Bab 2
Keesokan harinya, Naura terbangun dengan tubuh yang lemas dan perih pada bagian tubuhnya. Dia masih berada dalam balutan selimut, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dari tempat tidur.Tiba-tiba, Ferdi masuk ke kamar dengan ekspresi yang tegas dan dingin. "Jangan pernah ke luar dari apartemen ini, tanpa izin dariku! Kamu akan ditemani seorang asisten selama saya tidak di sini," seru pria arogan itu dengan nada keras.Pria tersebut merasa puas setelah semalam berhasil menyemai benih hingga berkali-kali, tanpa mempedulikan kondisi Naura yang kesakitan. Itu adalah pertama bagi Naura, jadi rasanya sangat menyakitkan. Meski tidak ada sedikit pun darah, saat keduanya menyatu.Ferdi paham jika wanita perawan tidak selalu keluar darah di malam pertamanya, jadi dia tidak mempermasalahkan itu. Baginya, Naura hanyalah istrinya yang wajib memenuhi kebutuhan biologis suami saja.Naura hanya mampu mengangguk patuh, tak berani melawan perintah suami. Matanya dipenuhi kaca-kaca, menahan rasa sakit dan kecewa yang mendalam. Dia merasa terperangkap dalam situasi yang tak bisa dia hindari.Di balik selimut yang menutupi tubuhnya, Naura merasakan betapa sakit dan perihnya bagian tubuhnya yang baru saja mengalami pengalaman pertama yang seharusnya indah, tetapi justru berakhir menjadi mimpi buruk."Ingat! Jangan coba-coba melanggar perintah saya," ucap Ferdi sekali lagi sebelum keluar dari kamar, ia lantas meninggalkan Naura yang terisak dalam kesedihan dan keputusasaan.Hari demi hari, Naura menjalani kehidupan bahagia yang seolah-olah telah dicuri dari hidupnya. Dia selalu terkurung di apartemen itu, ditemani asisten yang setia mengawasi setiap gerak-geriknya. Rasa sakit dan perih di tubuhnya tak kunjung hilang. Namun, semakin terasa sakit dan bertambah sakit.Karena Ferdi setiap hari akan kembali datang dan mengulanginya lagi dan lagi. Naura merindukan kebebasan dan harapan untuk menemukan kebahagiaan yang telah hilang dalam hidupnya.Setiap Ferdi datang, Laila—asistennya—langsung meninggalkan apartemen dan membiarkan Naura hanya berdua saja dengan Ferdi.Naura merasa tubuhnya lemah dan gemetar, mata berkaca-kaca saat suaminya kembali memaksanya untuk berhubungan."Sakit ... Tuan...," rintihnya di hari ketiga menjadi istri Ferdi. Kedua kakinya terasa sangat berat, rasa sakit menjalar hingga ke tulang. Dia merasakan sakit yang luar biasa.Ferdi hanya mendengus kesal, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak suka. "Semakin cepat kamu hamil dan melahirkan anak laki-laki untuk saya, kamu bisa cepat bebas. Bukankah itu yang kamu inginkan?" serunya, mengepalkan tangannya.Wajah Naura pucat, bibirnya kering dan bibirnya bergetar saat berbicara. Ferdi menatap Naura dengan pandangan tajam, seolah menilai kejujuran kata-kata istrinya yang baru itu."Em ... jika boleh, aku ingin meminta tolong belikan salep atau obat untuk mengobati luka ini. Rasanya begitu perih, Tuan," ujar Naura dengan lemah, memohon belas kasihan kepada suaminya.Namun, Ferdi hanya menatapnya dengan sinis, matanya menyala-nyala penuh kebencian. "Berani sekali kamu memberi perintah kepadaku!" bentaknya dengan nada meninggi, kemudian dengan kasar dia bergegas mengenakan pakaian dan melangkah keluar dari kamar.Brak!!!Pintu dibanting dengan keras, begitu kerasnya hingga membuat Naura terlonjak kaget. Di balik pintu, Naura menangis pilu. Hatinya terasa digerus oleh cinta yang tak kunjung datang.Tidak