LOGIN
“Mr. Easton! Apa—apa yang Anda—”
Pria itu mengunci kedua tangan Iris dan mulai mencumbuinya dengan membabi buta. “Tuan, Anda tidak boleh—Aahh!” BRETT! Suara sobekan baju yang dikenakan Iris terdengar keras di ruangan itu. Pria itu menekan Iris lebih keras. “Puaskan aku...” suara berat dan rendah pria itu terdengar dekat telinga. Nafas yang menderu, menyentuh permukaan pundak Iris yang terekspos, bagai sentuhan sebuah bulu, ringan dengan sensasi menggelitik. Tubuh Iris gemetar, berusaha memberontak melawan cumbuan pria itu. “Ja-jangan Mr. East—humptt…” Pria itu membungkam mulut Iris dengan miliknya, menciumnya seperti seorang yang dahaga, menahan suara parau yang keluar dari bibir gemetar gadis itu. Iris memberontak, berusaha menolak pria itu. Namun dia terus menindihnya, tidak memberinya kesempatan untuk melepaskan diri atau menolak. Lama-lama, perlawanan Iris melemah dan penolakannya sia-sia. Ia hanya bisa pasrah, hanyut terbawa oleh arus tuntutan pria itu. *** Malam berlalu, berganti dengan semburat kemerahan di ufuk timur yang menerpa tubuh polos dua insan diatas ranjang kamar suite hotel itu. Iris membuka matanya. Di hadapannya tampak sesosok wajah. Tampan, proporsional, mulus dan tanpa cela. Persis seperti sebuah lukisan Artificial Intelligence. “Mr Easton!” pekiknya sambil beranjak duduk dengan cepat. Ingatan kejadian semalam bermain di kepalanya. Wajahnya langsung memerah, dan raut wajahnya berubah drastis. Tidak mungkin! Tidak, ini pasti hanya mimpi! Iris mencubit tangannya sendiri dan ia mengaduh kesakitan. Ini bukan mimpi! Ya ampun, bagaimana ini bisa terjadi? Pria tampan itu adalah tamu penting. Dan ia bertugas menjemput pria itu di bandara lalu mengantarkannya ke hotel. Tetapi, lihatlah di mana ia berada saat ini. Di ranjang bersama pria itu tanpa sehelai benang pun! Terngiang di telinganya perkataan karyawan senior yang menyuruhnya menjemput pria itu. “Jangan melakukan kesalahan. Dia tamu penting. Kita tidak akan sanggup menanggung akibat jika sampai menyinggung atau terjadi sesuatu padanya!” Apa yang aku lakukan!? Iris membeku. Sebagai seorang karyawan magang, ia telah melakukan kesalahan fatal! Namun, nasi telah menjadi bubur. Ia tidak bisa memutar ulang waktu. What’s done is done. Yang jelas, ia tidak boleh berada di sini saat pria itu terbangun! Sambil meringis merasakan nyeri di bagian pribadinya, Iris turun dari ranjang, berusaha untuk tidak membangunkan pria itu. Ia meraih baju miliknya yang tergeletak di lantai, tetapi kecewa karena baju terusan itu sobek di beberapa tempat. Bagaimana ia bisa keluar dan pergi bekerja? “Pria itu! Apa dia binatang buas?” Terlontar juga kegeramannya ketika ingat apa yang pria itu lakukan tadi malam. Tidak punya pilihan lain, ia mengambil kemeja pria itu dan mengenakannya. Kemeja itu kebesaran di tubuhnya. Untungnya, ia mengetahui beberapa teknik fashion hack yang dipelajarinya dari sosial media. Dengan cepat ia merubah kemeja pria itu menjadi kemeja crop top yang cukup pantas dikenakan. Sedangkan baju terusan miliknya ia manfaat sebagai rok bawahan. Selesai berpakaian, Iris menoleh, menatap pria itu. “Jangan salahkan aku memakai kemeja Anda, Mr. Easton,” ujarnya, lalu