"Umi, bolehkah Abi menikah lagi?"
Sejenak wanita berjilbab lebar itu bergeming, lalu berbalik menghadap suaminya. "Bukankah dulu Abi menolak keras, saat Umi menyuruh Abi untuk poligami. Mengapa sekarang berubah pikiran?" tanya Shafira cepat.Yusuf seketika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mencoba mencari alasan yang tepat untuk meyakinkan hati sang istri. Dulu memang tak pernah terbersit sama sekali, niat untuk berpoligami, hanya saja sekarang keinginan itu datang begitu saja memenuhi hati dan pikirannya."Hm ... Abi merindukan suara anak-anak di rumah ini. Apakah Abi salah? Semua keputusan Abi kembalikan kepada Umi. Abi tak ingin memaksakan keinginan itu, jika memang Umi tidak menyetujuinya."Shafira terdiam. Hampir lima belas tahun pernikahan, tak kunjung juga dikarunia anak. Berbagai pengobatan dan program hamil sudah ia coba, tetapi hasilnya tetap nihil.Dulu ia pernah meminta sang suami untuk menikahi sahabatnya yang kebetulan ditinggal mati oleh suaminya. Hanya saja, suaminya menolak mentah-mentah dengan alasan ia bahagia, sekalipun tanpa seorang anak."Bagaimana menurut Umi?"Mendengar itu, Shafira menatap lembut Yusuf. Ditariknya napas dalam sebelum berbicara, "Insyaallah, Umi setuju dengan apa pun keputusan Abi. Maaf, ya, Umi belum bisa memberikan keturunan untuk Abi."Lelaki itu mengangguk, lalu mengecup singkat puncak kepala sang istri. "Terima kasih, Umi. Insyaallah rumah ini nanti akan ramai dengan suara anak-anak. Kita akan membesarkannya bersama-sama.""Biar Umi yang mencarikan calonnya, ya, Bi!"Hanya saja, Yusuf justru menggeleng singkat. "Tidak perlu, Mi! Abi sudah menemukan wanita yang tepat. Insyaallah, salihah seperti Umi."Deg!"Siapa, Bi? Apakah Umi mengenalnya?" tanya Shafira bingung."Umi tidak mengenalnya, tetapi Abi pernah menceritakan sosok wanita itu pada Umi.""Siapa, Bi?""Almira. Masih ingat, kan? Wanita yang dulu pernah dekat dengan Abi. Kebetulan dia janda dengan satu anak. Bagaimana menurut Umi?" jelasnya."Umi percayakan semua ke Abi, ya. Semoga menjadi istri salihah buat Abi. Amin," ucap Shafira berusaha tenang.Setelah mengatakan itu, Shafira pamit pada suaminya untuk beristirahat di kamar. Sementara sang suami langsung menghubungi Almira untuk memberi tahu kabar bahagia itu.Shafira bersandar di balik pintu. Butir bening mengalir di kedua sudut matanya. Entah mengapa hatinya terasa perih saat mendengar permintaan sang suami untuk menikah lagi. Padahal dulu, ia sendiri pernah meminta sang suami untuk menikahi sahabatnya sendiri, tetapi rasanya tak sesakit saat ini.Shafira terkulai lemas di lantai. Masih jelas dalam ingatan, sosok Almira yang sempat diceritakan Yusuf padanya. Tampak jelas ada kekaguman yang mendalam di hati lelakinya itu."Dia tak hanya cantik fisik, tetapi juga cantik hati. Lelaki mana pun yang dekat dengannya, pasti akan langsung jatuh hati.""Abi, suka padanya?"Yusuf terkekeh. "Sebagai lelaki normal, tentu saja Abi jatuh hati padanya. Hanya saja, ketika Abi akan mengutarakan cinta, Almira sudah dijodohkan dengan lelaki lain."Entah apa yang kini dirasakan Shafira. Luka dan kecewa membuncah hebat menjadi satu yang berhasil mengiris kalbu, bahkan meretakkan hatinya. Bukan tentang permintaan poligami yang membuatnya kecewa, melainkan alasan suaminya menikah lagi bukan hanya karena anak, melainkan juga cinta masa lalunya yang sempat tertunda.Shafira menghapus air mata yang mengalir di pipi.Tak ingin bila nanti Yusuf menemukannya tengah menangis. Bagaimanapun di hadapan sang suami, Shafira tak pernah ingin menunjukkan sisi terapuhnya.