"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius."
Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan. "Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur. Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega. "Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Oma kira kamu nggak mau kenal lagi sama oma," gerutu Oma Ambar sambil duduk. "He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal. "Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus sambil menatap penampilan wanita itu. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya? Cuma seoles, pula." "Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu, tapi juga senang karena wanita tua itu terlihat perhatian padanya. "Tapi beneran, kok. Kamu lebih cantik begini. Jadi nanti nggak usah pakai makeup tebal lagi, ya," pinta Oma Ambar senang. "Alena jauh lebih cantik, Oma," kata Maura sambil melirik Dewangga. "Ya, dia memang cantik. Tapi oma lebih senang lihat kecantikan kamu," ujar oma Ambar sambil mengusap rambut Maura. "Oma datang sama siapa ke sini?" tanya Maura mengganti topik pembicaraan, sebelum hidungnya terbang. "Gimana kabar Oma?" "Oma baik. Oma datang sama Yanti, diantar sopir taksi online," jawab wanita tua itu sambil menunjuk seorang wanita muda berpenampilan sederhana yang menenteng sebuah tas milik oma Ambar yang berdiri di samping Mia. Dari seragamnya, Maura tahu orang yang bernama Yanti itu pasti perawat yang merawat oma Ambar. "Aku kira Oma datang ke sini sama Dewangga." "Enggak. Dewangga tuh, tiba-tiba aja pulang dari kantor pas tahu oma mau ke sini." Oma Ambar menunjuk Dewangga yang baru duduk dengan dagunya. "Tapi, kok, tumben kamu gak manggil Dewangga dengan sebutan mas?" "Eh?" Maura sedikit terkejut dan melirik pria itu. "Kenapa memangnya, Oma?" tanya Dewangga sambil melepaskan jas dan meletakkannya di sandaran kursi. "Cuma masalah panggilan saja dan tak ada yang salah sebenarnya." "Ya, emang nggak salah. Tapi bukannya lebih baik kalau istrimu memanggilmu dengan sebutan mas?" "He, he, he ... iya, Oma. Aku yang salah," ujar Maura mengalah. Mana dia tahu sebelumnya dia memanggil apa pada Dewangga. "Oh, iya, Mia. Ajak Yanti makan camilan di belakang, ya." "Baik, Nyonya," jawab Mia sambil mengajak Yanti pergi. "Kamu, tuh, ya. Udah datang dari Perancis kemarin kenapa nggak langsung ke rumah oma? Udah nggak mau ketemu lagi sama oma?" tanya oma Ambar sambil menepuk punggung tangan Maura perlahan. "Bukan begitu, Oma. Kemarin aku sampai di sini pagi-pagi benget dan langsung tidur karena capek," jawab Maura sambil duduk di kursi sebelah oma Ambar. "Siangnya ... aku pergi ke rumah papa." Oma Ambar dan Dewangga serempak menatapnya. "Lho? Ngapain kamu ke rumah papamu? Bukannya kalian nggak pernah akur?" tanya oma Ambar terkejut. Tak pernah akur? Maura baru kali ini tahu kenyataan itu. Pantas, rasanya dia tak terlalu disambut di rumah itu. Tapi kenapa? "Nggak ngapa-ngapain, Oma. Aku cuma penasaran dengan kabar mereka. Jadi aku datang berkunjung sebentar," jawab Maura sambil melirik Dewangga sekilas. "Bagaimanapun juga, papa tetap papaku." "Oh, bagus itu. Nggak ketemu beberapa bulan aja ternyata kamu udah mulai berpikiran dewasa," puji oma Ambar