Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya Kota London. Emily sampai harus mencengkeram erat jok tempat ia duduk agar tubuhnya tetap aman di posisinya.
Arnold sudah seperti pembalap yang mengejar garis finis. Tidak peduli setakut apa Emily yang duduk di kursi penumpang, Arnold malah semakin menancapkan gasnya dengan membabi buta. "Kau lihat, kan, Honey, bagaimana Emily berduaan dengan laki-laki tadi? Sebelum kau datang, mereka bahkan saling merangkul dan berciuman. Aku saja sampai jijik saat melihatnya. Beruntung kau tidak menyaksikannya!" Sarah kembali memfitnah Emily tanpa rasa takut, karena dia tahu Arnold pasti percaya padanya. Padahal, apa yang dikatakan Sarah semuanya kebohongan besar. Jelas-jelas Emily tidak hanya berdua dengan James, melainkan bertiga bersama Sera, dan Emily hanya bersalaman, tidak lebih. Mendengar perkataan Sarah, Arnold meremas setir kemudinya untuk menyalurkan emosi yang semakin membuncah. Melihat Emily makan berdua dengan laki-laki tadi saja sudah membuat darah Arnold mendidih, apalagi saat membayangkan Emily berpelukan dan saling memberi kecupan. Rasanya Arnold ingin kembali ke tempat tadi dan menguliti laki-laki sialan yang sudah berani menyentuh istrinya. "Tidak benar! Kami tidak hanya berdua! Ada Sera, temanku, dan aku tidak melakukan apa pun selain bersalaman dengannya! Sungguh, Arnold! Aku tidak bohong. James hanya temanku, kau bisa bertanya kepada Sera nanti," Emily menangis karena fitnahan Sarah. Kali ini Sarah sudah sangat keterlaluan. "Dasar pembohong! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kau hanya berduaan, dan kau masih mengelak? Dasar wanita tidak tahu diuntung! Harusnya kau bersyukur kami mau membantumu. Kau malah banyak tingkah!" Bentakan Arnold membuat jantung Emily terasa mau copot. Semarah itu Arnold padanya? Bukankah Emily hanya ibu pengganti yang akan dibuang setelah melahirkan anaknya? Di tengah perjalanan, Arnold menepikan mobilnya dan berhenti di bahu jalan. "Turun!" ucapnya dingin. Arnold bahkan tidak mau menatap Emily yang masih menangis tersedu-sedu. Tangis Emily malah membuatnya semakin kesal. Emily bergeming, tangisannya semakin pilu. Baru kali ini Emily mendapat perlakuan seperti ini. Setelah dipermalukan di hadapan banyak orang, kini ia difitnah dan diturunkan di jalan. "Apa kau tidak mendengar, Emily?" Sarah ikut memerintah Emily yang tidak kunjung turun. Dalam hatinya, Sarah tengah bersorak riang. Rencananya berjalan sempurna, bahkan jauh lebih baik dari apa yang tadi sudah diaturnya. "Aku bilang turun!" Suara Arnold semakin keras. Rahangnya mengetat, begitu pula cengkeramannya pada setir kemudi yang semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. Alih-alih turun, Emily menangis semakin kencang hingga membuat Arnold semakin murka. Arnold membuka pintu mobilnya, turun, dan mengelilingi mobil. Dengan sekali sentak, ia membuka pintu kabin penumpang tempat Emily duduk. Dengan kasar, Arnold menarik tangan Emily dan memaksanya untuk turun. "Arnold, jangan begini! Aku mohon, jangan menurunkanku di sini!" Emily memegangi tangan Arnold, tetapi Arnold malah menepis tangannya. "Arnold, kasihanilah aku! Aku minta maaf, tapi aku mohon jangan tinggalkan aku!" Emily kembali memohon dengan tatapan sayu. Wajahnya sudah basah oleh air mata, namun hati Arnold tampaknya sudah tertutup. Ia tidak sedikit pun peduli pada permohonan istri keduanya. Tidak mau menyerah begitu saja, Emily merangkul punggung Arnold yang hendak berlalu meninggalkannya. "Arnold, aku mengandung anakmu! Kau boleh tidak peduli padaku, tapi setidaknya pikirkan janin yang aku kandung!" Mendengar perkataan Emily, Arnold mematung sesaat. Tatapan matanya melemah, dan gemuruh di dadanya perlahan mereda. Saat Arnold sedikit melemah, Sarah turun dari mobil karena terlalu lama menunggu. "Honey, ayo cepat!" Wajah Sarah terlihat lelah. Arnold pun melepaskan pelukan Emily dan menepis tangannya hingga membuat Emily tersungkur di