Share

Bab 7. Tak Berdaya

Penulis: Silvania
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 10:40:04

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya Kota London. Emily sampai harus mencengkeram erat jok tempat ia duduk agar tubuhnya tetap aman di posisinya.

Arnold sudah seperti pembalap yang mengejar garis finis. Tidak peduli setakut apa Emily yang duduk di kursi penumpang, Arnold malah semakin menancapkan gasnya dengan membabi buta.

"Kau lihat, kan, Honey, bagaimana Emily berduaan dengan laki-laki tadi? Sebelum kau datang, mereka bahkan saling merangkul dan berciuman. Aku saja sampai jijik saat melihatnya. Beruntung kau tidak menyaksikannya!" Sarah kembali memfitnah Emily tanpa rasa takut, karena dia tahu Arnold pasti percaya padanya. Padahal, apa yang dikatakan Sarah semuanya kebohongan besar. Jelas-jelas Emily tidak hanya berdua dengan James, melainkan bertiga bersama Sera, dan Emily hanya bersalaman, tidak lebih.

Mendengar perkataan Sarah, Arnold meremas setir kemudinya untuk menyalurkan emosi yang semakin membuncah. Melihat Emily makan berdua dengan laki-laki tadi saja sudah membuat darah Arnold mendidih, apalagi saat membayangkan Emily berpelukan dan saling memberi kecupan. Rasanya Arnold ingin kembali ke tempat tadi dan menguliti laki-laki sialan yang sudah berani menyentuh istrinya.

"Tidak benar! Kami tidak hanya berdua! Ada Sera, temanku, dan aku tidak melakukan apa pun selain bersalaman dengannya! Sungguh, Arnold! Aku tidak bohong. James hanya temanku, kau bisa bertanya kepada Sera nanti," Emily menangis karena fitnahan Sarah. Kali ini Sarah sudah sangat keterlaluan.

"Dasar pembohong! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kau hanya berduaan, dan kau masih mengelak? Dasar wanita tidak tahu diuntung! Harusnya kau bersyukur kami mau membantumu. Kau malah banyak tingkah!" Bentakan Arnold membuat jantung Emily terasa mau copot. Semarah itu Arnold padanya? Bukankah Emily hanya ibu pengganti yang akan dibuang setelah melahirkan anaknya?

Di tengah perjalanan, Arnold menepikan mobilnya dan berhenti di bahu jalan.

"Turun!" ucapnya dingin. Arnold bahkan tidak mau menatap Emily yang masih menangis tersedu-sedu. Tangis Emily malah membuatnya semakin kesal.

Emily bergeming, tangisannya semakin pilu. Baru kali ini Emily mendapat perlakuan seperti ini. Setelah dipermalukan di hadapan banyak orang, kini ia difitnah dan diturunkan di jalan.

"Apa kau tidak mendengar, Emily?" Sarah ikut memerintah Emily yang tidak kunjung turun. Dalam hatinya, Sarah tengah bersorak riang. Rencananya berjalan sempurna, bahkan jauh lebih baik dari apa yang tadi sudah diaturnya.

"Aku bilang turun!" Suara Arnold semakin keras. Rahangnya mengetat, begitu pula cengkeramannya pada setir kemudi yang semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Alih-alih turun, Emily menangis semakin kencang hingga membuat Arnold semakin murka. Arnold membuka pintu mobilnya, turun, dan mengelilingi mobil. Dengan sekali sentak, ia membuka pintu kabin penumpang tempat Emily duduk. Dengan kasar, Arnold menarik tangan Emily dan memaksanya untuk turun.

"Arnold, jangan begini! Aku mohon, jangan menurunkanku di sini!"

Emily memegangi tangan Arnold, tetapi Arnold malah menepis tangannya.

"Arnold, kasihanilah aku! Aku minta maaf, tapi aku mohon jangan tinggalkan aku!" Emily kembali memohon dengan tatapan sayu. Wajahnya sudah basah oleh air mata, namun hati Arnold tampaknya sudah tertutup. Ia tidak sedikit pun peduli pada permohonan istri keduanya. Tidak mau menyerah begitu saja, Emily merangkul punggung Arnold yang hendak berlalu meninggalkannya.

"Arnold, aku mengandung anakmu! Kau boleh tidak peduli padaku, tapi setidaknya pikirkan janin yang aku kandung!"

