Aeryn memutar tombaknya sekali, menguji keseimbangan senjata itu di tangannya. Angin dingin dari Abyss menyapu wajahnya, menusuk kulit seperti jarum es. Di depannya, anjing penjaga itu menunduk rendah, giginya menyeringai, uap hitam mengepul dari sela rahangnya.
Makhluk itu menggeram, suara rendahnya bergetar di udara, membuat dada Aeryn ikut bergetar. Ia tahu kalau satu serangan saja bisa menghancurkan tulangnya, tapi menyerah berarti membiarkan Abyss menelan semua yang ia lindungi. Tidak ada pilihan lain.Dengan langkah cepat, Aeryn melesat maju, tombak menukik lurus ke arah mata lawan. Serigala kabut itu mengelak, bergerak lebih cepat daripada yang Aeryn duga. Ia berputar, mencoba menusuk dari samping, tapi ekor makhluk itu—seperti cambuk tulang—melesat dan memukul tombaknya. Getaran keras merambat ke lengannya, hampir membuatnya melepaskan senjata.Jangan goyah. Fokus. Cari celah.Raja Naga berdiri di belakang, diam, namun matanya tajam mengawPagi berikutnya, udara gurun terasa tajam, menusuk paru-paru setiap kali dihirup. Pasir memantulkan cahaya matahari seperti ribuan pecahan kaca, membuat mata silau meski sudah terlindungi kain penutup.Aeryn berdiri di puncak bukit pasir, menatap jauh ke cakrawala. Tubuhnya masih terasa berat setelah ritual semalam, namun ada sesuatu yang berbeda—denyut di nadinya terasa lebih kuat, seolah ada kekuatan baru yang mengalir, liar tapi jinak di bawah kendalinya.Raja Naga berjalan di belakangnya, langkahnya stabil seperti pria yang sudah menguasai setiap jengkal tanah ini. “Ingat, gurun bukan hanya pasir dan panas. Ia menyimpan rahasia… dan makhluk yang tidak suka tamu.”Althea mendekat, membawa kantong air. “Aku menemukan jejak kaki raksasa di sisi timur.”“Manusia?” tanya Aeryn.“Bukan. Jarak antar jejaknya terlalu lebar,” jawab Althea sambil mengernyit. “Kalau tebakanku benar, kita berhadapan dengan salah satu Penjaga Pasir.”Raja
Kabut tipis menggantung di atas lembah, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Aeryn duduk di tepi sungai, membiarkan kakinya terendam air dingin. Sudah dua hari sejak Abyss di utara runtuh. Dua hari sejak langit retak itu tertutup.Meski kemenangan terasa manis, tubuhnya masih menyimpan rasa nyeri yang terus mengintai. Bahunya memar, pergelangan tangannya terkilir, dan setiap tarikan napas membuat rusuknya protes. Tapi yang paling berat bukan rasa sakit fisik, melainkan beban di kepalanya: ia tahu ini hanya awal.Naga mini, yang kini tubuhnya sudah sedikit membesar karena energi dari bola merah, melayang santai di dekatnya. “Kau terlihat seperti kucing yang baru pulang dari berkelahi.”Aeryn mengangkat sebelah alis. “Kalau aku kucing, berarti kau… tikus bersayap?”“Jangan menghina legenda,” gerutu naga mini, tapi ujung mulutnya terangkat.Di kejauhan, siluet Raja Naga terlihat di atas punggung gunung. Ia belum berubah menjadi b
Ledakan cahaya merah dari inti Abyss menjalar sampai ke puncak jurang. Tanah berguncang hebat, membuat bebatuan runtuh seperti hujan badai. Para prajurit naga yang sedang bertarung di atas sejenak terhenti, menatap ke arah cahaya yang tiba-tiba padam itu.Raja Naga, dalam wujud naganya yang penuh sisik berkilau keemasan, mendongak. Matanya yang bersinar seperti bara menyipit. Aeryn berhasil… tapi ini terlalu cepat. Sesuatu pasti terjadi di bawah sana.Di hadapannya, makhluk raksasa Abyss yang semula mengamuk kini terdengar meraung seperti binatang terluka. Tubuhnya bergetar, sayapnya yang penuh duri patah di beberapa bagian. Asap hitam keluar dari mulutnya, bercampur dengan darah pekat yang menetes ke tanah, membuat rumput sekitarnya layu seketika.Namun, meski melemah, makhluk itu justru semakin beringas. Ia menerjang maju, cakarnya menyapu udara dan menimbulkan pusaran angin yang memecah perisai energi para prajurit naga di sekitarnya.“Lindungi
