Tanah di sekitar Gerbang Langit sudah berubah jadi medan perang sebelum denting pertama senjata terdengar. Pasukan dari berbagai klan sudah berdiri membentuk formasi, mata mereka menatap lurus ke depan. Kabut dari lembah utara mulai turun pelan, menutupi pandangan. Tapi semua tahu: musuh sudah dekat.
Ren berdiri di barisan depan bersama Kinari, Bayne, dan Liora. Di belakang mereka, pasukan dari Klan Angin dan Klan Api mulai menyiapkan senjata. Bendera-bendera bergambar naga terbang tinggi, berkibar di hembusan angin dingin.“Masih belum terlambat buat mundur dan nikah muda,” ucap Kinari dengan nada setengah bercanda, setengah deg-degan.Ren tertawa pelan. “Nikah dulu, perang belakangan?”“Sial, kayaknya nggak bisa dibalik ya urutannya.”Liora tidak banyak bicara. Sejak pagi, dia sudah berkonsentrasi penuh. Tangan kirinya terus menggenggam liontin pemberian ibunya, dan tangan kanannya menggenggam erat tombak pendek warisan ayahnya. Dalam hAngin utara berhembus kencang saat rombongan Bayne memasuki wilayah beku bernama Korthal, tanah sunyi yang dipercaya telah mati sejak ribuan tahun lalu. Langitnya muram, seolah awan pun enggan menatap langsung ke permukaan tanah yang menyimpan sejarah kelam.“Ini dia tempatnya?” tanya Ren, menggigil sambil memeluk jaket sihirnya.Kinari mengangguk pelan. “Tanah ini pernah jadi pusat kerajaan waktu, sebelum seluruh peradaban lenyap dalam satu malam. Kabarnya, waktu berhenti di sini sejak itu.”Morlen berjalan paling depan, tatapannya lurus ke depan seolah sedang menebus dosa. “Karena aku yang membekukannya.”Bayne menoleh. “Kau serius?”“Ritual penghentian waktu. Aku melakukannya atas perintah pemimpin lamaku... supaya Ragnur tak bisa bangkit saat itu. Tapi sekarang… garis waktunya pecah. Keseimbangan sudah rusak.”Tak ada yang menjawab. Mereka hanya terus melangkah hingga tiba di depan reruntuhan istana batu yang menjulang. Waktu
Bayne membeku. Hanya napasnya yang terdengar di aula sunyi itu. Sosok di hadapannya—sosok yang selama ini hanya tinggal dalam ingatan buram—benar-benar nyata. Matanya, wajahnya, bahkan luka lama di pelipis kiri yang dulu pernah Bayne lihat saat kecil, semuanya ada.“Ayah...?” suara Bayne serak, nyaris tak terdengar.Sosok itu mengangguk pelan. “Aku minta maaf, Bayne.”Morlen menyeringai puas, langkahnya mundur seolah menyerahkan panggung. “Lanjutkan saja... drama keluarga ini menarik.”Ren menahan diri untuk tidak menyela, tapi ekspresinya jelas menunjukkan ketegangan.Kinari memicingkan mata. “Kau bukan ilusi, kan? Ini bukan permainan markas roh?”Sang Ayah melangkah lebih dekat, dan di setiap jejak kakinya, lantai memancarkan cahaya biru tua. “Aku nyata. Walau tak seutuh dulu.”Bayne masih diam. Emosinya bertabrakan. Marah. Rindu. Bingung. Hancur.“Kenapa... kau pergi?” Suara Bayne akhirnya pecah. “Kenapa sela
Pagi menyambut dengan kabut tipis yang menggantung di antara lereng. Suasana di kaki gunung tempat mereka bermalam masih terasa menekan. Tidak ada burung, tidak ada suara gemericik air—hanya keheningan yang terlalu sempurna untuk alam liar.Bayne berdiri di tepi kemah, menatap ke arah puncak. Cahaya biru dari markas Morlen masih bersinar, tapi kini mulai meredup, seolah tahu mereka mendekat.“Aku pernah mendengar kisah tentang tempat ini,” ucap Kinari saat mereka mulai berkemas. “Konon, markas itu tidak bisa dimasuki sembarangan. Gerbangnya dijaga oleh penjaga langit—makhluk yang tidak mengenal waktu.”Ren mengangkat alis. “Penjaga langit? Bisa dipotong pakai pedang?”“Kalau bisa,” jawab Kinari pelan, “sudah banyak orang yang berhasil masuk sejak ratusan tahun lalu.”Perjalanan menanjak dimulai. Jalan menuju markas Morlen tidak seperti jalur biasa. Akar-akar pohon menjulur dari batuan, seolah hendak menggagalkan setiap langkah. Udara maki