ia berjalan keluar kamar itu. Dari hotel—setelah berhias dan membersihkan diri secukupnya—Iris langsung berangkat ke kantor. Baru saja ia melangkahkan kaki di lobi kantor, tiba-tiba seseorang menariknya masuk ke sebuah ruangan. Emberly Lorne. Karyawan di bagian General Affair sekaligus alumni di kampusnya. Dia adalah orang yang menyuruhnya menjemput Mr. Easton. “Kamu itu bagaimana sih? Kenapa kamu tidak jemput Mr. Easton?” Emberly langsung menyemprot Iris. “Aku—” “Aku kan sudah bilang, kalau dia itu tamu penting! Apa kurang jelas yang aku katakan?” “Dengar dulu penjelasanku…” Iris berusaha menjelaskan dengan menahan diri. Bagaimana pun Emberly adalah karyawan di kantor itu. Sedangkan dirinya hanyalah karyawan magang. “Mau menjelaskan apa lagi? Kamu tahu apa rasanya ditelpon semalaman sama atasan?!” Tidak puas, Emberly terus menyudutkan Iris. “Emberly, dengar dulu!” Iris terpaksa berkata keras. Ia tidak mau disalahkan begitu saja. Emberly berhenti bicara. Ia hendak membuka mulutnya tetapi diurungkannya. “Semalam ada truk mogok di jalan. Aku terjebak, tidak bisa ke mana-mana. Itu sebabnya aku terlambat sampai ke bandara.” Emberly tertawa. “Klise! Kamu pikir aku percaya?” Iris hendak menimpalinya saat seseorang membuka pintu ruangan itu. “Kalian kenapa ada di sini? Semua orang sudah di lobi. Ayo cepat, CEO sebentar lagi datang!” ujar orang itu. “CEO?” “Apa kalian tidak baca pengumuman tadi pagi? CEO kita datang pagi ini! Ayo!” seru orang itu sambil membuka pintu lebih lebar, menyuruh mereka keluar. Emberly mendengus lalu berbisik di telinga Iris. “Ini belum selesai! Kita bicara lagi nanti!” Setelah itu dia berjalan keluar. Iris ikut keluar, berjalan menuju lobi. Di lobi sudah banyak orang berkumpul untuk menyambut CEO baru mereka. SDP Corp.—Perusahaan tempat Iris magang baru diakuisisi enam bulan yang lalu. Dan baru hari ini CEO baru mereka secara resmi datang dan menempati kantornya. Itu sebabnya semua karyawan SDP sangat antusias menyambut kedatangan CEO itu. “Lihat! Itu dia!” Terdengar seruan seseorang. Sontak semua menoleh ke arah sebuah mobil sedan mewah yang berhenti di depan pintu lobi kantor mereka. Iris memanjangkan lehernya, penasaran ingin melihat diantara kerumunan karyawan itu, sosok sang CEO. Untuk sejenak ia melupakan perdebatannya dengan Emberly. Seorang pria muda turun dari pintu depan dan memutari mobil. “Dia itu asisten pribadinya, aku pernah melihatnya beberapa kali….” Iris mendengar orang di dekatnya berbicara. Pintu belakang terbuka, dan turunlah seorang pria. Namun, Iris tidak bisa melihat pria itu dengan jelas karena banyaknya orang di sana. “Aaahhh! Dia tampan sekali!” Beberapa orang mulai berseru dengan histeris. Iris semakin penasaran. Ia menyelinap ke depan, ingin melihat lebih dekat. Rombongan CEO melewati pintu lobi, dan bergerak semakin dekat. Sementara, Iris masih berusaha mencari spot yang tepat agar bisa melihat CEO itu. Akhirnya Ia terhenti di baris kedua. Iris memicingkan mata, menatap satu titik, berharap sang asisten yang menutupi sosok CEO dari pandangannya, bergesar sedikit saja. “Geser sedikiiit…” desis Iris dengan sangat pelan. Setelah sekuat tenaga menggeliat di antara kerumunan karyawan