senang. "Oh, iya. Kamu masak apa? Kok oma baru tahu kalau kamu bisa masak?" "Aku nggak bisa masak, Oma, masih belajar. Ini aku baru aja nyoba bikin oseng sayuran yang dikasih potongan daging. Resepnya aku lihat dari internet," jawab Maura sambil meraih tiga cangkir kosong yang terletak tak jauh darinya dan mengisinya dengan teh hangat. "Minum dulu, Oma." Oma Ambar mencicipi teh yang Maura sodorkan. "Oma jadi penasaran sama masakanmu. Pengen nyobain." Maura yang sedang menyodorkan satu cangkir teh lain untuk Dewangga hampir menumpahkan isinya. "Jangan, Oma. Masakanku masih belum layak dimakan." "Kok belum layak dimakan? Emangnya masakan kamu dikasih apaan selain daging, sayuran, dan bumbu?" tanya oma Ambar tersenyum. Maura menggeleng sambil menyeringai. "Itu 'kan, karena aku baru banget belajarnya, Oma. Masakannya belum tentu enak." "Pokoknya oma mau nyobain, titik," ujar wanita tua itu semakin penasaran. Maura membuang napasnya. "Tapi Oma harus janji, jangan ngejek masakanku." "Iya, iya. Oma janji." Wanita tua itu tersenyum lebar. "Sini, oma pengen nyobain sekarang." Maura beranjak mengambil sebuah mangkuk kecil dan memindahkan sebagian isi wajan ke dalamnya. Dia menyerahkan mangkuk itu ke tangan oma Ambar. "Hmm ... ini enak, Maura. Bumbunya pas," ujar oma Ambar senang saat dia mencicipi masakan Maura. "Oma pengen makan ini buat makan siang, ya." "Seenak itu, Oma?" tanya Maura tak percaya. "Iya," kata oma Ambar senang. Maura mencicipi masakannya yang memang terasa enak. Ya, tentu saja enak karena ada bantuan dari Mia. Andai saja dia memasaknya sendirian, belum tentu seenak itu. "Ternyata kamu berbakat," puji oma Ambar. "Ah, nggak juga, Oma. Ini karena tadi Mi—" Maura tak berani mengatakan yang sejujurnya bahwa Mia membantunya. Dia takut Mia akan terkena masalah karena di sana ada Dewangga yang ikut duduk walaupun pria itu tak berminat ikut dalam obrolan mereka dan hanya tertarik menikmati tehnya. "Maksudku, ini karena cuma kebetulan aja, Oma. Lain kali belum tentu rasanya kayak gini." "Ah, pokoknya kamu hebat. Kalau kamu pengen belajar masak, oma ada teman yang sekarang lagi buka kelas memasak. Ibu Dewi namanya. Kamu mau ikutan kelasnya?" "Nantinya masak apa, Oma?" tanya Maura penasaran. "Ya, macam-macam. Tapi, hampir semuanya masakan Indonesia. Kebetulan 'kan kamu sama Dewangga pecinta masakan Indonesia. Kelasnya juga cuma sebentar, sebulan doang." "Mau, Oma," jawab Maura antusias. "Kapan diadakannya?" "Mungkin ... beberapa hari lagi. Nanti oma tanyakan lagi sama bu Dewinya, ya." Maura mengangguk senang. Tapi, kemudian senyumnya pudar saat ingat bahwa tabungannya hanya tersisa sedikit. "Oma, mungkin nanti aja aku ikut kelasnya. Soalnya aku sama sekali nggak bisa masak. Aku latihan aja dulu dari resep di internet dan dari video biar nggak terlalu malu-maluin," ujar Maura yang tak ingin berterus terang mengenai keuangannya sekarang. "Lho? Ya gak apa-apa. Namanya juga belajar. Sebenarnya memasak itu bisa dipelajari dari resep di internet atau video, tapi kalau banyak teman, 'kan, jadi lebih seru memasaknya. Biar kamu semangat belajar, biar banyak teman juga," ujar oma Ambar sambil mengusap lengan Maura. Maura mengangguk ragu. "Pokoknya kamu nggak usah