Mereka tiba kembali di desa kaki gunung saat matahari mulai memanjat langit, menyisakan hawa lembab setelah badai kabut yang merenggut hampir seluruh energi mereka. Liora tertidur di atas punggung kuda, masih pucat dan belum pulih penuh dari bayang-bayang kabut. Ren menggandeng tali kekang, sementara Bayne menyusuri jalan setapak sambil menatap sekitar dengan waspada.Kinari berada paling depan, memimpin langkah mereka menuju rumah tua yang dulu ditinggalkannya bersama ibunya. Rumah itu kini tampak lebih rapuh dibanding kenangan yang ia simpan. Atapnya miring, dinding kayunya mulai lapuk, tapi jendela bundarnya masih utuh—dan anehnya bersih, seperti ada yang sengaja merawatnya.“Tempat ini seolah menunggumu kembali,” gumam Bayne.Kinari hanya mengangguk, menahan perasaan yang sulit dijelaskan.Begitu mereka masuk, suasana rumah terasa hangat. Tidak ada aura sihir gelap, tidak ada perangkap, hanya aroma kayu tua dan lavender kering.Ren me
Kabut pagi menyelimuti Pegunungan Duralis seolah ingin menyembunyikan segala hal yang akan mereka hadapi. Udara begitu dingin, menusuk tulang, dan keheningan hanya pecah oleh derak langkah mereka menapaki jalur batu yang menanjak.Ren berjalan paling depan. Sejak subuh, dia belum bicara sepatah kata pun. Di matanya hanya ada satu tujuan: puncak. Di sanalah rahasia masa lalu menunggu dibongkar. Di sanalah ia berharap bertemu sesuatu… atau seseorang yang bisa menjawab semua.Kinari dan Liora menyusul di belakangnya, dengan Bayne mengawasi dari belakang.“Dia nggak tidur sama sekali semalam,” kata Liora pelan. “Kupikir dia bakal pingsan pas jalan.”“Adrenalinnya menutupi semuanya,” ujar Kinari. “Tapi itu nggak bakal bertahan lama. Begitu kita sampai ke sana, kalau jiwanya nggak siap… dia bisa patah.”Satu jam perjalanan berikutnya terasa seperti memasuki dunia lain. Hutan di sekitar mereka perlahan berubah—pepohonan menjadi lebih tinggi, leb
Langkah demi langkah membawa Ren dan kawan-kawannya masuk ke dalam wilayah yang seperti terperangkap antara kenyataan dan mimpi. Kampung Roh ternyata bukan sekadar tempat. Ia seperti dunia tersendiri, tersembunyi dari peta dan waktu. Rumah-rumah dari batu dan kayu tua berdiri kokoh, seolah ditinggalkan sekaligus dihuni. Tidak ada suara, tidak ada penghuni yang terlihat. Namun udara... terasa padat oleh tatapan yang tidak kasat mata.“Ini... tempat yang pernah aku dengar dalam dongeng waktu kecil,” ucap Liora pelan. “Tapi aku kira cuma mitos.”“Banyak yang kira begitu,” sahut Kinari. “Karena hanya sedikit yang kembali setelah masuk ke sini.”Bayne mendengus. “Kalau gitu, kenapa kita malah datang?”“Karena jawaban yang Ren cari cuma bisa ditemukan di sini,” Kinari menatap Ren tajam. “Dan karena dunia akan kacau kalau kita biarin energi dari dunia roh meluber ke dunia nyata.”Ren mengangguk. Ia terus berjalan menuju bangunan terbesar di teng