Hujan turun tipis saat aku parkir motor bebek tua di depan café bergaya Eropa. Meski jaketku masih basah karena mengantar paket seharian, aku berdiri tegak. Tangan menggenggam undangan reuni kecil alumni SMA yang dikirim lewat grup WhatsApp—yang baru aktif semalam.
Nama pengundangnya: Feby. Aku hampir tidak datang. Tapi sesuatu di dadaku bilang: perlu. Entah apa. Penegasan? Pengakuan? Atau sekadar ingin tahu apakah luka lama masih terasa perih? Saat aku melangkah masuk ke café, mataku langsung menangkap sosok-sosok berpenampilan mahal: tas branded, jam tangan mengkilap, parfum mahal yang baunya menusuk meski samar. Dan di tengah-tengah mereka—Feby. Dia duduk di kursi tengah seperti ratu. Rambut panjangnya disasak tinggi, bibir merah gelap, dan tawa sinis yang masih sama seperti lima belas tahun lalu. Matanya menatapku. Sekilas, ragu. Lalu tertawa kecil. “Lho,” katanya, suara keras, disengaja. “Raksa? Kamu beneran datang?” Semua kepala menoleh. Beberapa tertawa kecil. Aku menelan ludah. Ingin mundur, tapi kakiku sudah tertanam. Feby berdiri. Melangkah mendekat. Tumit tingginya beradu dengan lantai marmer, memecah suasana. “Wah,” lanjutnya, “kamu sekarang kerja di... ekspedisi ya?” Ia menatap jaketku yang bertuliskan nama perusahaan pengiriman. “Kerja keras ya? Kayak nggak berubah dari SMA. Selalu jadi figuran.” Tawa meledak dari sekitarnya. Ada yang berseru, “Eh, dulu dia pernah suka Feby, kan?” Yang lain menambahkan, “Iya! Dulu sampe bawa tas Feby, terus ditampar karena ngarep!” Hatiku mencelup ke lumpur. Aku menguatkan diri, duduk di ujung meja, pura-pura tertawa. Tapi dadaku sesak. Sakit. Bukan karena hinaan itu—melainkan karena sebagian dari diriku ternyata masih peduli. Masih berharap dihargai. Masih berharap dianggap. Feby memalingkan muka. “Ngapain sih datang ke sini? Ini tempat buat orang-orang yang... udah naik kelas.” Kepalaku menunduk. Napasku berat. Tapi aku tidak bicara sepatah kata pun. Tidak sekarang. Aku berdiri. Tanpa minum, tanpa makan, tanpa pamit—aku keluar. Hujan turun lebih deras. -- Langkahku gontai di trotoar basah. Jalanan mulai sepi, lampu-lampu jalan bergoyang terkena angin. Jaketku sudah menempel ke tubuh, dingin masuk sampai ke tulang. Aku duduk di halte kosong. Menunduk. Hari ulang tahun. Tapi yang kupunya cuma luka. Dari masa lalu… dan dari sekarang. “Aku nggak penting.” Itu suara di kepalaku. Bukan baru kali ini. Tapi malam ini, lebih keras. Tanganku meraba lutut—sobek, berdarah karena jatuh waktu keluar café tadi. Aku tidak peduli. Hati lebih robek dari itu. > “Kalau Tuhan ada…,” gumamku pelan, nyaris tak terdengar, “kenapa rasanya hidup cuma buat ditertawakan?” Petir menyambar. Duarrr... Langit menyalak putih. Dan lalu… Ada suara. Tapi bukan dari luar. > [SISTEM HATI SAKTI DIAKTIFKAN] Selamat, Anaraksa. Karma hidupmu memasuki tahap penyelesaian. Target pertama: FEBY — Wanita yang menghina dan merusak harga dirimu. MISI: Buat dia MENGECUP bibirmu dalam waktu 24 jam. Jika gagal: eksistensimu akan terhapus secara bertahap. Dimulai dari: namamu hilang dari semua kontak HP siapa pun yang mengenalmu. Aku terdiam. Mataku melotot, dadaku mendadak sesak. Aku menoleh ke kiri dan kanan. “Siapa?!” Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara itu… nyaring di dalam kepala. > [Skill pasif pertama diaktifkan: “Membaca Emosi Dasar Wanita”] Kekuatan akan bertambah sesuai misi. Tapi ingat: kau hanya dapat bertahan jika berhasil. SISA WAKTU: 24:00:00 Aku bangkit. Jantungku berdetak keras. Ini bukan mimpi. Tapi juga bukan dunia normal. > “Apa aku gila?” “Atau… ini jawaban dari doa tololku tadi?” Tiba-tiba, pandangan mataku kabur sebentar, lalu layar transparan melayang di depan: > Target Terdeteksi: FEBY Jarak: 117 meter. Lokasi: parkiran Café D’Kopi. Aku berdiri. Kaki gemetar, tapi kepala dingin. > “Kalau hidup memang seperti mainan… kali ini aku yang mainin balik.” Langkahku menapak ke arah parkiran. --- Parkiran café sepi. Hujan sudah tinggal gerimis. Feby berdiri sendiri di samping mobil putihnya. Ia