Share

Chapter 2

Semuanya dimulai hari itu di mana Rey duduk terdiam di depan dua peti mati yang berisi tubuh kaku kedua orang tuanya. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya yang pucat dan kering itu. Hanya terus menatap kosong dengan raut wajah kacau.

Wanita dengan rambut sebahu itu bahkan tidak menangis sedikit pun namun semua orang tahu jika rasa sakit yang dirasakannya lebih dari siapa pun yang ada dalam ruangan itu. Bagaimana tidak, dia ditinggalkan oleh dua orang yang menjadi sandarannya secara bersamaan.

Masih hangat dalam ingatan Rey di mana pagi ini kedua orangnya pamit untuk keluar kota.

"Kau sungguh akan baik-baik saja sendirian di rumah?" tanya sang ibu menatap putrinya yang sedang asyik dengan ponselnya.

"Aku sudah biasa sendiri," ujar Rey tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedang memutar video anime Jepang. Kalimat itu secara tidak langsung menyindir pasangan suami istri itu.

Mereka terlalu sibuk dengan profesi sebagai seorang polisi yang harus siap siaga dalam keadaan apapun. Hingga mereka lupa telah mengabaikan sosok yang sangat mereka sayangi.

"Rey, dengar---"

"Kalian bisa pergi sekarang."

Rey beranjak begitu saja. Tak ingin lagi mendengar ocehan dari kedua orang tuanya. Bagi Rey apapun yang mereka katakan hanyalah alasan untuk membela diri. Rey bukan anak kecil lagi yang bisa mereka beri janji sebatang coklat ketika mereka pulang. Yang Rey inginkan kehadiran mereka. Memeluk atau hanya sekedar mengobrol hal-hal yang tidak penting.

Seperti dulu. Ketika Rey masih berumur sepuluh tahun. Namun rasanya itu mustahil karena berita yang diumumkan di televisi hari ini menghancurkan semua harapan Rey. Mobil yang ditumpangi kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan naasnya mereka meninggal di tempat.

Kini orang tua Rey benar-benar pergi untuk selamanya.

"Kurasa Tuhan sedang bercanda padaku," kekeh Rey. Dia memang ingin orang tuanya pergi namun bukan untuk pergi selamanya. Hanya mereka yang dimiliki gadis berumur dua puluh satu tahun tersebut.

Setitik air mata akhirnya jatuh di pipi Rey. Namun segera disapunya kasar. Wanita itu lantas bangkit membuat beberapa orang menatapnya bingung.

"Kau mau ke mana, Rey?" tanya seorang wanita berbadan gemuk menghentikan langkah Rey. Dia tetangga keluarga Rey.

"Aku sudah selesai," jawabnya datar.

"Setidaknya---"

"Tidak usah menahanku!" pekik Rey melepaskan tangan wanita itu dengan kasar. "Aku tetap di sini pun tak akan membuat mereka bangun lagi."

"Reyna! Jaga ucapanmu!" Wanita itu tersulut emosi. "Aku tahu kau membenci orang tuamu tapi kau tidak sepantasnya berperilaku seperti ini sekarang!" lanjutnya.

"Lalu apa yang harus kulakukan?! Bahkan ucapan yang tidak kuanggap serius saja dikabulkan oleh Tuhan." Rey bercucuran air mata. Dia mulai terisak sambil menunduk.

"Aku tidak ingin orang tuaku pergi. Bukan ini yang aku inginkan, Bibi!" ujar Rey pilu. Rey berusaha untuk tetap tegar namun ternyata pada akhirnya pertahanan wanita itu pun luluh lantak oleh rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

Tubuh Rey lemas membuat dia terduduk di atas lantai. Dengan sigap wanita tadi membawa Rey dalam dekapannya.

"Reyna ..., " lirihnya mengusap pelan rambut wanita itu.

"Aku ingin mereka kembali, Bibi. Tolong jangan ambil ayah dan ibuku ... hiks ... hiks," tangis Rey membuat semua tamu di sana ikut merasakan sakit yang sedang diderita oleh wanita itu.

Reyna kehilangan segalanya sekarang.

***

Acara pemakaman telah usai. Rey kembali ke rumahnya. Beberapa orang tetangga mengajak wanita itu untuk tinggal sementara waktu bersama mereka, namun Rey menolak.

Bagaimanapun keadaan rumahnya dia akan tetap tinggal di sana.

Wanita itu melepaskan syal yang mengikat lehernya. Entah siapa yang memberinya tadi. Mungkin dia takut gadis itu sakit karena udara yang cukup dingin.

