Home / Romansa / Satu Wanita Satu Skill / Janda yang Tak Bisa Kau Bohongi

Share

Janda yang Tak Bisa Kau Bohongi

Author: Anaraksa
last update Huling Na-update: 2025-06-28 10:42:28

Pagi itu basah oleh gerimis sisa malam. Udara masih lembab, jalanan gang masih becek.

Aku berdiri di depan rumah, merenggangkan tubuh setelah malam panjang yang rasanya seperti dikuliti pelan-pelan. Rasa pahit ciuman Feby masih menempel di dasar tenggorokan.

Lalu kudengar suara seseorang menggerutu di depan rumah sebelah.

> “Aduh, berat banget sih!”

Aku menoleh.

Dia.

Rita.

Tetanggaku, pemilik toko kosmetik dua ruko dari sini. Daster sutra hitam selutut, rambut dicepol rapi, wajah tanpa make up tapi tetap menarik. Tangan kanannya mencengkeram gagang galon yang hampir sebesar tubuhnya. Dia berjongkok, tapi galon itu tak bergeming.

[SISTEM AKTIF – Target Baru Terdeteksi]

> Nama: Rita

Status: Janda tanpa anak

Profesi: Pemilik bisnis kecil

Emosi dominan: Letih – 42%, Kesepian – 51%, Waspada terhadap pria muda – 37%

[MISI AKTIF: Buat dia mengundangmu masuk ke rumah dalam 3 hari]

Aku tarik napas. Perlahan melangkah ke arahnya, tapi tidak langsung menawarkan bantuan.

> “Berat ya, Bu?”

Rita mendongak. Matanya langsung menyipit, pertahanan refleks wanita dewasa aktif.

> “Nggak usah dibantu, saya bisa sendiri.”

Nada tajam. Tapi bukan karena benci — lebih seperti karena sudah terlalu sering disakiti kalau terlihat ‘lemah’.

Aku angguk, tidak banyak bicara. Lalu duduk di ujung tangga kecil rumahnya, cukup dekat tapi tak melewati batas.

> “Bukan masalah kuat atau nggak kuat, Bu. Kadang orang kuat juga berhak istirahat.”

Dia menatapku sekilas, lalu kembali pada galonnya. Tapi kalimatku menggantung di udara seperti uap kopi — tidak langsung menghilang.

[SISTEM: Respons emosional +4%. Penurunan pertahanan ringan. Target belum siap menerima bantuan fisik.]

---

Lima menit kemudian.

Galon masih belum naik. Aku tetap diam.

Akhirnya dia bersuara, suaranya lebih rendah sekarang.

> “Kamu kerja kurir ya?”

> “Iya, Bu. Keliling kota, tapi hari ini jadwal kosong.”

> “Kamu tinggal sendiri di kontrakan situ?”

Aku mengangguk. Dia menghela napas, lalu memiringkan kepala. Matanya meneliti, bukan melirik. Seolah menimbang: aku ancaman atau bukan?

> “Saya kira kamu tipe cowok yang... cuma bisa ngerayu, ternyata diem juga ya.”

> “Yang diem bukan berarti nggak bisa bikin deg-degan, Bu.”

Aku tersenyum tipis.

Dia menahan tawa. Senyumnya muncul setengah detik, lalu ditarik lagi.

> “Awas, nanti kamu ketagihan tinggal di samping janda.”

> “Kalau semua janda secerdas dan sekuat Ibu, mungkin saya malah pengin jadi tetangga selamanya.”

[SISTEM: Reaksi positif terdeteksi. Emosi target: Tertarik samar – 8%.]

---

Akhirnya, Rita berdiri dan menendang ringan galon itu dengan kakinya.

> “Kalau kamu memang nggak buru-buru... boleh bantuin, tapi jangan bawa masuk ya. Taruh di dapur aja, pintunya kebuka.”