khawatir gak bisa. Nanti minta Dewangga yang bayarin kursus kamu, ya," kata oma Ambar sambil menggenggam tangan Maura hangat. Maura tersenyum canggung. Dia tak yakin Dewangga mau membayarkan biaya kursusnya, tapi mendapatkan perlakuan penuh kasih dari oma Ambar membuat hatinya menghangat. "Ya, Oma. Terima kasih atas segala-galanya." "Ah, apa sih, kok kamu bilangnya gitu? Oma, kan, udah sering bilang sama kamu. Apapun yang mau kamu lakuin, oma pasti bakal dukung kamu. Sekarang kamu lagi pengen belajar masak, tentu oma juga dukung, yang penting kamu bahagia." Maura memeluk oma Ambar dengan penuh kasih sayang. Matanya hampir basah karena terharu. Inilah yang dia perlukan dua hari ini. Dia sama sekali tak menyangka ternyata masih ada seseorang yang begitu peduli dan mendukungnya. "Terima kasih banyak, Oma. Oma memang yang terbaik." *** Beberapa hari berlalu. Maura berdiri di depan kitchen set yang dibuat khusus memanjang di tengah ruangan. Kitchen set itu terdiri dari empat baris yang masing-masing baris memiliki tiga set lengkap untuk digunakan oleh masing-masing peserta. Total pesertanya ada dua belas orang termasuk dirinya yang mendapatkan tempat di baris paling tengah sebelah kanan. Sedangkan chef pembimbing yang ada di sana berjumlah empat orang. "Lengkuasnya kira-kira cukup pakai tiga sentimeter aja, ya, dimemarkan, gak perlu diulek bareng bumbu halus," ujar seorang chef wanita berumur tiga puluh tahunan yang mengaku sebagai asisten utama Bu Dewi sambil berjalan memperhatikan para peserta yang sibuk membuat bumbu. Maura menunduk melihat mejanya. Ada beberapa jenis rimpang-rimpangan di sana yang membuatnya kebingungan. Di matanya, semua rimpang itu terlihat sama. Yang mana lengkuas? Maura bingung. Walaupun dia melihat ke sebelah kirinya, dia masih tak yakin. "Kenapa? Ada yang masih bingung?" tanya seorang chef pria paling muda sambil mendekati Maura. Maura menyeringai lebar dan mengangguk. "Yang mana lengkuas, Chef?" tanyanya polos. Pria itu mengerutkan alisnya, namun bibirnya tetap tersenyum. "Kamu belum ngerti nama-nama bumbu dasar?" Maura menggeleng sebagai jawabannya. "Saya belum bisa membedakan rimpang-rimpangan kayak gini. Semuanya kayak sama." "Yang ini lengkuas," ujar pria itu sambil meraih dan meletakkan sebongkah besar lengkuas di atas talenan. "Kulit luarnya halus cenderung licin dan beruas. Ketika dipotong, luar maupun dalamnya lebih keras dari rimpang lainnya dan aromanya khas dengan bagian dalam berwarna putih, juga memiliki serat yang kasar ketika digeprek." "Oh ...." Maura mengangguk mengerti sambil memotong lengkuas sepanjang tiga sentimeter. "Terima kasih, Chef." "Sebelumnya kamu gak pernah masak?" tanya pria itu memastikan. Maura mengangguk. "Saya masih belajar." "Baiklah. Lanjutin bikin bumbunya. Kalau ada yang masih bingung, jangan ragu buat tanya dan minta bantuan," ujar pria itu yang tak ingin mengganggu Maura lagi, namun dia terus menerus memantau dan paling banyak membantu Maura selama kelas memasak berlangsung. Kelas memasak berakhir sekitar pukul setengah enam sore saat gerimis mulai turun. Maura dan peserta lainnya sibuk beres-beres dan bersiap untuk pulang. "Terima kasih banyak atas bantuannya, Chef ...?" Maura berujar