Ayu tak menginginkannya. Lebih tepatnya, ia tak ambil pusing akan apa pun yang disematkan kepadanya oleh para penduduk asli. Ia tak ingin menjadi orang asing. Ia bahkan tak ingin menjadi penghuni Scylaac. Sejak awal ia hanya ingin menghancurkan Scylaac. Ia hanya berada di Scylaac untuk tujuan itu. Dan jika saat ini ia terkesan telah berhasil mengambil satu langkah maju mendekati tujuannya tersebut, maka itu hanyalah sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Ayu tidak merencanakannya.
Faktanya Ayu memang telah berhasil mengambil satu langkah maju mendekati tujuannya terhadap Scylaac. Itu dirasakan dan diakui oleh para penduduk asli. Tidak demikian dengan Ayu. Ayu tidak peduli. Bagi Ayu ada hal lain yang lebih penting dan lebih menarik. Sebuah pemahaman baru yang dapat mempermudah pekerjaannya. Dan itu adalah bahwa para penduduk asli Scylaac ternyata memiliki level kedalaman pikiran yang berbeda-beda.
Tidak semua dari penduduk asli Scylaac memili
“Pendatang baru lagi? Ini yang kedua kalinya sejak aku datang ke sini,” kata Baskara.“Tidak, dia bukan pendatang baru. Dia penghuni lama,” tanggap Tono.“Maksudmu, dia penghuni Scylaac tapi dia tidak tinggal menetap di Scylaac?” tanya Baskara.“Begitulah. Dia senang berkelana keliling dunia. Dia tidak suka tinggal menetap di suatu tempat. Tapi dia adalah penghuni Scylaac yang sah. Salah satu penghuni tertua di Scylaac.”“Bukan salah satu. Memang dialah penghuni tertua di Scylaac. Usianya sudah 66 tahun,” sambung Baskoro, salah satu penduduk asli Scylaac.“66 tahun? Dia penghuni pertama Scylaac?” tanya Baskara dengan nada sedikit terkejut.“Mana mungkin, bodoh. Penghuni pertama itu Schoistuedie, Yuhita, Lala, dan Acsac. Mereka yang menciptakan Scylaac. Nama Scylaac saja diambil dari
“Gila. Dia benar-benar gila. Dan Vith pun juga ternyata tak kalah gilanya,” kata Baskara yang sedang bersembunyi di kejauhan. “Ya. Setidaknya kesan pertamaku tidak mengecawakan,” tanggap Ayu. “Lalu bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Baskara. “Kepala siapa yang dia pegang itu?” tanya Ayu balik. Ayu tidak menjawab pertanyaan Baskara. Ia mendengar suara Baskara, tapi pikirannya tidak fokus kepadanya. “Hmm ... aku tidak yakin, tapi sepertinya itu Chris,” kata Baskara menjawab pertanyaan Ayu. “Chris? Chris yang itu?” tanya Ayu dengan sedikit terkejut. “Ya, Chris yang itu. Orang aneh itu.” “Begitu. Jadi dia membunuh Chris, tapi dia tampak tidak tertarik untuk melakukan hal yang sama kepada Vith,” gumam Ayu. “Apa kesimpulanmu dari hal itu?” tanya Baskara. “Bagaimana
Mereka berdua bertemu di tempat itu; tempat yang sejak tadi mengunci segenap perhatian mereka. “Loh, Kam? Kau Kam, kan?” “Siapa kau?” “Aku Winatra. Baru beberapa bulan yang lalu kita bertemu lagi setelah sekian lama.” “Hm. Aku tidak ingat.” Winatra hanya tersenyum. “Aku tak tahu orang sepertimu bisa tertarik juga pada Ruka,” kata Winatra. “Sudah sewajarnya, kan? Aku belum pernah bertemu atau melihat Ruka sebelumnya. Kalau aku sampai melewatkan kesempatan langka ini, percuma aku datang jauh-jauh ke Scylaac,” ujar Kam. “Kupikir kau hanya tertarik pada orang-orang yang cerdas,” tanggap Winatra. “Tidak juga. Manusia itu makhluk yang rumit. Sampai mati pun kita tak akan pernah bisa memahami semuanya tentang manusia. Orang-orang seperti Ruka pun juga begitu. Kau tak akan pernah tahu ha
Ruka menghilang dari Scylaac. Lagi. Ia kembali pergi meninggalkan Scylaac untuk berkelana keliling dunia. Sejak awal memang itulah yang selalu ia lakukan. Berkelana keliling dunia untuk memuaskan hasrat gilanya menyiksa dan membunuh manusia.Ruka sudah melanggar janjinya di Scylaac. Saat pertama kali bergabung dengan Scylaac, ia berjanji untuk tidak akan pernah membunuh penghuni Scylaac. Ia berjanji kepada dirinya sendiri atas dasar kecintaannya terhadap Scylaac dan seluruh penghuninya. Baginya penghuni Scylaac berbeda dengan manusia lainnya. Ia tidak melihat penghuni Scylaac sebagai sesamanya manusia. Penghuni Scylaac adalah makhluk yang berbeda. Sesuatu yang lain.Kini, setelah akhirnya pulang lagi ke Scylaac setelah sekian lama, ia pun melanggar janjinya yang pernah dibuatnya dulu. Ia membunuh penghuni Scylaac; tiga orang sekaligus. Itu memberinya kepuasan yang berbeda dengan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tak dapat menahannya. Ia