***Tak butuh waktu lama, acara pernikahan yang ditunggu Yusuf pun berjalan dengan khidmat. Senyum terpancar indah dari kedua pengantin yang tengah berbahagia itu.Tamu undangan silih berganti bersalaman untuk mengucap selamat. Semua yang hadir turut berbahagia atas pernikahan keduanya.Sementara itu, Shafira memilih langsung masuk ke kamar usai ijab kabul usai. Air mata yang sedari tadi ditahan, akhirnya tumpah juga. Selama ini dia selalu belajar menyiapkan hati untuk ikhlas, apabila suaminya memutuskan untuk menikah lagi, tetapi pada kenyataannya begitu sulit hatinya menerima sosok wanita lain yang akan hadir di tengah-tengah kebahagiaannya.Kini, bukan hanya dirinya yang berhak memiliki hati Yusuf, melainkan ada wanita lain yang juga sama-sama memiliki hak untuk memiliki hati lelaki itu.Shafira tak henti-hentinya berselawat. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya yang tengah diselimuti rasa cemburu. Ia harus ikhlas, mulai saat ini cinta suaminya akan terbagi.Malam harinya, wanita itu menyiapkan malam malam untuk suami dan istri barunya. Jika biasanya sang suami akan bermanja dan menggoda dirinya, malam ini sikapnya dingin seakan-akan tak peduli. Yusuf lebih fokus menggoda Almira dengan kata-kata romantisnya.Tak ada yang bisa dilakukan Shafira, selain menenangkan hati dan pikirannya sendiri. Mencoba memaklumi, mereka pengantin baru, jadi wajar saja terlihat romantis dan lengket seperti prangko."Mas, Almira, makan malamnya sudah siap," ucap Shafira seraya menyembunyikan matanya yang mulai berkaca.Sejujurnya, ada rasa cemburu yang membuncah hebat dalam diri. Apalagi saat Yusuf memperlihatkan sikapnya yang lain dari biasanya.Shafira berniat untuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Yusuf. Namun, Almira lebih dulu memberikan piringnya pada lelaki itu. Shafira hanya bisa diam dan mengalah, lalu memakan nasi itu untuk dirinya sendiri."Sayang, aku mau disuapi!" ucap Almira manja.Dengan wajah ceria, Yusuf mulai menyuapi istri barunya itu. Sementara Shafira layaknya penonton yang menyaksikan kemesraan sang suami bersama madunya."Mas juga harus makan yang banyak. Biar nanti pas malam pertama ...."Yusuf melirik ke arah Shafira. Takut, bila Shafira tersinggung atau cemburu dengan perkataan Almira. Dia menghela napas lega, saat wanita itu terlihat biasa saja dan tengah fokus dengan makan malamnya."Umi, makan yang banyak juga, biar tidak gampang sakit."Shafira mengangguk, lalu melempar senyum singkat. "Habiskan makan malam kalian. Aku istirahat dulu, ya.""Kenapa tidak dihabiskan, Mi?""Tidak apa! Perut Umi sudah kenyang."Setelah mengatakan itu Shafira langsung melangkah ke kamar. Hatinya belum bisa menerima kehadiran wanita lain dalam rumah tangganya. Ia juga belum siap untuk berbagi suami dengan wanita lain."Ya, Rabb. Kuatkanlah hati hamba untuk melewati semua. Biarkan hati ini ikhlas untuk berbagi suami dengan wanita lain, dan jadikan Mas Yusuf menjadi sosok suami yang bisa adil terhadap kedua istrinya. Amin."Sebelum tidur, Shafira mengambil wudu dan salat sunah dua rakaat. Saat ini hanya doa yang bisa menyembuhkan semua rasa sakitnya di hati. Mungkin sudah saatnya dia mulai fokus menata hatinya sendiri untuk menjadi muslimah yang lebih baik.Ikhlas itu memang satu kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dipraktikkan. Shafira menghela napas perlahan, berbagi suami ternyata tak semudah yang ia pikirkan selama ini."Kamu pasti kuat, Shafira! Allah selalu ada untukmu. Apa lagi yang harus kamu takutkan? Selama hatimu bersama Allah, insyaallah semua akan baik-baik saja."Bersambung ....Pagi-pagi sekali, Shafira sudah menyibukkan diri di dapur. Dengan lihai ia mengiris bawang, dan mempersiapkan bahan-bahan lain yang dibutuhkan. Meskipun ada wanita lain yang kini tinggal satu atap dengannya, tetapi untuk urusan perut suami, itu akan menjadi tugas khusus untuknya.Hampir semalaman Shafira menangis dengan mata yang sulit untuk terpejam. Tampaknya dia belum terbiasa tidur tanpa ditemani Yusuf. Apalagi suara berisik di kamar sebelah cukup mengganggu pendengarannya, membuat hati wanita itu semakin merasakan sakit yang teramat dalam.Semenjak acara pernikahan kemarin, tak sekalipun Yusuf menemuinya di kamar. Lelaki itu seperti lupa, kalau ia memiliki dua istri yang sama-sama harus diperlakukan adil."Ada yang bisa aku bantu, Mbak?" .Sejenak Shafira menghentikan kegiatannya di dapur. Wanita itu melirik sekilas pada madunya sembari melempar senyum."Istirahatlah! Biar aku saja yang menyiapkan makanan untuk sarapan kalian," balas Shafira ramah.Tak ada yang tahu dengan isi ha
