Share

BAB 5

Bab 5

"Sayang!" seru Ferdi saat ia melihat Zia yang baru saja tiba. Wajahnya terlihat kaget mengetahui kehadiran istrinya itu.

"Ngapain tadi Kevin ke sini?" tanya Zia dengan nada ketus, kedua alisnya mengerut menunjukkan rasa curiga.

"Oh, itu, ada sedikit masalah di kantor. Tapi sudah diatasi, tenang saja!" balas Ferdi sambil tersenyum mencoba meredakan kecurigaan Zia. Ia meraih tangan istrinya dan mengelusnya lembut.

"Duduklah! Sebentar lagi kita terbang," ujar Ferdi sambil menunjukkan kursi di sampingnya.

Zia mengangguk, wajahnya masih menampakkan kebingungan. Namun, ia memutuskan untuk duduk di samping suaminya, menaruh tas kecilnya di pangkuannya. Keduanya kemudian bersiap untuk penerbangan yang akan segera dimulai, meskipun Zia masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.

Zia merasa jika suaminya lebih banyak melamun selama perjalanan. Diajak bicara pun sering tidak fokus.

"Papa!" seru Zia kesal, menghentakkan kakinya di lantai. Ia merasa frustrasi karena untuk kesekian kalinya, suaminya tidak mendengarkan ceritanya tentang pengalamannya hari itu.

"Eh... Iya... Sayang, ada apa? Turunkan nada bicara kamu!" seru Ferdi, terkejut dan sedikit gugup karena sadar baru saja mengabaikan istrinya.

Zia mengerucutkan bibirnya, merasakan kekecewaan mendalam. Ia memutuskan untuk mengabaikan suaminya dan membalas perlakuannya. Dengan ekspresi kesal, Zia pura-pura memejamkan matanya yang indah, bulu mata extension yang lentik menambah kecantikannya.

Melihat istrinya yang merajuk, Ferdi tersenyum simpul. Ia menyadari kesalahannya dan ingin menebusnya. Dengan perlahan, ia mendekati Zia, mengecup lembut kelopak mata istrinya, bergerak turun hingga akhirnya berhenti di bibir Zia.

*****

Naura duduk di sofa dengan wajah cemas, menggenggam erat ponsel Laila di tangannya. Setiap kali mencoba menghubungi orang tuanya, panggilannya selalu diabaikan. Hatinya merasa gelisah, khawatir tak bisa memberi tahu mereka tentang situasi yang dialaminya saat ini.

"La, aku boleh buka sosial mediaku dari ponsel kamu? Aku mau kirim pesan ke tetanggaku. Biar dia kasih tau ke ayah jika aku yang menghubunginya," ucap Naura dengan suara yang hampir tercekat, meminta izin pada Laila yang duduk di sebelahnya.

"Silakan, Nona," balas Laila dengan lembut, mencoba menenangkan Naura yang tampak sangat cemas.

Naura segera membuka aplikasi sosial media di ponsel Laila dan mulai mengetik pesan untuk tetangganya, berharap mereka bisa membantu menyampaikan pesan ke orang tuanya.

Wajah Naura semakin pucat, khawatir dengan keadaan orang tuanya karena tak bisa dihubungi. Di tengah ketakutannya, Naura hampir tak menyadari bahwa Laila sudah menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, berusaha memberi dukungan.

"Tenang saja, Nona. Semoga tetangga Nona bisa membantu," ujar Laila dengan nada yang penuh harap, berusaha menguatkan hati Naura yang tengah dilanda kecemasan.

"Belum dibaca juga," gumam Naura setelah menunggu satu jam setelah dia mengurim pesan ke sosial media tetangga dekat rumah orang tuanya.

Naura melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 malam. Dia merasa deg-degan dan tiba saatnya untuk menjalankan rencananya. Tiba-tiba, Naura teringat sesuatu yang bisa dijadikan alasan.

"La, aku pengen kebab, deh," ucap Naura sambil mengusap perutnya dengan lembut, seolah menciptakan ilusi bahwa itu adalah permintaan dari calon bayi dalam perutnya, padahal dia belum yakin apakah benar-benar hamil atau tidak.