“Kalian ini tidak ada kerjaan lain ya selain mendatangi penduduk asli dan menodong kami dengan berbagai pertanyaan? Pasti kakakmu itu sekarang sedang melakukan hal yang sama kan di tempat lain?” sambar Steffan, salah satu penduduk asli Scylaac.“Jawab saja pertanyaanku. Di mana aku bisa menemukan orang asing lainnya?” tanggap Ayu dengan gelagat malas seperti biasa.“Memangnya kau mau apa dengan orang-orang seperti itu?” tanya Steffan lagi.“Kalian semua sudah tahu apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin menghancurkan Scylaac,” jawab Ayu lagi.“Lalu untuk apa kau mencari mereka? Mereka itu orang asing. Mereka bukan representasi dari Scylaac. Melakukan apa pun terhadap orang-orang itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada Scylaac.”“Aku sudah tahu garis besarnya mengenai kalian para penduduk asli. Dan seharusnya para kaum
“Namanya Surendra. Dia sudah lama berada di Scylaac. Biasanya dia ada di kaki gunung Tanah Langit. Kau cari saja sendiri di sana.” “Seperti apa ciri-ciri orang itu?” “Dia lelaki perokok berat berusia sekitar 50 tahunan; menurut perhitungan waktu yang berlaku di luar sana. Rambutnya selalu ditata rapi dengan model belah samping sederhana. Dia senang memancing ikan di salah satu cabang sungai Tanah Langit. Kalau kau ingin bertemu dengannya, tanya saja kepada orang-orang yang ada di sekitar situ. Mereka semua pasti tahu tentang dia.” “Bagaimana dengan kepribadiannya? Apa yang membuat kalian menganggapnya sebagai orang asing?” “Awalnya dia bukan orang asing. Dia datang ke Scylaac untuk mempelajari Scylaac, sama seperti kebanyakan orang lainnya. Dia ingin tahu, apakah Scylaac dapat dia terima sebagai kenyataan atau tidak. Awalnya dia cukup puas dengan keberadaan Scylaac. Para pendahuluku pun mener
“Wah, tumben. Kita kembali di saat yang bersamaan,” kata Baskara.“Iya ya. Kita memang sepakat akan kembali setelah matahari tenggelam. Tapi ini benar-benar bersamaan,” tanggap Ayu.“Jadi, apa yang kamu dapatkan?” tanya Baskara.“Sesuatu yang sudah kuduga tapi tidak kuharapkan,” ucap Ayu lugas. Ia menghapus senyumannya dari wajahnya. Baskara pun melakukan hal yang sama.“Berarti sekarang kamu sudah bisa menjelaskannya kepadaku?” tanya Baskara dengan sedikit berhati-hati.“Sebenarnya aku belum cukup yakin untuk mengambil kesimpulan pasti,” jawab Ayu yang kemudian sedikit mengambil waktu untuk berpikir. “Tapi tak apa-apa. Aku akan menjelaskannya sekarang.”“Bagus. Akhirnya aku tak perlu penasaran lagi,” kata Baskara. Ayu tersenyum simpul menanggapi.
Ayu terus melanjutkan uraian pendapatnya.“Mereka itu aneh,” katanya. “Ekspresi-ekspresi sederhana yang selalu ada pada diri manusia, hal-hal yang secara standar kita lakukan, itu tidak ada dalam diri mereka. Para penduduk asli itu tidak pernah menutup mulut ketika mereka tertawa, batuk, bersin, ataupun menguap. Mereka tidak pernah menggeleng untuk menyampaikan maksud benar, mengangguk untuk menyampaikan maksud salah, atau mengangkat bahu untuk menyatakan tidak tahu. Mereka bahkan tidak mengangkat alis, menghela napas, memutar bola mata, atau tersenyum singkat ketika biasanya orang lain akan melakukannya untuk menanggapi hal-hal yang terkait dengan emosi-emosi tersebut. Semua itu tidak ada dalam diri mereka.”Baskara terus berusaha mencerna perkataan Ayu.“Yang ada pada mereka hanyalah ekspresi-ekspresi dasar yang memang pasti akan muncul dengan sendirinya tanpa bisa dikendalikan. Ekspresi-e