ragu. Dia lupa nama pria itu saat perkenalan di awal kelas. Pria itu tersenyum lebar memamerkan satu lesung pipinya di sebelah kiri. "Andreas. Panggil aja saya Andreas. Saya kurang nyaman dipanggil chef karena saya merasa belum benar-benar ahli." "Saya Maura, Chef, eh, Mas Andreas," ujar Maura sambil mengulurkan tangannya. Andreas menyambut tangan Maura hangat. "Senang berkenalan denganmu, Maura." Maura tersenyum. "Ya, saya juga." "Kamu mau belajar mengenai rimpang-rimpangan sebentar sebelum pulang?" tanya pria itu. Maura melihat arloji di tangannya. Sebagian orang di ruangan itu telah pergi dan hanya tinggal empat orang di sana termasuk dirinya dan Andreas. "Apa saya nggak bakal menyita waktunya mas Andreas?" tanya Maura tak yakin. "Oh, enggak, dong. Saya kebetulan lagi santai." "Oke, kalau begitu saya mau." Maura mengangguk. Dengan cepat Andreas menjelaskan perbedaan antara lengkuas, jahe, kunyit, dan kencur yang bagi Maura terlihat mirip. "Aromanya beda-beda, 'kan?" tanya Andreas. Maura mengangguk sambil tersenyum senang. Dia mulai nyaman berbicara dengan Andreas. "Iya. Kalau udah dijelasin kayak gini aku jadi lebih ngerti dan bisa bedain," jawab Maura sambil mencium aroma beberapa rimpang itu bergantian. Andreas mengeluarkan kartu namanya. "Ini nomor saya. Kalau ada yang ingin ditanyakan, kamu bisa telepon atau chat saya." Mata Maura berbinar senang. Dia segera menerima kartu nama itu. "Aku nggak punya kartu nama, Chef. Eh, Mas," kata Maura sambil meraih pulpen dari dalam tasnya dan selembar kertas struk belanja. "Aku tulis nomorku di sini aja, ya." Andreas mengangguk sambil tertawa ringan. "Oke, nggak apa-apa." Setelah selesai menuliskan nomornya, Maura menyerahkan kertas itu pada Andreas. "Semoga Mas nggak nyesel ngasih nomornya ke aku. Nanti mungkin aku bakal tanya-tanya resep ke Mas," kata Maura sambil memasukkan kartu nama Andreas dengan hati-hati ke dalam tasnya. "Oh, gak masalah. Tanya aja kapanpun kamu butuh. Pasti aku jawab sesegera mungkin." "Oke." Maura mengangguk senang. "Udah hampir mau malam, di luar juga hujan deras. Kamu pulangnya dijemput?" tanya Andreas sambil melihat ke luar melalui jendela yang sedikit terbuka. Maura menggeleng. Lagipula, siapa juga yang akan menjemputnya? "Palingan aku pulang sendiri," jawab Maura. "Kalau gitu apa mau aku anta—" "Maura." Panggilan dari seorang pria terdengar. Maura segera menoleh terkejut, begitu juga dengan Andreas. Dilihatnya Dewangga berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar sambil menggenggam payung hitam basah yang terlipat. Celana kerja dan sepatutnya pun sama basahnya."Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget. "Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas." "Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk. Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja. "Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan." Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini. Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura. "Terima kasih banyak, Mas," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Aku pulang, ya." Maura melambaikan tangan. "Ya, hati-hati di jalan." Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.