yang antusias ingin melihat sang CEO, Iris akhirnya berhasil mencapai barisan paling depan. Namun, kejutan lain menantinya. Sekonyong-konyong kedua mata Iris membelalak dan ia menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Wajah itu… berbentuk chisel dengan tulang rahang yang kokoh dan hidung mancung serta tatapan mata yang dalam dan tajam. Pria itu… Bagaimana mungkin?Iris sadar, desain miliknya mungkin tidak sempurna atau tidak sesuai dengan selera Easton. Tetapi haruskah dia berbicara seperti itu? Menjelek-jelekkan desain miliknya di hadapan banyak orang dan bahkan menyebutnya sampah?“Eas—”Karena emosinya, Iris ingin protes kepada Easton, namun gelengan kepala dan sentuhan tangan Olivia di bahunya membuatnya mengurungkan niat. Jika ia tetap bersikeras memprotes dengan Easton saat ini, ia khawatir tidak hanya kerja magangnya yang kemungkinan besar akan bermasalah, tetapi Olivia juga akan terkena imbasnya. Dan ia tidak ingin kedua hal itu terjadi.Alhasil, ia hanya bisa mengalah, menahan kegeramannya sambil meremas rok yang dikenakannya dengan erat.Salah satu ujung bibir Easton terangkat, seakan dia puas dengan sikap Iris yang hanya bisa menerima.“Siapa pun yang tidak signifikan, tidak boleh masuk ruangan rapat tanpa persetujuan dariku!” Jelas sekali bagi siapa pun yang mendengarnya, bahwa orang yang dimaksud oleh Easton adalah Iris.“Emberly
“Kamu tidak boleh masuk!” Emberly menghadang Iris di depan pintu ruang rapat.Iris tidak menyangka Emberly mencegatnya. Akan tetapi yang lebih ia khawatirkan adalah terpisah dari Olivia. Dan terbukti, melewati pundak Emberly, ia melihat Olivia masuk ke dalam ruangan rapat dan menutup pintu dibelakangnya. Menejer Marketing itu tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya.Mau tidak mau, Iris harus menjelaskan sendiri keberadaannya di sana kepada Emberly. “Emberly, Miss Moore—”“Miss Moore menejer Marketing, tentu dia boleh masuk. Sedangkan kamu? Apa yang membuatmu merasa istimewa sehingga berpikir bisa menghadiri rapat ini?” tanya Emberly dengan ketus.Iris menarik nafas dan menghembuskannya, menahan diri terhadap sekertaris Easton yang belum mendengar penjelasannya, tetapi sudah menghardiknya.Ia kembali menjelaskan. “Miss Moore mengajakku karena disain promosi yang aku buat—”“Keputusan desain promosi ada ditangan Mr. Sinclair. Bahkan Miss Moore tidak berhak mengatakan siapa pemen
Pagi hari, Iris tergesa-gesa masuk ke dalam taksi. Ia bangun kesiangan setelah semalam sulit untuk tidur.Setelah Easton pergi dari rumah, kedua orang tuanya baru menceritakan padanya apa yang terjadi antara mereka dan Easton.Tiga tahun yang lalu, Grace—ibu kandung Iris menikah dengan Harlan—mantan kekasihnya saat masih sekolah dulu. Ketika Grace menjalin hubungan dengan Harlan, Iris tengah menjalani pertukaran pelajar di kota lain, sehingga ia tidak tahu persis bagaimana awal mula hubungan mereka. Dan saat mereka menikah, Iris pun tidak mengetahui jika ternyata Harlan baru bercerai dari istrinya beberapa bulan sebelumnya. Itu sebabnya, hubungan Easton dan kedua orang tua Iris tidak berjalan dengan baik. Kala itu, Easton bertengkar hebat dengan Harlan dan dia menyalahkan Grace atas perceraian kedua orang tuanya.Dan mengetahui bahwa Easton benar-benar anak kandung Harlan, membuat Iris bertambah tidak tenang. Bukan hanya karena Easton adalah CEO yang terkenal dingin di kantornya,