Almira terbangun dari tidur. Ia terperanjat, saat sadar Yusuf tidak ada di sebelahnya. Bergegas ia keluar kamar untuk mencari keberadaan suaminya.Hatinya kian memanas, saat mendengar suara Yusuf di kamar Shafira. Dadanya bergemuruh hebat, ia tidak terima sang suami berada di kamar istri pertamanya."Mas Yusuf hanya milikku! Wanita lain tidak boleh memilikinya," batin Almira.Almira kembali ke kamarnya. Wanita itu langsung menelepon Yusuf agar segera menemuinya di kamar. Tak lama kemudian, Yusuf sudah berada di kamar Almira. Hati lelaki itu merasa belum tenang, karena belum bisa menenangkan hatinya Syafira."Ada apa, Sayang?" tanya Yusuf sembari duduk di sebelah Almira."Mas sedang apa berada di kamar Mbak Syafira? Mengapa Mas meninggalkan aku di kamar bawah?""Dengar, Al! Istriku bukan hanya kamu. Bahkan, sebelum aku menikahimu, aku lebih dulu menikah dengan Shafira. Aku harus adil terhadap keduanya, jadi mulai malam ini kalian bicarakan baik-baik kapan jadwalku di kamarmu dan kapan
Keesokan paginya, Shafira tidak keluar kamar. Ia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. Shafira terkekeh, mengingat ekspresi Almira, saat tahu dirinya tidak bisa memasak sarapan untuk pagi ini.Sebenarnya, Shafira bisa saja memasakkan sarapan untuk mereka pagi ini, hanya saja ia masih kesal pada Almira yang mengakui masakannya sebagai hasil masakannya sendiri.Shafira melirik pada sosok lelaki yang tengah tertidur lelap di sampingnya. Semalam Yusuf memutuskan untuk tidur di kamar istri pertamanya. Tentu saja, hal itu membuat Almira murung dan tak henti-hentinya mengomel."Pagi, Umi!" sapa Yusuf dengan suara sedikit serak."Pagi, Abi. Kok sudah bangun?""Umi lupa, kalau pagi ini Abi harus ke kantor?""Astagfirullah, Maaf. Umi lupa kalau pagi ini Abi ada meeting dengan perusahaan sebelah. Sukses selalu, ya. Semoga dimudahkan rezeki, dan selalu dalam lindungan Allah Swt. Amin.""Amin. Terima kasih doanya, Umi. Maaf, beberapa hari ke belakang Abi hampir saja m
Syafira tersenyum menanggapi perkataan sahabatnya. Yusuf tidak menyia-nyiakannya, ia hanya membagi cinta saja dengan wanita lain. Dalam hal ini, ia juga tidak ingin egois. Biarkan saja Yusuf memutuskan semua sendiri, wanita itu tidak ingin menghalangi keinginan lelakinya itu."Jika memang suaminya mampu berbuat adil, dan paham ilmu berpoligami, aku tidak masalah!" ucap Shafira."No! Aku, sih, ogah! Lebih tentram tanpa madu.""Tidak ada satu pun wanita pun di dunia ini yang ingin di madu, Rin. Tentunya semua wanita ingin menjadi satu-satunya ratu yang ada di hati suaminya. Tak ada madu yang manis. Jika pun ada, itu karena suami mampu membimbing keduanya dengan baik," balas Shafira seraya mengaduk-ngaduk jus miliknya.Shafira masih ingat, saat Yusuf berjanji akan menjadikan satu-satunya ratu dalam rumah tangganya. Namun, kehadiran wanita masa lalu, membuat Yusuf khilaf dan melupakan semua janji manisnya itu.Shafira mengembuskan napas perlahan. Begitu berat semua itu untuknya. Semenja