atas rerumputan. Arnold bergegas masuk kembali ke dalam mobil tanpa mau memandang ke belakang. Ia lantas melajukan mobilnya, meninggalkan Emily yang memanggil-manggil namanya. Emily masih terduduk di rerumputan dan berusaha berdiri dengan menggapai pembatas trotoar di belakangnya. Mobil Arnold sudah tidak terlihat saat Emily menyadari bahwa tasnya tertinggal di dalam mobil. "Tasku! Tasku ada di mobil!" ucapnya panik. Ia tidak memegang apa-apa; semuanya ada di dalam tas. Emily merogoh kantong dress-nya, siapa tahu ada uang atau sesuatu yang bisa digunakannya. Namun, kedua kantongnya kosong melompong. Tanpa uang sepeser pun, Emily terpaksa berjalan kaki menuju kediaman Arnold. Padahal, rumah tempat tinggalnya sangat jauh, tetapi mau bagaimana lagi? Emily berjalan pelan sambil memegangi perutnya yang terasa lapar. Ia belum sempat makan sejak Arnold menariknya tadi. Malangnya lagi, tidak hanya lapar, Emily juga kehausan setelah bertengkar dan menangis. Lengkap sudah penderitaannya. Setelah berjalan berjam-jam, Emily akhirnya sampai di depan kediaman Arnold dengan langkah kaki terpincang-pincang. Kedua kakinya lecet, bahkan salah satu kakinya mengeluarkan darah karena luka lecet yang membesar akibat dipaksa berjalan puluhan kilometer. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam ketika ia tiba. Emily mengetuk pos penjaga agar pagar dibukakan. Penjaga kediaman Arnold sampai mengucek-ngucek matanya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Nyonya Emily? Ini benar Nyonya Emily?" tanyanya dengan mata membelalak. Kondisi Emily tampak mengenaskan. Bibirnya pucat, matanya bengkak, dan rambutnya berantakan. "Tolong bukakan pagarnya," pinta Emily lirih. Penjaga bergegas membukakan pagar untuk salah satu Nyonya rumah itu. "Nyonya tidak apa-apa?" tanyanya ingin membantu, tetapi ia sungkan jika harus memegang tubuh istri bosnya. "Aku baik-baik saja, terima kasih," ucap Emily sambil berlalu masuk. Perutnya lapar, tubuhnya sangat lelah, dan matanya sedikit kabur. Emily berjalan menuju dapur dan langsung meminta air minum kepada pelayan. Setelah pelayan meletakkan segelas air di hadapannya, Emily cepat-cepat menghabiskannya tanpa sisa. "Apa aku bisa meminta makanan? Aku belum makan …." Pelayan yang tadi memberikannya air tidak langsung menjawab. Ia tampak takut. "Apa kau lapar, Emily?" Suara Sarah datang dari balik lemari hias, diiringi seringai jahat. Emily mengangguk cepat. Perutnya benar-benar lapar. "Tapi, sayang sekali, karena kau pulang terlambat, makanan sudah habis. Tak bersisa!" Sarah tersenyum puas. Ia benar-benar membuat Emily tersiksa hari ini. Rencananya berjalan mulus, bahkan di luar ekspektasinya. Para pelayan hanya bisa menatap iba. Mereka tidak berani berbuat apa-apa karena berada di bawah ancaman Sarah. Emily menghela napas pelan. Ia lantas berbalik dan menaiki tangga untuk kembali ke kamarnya. Emily sudah kehabisan tenaga bahkan untuk sekadar berdebat. Sesampainya di kamar, Emily masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya yang kotor akibat debu jalanan. Ia mandi sambil terisak. Mengapa hidupnya semalang ini? Tidak butuh waktu lama bagi Emily untuk menyelesaikan mandinya. Tubuhnya mulai terasa pegal, dan kepalanya pening. Ia harus segera beristirahat. Emily pun keluar dari kamar mandi dan memakai gaun tidurnya seperti biasa. Lagi, ia harus mengenakan pakaian tipis itu karena piyama yang dibelinya tertinggal di restoran. Sambil menahan perih di perut dan kakinya yang lecet, Emily membawa tubuhnya yang rapuh untuk berbaring di tempat tidur. Dipejamkannya matanya agar bisa lelap meskipun perutnya berontak minta diisi. Sayangnya baru saja hampir terlelap, suara pintu kamar yang terbuka membuat Emily langsung tersentak. Jantungnya berdegup kencang kala lampu utama dinyalakan."Ar-Arnold?" Mata Emily tidak berkedip menatap suaminya yang semakin mendekat, dengan susah payah ditelannya salivanya. Entah apalagi yang akan terjadi setelah ini.