Mendengar perkataan Emily, Arnold mematung sesaat. Tatapan matanya melemah, dan gemuruh di dadanya perlahan mereda.

Saat Arnold sedikit melemah, Sarah turun dari mobil karena terlalu lama menunggu.

"Honey, ayo cepat!" Wajah Sarah terlihat lelah. Arnold pun melepaskan pelukan Emily dan menepis tangannya hingga membuat Emily tersungkur di atas rerumputan.

Arnold bergegas masuk kembali ke dalam mobil tanpa mau memandang ke belakang. Ia lantas melajukan mobilnya, meninggalkan Emily yang memanggil-manggil namanya.

Emily masih terduduk di rerumputan dan berusaha berdiri dengan menggapai pembatas trotoar di belakangnya. Mobil Arnold sudah tidak terlihat saat Emily menyadari bahwa tasnya tertinggal di dalam mobil.

"Tasku! Tasku ada di mobil!" ucapnya panik. Ia tidak memegang apa-apa; semuanya ada di dalam tas.

Emily merogoh kantong dress-nya, siapa tahu ada uang atau sesuatu yang bisa digunakannya. Namun, kedua kantongnya kosong melompong.

Tanpa uang sepeser pun, Emily terpaksa berjalan kaki menuju kediaman Arnold. Padahal, rumah tempat tinggalnya sangat jauh, tetapi mau bagaimana lagi?

Emily berjalan pelan sambil memegangi perutnya yang terasa lapar. Ia belum sempat makan sejak Arnold menariknya tadi. Malangnya lagi, tidak hanya lapar, Emily juga kehausan setelah bertengkar dan menangis. Lengkap sudah penderitaannya.

Setelah berjalan berjam-jam, Emily akhirnya sampai di depan kediaman Arnold dengan langkah kaki terpincang-pincang. Kedua kakinya lecet, bahkan salah satu kakinya mengeluarkan darah karena luka lecet yang membesar akibat dipaksa berjalan puluhan kilometer.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam ketika ia tiba. Emily mengetuk pos penjaga agar pagar dibukakan.

Penjaga kediaman Arnold sampai mengucek-ngucek matanya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Nyonya Emily? Ini benar Nyonya Emily?" tanyanya dengan mata membelalak. Kondisi Emily tampak mengenaskan. Bibirnya pucat, matanya bengkak, dan rambutnya berantakan.

"Tolong bukakan pagarnya," pinta Emily lirih.

Penjaga bergegas membukakan pagar untuk salah satu Nyonya rumah itu.

"Nyonya tidak apa-apa?" tanyanya ingin membantu, tetapi ia sungkan jika harus memegang tubuh istri bosnya.

"Aku baik-baik saja, terima kasih," ucap Emily sambil berlalu masuk.

Perutnya lapar, tubuhnya sangat lelah, dan matanya sedikit kabur. Emily berjalan menuju dapur dan langsung meminta air minum kepada pelayan. Setelah pelayan meletakkan segelas air di hadapannya, Emily cepat-cepat menghabiskannya tanpa sisa.

"Apa aku bisa meminta makanan? Aku belum makan …."

Pelayan yang tadi memberikannya air tidak langsung menjawab. Ia tampak takut.

"Apa kau lapar, Emily?" Suara Sarah datang dari balik lemari hias, diiringi seringai jahat.

Emily mengangguk cepat. Perutnya benar-benar lapar.

"Tapi, sayang sekali, karena kau pulang terlambat, makanan sudah habis. Tak bersisa!" Sarah tersenyum puas. Ia benar-benar membuat Emily tersiksa hari ini. Rencananya berjalan mulus, bahkan di luar ekspektasinya.

Para pelayan hanya bisa menatap iba. Mereka tidak berani berbuat apa-apa karena berada di bawah ancaman Sarah.

Emily menghela napas pelan. Ia lantas berbalik dan menaiki tangga untuk kembali ke kamarnya. Emily sudah kehabisan tenaga bahkan untuk sekadar berdebat.

Sesampainya di kamar, Emily masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya yang kotor akibat debu jalanan. Ia mandi sambil terisak. Mengapa hidupnya semalang ini?