Dengan sedikit malas, Yusuf membuka pesan masuk dari Shafira. Lelaki itu merasa benar-benar kecewa dengan apa yang telah dilakukan istrinya di kafe tadi. Padahal, ia sudah memberikan kepercayaan penuh padanya. Entah mengapa dengan mudahnya wanita itu telah menyia-nyiakan kepercayaannya selama ini. Ia tak menyangka, Shafira akan bermain cinta di belakangnya bersama pria lain.Tak lama kemudian, masuk satu pesan lagi berupa voice note yang berisi suara seseorang yang dikenal. Ya, suara Shafira, Rina, dan lelaki di kafe itu terekam jelas di sana. Mendengar percakapan mereka, ekspresi wajah Yusuf seketika berubah, lelaki itu langsung mengusap gusar wajahnya. Ternyata ia telah salah paham pada Shafira. Wanita itu tidak seburuk dengan apa yang dituduhkannya tadi."Astagfirullah, aku sudah salah paham padanya. Cemburu telah membutakan mata dan hatiku. Aku harus segera meminta maaf padanya," batin Yusuf. Lelaki itu beranjak dari duduk. Rasa bersalah mulai menyelimuti hati dan pikirannya. Yus
Shafira baru saja selesai memasak. Ia merasa bersalah, karena tadi pagi tidak menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ia lebih mengutamakan ego, sehingga mengabaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri. Pikiran dan hatinya jauh dari kata tenang, sedari tadi terus-menerus kepikiran akan perut sang suami. Sudahkah lelakinya itu mengisi perutnya dengan nasi? Bagaimana kalau ternyata dia malah memilih untuk tetap mengosongkan perutnya? Rasa khawatir mulai memenuhi pikirannya, karena selama ini suaminya itu selalu sarapan tepat waktu.Siang harinya, semua makanan kesukaan Yusuf sudah terhidang di meja. Wanita itu tersenyum, dan berjanji akan meminta maaf pada suaminya saat pulang nanti."Istri yang baik! Sayangnya, sebentar lagi Mas Yusuf akan menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak ingin membaginya denganmu," ucap Almira dengan nada sinis. Shafira mengabaikan perkataan Almira, lalu melangkah menaiki tangga. Wanita itu berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan sang madu. Baginya ta
Yusuf mondar-mandir di depan meja kerja. Beberapa hari ini, ia sibuk memikirkan perkataan Shafira. Bahkan, demi bisa menemukan teka-teki itu, Yusuf memilih untuk tidak tidur dengan kedua istrinya. Saat ini, tidur sendiri adalah jalan terbaik untuk menenangkan pikirannya dari segala permasalahan yang ada. Dalam benaknya dipenuhi tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam rumah tangganya? Bukankah kehidupan mereka baik-baik saja? Kedua istrinya pun akur, tak pernah sedikit pun terdengar bertengkar.Bimo masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Lelaki itu menggeleng singkat, saat melihat sahabatnya bolak-balik tak tentu arah, seperti orang yang tengah kebingungan. "Apalagi yang sedang mengganggu pikiranmu, Bro? Seharusnya hidupmu bahagia. Harta melimpah, perusahaan milik sendiri, dan memiliki dua istri yang sangat aduhai."Sepertinya Yusuf baru menyadari kehadiran Bimo di sana. Lelaki itu tampak terkejut, dan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri."Dari kapan kamu ada di
"Astagfirullah al'azim. Kamu mabuk, Al?" Shafira mendekat, lalu berniat untuk memapah madunya ke kamar. Namun, niat baik itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Almira. "Menjauh dariku! Aku tak sudi disentuh wanita sepertimu!" Almira tersenyum kecut, lalu berlalu dari hadapan Shafira."Astagfirullah," lirih Shafira seraya mengusap dada. Shafira tak pernah menyangka, madunya yang selama ini tampak alim dan salihah itu ternyata kelakuannya seperti ini. Apalagi pakaian yang Almira pakai sangat ketat dan seksi, memperlihatkan semua bagian lekuk tubuhnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana murkanya Yusuf bila mengetahui kelakuan istri keduanya yang seperti itu.Dengan berjalan sempoyongan, Almira menaiki tangga. Sesekali wanita itu memegang kepalanya yang terasa pening. Mulutnya meracau tak jelas, sesekali ia tertawa seperti orang yang setengah waras. Diam-diam Shafira mengikutinya dari belakang. Meskipun Almira sering kali membuatnya kesal dan sakit hati, tetapi ia tidak tega bila ha