Yang pasti Emily benar benar pasrah.
Arnold pun berhenti tepat di sisi tempat tidur dimana Emily berbaring. "Apa yang kau katakan pada Sarah hingga dia kembali ke kamar dalam keadaan menangis?"
Suara pria itu begitu dingin dan tatapannya begitu tajam.
Emily lebih banyak diam setelah tahu dirinya kembali hamil. Pikirannya bercampur aduk, tubuhnya pun terasa lebih cepat lelah dari biasanya. Yang membuat hatinya makin sedih, Cassie menolak minum ASI langsung darinya. Setiap kali didekatkan, Cassie hanya merengek, lalu menepis lembut seolah enggan.Demi kebaikan Cassie dan juga Emily, Nyonya Ruby akhirnya memberikan saran."Lebih baik Cassie diberi susu formula saja, Em. Dengan begitu lebih mudah juga untuk babysitter nanti membantu merawat Cassie. Apalagi trimester pertama kehamilanmu pasti berat."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh pertimbangan.Emily hanya mengangguk lemah. Ia tahu mertuanya benar, meski tetap saja ada perasaan bersalah dalam hatinya karena tak bisa lagi memberi ASI langsung."Ma, Emily mau istirahat dulu," ucap Emily lirih setelah selesai makan malam. Tubuhnya sudah benar-benar lelah."Istirahatlah, Nak. Cassie biar Mama yang jaga malam ini," jawab Nyonya Ruby dengan penuh kasih.Malam itu, Nyonya Ruby memutuskan
"itu, ini maksudnya buat Cassie. Kan Cassie masih makan darimu, masih minum ASI-mu, jadi secara tidak langsung vitamin itu juga masuk ke dalam tubuh Cassie."Nada suara Nyonya Ruby lembut, penuh perhatian seperti biasa.Emily menganggukkan kepalanya pelan. Ia tahu betul, wanita paruh baya itu memang selalu begitu. Sejak dulu, sejak kehamilan pertamanya yang berakhir dengan kehilangan, Nyonya Ruby tidak pernah berhenti memperhatikannya. Hampir setiap bulan membawakan vitamin, suplemen, bahkan makanan bergizi, seolah ingin memastikan menantunya tidak kekurangan apa pun."lihat, cucuku kehausan. Beri ASI dulu," ucap Nyonya Ruby sambil menyodorkan Cassie kecil yang merengek.Emily segera menyambut bayinya. Dengan hati-hati ia menyusui Cassie. Tangisan mungil itu perlahan mereda, berganti dengan suara isapan kecil yang tenang. Emily tersenyum samar, perasaan lelahnya sedikit terobati setiap kali melihat wajah polos putrinya.Setelah Cassie tertidur dengan kenyang, Nyonya Ruby kembali menga
Arnold keluar dari kamar dengan langkah terburu, perasaannya campur aduk, di sisi lain ia takut, tapi sisi lainnya Arnold juga bahagia. Ia segera mengambil ponsel dari meja ruang tamu, menekan nomor ibunya, lalu menempelkan ponsel ke telinga.“Mama, Emily… dia hamil lagi,” ucap Arnold pelan, nadanya terdengar hati-hati. Selain ingin memberi kabar, ia juga bermaksud bertanya bagaimana cara merawat istri yang sedang hamil dalam kondisi masih menyusui.Namun, belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, panggilan tiba-tiba terputus begitu saja. Arnold menatap layar ponsel dengan dahi berkerut.“Mama ini suka seenaknya,” desahnya pelan, menghela napas panjang.Ia pun kembali melangkah ke kamarnya. Saat masuk, pandangannya menyapu sofa kosong—Emily tidak ada di sana. Hatinya langsung berdesir cemas. Arnold bergegas menuju kamar mandi, mengetuk pintu dengan sedikit panik.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Emily keluar dengan wajah pucat pasi, matanya sayu seakan menahan rasa lelah luar biasa.