Tidak butuh waktu lama bagi Emily untuk menyelesaikan mandinya. Tubuhnya mulai terasa pegal, dan kepalanya pening. Ia harus segera beristirahat. Emily pun keluar dari kamar mandi dan memakai gaun tidurnya seperti biasa.

Lagi, ia harus mengenakan pakaian tipis itu karena piyama yang dibelinya tertinggal di restoran.

Sambil menahan perih di perut dan kakinya yang lecet, Emily membawa tubuhnya yang rapuh untuk berbaring di tempat tidur.

Dipejamkannya matanya agar bisa lelap meskipun perutnya berontak minta diisi.

Sayangnya baru saja hampir terlelap, suara pintu kamar yang terbuka membuat Emily langsung tersentak.

Jantungnya berdegup kencang kala lampu utama dinyalakan.

"Ar-Arnold?" Mata Emily tidak berkedip menatap suaminya yang semakin mendekat, dengan susah payah ditelannya salivanya. Entah apalagi yang akan terjadi setelah ini.

Yang pasti Emily benar benar pasrah.


Arnold pun berhenti tepat di sisi tempat tidur dimana Emily berbaring. "Apa yang kau katakan pada Sarah hingga dia kembali ke kamar dalam keadaan menangis?"

Suara pria itu begitu dingin dan tatapannya begitu tajam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Richardus Widodo
Bajingan lu Arnold! Anjing lu!
goodnovel comment avatar
Nurpurwaningsih Nurpurwaningsih
gilaaa emosi bacanya
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
beneeerrr....bodoh banget kejam banget jadi laki
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 228. You're Mine

    Emily mendengus pelan. Tiketnya sudah melayang karena dirobek Arnold. Ia lalu berjalan keluar dari antrean. Melihat Emily pergi dengan wajah masam, Arnold tersenyum samar. Ia segera bangkit dan mengejarnya. "Kau mau meninggalkanku, hah? Bukankah kau sudah berjanji akan berada di sisiku sampai mati? Mana janjimu, Cantik?" ucap Arnold sembari merengkuh pinggang Emily dan mengecup pipinya. Emily yang masih kesal berusaha melepaskan pelukan Arnold, namun pria itu justru semakin mengeratkannya. "Tampaknya aku harus memasungmu di rumah agar kau tidak kabur-kaburan lagi!" tambahnya sarkastik. Emily tidak menjawab. Ia terus melangkah menuju pintu keluar. Langkahnya semakin cepat karena merasa risih ditatap banyak pasang mata. "Arnold, berhenti menciumku di tempat umum seperti ini. Aku malu!" ucapnya sembari mendorong wajah Arnold menjauh. "Ini sebagai hukuman karena kau berani meninggalkanku!" "Aku tidak meninggalkanmu. Kaulah yang membuatku pergi!" Langkahnya terhenti. Matanya berk

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 227. Ikut Pulang Denganku

    Arnold kembali ke ruangannya setelah gagal membujuk Sisca. Sisca bersikeras ingin membawa kasus ini ke pihak berwajib, dan Arnold pun tidak tinggal diam. Ia percaya sepenuhnya pada istrinya, hanya saja sejak awal Arnold berharap semuanya bisa diselesaikan secara baik-baik tanpa keributan. "Aku memohon demi istriku. Apa dia pikir aku lebih percaya orang yang baru kukenal daripada istriku sendiri yang telah menemaniku bertahun-tahun?" gumam Arnold sepanjang lorong menuju ruangannya. Saat memasuki ruang kantor, mata Arnold terpaku pada kunci mobil dan black card yang tergeletak di atas meja. Ia langsung berlari untuk memastikan bahwa yang dilihatnya benar-benar milik Emily. "Jangan bilang kau mau pergi meninggalkanku!" Arnold meremas black card itu hingga patah menjadi dua. Tanpa pikir panjang, ia bergegas keluar sambil menghubungi Robert. “Iya, Tuan!” “Cari keberadaan Emily. Dia kabur. Cek namanya di semua maskapai, pastikan tidak ada yang terlewat!” Arnold langsung memutus pa

