Share

Searching a Commoner Husband (Mencari Seorang Suami Jelata)
Searching a Commoner Husband (Mencari Seorang Suami Jelata)
Penulis: Naomi Fa

Prolog

Ketika matahari mulai bergerak turun dan perlahan berjalan meninggalkan langit yang terang. Alvan duduk seorang diri di salah satu bangku toko tempatnya bekerja, sambil menatap semburat warna jingga yang memenuhi langit. 

Waktu jam kerjanya sudah berakhir dan dari jarum jam yang tertera di jam tangannya, ia tahu, wanita yang sedang ditunggunya itu akan segera tiba. Namun apakah ini sudah merupakan keputusan finalnya? Apakah ia tidak akan mencoba mengubahnya pemikirannya lagi?

Dalam kebimbangan yang tiada akhir, Alvan mengusapkan jarinya pada layar ponsel dan membiarkan potret keluarganya membantu dirinya menyelesaikan pergumulan hatinya yang terasa melampaui berat. Namun bukannya merasa lebih tercerahkan, Alvan justru makin dibuat kalut oleh pikiran-pikirannya dan sekarang ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Di tengah pikiran yang sudah terlanjur goyah itu, wanita tersebut hadir dan duduk di hadapannya dengan senyum lebar. "Kau sudah selesai bekerja?"

Harusnya dia datang lima belas menit atau sepuluh menit lebih cepat, di saat ia kehilangan akalnya untuk sesaat. Dengan begitu ia dapat berani dan nekat mengambil keputusan 'gila' yang tak akan diambil oleh sisi dirinya yang 'waras'. Namun karena dia datang terlambat dan pikiran 'sehat'nya berhasil mengolah kondisi ini dengan baik, ia merasa memiliki seribu alasan untuk kembali mundur dan menolak tawaran wanita tersebut.

"Ya." jawabnya dengan suara muram yang menginterpretasikan seberapa besar keraguan yang mulai mempengaruhi dirinya. 

"Meskipun aku sudah tahu kau akan menghubungiku suatu hari, aku tetap terkejut." Elsie terkekeh dan melemparkan senyum bangga. "Kau sudah memutuskan hal yang benar."

Entahlah. Apakah ia sudah melakukan keputusan yang benar atau yang benar-benar salah? Ia tak mengerti.

Dari dalam tasnya, wanita itu mengeluarkan beberapa lembar kertas —yang dipenuhi oleh tulisan dan hanya menyisakan sedikit ruang dibagian bawah yang digunakan untuk merekatkan meterai— lalu menaruhnya di antara mereka. 

Tanpa perlu membacanya benar-benar, Alvan sudah tahu —kurang lebih— apa yang tertera di kertas itu, yang antara lain adalah kontrak hubungan mereka yang panjang dan penuh syarat. Apakah ia kecewa? Tidak. Perlu digaris bawahi, sejak awal Alvan tidak mengharapkan banyak hal muluk-muluk mengenai hubungan ini. Kenapa? Karena yang mendatangi dan mendatanginya adalah wanita dengan beraksesoris mahal, yang jelas-jelas tak cocok dengan konsep rumah makan ini dan juga dengan dirinya. Untuk apa seorang wanita kaya, pintar dan cantik, menginginkannya menjadi suaminya, jika bukan karena semua syarat dan tuntutan yang tertulis di kertas perjanjian ini. 

Ini tidak lebih dari hanya sekedar hubungan simbiosis mutualisme.

Jadi dengan wajah datar, dagunya yang tajam menunjuk lembar perjanjian tersebut. "Haruskah aku menandatanganinya, agar kita dapat mengesahkan perjanjian ini?"

"Tidak. Tidak perlu." Setelah meletakkan kertas itu di depannya, kini Elsie menggeser benda tersebut ke samping meja dan menyodorkan uluran tangan sebagai gantinya. "Walaupun awalnya aku ingin menggunakan surat tertulis itu untuk membuat janji kita, tapi di perjalan aku berubah pikiran. Alih-alih mencurigai komitmen kita satu sama lain, aku ingin mengawali hubungan ini dengan kepercayaan. Bagaimana jika kita saling mengucapkan janji kesetiaan kita sambil berjabat tangan? Kudengar semua pasangan lain melakukan hal serupa di pernikahan."

Seharusnya bergandengan tangan, bukan berjabat tangan. Alvan mencoba meluruskannya dalam hati.

Sedari awal hubungan ini sudah dimulai dengan sesuatu yang aneh dan salah. 