“Mr. Sinclair… hahaha Anda lucu sekali…” Iris tertawa dengan canggung.“Ini ayahku, Harlan Sinclair. Apa karena nama keluarga kalian sama, maka Anda memanggil ayahku, Dad?” Iris menganggap Easton bercanda.Sebab tidak mungkin Harlan memiliki anak seorang Easton. Pria itu bahkan tidak pernah tersenyum!Iris masih tertawa sendiri. Ia menepuk lengan Harlan.”Dad, ini bosku di tempat magang. Dia—hanya bercanda saja…”Akan tetapi tudak ada satupun dari mereka yang tertawa atau bahkan tersenyum. Keduanya tampak serius.“Apa yang membuatmu berpikir aku sedang bercanda, Miss Villar?” tanya Easton dengan nada dan raut wajah dingin seperti biasanya.Iris berhenti tertawa. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun melihat wajah Easton yang sama sekali tidak tersenyum atau tertawa, membuatnya kembali berpikir. Tidak mungkin kan kalau…Iris menoleh kepada Harlan. “Dad…?” Melihat raut wajah ayahnya, perasaan Iris menjadi tidak menentu. Jantungnya berdegup semakin cepat, dan pikirannya berusaha menyangkal
Iris menatap Emberly dengan tidak percaya. Pasalnya Ia melihat sendiri bagaimana sikap mereka saat mereka pertama kali bertemu. Sama sekali asing dan tidak mengenal satu sama lain. Dan itu terjadi hanya beberapa hari yang lalu.Iris sempat bertanya mengenai Easton pada karyawan senior. Mereka mengatakan bahwa Easton dikenal sebagai pengusaha yang gigih dan handal. Hanya dalam beberapa tahun saja, Easton sudah berhasil membesarkan SDP Corp.— perusahaan yang dibangunnya dari nol.Bahkan enam bulan yang lalu, Easton mengakuisisi perusahaan tempat mereka bekerja dan menggantinya dengan nama SDP Corp. Rekam jejaknya sangat profesional, dan dia terkenal sangat serius dan bahkan disebut sebagai workaholic. Mereka juga mengatakan bahwa Easton adalah orang yang tegas dan tidak suka tersenyum. Sedangkan mengenai kehidupan pribadinya, tidak banyak orang yang tahu. Dia tidak memiliki banyak skandal seperti banyak pengusaha muda lainnya. Jarang terlihat dekat dengan perempuan dan bahkan selama i
“Maaf! Maaf… aku—tidak sengaja…” Iris segera meminta maaf. Tangannya mencari-cari sesuatu untuk mengelap muntahan itu. Namun sayangnya ia tidak menemukan apa pun untuk membersihkan jas pria itu.“Kamu baik-baik saja?” Bukannya marah, pria itu justru terlihat khawatir. “Aku—hweeek!” Iris kembali merasa mual. Namun untungnya, kali ini hanya keluar gas saja.“Mari, biar kubantu.” Pria itu melepas jas yang terkena muntahan, lalu membantunya berjalan. “Tidak apa, saya bisa sendiri…” Iris merasa sungkan dan hendak menolak bantuan pria itu.“Tubuhmu lemas. Kamu yakin bisa jalan sendiri? Ayo, tidak usah sungkan. Sedikit lagi sampai.” Pria itu menolak, dan justru mengarahkannya masuk ke dalam ruangan UGD. Iris semakin bingung, nmun ia tidak merasa takut. Sebab di ruangan itu ada beberapa orang perawat. “Saya Dokter Finch. Berbaringlah, biar aku periksa.” “Anda—Dokter?” Iris tidak menyangka jika pria itu adalah seorang dokter. Dia terlihat muda dan trendy. Ia menduga usia mereka tidak j