sibuk menelepon seseorang, suaranya kesal. > “Aku bilang Ketemuan jam sembilan! Masa sama cowok kayak Raksa aja bikin kamu cemburu? Dasar lebay!” Ponselnya dimatikan dengan kasar. Ia memutar badan—dan membeku. Aku berdiri lima meter darinya. Basah kuyup. Diam. Menatapnya tajam. Dia melipat tangan, dagunya sedikit terangkat. “Ngapain kamu ke sini?” Nadanya datar. Tapi mata… tidak setegar mulutnya. [SISTEM AKTIF: Membaca Emosi Dasar] > Terkejut 48%. Penasaran 27%. Dominasi 15%. Nafsu? Nol. Belum cukup. Aku melangkah perlahan. Tak berkata apa-apa. Feby gelisah. Tangan kirinya meremas dompet kecil. “Kamu dendam, ya? Karena aku pernah—” > “Tampar aku?” potongku datar. Ia diam. > “Waktu itu aku nggak ngerti kenapa. Tapi sekarang aku tahu. Kamu takut.” Alisnya naik. “Takut? Aku?” > “Iya. Takut ada cowok miskin yang bisa bikin kamu jatuh, dan kamu nggak siap.” > [SISTEM: Respon emosional meningkat. Target bingung. Ego retak 12%.] Feby mendekat setengah langkah. Matanya tajam, tapi pupilnya tak stabil. > “Kamu berubah, ya. Dulu mukamu kayak anak hilang. Sekarang… agak nyebelin.” > “Berarti berhasil.” > “Berhasil apa?” Aku mendekat satu langkah lagi. Hanya ada jarak satu meter di antara kami. > “Berhasil bikin kamu mikir dua kali sebelum ngeledek aku.” > “Tch. Jadi kamu mau balas dendam?” Aku menatap langsung ke matanya. > “Enggak. Aku cuma pengen buktiin satu hal.” > “Apa?” > “Kalau cowok kurir ini… bisa bikin kamu pengin cium dia.” Dia tertawa. Pendek, gugup. “Gila. Kamu beneran berubah jadi psycho, ya?” Aku tidak menjawab. Hanya diam. Menunggu. > [SISA WAKTU MISI: 23:41:02] [SISTEM: Tekanan verbal cukup. Tahan posisi. Tunggu target membuat kontak lebih dulu.] Feby melirik ke mobil, lalu kembali ke arahku. Ada gerakan kecil di bibirnya. Ia membuka mulut, lalu menutup lagi. > “Kalau aku beneran cium kamu, terus apa?” > “Artinya… aku berhasil,” jawabku singkat. Ia terdiam. Lama. Lalu mendadak menoleh ke arah pintu café dan berujar: > “Masuk mobil. Lima menit aja. Kita selesaiin ini cepat.” ---Lokasi: Rumah Rita – Pagi HariLangit masih lembut saat aku membuka mata. Suara burung kecil menyapa dari balik tirai, diselingi aroma samar dari roti panggang dan kopi hitam. Sejenak aku bingung—bukan di kamarku. Oh iya... aku masih di rumah Rita.Tanganku menyentuh sisi kasur yang kini kosong.Dia sudah bangun duluan.Aku bangkit perlahan, duduk di tepi tempat tidur sambil mengumpulkan sisa-sisa momen semalam. Ciumannya masih hangat di ujung bibirku. Sentuhannya, suaranya, bahkan tatapannya… semua terlalu nyata untuk disebut sekadar "interaksi target".Terlalu… dalam.> [SISTEM: Kondisi tubuh stabil. Skill “Stamina” aktif ][Rekomendasi: Jaga ritme interaksi. Sistem menganalisis pola emosional target.]Sudah aktif ya?" gumamku. Aku berjalan ke jendela. Dari sela-sela tirai, kulihat dia di halaman depan. Memakai hoodie tipis warna krem, Rita sedang menyiram tanaman. Rambutnya dikuncir ke atas, wajahnya terlihat tenang—dan... bahagia?Seolah-olah tak ada sistem. Tak ada misi. Tak ada
Hujan belum berhenti sejak sore. Rintiknya seperti tak mau kalah bersaing dengan debar di dadaku. Aku duduk di tepi kasur, mengenakan kaus pinjaman dari Rita dan celana pendek yang sudah sedikit kebasahan tadi. Badanku masih hangat seusai mandi. Tapi ada yang lebih hangat dari itu—suara langkahnya yang mendekat perlahan dari dapur.Rita muncul dengan rambut basah, mengenakan daster tipis warna lavender yang hampir menyatu dengan kulitnya. Ia membawa dua cangkir cokelat panas, lalu meletakkan salah satunya di meja kecil di samping tempat tidurku.> “Kopi malam-malam itu bikin dada deg-degan. Jadi aku buatin cokelat, ya,” ucapnya.Aku hanya mengangguk. Tenggorokanku terasa kering, padahal baru saja mandi. Bukan karena cokelatnya, tapi karena tatapannya… hangat tapi menyelidik. Dia tidak banyak bicara malam ini. Tapi setiap geraknya terasa seperti percakapan panjang yang tidak diucapkan.Ia duduk di sisi ranjang, sedikit membelakangi aku, mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Aku b