Itu bukan undangan masuk sepenuhnya. Tapi itu langkah pertama.

Aku berdiri, mengangkat galon itu seolah ringan seperti kardus sabun.

Rita memandangku dari balik kacamata baca yang baru dia pakai. Tatapannya berbeda sekarang — bukan curiga, tapi observatif.

---

Sesaat sebelum aku masuk ke dapur belakang, dia berkata:

> “Kamu tahu, Raksa... cowok muda itu biasanya nekat. Tapi kadang yang paling bahaya bukan yang nekat, tapi yang tenang.”

Aku hanya tersenyum sambil berkata dalam hati:

> “Dan kadang... janda bukan wanita yang lemah. Mereka cuma menunggu alasan untuk percaya lagi.”

Pukul 09.10 pagi.

Aku baru selesai menyapu halaman kontrakan waktu mencium aroma kopi dari arah rumah sebelah. Wangi arabika medium roast, campur sedikit bau pandan dari roti tawar bakar.

Suara sendok menari di cangkir. Gelas kaca diketuk pelan.

Rita duduk di teras dengan daster baru, abu-abu gelap dan lebih longgar dari sebelumnya. Rambutnya belum dikeringkan sepenuhnya, tapi wangi sabun dari tubuhnya menembus pagar tipis jarak.

Ia menoleh saat aku hendak lewat.

> “Udah disapu? Rajin juga kurir satu ini.”

Aku senyum, sopan tapi cuek.

> “Kalau malas, saya bisa dikirim balik ke kampung, Bu.”

> “Bukan soal kampung atau kota. Cuma jarang lihat cowok muda tahan tinggal sendiri.”

Dia mengangkat cangkirnya, lalu bertanya datar:

> “Udah sarapan?”

> “Baru minum air putih.”

Aku menahan suara batuk kecil karena memang belum makan.

Rita menepuk kursi di sampingnya — masih di luar, belum undang masuk.

> “Kalau mau numpang kopi, sini aja.”

---

Aku duduk pelan. Tidak langsung bicara.

Kopi hitam disodorin ke arahku. Cangkir murah, tapi wanginya mewah.

> “Kalau racikanku pahit, jangan protes. Saya bukan istri siapa-siapa lagi.”

> “Justru itu. Biasanya rasa kopi janda lebih jujur daripada kopi istri.”

Aku minum. Panasnya tipis, pahitnya lembut. Tapi lidahku nyaris kelilit lidah sendiri karena ucapanku barusan.

Rita tertawa kecil.

> “Bahaya juga kamu, ya. Manisnya nggak kelihatan, tapi tiba-tiba nyelekit.”

---

[SISTEM: Emosi target menghangat. Level pertahanan turun ke 31%.]

> “Gunakan skill ‘Tatapan Penetrasi’ untuk membaca titik retak emosional.”

Aku mengangkat kepala. Menatap mata Rita lebih lama dari biasanya.

[SKILL AKTIF – TATAPAN PENETRASI Lv.1]

---

Data Emosional Real-Time

Trauma perceraian: masih aktif

Rasa ingin dianggap kuat: tinggi

Kebutuhan dikagumi: 73%

Poin sensitif: pembicaraan tentang rumah tangga dan pengkhianatan

---

> “Saya boleh tebak sesuatu, Bu?”

> “Tebak apa?”

> “Dari cara Ibu menyeduh kopi... dan caramu nggak suka ditanya soal ‘butuh bantuan’... saya rasa ibu bukan benci laki-laki. Ibu cuma pernah dibikin percaya... sama orang yang akhirnya ninggalin.”

Kalimatku jatuh tanpa tekanan, tapi seperti batu kecil di danau tenang.

Rita diam. Matanya berkedip lebih pelan. Ujung cangkir disentuh, tapi tidak diminum.

> “Kamu banyak tahu.”

> “Nggak. Saya cuma belajar dari orang yang nggak pernah berhenti nyeduh kopi... meski nggak ada yang minum bareng.”

