Lorong bawah tanah itu bukan sekadar jalur.
Ia seperti rahim kuno yang menelan siapa pun yang berani melangkah masuk.Langkah-langkah mereka menggema,dan suara kecil dari kerikil yang terinjakterdengar seperti ledakan di antara kesunyian pekat.Arven berjalan paling depan,di belakangnya Saira dan Riven yang mulai melemah,dibantu Elma.Renai dan Firen menjaga barisan belakangdengan tangan tetap di senjata masing-masing.Dinding-dinding batu menyempit semakin dalam.Lampu senter dari gelang taktis merekamemantulkan cahaya ke arah simbol-simbol anehyang terukir setengah terhapus oleh waktu.Simbol itu…bukan bahasa manusia.Bukan pula milik kaum naga.Terlalu rumit.Terlalu hidup.Seolah lambang itu terus berubah setiap kali mereka menatapnya terlalu lama.“Simbol ini bukan bagian dari struktur lama Unit Ketujuh,”kata Saira,jari-jarinya menyentuh ukiran yang terasa hangaRetakan itu kecil,hanya seukuran celah jari—tapi dari dalamnya mengalir kabut unguyang tidak menyerang…melainkan berbisik.Saira mundur satu langkah,meraih lengan Arven.“Apa itu? Kau tidak yang membuatnya, kan?”Arven menggeleng pelan.“Bukan aku.Tapi sesuatu…yang terbangun setelah keseimbangan terputus.”Firen mencabut kembali senjatanya,nyala api di telapak tangannyamenyala otomatis seolah tahubahaya belum selesai.Elma mencoba membaca gelombang energi dari retakan.Wajahnya langsung menegang.“Partner… ini bukan dimensi lain.Ini… ingatan tua yang dikunci.Dan sekarang ia menolak untuk dilupakan.”Kabut itu menyebar perlahan,bukan dengan kekuatan,melainkan dengan kesadaran.Ia masuk ke medan baru yang diciptakan Arven,dan tidak hancur.Arven berdiri diam,namun tubuhnya sedikit bergetar.“Aku yang membuka jalan,dan kini…
Tanah retak dalam pola simetrisseiring dua kekuatan bertabrakan di tengah medan dimensi baru.Di satu sisi: Arven,dikelilingi oleh medan cahaya yang mengalir seperti sungai emas.Di sisi lain: entitas utama,sosok gelap yang bahkan bayangannya menghapus realitas tempat ia berdiri.Saat keduanya saling menatap,dunia seolah menahan napas.Entitas itu mengangkat satu tangan.Tak ada mantra, tak ada gerakan agresif.Namun ruang di antara mereka berubah.Warnanya menjadi pudar,seperti kanvas yang dilap bersih.Segalanya… menghilang.Saira berseru,“Dia mencoba menghapus zona realitas!Kalau Arven tertelan, semua ingatannya bisa runtuh!”Tapi Arven melangkah maju,dan setiap langkahnyamenghasilkan denyut energiyang membatalkan proses kehancuran itu.Elma memantau data dengan mata membelalak.“Ini... gila.Arven tak hanya menahan kehendak entitas,tapi juga menggan
Langit di atas mereka terbelah.Tidak seperti retakan biasa.Tapi seperti kulit dimensiyang dikoyak dari dalam—menganga dan meneteskan cahaya gelapyang tidak seharusnya ada di dunia mana pun.Saira mendongak,matanya refleks menyipit.Apa yang ia lihat…tidak bisa dijelaskan dengan bahasa biasa.Bukan makhluk.Bukan energi.Tapi kesadaranyang jatuh dalam bentuk berjuta-juta pecahan bercahaya,turun dari langit tanpa suara,namun menekan dada seperti beban seribu tahun.Elma menekan tombol darurat pada gelangnya.“Lapisan ketujuh dimensi telah pecah…ini seharusnya tidak mungkin.”Firen bersandar pada pilar ilusi,mengatur napas dengan susah payah.“Entitas itu memanggil mereka dari luar sistem alam ini.Mereka bukan sekadar pasukan—mereka fragmen dari kehendak kolektif…dari sesuatu yang lebih besar dari Tuhan.”Arven berdiri di depan mereka semua.Tubuhny
Retakan di tabung silinder membesar.Cairan ungu memercik ke lantai logam,mengeluarkan suara mendesis seperti darahyang jatuh di atas bara panas.Arven berbalik,menatap makhluk yang perlahan mengangkat kepalanya dari cairan itu.Kulitnya pucat transparan,urat-urat sihir menyala biru kehijauan di bawah permukaannya.Tak mengenakan pakaian,tapi tubuhnya tidak terlihat telanjang—karena setiap inci dari dirinya seperti dilapisi lapisan simbol kunoyang terus bergerak sendiri.Makhluk itu membuka matanya.Tak ada pupil.Hanya cahaya.Dan dalam sekejap,semua lampu di ruangan padam total.Kegelapan penuh.“Jangan diam!” seru Firen dari sisi kanan.“Apa pun itu, jangan biarkan dia—”Sebuah kilatan ungu terang menyambar ke arah Firen.Tubuhnya terpental menghantam pilar baja,lalu terjatuh dengan suara dentuman berat.“Firen!” Elma berteriak, setengah menyeret Rive
Lorong bawah tanah itu bukan sekadar jalur.Ia seperti rahim kuno yang menelan siapa pun yang berani melangkah masuk.Langkah-langkah mereka menggema,dan suara kecil dari kerikil yang terinjakterdengar seperti ledakan di antara kesunyian pekat.Arven berjalan paling depan,di belakangnya Saira dan Riven yang mulai melemah,dibantu Elma.Renai dan Firen menjaga barisan belakangdengan tangan tetap di senjata masing-masing.Dinding-dinding batu menyempit semakin dalam.Lampu senter dari gelang taktis merekamemantulkan cahaya ke arah simbol-simbol anehyang terukir setengah terhapus oleh waktu.Simbol itu…bukan bahasa manusia.Bukan pula milik kaum naga.Terlalu rumit.Terlalu hidup.Seolah lambang itu terus berubah setiap kali mereka menatapnya terlalu lama.“Simbol ini bukan bagian dari struktur lama Unit Ketujuh,”kata Saira,jari-jarinya menyentuh ukiran yang terasa hanga
Angin di timur terasa lebih kering,mengandung bau logam dan pasir terbakar.Tak ada yang benar-benar hidup di wilayah itu—selain waktu yang berjalan terlalu lambatdan kenangan yang terlalu cepat membusuk.Perbatasan Timur.Tempat di mana reruntuhan kota berganti menjadi gurun bekas ladang tempur.Tempat yang disebut para penyintas sebagai "Neraka Diam"karena tak pernah ada jawaban…hanya gema dari langkah sendiri.Arven berdiri di tepi medan itu,matanya menyapu dataran yang retak dan terbakar cahaya jingga senja.Di belakangnya, Saira sedang mengecek tab petayang terhubung dengan sisa jaringan bawah tanah.Renai diam-diam menancapkan pisau di pasir,mengukurnya seperti membaca tanda dari tanah.Firen dan Elma bertukar pandang,diam-diam mempersiapkan strategi jika keadaan memburuk.“Kau yakin mereka akan muncul?” tanya Firen.“Kael bisa saja menjebak kita.”Arven tak menoleh.