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 226. Fitnah Sisca

    Sisca keluar dari ruangan Presdir dengan senyum kemenangan di bibirnya. "Beruntung sekali hari ini aku membawa bekal. Sesuatu yang tidak aku rencanakan justru memuluskan jalanku untuk membuat Emily salah paham. Aku tidak sabar ingin menceritakan kejadian pagi ini kepada Sarah. Dia pasti akan memujiku dan memberiku banyak uang!" Sementara itu, di ruangannya, Arnold yang menyadari perubahan ekspresi wajah Emily segera memeluknya. "Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Aku tidak akan lama, oke?" Emily menjawab dengan anggukan. Meski hatinya terasa sesak, ia berusaha menahannya. "Aku tidak akan lama. Aku akan minta Sisca mengantarkan minuman untukmu. Ingat, jangan ke mana-mana!" tegas Arnold sambil berlalu meninggalkan Emily. Emily tetap duduk di tempatnya sambil menatap kosong ke arah sofa tempat Arnold tadi duduk menikmati sarapan dari Sisca. "Dulu kau tidak mau makan sembarangan, tapi kini dengan mudahnya kau memakan bekal buatan asistenmu. Arnold, ada apa denganmu?" gumamnya pel

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 225. Menenangkan Diri

    Emily duduk bersimpuh di antara dua nisan orang tuanya setelah menaburkan bunga. “Papa, Mama, Emily rindu…” Tanpa bisa ditahan, butiran air mata mengalir deras di kedua pipinya. Pandangannya mulai kabur. “Sebentar lagi Emily akan menjadi seorang ibu. Ternyata tidak mudah mengandung seorang bayi, Ma. Sekarang Emily bisa merasakan betapa beratnya Mama dulu saat mengandung Emily.” Emily mencurahkan isi hatinya. Tak ada teman yang bisa diajak bicara seperti kedua orang tuanya—yang mencintainya tanpa syarat. “Mama, terima kasih untuk cinta dan kasih sayangnya. Papa, terima kasih telah menjadi ayah yang berjuang tanpa lelah membesarkan Emily.” Ia bangkit perlahan dari duduknya. Kepalanya sedikit pusing karena terlalu lama menangis. “Papa, Mama… Emily pamit dulu. Mungkin Emily akan sering ke sini. Dan… maafkan Emily karena telah mencintai laki-laki yang salah.” Dengan berat hati, Emily melangkah meninggalkan makam orang tuanya. Perasaannya sedikit lega setelah mencurahkan isi hatinya

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 224. Firasat Seorang Istri

    Arnold menghela napas pelan. Dia sebenarnya paling tidak suka ditekan. "Bukan tidak mau, tapi aku hanya menjaga apa yang sudah Papa William atur di Maurer. Mungkin aku bisa saja mengganti semua karyawannya, tapi harus dengan alasan yang jelas. Tidak mungkin, kan, aku memecat Sisca hanya karena istriku cemburu." Arnold mencubit pelan pipi Emily yang tampak chubby. Sejak hamil, Emily memang menjadi lebih sensitif. Emily mengangguk. Ia kecewa, namun cukup tahu diri untuk tidak ikut campur lebih dalam ke dunia kerja Arnold. "Nanti aku akan mengenalkan Sisca, biar kamu tidak berpikiran kalau aku bermain di belakangmu." Diusapnya pipi Emily. Arnold bahkan tidak pernah terpikir untuk menduakan istrinya, saking cintanya pada Emily. Emily melanjutkan makannya dengan perasaan dongkol. Yang membuat Emily semakin kesal, Arnold mulai meninggalkan kebiasaan saat makan bersama. Biasanya, Arnold tidak akan pergi sebelum makanan di piring Emily habis. Namun kali ini, dia pergi tanpa menunggu Emi

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 223. Kolaborasi Sisca dan Sarah

    "Sukses?" tanya Sarah tanpa basa-basi. "Sepertinya begitu. Semua yang kau katakan tentang Arnold benar adanya. Dia gampang sekali dibodohi." "Aku bersamanya cukup lama sebelum wanita licik itu merebutnya dariku. Jadi, sudah pasti aku tahu semua tentang dirinya. Hal sekecil apa pun aku tahu, Sisca. Jadi, kau hanya perlu mengikuti arahanku!" jawabnya sambil tertawa puas. "Tapi awalnya aku sungguh kesal. Dia membentakku, Sarah. Dia sangat menyebalkan, padahal ayahnya tidak pernah bersikap kasar padaku." "Dia memang arogan, tapi hanya di awal. Dengan mempertahankan sikap polosmu itu, aku yakin dia akan tunduk padamu. Dan pastikan kau tidak gagal. Dengan bersikap polos seperti itulah Emily merebut Arnold dariku, dan sekarang dia harus merasakan bagaimana rasanya suami yang dicintainya direbut oleh orang lain—dengan cara licik seperti yang dia lakukan dulu!" "Tenang saja, Sarah. Kau cukup duduk manis dan mempercayakan semuanya kepadaku. Ngomong-ngomong, Arnold sangat tampan. Kau y