[SISTEM: Efek tatapan berhasil. Emosi Rita terpicu – Kepercayaan naik +8%]

---

> “Bentar.”

Rita berdiri, masuk ke rumah.

Lima menit kemudian, dia keluar sambil membawa… piring roti bakar dan selai kacang.

> “Makan tuh. Biar kamu nggak bikin perut saya ikut laper denger suara perut kamu.”

> “Makasih, Bu.”

Aku menerima, tapi tidak buru-buru makan.

> “Jangan terlalu sopan. Saya udah lama nggak bikin sarapan buat siapa-siapa.”

Matanya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa langsung disebut ‘kesepian’.

---

Aku gigit pelan roti itu, lalu berkata:

> “Kalau saya bilang... saya pengin tiap pagi diseduhin kopi gini, Bu... itu kedengaran genit atau tulus?”

Rita memicingkan mata.

> “Tergantung.”

> “Tergantung apa?”

> “Tergantung, kamu habis ngomong gitu... kamu langsung pamit pulang, atau minta masuk?”

Aku tersenyum.

Aku belum masuk. Tapi gerbang sudah terbuka.

---

Roti di tanganku tinggal separuh. Tapi suasana terasa lebih berat dari sebelumnya.

Rita menyender di kursi plastiknya, menatap jauh ke arah gang kecil yang mulai ramai oleh ibu-ibu lewat sambil bawa kantong belanja.

Aku tahu — bukan tatapan kosong. Itu tatapan yang sedang menahan sesuatu.

Aku meneguk kopi terakhirku, lalu berkata pelan:

> “Bu…”

Rita menoleh.

> “Saya cuma mau bilang, saya pernah hidup sama perempuan paling kuat yang saya kenal.

Namanya nenek saya.”

> “Waktu saya masih SD, ayah saya ninggalin ibu saya buat wanita lain. Nenek saya nggak banyak ngomong waktu itu, tapi saya lihat sendiri... dia terus masak tiap pagi, terus nyapu, terus nyeduh kopi, padahal nggak ada yang dia hidangkan ke siapa-siapa.”

> “Sampai akhirnya saya ngerti, perempuan kuat bukan yang nggak pernah sakit hati. Tapi yang bisa hidup meski hatinya bolong.”

---

[SISTEM AKTIF: Deteksi reaksi emosional target...]

> Gugup dalam diam: terdeteksi

Mata berkedip cepat: ya

Bibir bawah digigit: ya

Poin Sentuh Emosi: 84% – Titik Goyah Terpicu

---

Rita terdiam. Lama.

Lalu ia berkata dengan nada pelan, tapi tegas:

> “Kamu bukan cowok biasa, Raksa.”

> “Saya juga nggak sempurna.”

> “Tapi kamu bahaya.”

> “Bahaya gimana?”

Rita berdiri. Membawa gelas kopinya dan roti sisa ke dalam. Tapi sebelum masuk, dia menoleh dan berkata:

> “Saya pengin tahu kamu bisa apa lagi selain ngomong. Masuklah. Bantuin saya pilih parfum. Ada stok baru, tapi baunya terlalu banyak campur. Saya butuh hidung netral.”

---

[SISTEM: MISI SELESAI ✅ – TARGET MENGUNDANGMU MASUK RUMAH]

> Misi baru akan dimulai setelah interaksi dalam ruangan.

Status kepercayaan meningkat signifikan. Target kini menganggapmu “berpotensi”.

---

Aku berdiri pelan. Jantungku berdetak cepat, tapi bukan karena gairah. Lebih karena...

> “Wanita ini... bukan cuma janda.”

“Dia teka-teki. Dan aku baru buka lapisan pertama.”

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Satu Wanita Satu Skill   "Kenapa Kamu Selalu Tahu Sebelum Aku?"

