Langit barat menghitam perlahan saat rombongan kecil itu mendekati perbatasan Barathen—wilayah yang bahkan para bangsawan sekalipun enggan menyentuhnya. Angin berhembus kencang, membawa aroma logam dan kabut yang tak biasa. Auren, Liora, dan Ren berdiri di hadapan gerbang batu raksasa, yang menjulang seperti tembok raksasa kuno. Di tengah-tengahnya, terukir simbol naga berkepala tiga, masing-masing dengan mata kosong yang mengarah ke arah berbeda.
"Ini bukan gerbang biasa," gumam Ren sambil mendekat. Ia menyentuhkan telapak tangannya ke salah satu ukiran, tapi segera mundur ketika percikan api kecil menyembur dari sela batu."Penghalang sihir kuno," sahut Liora. Ia menatap serpihan naga di tangan Auren. "Mungkin itu kuncinya."Auren mengangguk pelan, lalu mengangkat serpihan batu itu. Begitu mendekatkan ke pusat simbol naga, seluruh gerbang mulai bergetar. Mata-mata naga di ukiran itu mulai menyala—merah, ungu, dan biru—lalu perlahan terbuka suara dari dalAeryn memutar tombaknya sekali, menguji keseimbangan senjata itu di tangannya. Angin dingin dari Abyss menyapu wajahnya, menusuk kulit seperti jarum es. Di depannya, anjing penjaga itu menunduk rendah, giginya menyeringai, uap hitam mengepul dari sela rahangnya.Makhluk itu menggeram, suara rendahnya bergetar di udara, membuat dada Aeryn ikut bergetar. Ia tahu kalau satu serangan saja bisa menghancurkan tulangnya, tapi menyerah berarti membiarkan Abyss menelan semua yang ia lindungi. Tidak ada pilihan lain.Dengan langkah cepat, Aeryn melesat maju, tombak menukik lurus ke arah mata lawan. Serigala kabut itu mengelak, bergerak lebih cepat daripada yang Aeryn duga. Ia berputar, mencoba menusuk dari samping, tapi ekor makhluk itu—seperti cambuk tulang—melesat dan memukul tombaknya. Getaran keras merambat ke lengannya, hampir membuatnya melepaskan senjata.Jangan goyah. Fokus. Cari celah.Raja Naga berdiri di belakang, diam, namun matanya tajam mengaw
Udara di arena yang sudah porak-poranda itu mendadak membeku. Debu yang masih melayang di udara berhenti bergerak, seolah waktu ikut tertahan. Bahkan napas pun terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata menekan dada.Aeryn merasakan bulu kuduknya berdiri. Apa ini… bukan hanya tekanan energi biasa. Ini… seperti tatapan predator pada mangsanya.Raja Naga melangkah maju, tubuhnya sedikit memiring menutupi Aeryn. Matanya menatap tajam ke arah celah gelap yang membelah udara di belakang makhluk iblis tadi. Dari celah itu, merembes keluar kabut hitam keunguan yang tampak seperti hidup—bergerak pelan, namun setiap gumpalnya menggerogoti cahaya di sekitarnya.Makhluk iblis yang tadi nyaris tumbang kini tersenyum bengkok. “Kau… akhirnya datang.” Suaranya terdengar penuh kegilaan sekaligus kepasrahan.Dari kegelapan itu, muncul siluet tinggi, jauh lebih besar dari makhluk iblis biasa. Tubuhnya dibungkus mantel hitam yang bergetar seperti terbuat dari as