lama, Tuan Ferdi masuk kembali."Tuan, kenapa anda gak tinggal di sini?" tanya Naura. Keduanya masih berada di ranjang berbalut selimut.Ferdi menaikkan alisnya. "Kamu mau saya tinggal di sini?" tanyanya.Naura mengangguk ragu.Ferdi tertawa. "Saya gak mau istri di rumah curiga jika saya gak pulang," celetuknya."Istri? Jadi ... Anda ...." Naura menggelengkan kepalanya. Dia baru menyadari jika dirinya hanyalah istri kedua."Kamu masih polos atau hanya pura-pura gak paham? Saya menikahi kamu, hanya untuk mendapatkan keturunan laki-laki. Istri pertama saya hanya melahirkan dua anak perempuan. Dan rahim istri saya sudah diangkat. Jadi dia gak bakalan bisa kasih anak laki-laki," jelas Tuan Ferdi.Naura terkejut mendengar pengakuan Ferdi yang tiba-tiba. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca. Dia merasa hina dan dipermainkan. Selama ini, dia yakin berharap jika suatu hari nanti Ferdi bisa mencintainya, dan hubungan mereka terjalin atas dasar kebahagiaan bersama.Namun, ternyata semua itu hanya impian palsu belaka. "Jadi maksud Tuan, saya hanyalah alat untuk Anda memperoleh anak laki-laki?" tanya Naura dengan suara serak, menahan air mata yang hendak jatuh.Ferdi mengangguk tanpa rasa bersalah, "Ya, benar. Kamu harus bersyukur, karena saya menikahi kamu dan memberi kamu kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Saya juga akan menjaga kamu dan calon anak kita nanti. Tapi jangan berharap lebih dari itu. Dan setelah kamu melahirkan anak laki-laki, kamu saya bebaskan. Saya yang akan merawat anak itu."Naura merasa tubuhnya lemas, seolah dunia yang selama ini ia percayai runtuh seketika. Dalam hatinya, kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu."Anda ... Anda tidak punya hati," gumam Naura lirih. Namun, suara Naura masih dapat didengar oleh suaminya.“Jika saya tidak punya hati, maka saya akan menjebloskan ayah kamu ke penjara!” hardik Ferdi.Amarah Ferdi memuncak. Dia menarik rambut Naura dengan sangat keras.“Ampun, Tuan!” seru Naura sambil menahan tangan suaminya.Ferdi melepaskan tangannya. Beberapa helai rambut Naura terlepas dan tertinggal di telapak tangannya.“Jangan berani macam-macam dengan saya! Dan jangan berharap saya akan mencintai kamu. Karena cinta saya hanya untuk Zia, istri saya. Paham kamu?!"..BAB 3"Lalu, bagaimana jika saya melahirkan anak perempuan?" tanya Naura dengan suara serak akibat menangis. Dia memberanikan diri untuk bertanya.Ferdi mengepalkan kedua tangannya, lalu menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Pernikahan ini hanya akan berakhir, hanya jika kamu memberi anak laki-laki kepada saya. Jika yang lahir anak perempuan, kamu boleh merawatnya sendiri. Tapi kamu tenang saja, karena saya akan memberikan biaya untuk hidup anak perempuan itu. Dengan catatan, dia hanya menjadi anak kamu saja, bukan anak saya."Naura semakin terisak, mengerjapkan air matanya yang semakin deras mengalir. Hatinya bagai teriris mendengar ucapan Ferdi yang begitu tega dan dingin. Dia merasa seolah menjadi pion dalam permainan kejam yang tak bisa dia hindari.“Ingat! Putrimu nanti tidak boleh tahu jika dia berasal dari benihku. Bahkan tidak ada seorang pun yang boleh tahu, kecuali keluarga kamu yang miskin itu!” tegas Ferdi.Naura diam, tidak berniat menanggapi ucapan suaminya.“Kamu tu