Dengan permulaan yang kelam ini, akan jadi seperti apa masa depan mereka? Mungkin akan menjadi sangat suram, atau menjadi lebih dari sekedar suram. Entahlah, ia tak tahu. 

"Kenapa diam saja? Tanganku sudah pegal menunggu." keluh Elsie padanya yang terdiam mematung.

Alvan terperanjat dan —dengan laju yang perlahan tapi pasti— ia menyambut uluran tangan itu.

"Aku yang akan memulai perjanjian ini." Tanpa menunggunya menyetujui usulan tersebut, Elsie segera memulai janjinya tanpa ragu, "Seperti yang kujanjikan, aku akan membiayaimu."

Berhenti. 

"Aku akan menikahimu." Sahut Alvan untuk melengkapi poin pertama perjanjian pernikahan mereka. 

Lalu Fio melanjutkan perjanjiannya yang lain. "Aku akan membantu perekonomian keluargamu."

Ia harus berhenti.

Alvan menarik napas dalam-dalam, lalu menyebutkan ikrarnya yang lain. "Aku akan membantumu mendapatkan warisan kakekmu."

"Aku akan bertanggung jawab untuk pendidikan adikmu."

Sesuatu di dalam hatinya menggedor pintu akalnya dan berusaha untuk menyadarkannya.

"Aku akan bertanggung jawab atas diriku sendiri dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak mencoreng ataupun memburukkan namamu." Ia tetap melanjutkan perjanjian ini meskipun perasaan ragu menggelisahkan dirinya.

"Aku akan memprioritaskan keluargamu."

"Aku akan memprioritaskan kepentinganmu dan perusahaanmu."

"Aku akan setia padamu."

Berhenti! Berhenti! Berhenti!

Namun sekeras apa hatinya berteriak, Alvan sudah memutuskan untuk menutup hati nuraninya dan akal sehatnya. Ini semua demi keluarganya. Ini demi dirinya dan kehidupannya.

"Aku akan setia padamu."

'Penyesalan. Dirinya di masa depan pasti akan menyesal!' ujar hatinya yang terdengar sangat kecewa pada keputusannya yang gegabah.

Namun sebuah pertanyaan lain menguatkan dirinya, 'Dengan dia menolak, apakah ia juga akan terhindar dari sebuah perasaan penyesalan?'

Jika pada akhirnya dia akan menyesal juga, lantas ia harus mengambil jalur yang akan lebih memberinya keuntungan, dan inilah pilihan itu.

"Terakhir." Kali ini genggamannya lebih erat dari sebelumnya dan Elsie memberikan sorot mata penekanan yang membuat perjanjian ini lebih unggul dibandingkan perjanjian lainnya. Perjanjian yang diambil wanita itu pada dirinya sendiri dengan sepenuh hati, "Aku, aku tidak akan satu kali pun mencintaimu."

Setelah ia melewati apa yang disebut 'penyesalan' itu, kini ia tahu apa pentingnya mendengar suara hati. Selagi menelan air ludahnya, diam-diam Alvan menyesali keputusannya yang sudah ia ambil satu detik yang lalu. Andai saja ia merasa goyah dan menghentikan kegilaannya ...! Namun bagaimana lagi, semua sudah terjadi dan tak ada jalan baginya untuk mundur. 

Kini kisah cinta 'tiada harapan' akan segera dimulai. Hanya saja, membayangkan jalan berduri yang akan dilewatinya membuat dirinya gemetar. Bahkan dengan tangan yang masih menjabat tangan wanita itu, ia bisa merasakan kerapuhan dari perjanjian yang sudah diikrarkan mereka. Sekarang ia bukan lagi bertanya dalam hati, 'apakah hubungan ini akan hancur?', melainkan ia bertanya 'kapan hubungan ini akan hancur' seolah ia sudah merasa yakin bahwa aliansi berselubung pernikahan ini akan hancur dalam sekejap. Entah kehancuran ini akan berwujud perpisahan di persidangan atau menjadi sebuah pernikahan abadi tanpa cinta. 

Apapun itu, ia sudah terlanjur menginjakkan kakinya ke dalam kehidupan mempelai wanita gila ini, dan tidak ada lagi yang dapat dilakukan sang mempelai pria selain menjalani perjanjian ini, selagi menunggu kapan 'akhir' dari hubungan itu akan diputuskan. Lagipula mereka sangat cocok, karena kedua mempelai itu sama-sama gila.

...****************...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status