Pagi ini, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah gorden ruang tamu rumah Rita. Aromanya sudah berbeda. Bukan karena sabun cuci piring, atau kopi sachet yang biasa kubawa sendiri, tapi… karena ini rumah orang yang membuat detak jantungku tidak berjalan wajar sejak kemarin.Aku duduk di kursi makan, mengenakan kaus hitam dan celana training pinjaman Rita. Di depanku, ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang digoreng setengah matang—bau bawangnya kuat, tapi menggoda. Di hadapanku, Rita—dengan kaus putih longgar dan celana pendek kain—terlihat seperti bukan janda… tapi wanita yang nyaman dengan rumahnya sendiri. Dan denganku, pagi ini.> "Kalau kamu bisa tahu isi hati cewek," katanya tiba-tiba, "kamu bakal pakai buat apa?"Aku berhenti mengunyah. Tanganku menggenggam sendok yang masih penuh nasi goreng. Aku menatapnya, mencoba menebak: pertanyaan iseng? Atau ujian?> "Tergantung," jawabku hati-hati. "Kalau buat nyakitin, nggak akan aku pakai. Tapi kalau bisa buat mereka te
Lokasi: Rumah Rita -- keesokan harinya.Udara malam tak terlalu dingin, tapi suasana hatiku terasa beku.Motor kuparkir pelan di depan rumah Rita. Lampu terasnya menyala lembut, warna kuning remang-remang seperti mengundang, tapi juga menenangkan. > "Raksa? Udah selesai kerja?"Suara Rita.> "Iya, Bu.."> "Masuk,, udah malam. Aku lagi bikin wedang jahe"Nada suara itu ringan… tapi dalam. Seperti tahu apa yang terjadi, dan tahu persis bagaimana aku merasa.Aku masuk pelan, melepas sepatu di teras. Rumahnya hangat—bukan karena suhu, tapi karena aroma rempah dari dapur, cahaya kuning yang menenangkan, dan… cara Rita menatapku.Dia mengenakan daster batik sederhana, rambut digelung asal. Tapi aura dewasanya tetap terpancar, tak bisa disembunyikan.> "Duduk. Aku ambilin wedang dulu."Aku duduk di sofa kecil ruang tengah. Tak banyak hiasan di rumah ini, tapi semuanya terasa tertata, bersih, dan berkarakter.Rita datang dengan dua gelas. Tangannya hangat saat menyerahkan gelas padaku.> "Te
Lalu kami pun makan bersama, Kami duduk di pojok sebuah kedai makan sederhana, tak jauh dari café tempat drama tadi terjadi. Meja kayu berlapis kaca buram, penerangan seadanya dari lampu bohlam yang digantung rendah, membuat suasana terasa... tenang, hampir hangat.Rita duduk di depanku, tangannya memutar-mutar sendok di atas es jeruk. Ia belum banyak bicara sejak kami keluar dari café.Aku juga. Karena jujur... aku masih memproses semuanya.> “Maaf,” kata Rita tiba-tiba.Aku menatapnya. “Kenapa minta maaf?”> “Karena menciptakan badai di hadapan orang-orang. Karena menyentuhmu tanpa... izin penuh.”Aku menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku gak bisa ngelindungi diriku sendiri. Malah kamu yang turun tangan.”Rita tersenyum tipis.> “Kamu tahu, Raksa. Hidup ini kadang gak adil. Tapi aku benci kalau ada yang diam saja saat keadilan diinjak.”Aku diam.Lalu, dengan sedikit ragu, aku buka suara.> “Feby itu... dulu teman sekolahku. Waktu aku masih kurus, jelek, gak punya siapa-sia
POV: FebyKamar berantakan. Lampu bohlam kekuningan memantul dari cermin bundar yang menempel di dinding. Aku duduk di depan meja rias, membenarkan lipstik merah muda di bibir yang sejak tadi kupoles ulang, berkali-kali.> "Kurir sok cool itu… berani banget sok jual mahal, ya."Kupetik ponsel dari pangkuan, membuka grup WhatsApp bernama "Geng Cakar Macan" — isi anggotanya cewek-cewek sosialita kampus dan beberapa cowok yang pernah ngelamar jadi pacarku tapi kutolak karena kurang ganteng atau kurang duit.Kutulis satu kalimat dan menyisipkan emot ketawa:> "Bentar lagi kalian bakal liat cowok kurir yang dulu ngarep banget sama aku. Sekarang makin ngarep 🤣""Malam ini, bakal aku bawa ke SKYHIGH. Siapin popcorn ya 😂"Kukirim.Notifikasi balasan langsung masuk:> Gisel: “Astaga Feb, kamu tega banget 😭” Intan: “Gue gasabar liat mukanya! Hahaha”Aku tersenyum. Bukan karena mereka tertawa, tapi karena aku mengendalikan panggung.Raksa. Dulu kamu tukang rayu murahan. Sekarang... kamu pikir