    Lokasi: Rumah Rita – Pagi HariLangit masih lembut saat aku membuka mata. Suara burung kecil menyapa dari balik tirai, diselingi aroma samar dari roti panggang dan kopi hitam. Sejenak aku bingung—bukan di kamarku. Oh iya... aku masih di rumah Rita.Tanganku menyentuh sisi kasur yang kini kosong.Dia sudah bangun duluan.Aku bangkit perlahan, duduk di tepi tempat tidur sambil mengumpulkan sisa-sisa momen semalam. Ciumannya masih hangat di ujung bibirku. Sentuhannya, suaranya, bahkan tatapannya… semua terlalu nyata untuk disebut sekadar "interaksi target".Terlalu… dalam.> [SISTEM: Kondisi tubuh stabil. Skill “Stamina” aktif ][Rekomendasi: Jaga ritme interaksi. Sistem menganalisis pola emosional target.]Sudah aktif ya?" gumamku. Aku berjalan ke jendela. Dari sela-sela tirai, kulihat dia di halaman depan. Memakai hoodie tipis warna krem, Rita sedang menyiram tanaman. Rambutnya dikuncir ke atas, wajahnya terlihat tenang—dan... bahagia?Seolah-olah tak ada sistem. Tak ada misi. Tak ada

  • Satu Wanita Satu Skill   setelah Hujan, Sebelum Rindu 18+

    Hujan belum berhenti sejak sore. Rintiknya seperti tak mau kalah bersaing dengan debar di dadaku. Aku duduk di tepi kasur, mengenakan kaus pinjaman dari Rita dan celana pendek yang sudah sedikit kebasahan tadi. Badanku masih hangat seusai mandi. Tapi ada yang lebih hangat dari itu—suara langkahnya yang mendekat perlahan dari dapur.Rita muncul dengan rambut basah, mengenakan daster tipis warna lavender yang hampir menyatu dengan kulitnya. Ia membawa dua cangkir cokelat panas, lalu meletakkan salah satunya di meja kecil di samping tempat tidurku.> “Kopi malam-malam itu bikin dada deg-degan. Jadi aku buatin cokelat, ya,” ucapnya.Aku hanya mengangguk. Tenggorokanku terasa kering, padahal baru saja mandi. Bukan karena cokelatnya, tapi karena tatapannya… hangat tapi menyelidik. Dia tidak banyak bicara malam ini. Tapi setiap geraknya terasa seperti percakapan panjang yang tidak diucapkan.Ia duduk di sisi ranjang, sedikit membelakangi aku, mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Aku b

  • Satu Wanita Satu Skill   sarapan yang Berbeda

    Pagi ini, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah gorden ruang tamu rumah Rita. Aromanya sudah berbeda. Bukan karena sabun cuci piring, atau kopi sachet yang biasa kubawa sendiri, tapi… karena ini rumah orang yang membuat detak jantungku tidak berjalan wajar sejak kemarin.Aku duduk di kursi makan, mengenakan kaus hitam dan celana training pinjaman Rita. Di depanku, ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang digoreng setengah matang—bau bawangnya kuat, tapi menggoda. Di hadapanku, Rita—dengan kaus putih longgar dan celana pendek kain—terlihat seperti bukan janda… tapi wanita yang nyaman dengan rumahnya sendiri. Dan denganku, pagi ini.> "Kalau kamu bisa tahu isi hati cewek," katanya tiba-tiba, "kamu bakal pakai buat apa?"Aku berhenti mengunyah. Tanganku menggenggam sendok yang masih penuh nasi goreng. Aku menatapnya, mencoba menebak: pertanyaan iseng? Atau ujian?> "Tergantung," jawabku hati-hati. "Kalau buat nyakitin, nggak akan aku pakai. Tapi kalau bisa buat mereka te