BAB 4 Naura terbangun. Dia mendapati wajahnya sedikit basah dan melihat ada Laila di hadapannya, bukan Ferdi."Laila? Kamu ngapain di sini? Mana Tuan Ferdi?" tanya Naura heran."Maaf, Nona, tadi saya menyiram sedikit air ke wajah Nona. Karena Nona Naura sulit dibangunkan," ucap Laila dengan wajah merasa bersalah. "Ini, Tuan Ferdi mencari Nona!"Laila memberikan ponsel miliknya kepada Naura. Kemudian dia meninggalkan majikannya itu agar bebas berbicara dengan suaminya."Assalamu'alaikum, Tuan," ucap Naura yang hingga kini masih memanggil suaminya dengan panggilan itu."Saya akan liburan dengan istri dan anak-anak ke luar negeri selama 2 minggu," ucap Tuan Ferdi, tanpa menjawab salam."Ba–."Tut... Tut...Panggilan dimatikan sepihak."Kalau cuma mau ngomong gitu, kenapa gak nitip ke Laila aja? Gangguin orang tidur aja," gerutu Naura.Dia meletakkan ponsel Naura. Lalu senyumnya mengembang. Dia yakin jika di kamar tidak ada cctv.Naura mengunci pintu kamarnya agar Laila tidak bisa masuk
Bab 5 "Sayang!" seru Ferdi saat ia melihat Zia yang baru saja tiba. Wajahnya terlihat kaget mengetahui kehadiran istrinya itu."Ngapain tadi Kevin ke sini?" tanya Zia dengan nada ketus, kedua alisnya mengerut menunjukkan rasa curiga."Oh, itu, ada sedikit masalah di kantor. Tapi sudah diatasi, tenang saja!" balas Ferdi sambil tersenyum mencoba meredakan kecurigaan Zia. Ia meraih tangan istrinya dan mengelusnya lembut."Duduklah! Sebentar lagi kita terbang," ujar Ferdi sambil menunjukkan kursi di sampingnya.Zia mengangguk, wajahnya masih menampakkan kebingungan. Namun, ia memutuskan untuk duduk di samping suaminya, menaruh tas kecilnya di pangkuannya. Keduanya kemudian bersiap untuk penerbangan yang akan segera dimulai, meskipun Zia masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.Zia merasa jika suaminya lebih banyak melamun selama perjalanan. Diajak bicara pun sering tidak fokus."Papa!" seru Zia kesal, menghentakkan kakinya di lantai. Ia merasa frustrasi karena untuk kes
Bab 6Naura terbangun mendadak, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Tubuhnya lemas dan terasa sakit di mana-mana. Ia menyadari bahwa dirinya terikat erat di kedua tangan dan kaki. Ruangan sempit dan gelap membuatnya merasa sesak. Sudah beberapa hari ia berada di sini, menjadi tawanan Ferdi dan anak buahnya yang kejam."Tu-tuan..." rintih Naura kesakitan. Wajahnya tampak pucat dan lesu."Berani kamu melanggar larangan yang saya berikan?" hardik Ferdi dengan tatapan yang menyeramkan."Maaf Tuan, saya hanya..." ucap Naura dengan suara lirih dan ketakutan."Hanya apa?" potong Ferdi dengan nada sinis.Naura menunduk, tak berani menatap wajah Ferdi yang penuh kemarahan. Hatinya bergetar kencang, takut akan ancaman yang akan dihadapinya."Apa perlu saya bunuh orang tua kamu, agar kamu tidak kabur dari apartemen?" tanya Ferdi dengan nada dingin dan mengancam.Mendengar ancaman itu, Naura merasa nafasnya tercekat. Airmatanya mengalir deras, memohon agar orang tuanya tidak menjadi korban
Naura terpojok di sudut kamar dengan wajah pucat ketakutan, kedua tangannya berusaha menutupi tubuh mungilnya yang merasa rentan. Ferdi memandangnya dengan tatapan sinis, membuat Naura semakin merasa ketakutan."Ampun, Tuan," ucap Naura dengan suara yang bergetar. "Maafkan saya. Saya gak akan nolak lagi."Mendengar ucapan istrinya, Ferdi kembali tertawa dengan nada mengejek. Dia menatap Naura seolah mempermainkan perasaan istrinya yang ketakutan itu. Hatinya bahkan seakan menikmati pemandangan tersebut.Ferdi mengepalkan tangan yang memegang ikat pinggang dan kemudian mengangkatnya. Namun, melihat ekspresi ketakutan yang begitu jelas pada wajah Naura, ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk mencambuk istrinya. Ferdi tersenyum sinis sambil meletakkan ikat pinggang itu kembali di tempat semula.Seakan mengetahui bahwa bahayanya telah berlalu, Naura mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Air mata yang sempat menumpuk di sudut matanya perlahan menetes, menggambarkan perasaan terluk