"Hah .... " Desahan panjang dari mulut Rey setelah tubuhnya sukses berbaring di atas tempat tidur. Mungkin karena terlalu lelah atau efek terlalu banyak menangis membuat mata Rey terpejam dengan cepat. Wanita itu meringkuk sendirian di dalam kamar besar itu. Hawa dingin yang berhembus dari jendela yang lupa Rey tutup membuat tubuhnya sedikit menggigil.

Entah menggigil kedinginan atau apa. Dahi wanita itu justru bercucuran keringat.

"REYNA!!!"

Rey menoleh. Dia seperti sedang berada di tengah-tengah jalan raya. Wanita itu bingung sambil terus melirik ke sana kemari. Mencari arah dari suara yang memanggilnya.

"REYNA!!!"

Panggilan itu kembali bergema memecah keheningan malam. Tubuh Rey mulai bergetar ketakutan.

"IBU!!!" teriaknya keras.

"REYNA TOLONG IBU, NAK!!!"

Suara itu berasal dari arah depan Rey. Dengan cepat wanita itu berlari seraya terus memanggil sang ibu lantang.

"IBU!!!"

Hingga langkah Rey terhenti saat melihat sebuah mobil yang hancur di depannya. Dengan langkah hati-hati wanita itu berjalan menghampiri mobil dengan posisi terbalik itu.

"I-ibu .... "

Suara Rey bergetar saat melihat eksistensi ibunya yang sudah berlumuran darah di dalam mobil.

"IBU!!!" Dengan sekuat tenaga Rey mencoba memecah kaca mobil untuk mengeluarkan sang ibu. Rey tidak merasakan sakit sedikit pun walau kini tangannya berdarah.

Rey terus berteriak dan juga meminta tolong pada siapapun yang mungkin ada di sana.

"TOLONG! SIAPAPUN, TOLONG SELAMATKAN IBUKU!" isak Rey terus memukul kuat kaca mobil itu hingga pecah berkeping-keping.

"Ibu, ulurkan tanganmu!" kata Rey mengulurkan tangannya untuk digapai oleh sang ibu. Namun wanita itu justru bergeming menatap Rey.

"Ibu, ayo cepat!!!" kata Rey tapi wanita itu tak kunjung menyambut tangannya.

"Lari, Rey ...."

Rey mengerutkan keningnya. "A-apa?"

"LARI REYNA!!!" pekik sang ibu menyadarkan Rey jika sebuah mobil besar merwarna putih melaju dengan kencang ke arahnya.

BRUK!!!!

"IBU!!!"

Rey terbangun dari mimpi buruknya. Dadanya kembang kempis seperti baru saja melakukan lari maraton. Dia menoleh untuk mencari segelas air putih yang terletak di atas meja nakas.

Rey menghabiskan air itu dalam sekali tegukan. Dia memejamkan mata sesaat untuk menetralkan degub jantung dan napasnya yang terengah.

Sungguh mimpi yang sangat mengerikan.

Selama ini tidak pernah sekali pun Rey memimpikan orang tuanya lalu sekarang kenapa tiba-tiba saja setelah mereka telah tiada dia bermimpi, terlebih mimpi yang sangat buruk.

Rey kembali membaringkan tubuhnya setelah merasa lebih tenang. Tidak bisa dikatakan sepenuhnya tenang karena Rey justru penasaran kenapa dia bisa bermimpi demikian. Bahkan dia tidak ada di lokasi kejadian lalu kenapa otaknya bisa memproses dan membentuk sebuah mimpi yang begitu mengerikan?

Mobil, darah dan kaca pecah itu terasa begitu nyata seakan Rey ada di sana.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada orang tuaku?" lirih Rey pelan.

"Apakah kematian mereka bukan murni kecelakaan?" Rey kembali berspekulasi sendiri. Bukan tidak mungkin jika orang tuanya memiliki musuh. Mereka seorang polisi. Bisa saja ada yang dendam pada mereka.

Rey membulat matanya. "Lalu apakah aku akan menjadi target selanjutnya?"

Itu masuk akal bukan? Jika tidak kenapa sang ibu menyuruh Rey untuk lari. Tapi Rey harus lari dari siapa?

"Tidak. Mungkin itu hanya perasaanku saja," kata Rey menggeleng pelan. Mungkin ini hanya efek Rey terlalu kehilangan orang tuanya.

Semoga saja seperti itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status