  • Satu Wanita Satu Skill   Pelarian Sementara

    Lokasi: Rumah Rita -- keesokan harinya.Udara malam tak terlalu dingin, tapi suasana hatiku terasa beku.Motor kuparkir pelan di depan rumah Rita. Lampu terasnya menyala lembut, warna kuning remang-remang seperti mengundang, tapi juga menenangkan. > "Raksa? Udah selesai kerja?"Suara Rita.> "Iya, Bu.."> "Masuk,, udah malam. Aku lagi bikin wedang jahe"Nada suara itu ringan… tapi dalam. Seperti tahu apa yang terjadi, dan tahu persis bagaimana aku merasa.Aku masuk pelan, melepas sepatu di teras. Rumahnya hangat—bukan karena suhu, tapi karena aroma rempah dari dapur, cahaya kuning yang menenangkan, dan… cara Rita menatapku.Dia mengenakan daster batik sederhana, rambut digelung asal. Tapi aura dewasanya tetap terpancar, tak bisa disembunyikan.> "Duduk. Aku ambilin wedang dulu."Aku duduk di sofa kecil ruang tengah. Tak banyak hiasan di rumah ini, tapi semuanya terasa tertata, bersih, dan berkarakter.Rita datang dengan dua gelas. Tangannya hangat saat menyerahkan gelas padaku.> "Te

  • Satu Wanita Satu Skill   Makan sunyi, Rasa Nyata

    Lalu kami pun makan bersama, Kami duduk di pojok sebuah kedai makan sederhana, tak jauh dari café tempat drama tadi terjadi. Meja kayu berlapis kaca buram, penerangan seadanya dari lampu bohlam yang digantung rendah, membuat suasana terasa... tenang, hampir hangat.Rita duduk di depanku, tangannya memutar-mutar sendok di atas es jeruk. Ia belum banyak bicara sejak kami keluar dari café.Aku juga. Karena jujur... aku masih memproses semuanya.> “Maaf,” kata Rita tiba-tiba.Aku menatapnya. “Kenapa minta maaf?”> “Karena menciptakan badai di hadapan orang-orang. Karena menyentuhmu tanpa... izin penuh.”Aku menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku gak bisa ngelindungi diriku sendiri. Malah kamu yang turun tangan.”Rita tersenyum tipis.> “Kamu tahu, Raksa. Hidup ini kadang gak adil. Tapi aku benci kalau ada yang diam saja saat keadilan diinjak.”Aku diam.Lalu, dengan sedikit ragu, aku buka suara.> “Feby itu... dulu teman sekolahku. Waktu aku masih kurus, jelek, gak punya siapa-sia

  • Satu Wanita Satu Skill   Senyuman yang Penuh Rencana

    POV: FebyKamar berantakan. Lampu bohlam kekuningan memantul dari cermin bundar yang menempel di dinding. Aku duduk di depan meja rias, membenarkan lipstik merah muda di bibir yang sejak tadi kupoles ulang, berkali-kali.> "Kurir sok cool itu… berani banget sok jual mahal, ya."Kupetik ponsel dari pangkuan, membuka grup WhatsApp bernama "Geng Cakar Macan" — isi anggotanya cewek-cewek sosialita kampus dan beberapa cowok yang pernah ngelamar jadi pacarku tapi kutolak karena kurang ganteng atau kurang duit.Kutulis satu kalimat dan menyisipkan emot ketawa:> "Bentar lagi kalian bakal liat cowok kurir yang dulu ngarep banget sama aku. Sekarang makin ngarep 🤣""Malam ini, bakal aku bawa ke SKYHIGH. Siapin popcorn ya 😂"Kukirim.Notifikasi balasan langsung masuk:> Gisel: “Astaga Feb, kamu tega banget 😭” Intan: “Gue gasabar liat mukanya! Hahaha”Aku tersenyum. Bukan karena mereka tertawa, tapi karena aku mengendalikan panggung.Raksa. Dulu kamu tukang rayu murahan. Sekarang... kamu pikir

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status