Emily mengangguk pelan, bibirnya mengulas senyum tipis. "Ayo kita makan sekarang," ajaknya lembut sambil menggenggam tangan Arnold dan menariknya keluar dari kamar. Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan yang tampak hangat oleh cahaya lampu gantung berwarna kekuningan. Sesampainya di meja makan, Emily hendak menarik kursi untuk dirinya sendiri, namun Arnold segera bergegas mendahuluinya. Ia dengan cekatan menarik kursi itu dan menuntun Emily untuk duduk. Tidak hanya itu, ia juga mengambilkan sendok dan garpu, lalu menyendokkan makanan ke piring istrinya. Gerakan sederhana itu membuat Emily terdiam sejenak, matanya berkedip tak percaya. "Aku masih bisa mengambil sendiri, sayang," ujarnya dengan nada tersipu, pipinya bersemu merah karena sikap manis Arnold yang jarang ia lihat sebelumnya. Arnold tersenyum hangat, menatapnya penuh perhatian. "Tidak apa-apa. Sesekali aku melayanimu. Lagi pula kau baru keluar dari rumah sakit," katanya tulus. Ia lalu duduk di kursinya sete
"Hamil? Tidak, aku belum siap. Kasihan Cassie." Emily mengusap wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Hatinya terasa sesak, antara bahagia sekaligus takut. Ia masih sering merasa kewalahan hanya dengan satu bayi kecil di rumah. Arnold tidak lagi bertanya. Ia memahami betul kegelisahan istrinya. Satu anak saja sudah membuat Emily begadang hampir setiap malam, apalagi jika benar ada satu lagi yang akan lahir. Bukannya mereka tidak mampu mencari bantuan atau menyewa babysitter, tetapi Emily selalu bersikeras ingin merawat Cassie dengan tangannya sendiri. Dia memang tidak bisa percaya pada orang lain. Hanya Sally—sahabatnya yang baik dan penyayang—yang bisa diberinya kepercayaan untuk sesekali menjaga Cassie. Selain itu, Emily menutup rapat pintu hatinya pada kemungkinan menitipkan buah hati mereka pada orang lain. "Tapi kalau ternyata hamil lagi, apakah kamu akan menggugurkannya?" suara Arnold lirih, seakan ragu mengucapkannya. Emily menoleh cepat, sorot matanya tegas. "Tentu
"Sayang," panggil Emily dengan suara lemah.Arnold menggeliat perlahan, matanya masih berat tertutup kantuk. Ia bangkit dari posisi tertunduk di samping tempat tidur dan duduk menyandar ke kursi. "Sayang, haus," lirih Emily lagi.Arnold segera berdiri. Dengan langkah pelan ia mengambil air dari teko di meja kecil. Segelas air putih ia tuangkan, lalu mendekat dan membantu Emily meminumnya perlahan. Emily meminum habis segelas itu dalam beberapa tegukan.Setelah meletakkan gelas kembali ke meja, Arnold langsung memeluk istrinya erat-erat. Ada rasa syukur dalam pelukannya, karena kini ia bisa merasakan kehangatan tubuh Emily yang kembali sadarkan diri."Apa yang kau rasakan? Apa kau masih sakit?" tanyanya pelan, sambil mengusap punggung Emily dengan lembut.Emily menggeleng, "Sudah tidak lagi. Apa tadi malam aku pingsan?""Iya, kau pingsan hingga membuatku takut setengah mati."Mata Emily membesar. "Di mana Cassie? Apa dia di rumah? Sayang cepat hubungi Sally. Aku ingin melihat putriku."