Home / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 41. Jangan ada Air Mata

Share

Bab 41. Jangan ada Air Mata

Author: Clau Sheera
last update Huling Na-update: 2025-05-04 16:42:49

Di sebuah mall, Maura dan Dewangga berjalan bersisian dengan sedikit jarak di antara keduanya. Sebenarnya Mauralah yang sengaja menjaga jarak. Lebih tepatnya menjaga jarak agar hatinya tak menjadi goyah dan berdebar-debar tak karuan.

“Hadiah apa yang akan kita beli buat mama?” Dewangga membuka suara.

Maura menghela napasnya. “Kamu salah bertanya, Dewangga. Aku nggak tahu selera mama Laura. Kenapa kamu nggak pergi sama Alena aja?”

“Dia mungkin udah nunggu—”

“Dewangga?” Seorang wanita cantik yang berjalan berpapasan dengan mereka menyapa tiba-tiba dan berhenti di depan Dewangga dengan wajah antusias. Di tangannya terdapat beberapa kantong belanjaan. “Apa kabar? Udah lama kita nggak ketemu.”

Dewangga menghentikan langkahnya dengan raut wajah terkejut, Maura pun ikut berhenti.

“Sandrina?” Pria itu menyebut namanya.

Wanita bernama Sandrina itu tertawa renyah, terlihat sangat senang karena masih dikenali oleh Dewangga.

Sementara Maura memperhatikan ekspresi keduanya dan membaca situasi. Se
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 72. Wanita Pengacau Pikiran

    Maura terburu-buru menuruni tangga dan berdiri di depan pintu.Di luar sana, Dewangga masih mengetuk, menunggu Maura membukakan pintunya.“Maura, buka pintunya!”“Nggak, Dewangga. Aku bilang, aku nggak leluasa ketemu siapapun,” ujar wanita itu, yang berdiri dengan gugup sambil menatap pintu yang terkunci.Ketukan di pintu berhenti.“Maura, kita harus membicarakan masalah semalam sampai jelas,” kata Dewangga dengan suara yang lebih rendah.“Masalah semalam udah jelas, Dewangga. Kita lupain aja semuanya,” ucap Maura sambil menelan ludahnya dan berjalan semakin mendekati pintu.“Lupain? Kamu benar-benar lupa kejadian semalam?” Suara Dewangga kali ini lebih rendah lagi, namun masih terdengar jelas.Maura bersandar di pintu, sambil menoleh ke samping seolah dia bisa melihat sosok pria itu di balik tubuhnya.“Aku nggak ingat,” jawab wanita itu sambil meremas ujung roknya. “Aku nggak tahu kenapa bisa ada di ka

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 71. Pilih Mana?

    [Dewangga: Aku bersyukur kamu datang di saat yang tepat.] [Dewangga: Aku harus pergi.] [Dewangga: Ada urusan penting yang harus dilakukan.] Narendra membaca tiga baris pesan dari Dewangga yang baru masuk beberapa menit lalu, saat dia dan rombongan tur tengah mampir di sebuah restoran untuk makan siang. Tak jelas ada urusan apa, tapi Narendra yakin ini ada kaitannya dengan Maura karena sejak pagi dia tak bisa menghubungi wanita itu. Entah apa yang terjadi antara mereka, dia hanya berharap Dewangga akan lebih menghargai Maura. Dia juga berharap, masalah apapun yang terjadi di antara mereka, bisa diselesaikan dengan baik. “Pak Naren, bu Maura sama pak Dewangga punya agenda tersendiri, ya? Sampai-sampai nggak ikut kita semua jalan-jalan?” tanya Mawar, mengalihkan perhatian pria itu dari ponselnya. Narendra tersenyum ramah dan mengangguk sebagai jawaban, sambil memasukk

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 70. Rasa yang Tertinggal

    Maura mengerutkan alisnya saat rasa perih dan sakit di intinya mengusik tidur lelapnya. Wanita yang hampir tak bisa menggerakkan ujung jarinya itu membuka matanya perlahan. Pandangan pertamanya tertuju pada langit-langit kamar yang remang, disusul rasa sakit yang kian mengganggu, lalu rasa dingin di permukaan kulitnya yang terbuka. Ada yang tak beres. Ada apa dengan tubuhnya? Mengapa sangat sulit digerakkan? Dan mengapa dia tidur tanpa pakaian? Rasanya …. Maura membeku saat dia menoleh ke samping. Dilihatnya seorang pria tidur terlentang di sisinya, dengan wajah yang sedikit menoleh ke arahnya. Diantara ruangan yang remang-remang, dia mengenal wajah itu. Tidak! Maura memaksakan diri untuk duduk meski tubuhnya sulit digerakkan. Wanita itu menutup mulutnya, menatap Dewangga yang tidur lelap tanpa pakaian di bawah selimut yang sama yang ia kenakan. Maura memastikan lagi tubuhnya yang tanpa busana. Lalu pandangannya berkeliling melihat pakaiannya yang berceceran bersama pakaian D

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 69. Malam itu ....