Aeryn membuka matanya, tapi yang terlihat hanya kegelapan pekat. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atas kepala, hanya ruang kosong tanpa arah. Nafasnya terasa berat, seolah udara di sini tidak untuk manusia."Aeryn…" Suara itu datang dari jauh, tapi juga terdengar dekat di telinganya. Suara Raja Naga."Aku di sini!" balas Aeryn, mencoba mencari sumber suara.Tiba-tiba, secercah cahaya merah menyala di kejauhan, seperti bara api yang perlahan membesar. Dari dalam cahaya itu, siluet sayap raksasa muncul, dan tak lama kemudian, Raja Naga menembus gelap, tubuhnya dipenuhi goresan dan sisik yang retak."Kita… tidak lagi berada di dunia kita," katanya pelan."Kalau begitu, di mana kita?"Raja Naga menatap sekeliling dengan mata menyipit. "Di dalam ranahnya. Dia menarik kita masuk… ini wilayahnya, dan di sini dia tak terkalahkan."Sebelum Aeryn sempat merespons, suara berat yang tadi kembali bergema. "Selamat datang di inti keg
Suara dentingan senjata bergema di udara malam, memecah kesunyian yang sebelumnya hanya diwarnai desiran angin dari puncak tebing. Api unggun yang menyala di tengah lingkaran batu hanya memberi penerangan samar, namun cukup untuk memperlihatkan dua sosok yang berdiri saling berhadapan.Aeryn menggenggam tombaknya erat, matanya terfokus pada sosok tinggi bersayap hitam di hadapannya. Raja Naga itu berdiri dengan ekspresi sulit terbaca, seakan sedang menilai apakah ia berhadapan dengan musuh… atau calon sekutu."Kenapa kau memanggilku ke sini, Aeryn?" suaranya berat, namun tenang, bagaikan gemuruh jauh di langit."Aku butuh jawaban, bukan ancaman," jawab Aeryn, nadanya mantap. "Tentang bayangan yang kulihat di balik gerbang dunia. Tentang kekuatan yang kau sembunyikan."Raja Naga menatapnya lama, lalu mengibaskan sayapnya pelan. Debu dan kerikil beterbangan, membuat api unggun berderak."Bayangan itu… adalah sesuatu yang tak seharusnya kau kejar," uj
Benturan kedua naga mengguncang lantai batu hingga retakan kecil mulai menjalar dari tepi kolam. Suara riak air yang terciprat berubah menjadi deru bising, bercampur dengan gemuruh rendah dari dada kedua makhluk itu.Raga melayang rendah di udara, sayap peraknya mengepak kuat, menciptakan hembusan angin dingin yang membuat obor di dinding bergoyang liar. Ia meluncur maju, cakarnya memotong udara, namun Zerath berkelit dan memutar tubuhnya, ekor hitam panjang itu menghantam lantai hingga bebatuan beterbangan."Aku tidak mencari masalah denganmu malam ini, Zerath," Raga menggeram, suaranya berat dan bergema. "Pergilah sebelum kau menyesal."Naga hitam itu tertawa—suara yang lebih mirip desisan ular raksasa bercampur baja yang beradu. "Menyesal? Oh, Raga, kau lupa. Malam ini bukan tentang aku dan kau saja. Ini tentang dia." Matanya berkilat merah, dan tatapan itu tertuju lurus pada Arletta.Arletta mundur dua langkah, punggungnya menempel pada dindin
Debu dan percikan api menari di udara. Setiap kali kapak obsidian itu menghantam tanah, gelombang kejut menyapu seperti badai, menghantam pasukan dan membuat para pemanah kehilangan keseimbangan.Aria tidak lagi menyerang secara terburu-buru. Ia menunggu, memanfaatkan setiap celah kecil ketika sang naga hitam—yang kini jelas seorang panglima perang—kehilangan sedikit keseimbangan akibat luka di lengannya.Ryn berusaha menerobos lingkaran monster, pedangnya berkilat-kilat memantulkan cahaya merah langit. Tapi jumlah mereka tidak berkurang. Monster-monster itu bertindak seolah Ryn adalah ancaman yang harus ditahan mati-matian, agar Aria tetap sendirian.Di atas menara, pemanah berjubah putih menarik busurnya lagi. Tapi kali ini panah yang ia lepaskan berlapis energi biru pekat, menandakan sihir tingkat tinggi. Panah itu meluncur bagai kilat, menghantam sisi kapak naga hitam, membuat senjata itu terlempar beberapa meter.Sorak kecil terdengar dari pr