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, sementara hatinya merasa retak. Zia mencoba menahan tangisnya, berusaha keras untuk tidak menangis di telepon. Pikirannya langsung terbawa pada kemungkinan buruk yang sedang terjadi pada suaminya.Dengan tangan gemetar, Zia akhirnya memutuskan sambungan telepon itu. Dia menundukkan kepalanya, meneteskan air mata yang tak mampu ditahan lagi. Hatinya terasa begitu sakit, seolah teriris oleh pisau tajam yang mencoba membelah dadanya. Rasa tidak pasti itu melukai hatinya lebih dalam, membuatnya merasa hampa dan kehilangan arah.Zia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tidak tahu apakah suaminya, Ferdi, telah berselingkuh di belakangnya atau mungkin dia hanya menjadi korban suatu keadaan yang tidak menguntungkan. Namun, kebenaran harus segera terungkap agar dia bisa menemukan ketenangan dalam kehidupan rumah tangga mereka.Tak tahan dengan rasa penasarannya, Zia memutuskan untuk mencari jawaban langsung dari orang yang paling
Tak disangka, ketika Laila baru saja membuka pintu apartemen yang ditempati oleh istri muda Ferdi, tiba-tiba Zia, istri Ferdi yang sah, muncul dengan wajah marah."Nyonya!" pekik Laila kaget, matanya membulat sempurna, detak jantungnya berpacu cepat. Ia merasa seakan dunia runtuh karena ketahuan oleh majikannya sendiri."Laila!" sahut Zia balik, tak kalah terkejut melihat pelayannya itu berada di apartemen suaminya. Keduanya saling menatap dengan penuh emosi, berkecamuk dalam diri masing-masing."Jadi, kamu selingkuhan suamiku? Aku gak nyangka. Dasar wanita murahan!" bentak Zia, kemarahan memuncak. Dengan gerakan cepat, dia menarik rambut Laila dan menyeretnya masuk ke dalam apartemen, pintu ditutup keras di belakang mereka."Nyonya salah paham!" rintih Laila sambil menahan rambutnya, mencoba mengurangi rasa sakit yang menyergap akibat ditarik dengan kasar oleh Zia. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca karena takut.Namun, Zia tak mendengarkan penjelasan Laila. Dia terus menyeret La
Naura merasa bingung dan ketakutan ketika tiba-tiba Ratih menarik rambutnya dengan keras hingga beberapa helai terlepas. Rasa sakit yang luar biasa membuat air matanya menetes. "Mbak Ratih?" teriak Naura dengan suara parau."Aku salah apa, Mbak?" tanya Naura di sela rasa sakit yang menghinggapinya, mencoba untuk tetap tenang meski takut akan sikap Ratih yang tiba-tiba berubah.Ratih hanya menatap Naura dengan tatapan tajam yang membuat Naura semakin merasa takut. "Kau pikir kau bisa mendapatkan simpati Ferdi hanya dengan berpura-pura lemah seperti ini?" ucap Ratih dengan nada sinis dan penuh kebencian.Naura terkejut dengan ucapan Ratih. Ia tidak mengerti mengapa Ratih tiba-tiba berbicara seperti itu. Padahal sebelumnya, pelayannya itu bersikap baik dan ramah kepadanya, terutama ketika Ferdi ada di rumah ini. Namun begitu Ferdi pergi, Ratih berubah menjadi kasar dan penuh kebencian.Merasa takut dan bingung, Naura berusaha untuk berbicara dengan lembut. "Mbak, aku tidak mengerti kenap