    “Aku mau lagi lemon drop-nya, Riaa ….” Maura tertawa-tawa kecil sambil memeluk sebuah gelas bir yang isinya hampir habis, sementara Ria dan Devina sedikit kewalahan membujuk Maura di lorong hotel untuk segera membawanya beristirahat.“Udah, Bu … udah …,” bujuk Ria untuk yang kesekian kalinya. “Ini lemon drop-nya biasanya nggak pake gelas segede gini, Bu. Gelasnya, ‘kan, biasanya kecil. Bu Maura udah ngabisin banyak.”“Tapi aku mau lagiii ….”Devina dan Ria sama-sama menghela napas.“Tahu begini, tadi kita nggak usah ngajakin bu Maura, ya, Ria,” keluh Devina sambil menuntun Maura yang sempoyongan dibantu Ria.“Iya, lah. Mana aku tahu kalau bu Maura nggak tahan alkohol,” ujar Ria sambil menopang tubuh Maura dari sisi lain. “Lagian, masa sih, pak Zefan nggak tahu kalau toleransi alkohol bu Maura rendah banget?”“Iya, ya. Pak Dewangga juga tadi nggak bilang apa-apa, tuh,” kata Devina heran.“Marah nggak, ya, pak Dewangga lihat istrinya mabuk gini?” tanya Ria cemas.“Nggak tahu, lah. Yang

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 68. Lemon Drop

    Perjalanan malam menggunakan bus cukup tenang. Meski jam masih menunjukkan waktu pukul sepuluh lebih beberapa menit, beberapa orang sudah tertidur termasuk Maura yang sejak pagi harus bekerja hingga sore. Wanita itu bersandar pada sebuah bantal leher yang diberikan Mawar untuknya, tanpa selimut dan hanya mengenakan jaket jeans sementara udara dalam bus cukup dingin. “Apa ada selimut tambahan?” tanya Dewangga dengan suara rendah pada Zefan yang duduk di deretan kursi sebelah kanan, tepat di sebelahnya. “Buat Nyonya Maura?” tebak pria itu yang duduk bersebelahan dengan Mawar yang sudah tidur. “Ya.” “Nggak ada, Bos, cuma ada itu aja.” Zefan menggeleng sambil menunjuk selimut di pangkuan Dewangga. “Anda nggak nyiapin selimut tambahan, ya?” “Kalau saya harus repot-repot nyiapin selimut tambahan, apa gunanya kamu sebagai asisten?” gerutu Dewangga. Zefan memberikan cengiran lebar. “Anda bisa berbagi selimut kalau gitu. Saya juga berbagi selimut sama Mawar,” ujarnya sambil menguap, la

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 67. Liburan

    “Menikahlah dengan Dewangga.”Satu kalimat yang dilontarkan oma Ambar itu meruntuhkan sunyi, namun membangun keraguan di hati Maura.Maura mendongak, menatap wanita baya yang masih cantik dan anggun itu, yang duduk di sofa tepat di depannya sambil tersenyum menikmati secangkir teh hangat yang terhidang.Sudah empat hari berlalu sejak saat itu. Dia pun sudah menjelaskan detail kejadian menurut ingatannya. Bahkan dia sudah melakukan visum.Tak ada aktivitas fisik yang dicurigai. Tak ada kejadian apapun. Mereka murni hanya tidur bersama walau tanpa sehelai benangpun.Meski begitu, Dewangga tetap marah padanya.“Oma, tapi ‘kan menurut keterangan dokter, aku ….”“Oma tahu.” Oma Ambar mengangguk, masih tersenyum. “Tapi Maura, kalau kejadian ini bocor ke publik, citra keluarga kita akan rusak. Dan kemungkinan buruk, bisa berdampak pada perusahaan yang tengah dikelola Dewangga sekarang. Ini semua bukan demi oma atau siapapun, tapi demi kebaikan Dewangga. Kamu mau, 'kan, nikah sama dia?”Maura

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status