"Kebab? Sepertinya ahli gizi tidak menyarankan Nona makan itu," kata Laila dengan ragu, mencoba untuk menahan Naura.

"Sekali aja, La. Aku pengen banget," bujuk Naura dengan wajah memelas, berharap Laila akan luluh dan setuju.

Mendengar rayuan tersebut, Laila menghembuskan napas kasar, seolah menyerah pada permintaan Naura. "Baiklah, Nona, akan saya belikan. Maaf, ponselnya saya ambil dulu."

Dengan sigap, Laila mengambil ponsel yang ada di tangan Naura. Naura mengangguk, berusaha untuk menutupi kegembiraan yang mulai terasa di dadanya. Rencana tersebut kini mulai berjalan, dan Naura hanya perlu menunggu saat yang tepat untuk melancarkannya.

Laila mengeluarkan dompetnya dari tas, mengambil beberapa lembar uang dan menghitungnya dengan teliti. Sementara itu, Naura yang duduk di sofa ruang tamu mengawasi setiap gerakan Laila dengan seksama. Begitu Laila menekan tombol angka di panel password pintu apartemen, Naura mengintip dari balik bahunya, menghafal angka-angka yang ditekan.

Setelah pintu apartemen terkunci dan Laila benar-benar pergi, Naura segera berdiri dan berjalan ke arah tas Laila yang tergeletak di meja makan. Dengan hati-hati, dia membuka resleting tas dan mengambil dompet Laila, mengeluarkan semua uang yang ada di dalamnya.

"Lumayan, ini cukup untuk ke rumah," gumam Naura sambil tersenyum puas. Dia merasa lega karena bisa mendapatkan uang yang cukup untuk kembali ke rumah orang tuanya, meski harus mengambilnya dari Laila.

Namun, Naura sadar bahwa tindakannya ini melanggar perintah suaminya yang melarangnya pergi dari apartemen tanpa izin. Namun, kekhawatiran terhadap orang tuanya membuat Naura nekat mengambil langkah tersebut. Dia meletakkan dompet Laila kembali ke tas, menghela napas panjang, dan menyiapkan diri untuk meninggalkan apartemen.

Sebelum pergi, Naura mengingat kembali angka-angka yang ditekan Laila tadi, lalu menekan angka-angka itu pada panel password pintu. Setelah mendengar bunyi 'klik' yang menandakan pintu terbuka, dia segera melangkah keluar dari apartemen, menutup pintu di belakangnya.

Laila telah kembali membawa kebab pesanan Naura. Dia masuk apartemen tapi tidak menemukan sosok Naura.

"Nona! Nona Naura!" teriak Laila dengan suara parau yang menggema di dalam apartemen. Tak ada jawaban, Laila pun memutuskan untuk mencoba mencari di balkon. Namun, tetap saja Naura tak ditemukan.

Dalam kebingungan, Laila melihat tasnya yang telah terbuka. Dia terkejut saat menyadari dompetnya telah raib. Rasa cemas semakin menyergap.

"Pasti Tuan marah, jika tahu Nona Naura pergi tanpa izin," gumam Laila sambil menggigit bibirnya khawatir. Dia kemudian memutuskan untuk bergegas keluar apartemen, berharap bisa menemukan Naura di sekitar apartemen sebelum terlambat.

Langkah Laila semakin cepat, sambil sesekali menoleh ke kanan dan kiri, mencoba melihat apakah Naura berada di sekitar apartemen. Mata Laila terus mencari, sementara hatinya merasa semakin gelisah dan berdebar. Harapan yang mendalam untuk menemukan Naura secepatnya membuatnya terus berusaha, meskipun rasa lelah mulai menyelimuti tubuhnya.

Dari kejauhan dia melihat Naura dibawa beberapa pria berpakaian hitam, ke dalam mobil yang dikenal oleh Laila.

"Maafkan aku, Nona. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membantumu. Seharusnya Nona patuh kepada Tuan untuk tidak keluar dari apartemen," ucap Laila pelan.

Perlahan mobil yang membawa Naura pergi menjauhi apartemen.

"Semoga Nona baik-baik saja," harapnya cemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status