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 222. Tendangan Pertama

    "Kapan suamiku pulang?" tanya Emily kepada sopirnya. "Saya kurang tahu, Nyonya. Tapi saat saya berangkat menjemput Nyonya tadi, Tuan belum datang." Emily mengangguk. Ia pun turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. "Sayang, maafkan aku!" Kedatangan Emily langsung disambut oleh Arnold di depan pintu. Ia masih mengenakan jasnya; rupanya, ia juga baru saja pulang. Emily tidak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Arnold karena terlalu kesal. Namun, baru beberapa langkah menjauh, Arnold memeluknya dari belakang. "Tunggu sebentar, aku bisa menjelaskannya," bisiknya lirih. Emily masih diam. Ia terlanjur kecewa dan enggan menjawab. "Saat aku hendak menyusulmu ke klinik, Sisca pingsan. Hanya ada aku dan dia di dalam lift. Kami pulang agak telat karena menyelesaikan beberapa laporan proyek. Aku terpaksa membawanya ke rumah sakit, dan sialnya, baterai ponselku habis. Aku lupa mengecasnya." 'Sisca? Aku tidak mengenalnya,' batin Emily. Ingin sekali bertanya, namun ia menahannya.

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 221. Kemana Dia?

    Emily mengurungkan niat untuk meletakkan jas Arnold ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia menaruhnya di atas buffet, lalu menghampiri Arnold yang tengah terlelap hanya mengenakan boxer. Ditelitinya wajah dan tubuh suaminya, namun tidak ada yang mencurigakan. ‘Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Arnold tidak mungkin macam-macam, apalagi ada Robert. Robert tidak akan membiarkannya berbuat yang tidak-tidak di belakangku,’ batinnya, mencoba menenangkan diri. Tidak baik berprasangka buruk, apalagi suaminya selalu memberinya kabar ke mana pun dia pergi. Emily merebahkan tubuh di samping Arnold dan ikut tertidur. --- Pagi menyapa. Emily mengerjapkan mata perlahan saat merasakan sesuatu menggelitik perutnya. Karena matanya masih berat, ia hanya menyentuh perutnya yang ternyata sudah terbuka. "Tidurmu nyenyak, Sayang?" suara serak Arnold langsung membuat mata Emily terbuka sempurna. "Kau sudah lama bangun?" "Lumayan. Aku menunggumu bangun, tapi kau tampak sangat lelap, jadi aku tidak teg

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 220. Kelebihan Sisca

    Terdengar helaan napas pelan. Belum satu jam Arnold berada di Maurer, Sisca sudah berkali-kali mendapat teguran dari atasan barunya itu. "Apa kau tuli?" tanya Arnold yang sejak tadi menunggu jawaban dari Sisca, namun belum juga mendapat respons. Sisca segera mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan memakai pakaian yang lebih tertutup mulai besok," janjinya. Padahal, hampir semua pakaiannya mini. Mau tak mau, Sisca harus berbelanja pakaian baru. "Ya sudah, kau boleh keluar." Sisca mundur perlahan sebelum akhirnya keluar dari ruangan Presdir. Sesampainya di meja kerjanya, Sisca menghempaskan tubuh ke kursi dan memejamkan mata. Dia menghela napas berat. "Dimarahi Tuan Arnold?" tanya Gwen, yang sudah sangat mengenal watak Arnold. Pengalaman bekerja bersamanya beberapa tahun lalu membuat Gwen tahu betul apa yang disukai dan tidak disukai Arnold. "Hmm." "Makanya, jangan kecentilan!" kelakar Gwen sambil meletakkan tumpukan file di atas meja. "Aku nggak centil. Aku bahkan datang pagi-pagi

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status