Aeryn memutar tombaknya sekali, menguji keseimbangan senjata itu di tangannya. Angin dingin dari Abyss menyapu wajahnya, menusuk kulit seperti jarum es. Di depannya, anjing penjaga itu menunduk rendah, giginya menyeringai, uap hitam mengepul dari sela rahangnya.Makhluk itu menggeram, suara rendahnya bergetar di udara, membuat dada Aeryn ikut bergetar. Ia tahu kalau satu serangan saja bisa menghancurkan tulangnya, tapi menyerah berarti membiarkan Abyss menelan semua yang ia lindungi. Tidak ada pilihan lain.Dengan langkah cepat, Aeryn melesat maju, tombak menukik lurus ke arah mata lawan. Serigala kabut itu mengelak, bergerak lebih cepat daripada yang Aeryn duga. Ia berputar, mencoba menusuk dari samping, tapi ekor makhluk itu—seperti cambuk tulang—melesat dan memukul tombaknya. Getaran keras merambat ke lengannya, hampir membuatnya melepaskan senjata.Jangan goyah. Fokus. Cari celah.Raja Naga berdiri di belakang, diam, namun matanya tajam mengaw
Udara di arena yang sudah porak-poranda itu mendadak membeku. Debu yang masih melayang di udara berhenti bergerak, seolah waktu ikut tertahan. Bahkan napas pun terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata menekan dada.Aeryn merasakan bulu kuduknya berdiri. Apa ini… bukan hanya tekanan energi biasa. Ini… seperti tatapan predator pada mangsanya.Raja Naga melangkah maju, tubuhnya sedikit memiring menutupi Aeryn. Matanya menatap tajam ke arah celah gelap yang membelah udara di belakang makhluk iblis tadi. Dari celah itu, merembes keluar kabut hitam keunguan yang tampak seperti hidup—bergerak pelan, namun setiap gumpalnya menggerogoti cahaya di sekitarnya.Makhluk iblis yang tadi nyaris tumbang kini tersenyum bengkok. “Kau… akhirnya datang.” Suaranya terdengar penuh kegilaan sekaligus kepasrahan.Dari kegelapan itu, muncul siluet tinggi, jauh lebih besar dari makhluk iblis biasa. Tubuhnya dibungkus mantel hitam yang bergetar seperti terbuat dari as
Aeryn membuka matanya, tapi yang terlihat hanya kegelapan pekat. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atas kepala, hanya ruang kosong tanpa arah. Nafasnya terasa berat, seolah udara di sini tidak untuk manusia."Aeryn…" Suara itu datang dari jauh, tapi juga terdengar dekat di telinganya. Suara Raja Naga."Aku di sini!" balas Aeryn, mencoba mencari sumber suara.Tiba-tiba, secercah cahaya merah menyala di kejauhan, seperti bara api yang perlahan membesar. Dari dalam cahaya itu, siluet sayap raksasa muncul, dan tak lama kemudian, Raja Naga menembus gelap, tubuhnya dipenuhi goresan dan sisik yang retak."Kita… tidak lagi berada di dunia kita," katanya pelan."Kalau begitu, di mana kita?"Raja Naga menatap sekeliling dengan mata menyipit. "Di dalam ranahnya. Dia menarik kita masuk… ini wilayahnya, dan di sini dia tak terkalahkan."Sebelum Aeryn sempat merespons, suara berat yang tadi kembali bergema. "Selamat datang di inti keg