaf," lirih Rafka.Lampu merah telah berubah menjadi warna hijau. Rafka segera tancap gas dan melanjutkan perjalanan."Kita mau ke mana, Dek?" tanya Rafka kepada Julio."Kalau nonton film boleh nggak, Kak? Habis itu minum es krim, jalan-jalan di Mall, terus ke tempat bermain anak deh.""Ish, banyak sekali maunya. Ini udah gelap, Jio. Nanti kapan-kapan kita main lagi, ya?" celetuk Rania di belakang."Kak Rania benar, Dek. Kasihan dia kalau lama-lama ninggalin Mas Amar.""Kenapa Mas Amar nggak ikut saja tadi. Dia nggak pernah mau nemenin Jio main. Iya 'kan Kak Rania?" ujar bocah kecil itu."Maafkan Mas Amar, ya? Dia sibuk bekerja, Sayang. Pasti Mas Amar sebenarnya juga pengen main sama kamu."Uhuk ! Uhuk !Tiba-tiba Rafka terbatuk. Ia malas jika Rania selalu membela Amar. Padahal sejak dulu abangnya tersebut memang tidak peduli kepada Julio. Alasannya adalah Julio anak dari Rosi
"Ma–Mas Amar sudah pulang?" Tergagap Rania berucap. Entah mengapa dirinya merasa takut."Mama telepon, dia bilang kamu ke rumah Mama untuk menanyakan kalung pemberianku. Kamu tidak percaya kepadaku?" Ucapan Amar begitu nyaring. Padahal jelas-jelas di dekatnya ada Rafka.Rafka meremas tangannya sendiri. Ia tidak kuat melihat Amar yang selalu memojokkan istrinya seperti itu."Memangnya kenapa kalau Rania tidak percaya? Mama juga tidak memakai kalungnya? Pasti kalau itu buat Clayrine 'kan?" sahut Rafka cepat."Kamu tidak perlu ikut campur Rafka! Ini urusanku dengan Rania.""Aku harus ikut campur. Ini rumahku. Dan kamu bersikap kurang ajar di rumah ini."Amar tidak terima dengan ucapan Rafka. Kalimat itu menyakitkan baginya. Ia seperti direndahkan oleh adik kandungnya sendiri."Rania, kita masuk ke kamar." Lelaki itu menarik tangan Rania dengan kasar."Pelan-pelan, Mas!" rintih Rania."Bukankah tadi kamu membeli kue ulang tahun dan sebuah paper bag? Kamu sedang merayakan ulang tahun bersam
"Aku mencintaimu Mas," lirih Rania lalu tergolek lemah di sofa panjang.Amar mengubah posisinya. Di saat itu ia melihat keberadaan Rafka. Lelaki itu tersenyum smirk. Menganggap adiknya telah kalah dari segalanya.'Aku tahu, Rafka. Rania adalah cinta pertamamu. Sekarang aku bisa menyaksikan jika kamu semakin hancur setelah melihat suasana panas pagi ini.'Amar sudah mengira jika Rafka akan kembali ke rumahnya. Ia sengaja menggauli istrinya di dekat ruang tamu agar Rafka melihatnya.Rafka segera berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Hatinya seolah hancur berkeping-keping menghadapi kenyataan yang ada.Setelah ia melihat perselingkuhan Amar, dengan beraninya lelaki itu masih bercinta dengan Rania. Bahkan ia sengaja membuat istrinya lemah tak berdaya."Sialll!" Rafka berteriak kencang. Ia membelokkan mobilnya ke kiri dan tidak menyadari jika ada sebuah truk besar dari arah yang ia tuju.Boom !Sekejap saja mobil itu menghantam truk.