"Maura, kamu nggak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan. Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir. Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat. "Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?" "Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan. "Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti. Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepo
Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup. Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya. "Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri. Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus. "Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena. "Tapi Dewang—" "Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena. Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati. "Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewang
Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan. "Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan. "Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak." "Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya nggak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap. "Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak." "Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura." Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin m
Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos andalannya. "Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Menuduh tanpa bukti, sama aja dengan fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?" Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu. "Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu. "Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun." Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan. "Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan
Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas. Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya. "Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran. Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta." "Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan. Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan." "Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana. "Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup a
"Maaf, Alena. Kamu bisa bersama Dewangga nantinya," kata Maura perlahan dengan perasaan yang semakin bersalah. "Aku ... sudah menanda-tangani surat perceraian itu. Setelah tiga bulan, kalian bisa bersama secara resmi." "Begitukah?" Alena menatap Maura dengan pandangan rumit. Dalam hatinya, wanita itu bersorak karena tiba-tiba dia memiliki sebuah ide. "Mengapa harus menunggu tiga bulan? Mengapa tidak sekarang?" "Itu karena aku—" "Alena? Mengapa kamu ada di sini?" Di atas tempat tidur, Dewangga telah bangun dan duduk menatap keduanya yang tengah berada di ambang pintu. "Hai, Dewangga. Selamat pagi," sapa Alena dengan senyum hangat. "Aku datang buat jemput kamu. Kenapa kamu baru bangun? Ini udah siang." "Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau mandi di kamar sebelah," kata Maura sambil terburu-buru pergi dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit. "Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Dewangga dingin sambil menatap tajam Alena. Alena tersenyum kaku. "Aku nggak bilang apapun." "Ben
Alena memegangi pergelangan kakinya dengan wajah sendu dan berurai air mata. "Alena, kamu baik-baik saja? Apanya yang sakit?" tanya Dewangga panik sambil berjongkok di depan wanita itu. "Apa kakimu terkilir?" "Sepertinya begitu, Dewangga," jawab Alena sambil mengangguk dengan wajah polos yang berderai air mata. "Pinggangku juga sakit." Maura menyaksikan adegan itu. Hatinya kembali berdenyut, lebih sakit dari sebelumnya. "Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang," ajak Dewangga sambil membantu Alena berdiri. "Aku nggak apa-apa, Dewangga," jawab Alena sambil menggeleng. Dia berdiri dengan pincang sambil berpegangan kuat pada tangan Dewangga. "Maura cuma nggak sengaja dorong aku." Maura tercengang. Mengapa Alena berbohong dan menuduhnya? Terlebih wanita itu mengadu pada Dewangga seperti itu. Maura mempertahankan kesabarannya. "Alena, mengapa kam—" "Segera minta maaf, Maura," potong Dewangga dengan tatapan dingin yang menghujam. Hati Maura memanas, juga berdarah. Maura menggele
Maura mundur beberapa langkah dan secara naluri berlindung di balik tubuh Dewangga. Tiba-tiba saja ada perasaan takut yang menyergap hatinya saat melihat sorot mata pria asing itu. “Dia beneran pacarmu, Maura?” tanya Dewangga menahan geram sambil menoleh dan menatapnya penuh penghakiman. “Aku nggak tahu, aku nggak ingat,” jawab Maura dengan pupil mata bergetar. Dewangga menarik napasnya panjang sambil mengepalkan tangannya. Amarahnya yang hampir meledak, diredamnya dalam-dalam. Dia ingat bahwa Maura masih amnesia. Jadi percuma menuntut jawaban dari wanita itu saat ini. Sisi hatinya meyakinkan bahwa Maura diam-diam telah mempermainkan pernikahan mereka selama ini dengan melakukan pengkhianatan. Namun sisi hatinya yang lain percaya bahwa Maura yang dulu selalu tergila-gila padanya hingga tak bisa menerima siapapun lagi. Dua sisi hatinya yang saling bertentangan membuatnya kian bimbang. Tapi bisa
Dewangga melihat-lihat beberapa pakaian yang telah Alena pilihkan.“Terima kasih, Alena. Saya akan mengambil semuanya,” ujar pria itu mengangguk puas. “Kamu bisa pilih pakaian yang kamu mau, biar saya yang bayar.”“Aku … udah milih gaun ini. Menurut kamu gimana? Bagus nggak buatku?” tanya wanita itu sambil meletakkan gaun itu di depan tubuhnya.Dewangga melihatnya sekilas dan mengangguk. “Bagus,” ujarnya yang perhatiannya segera teralihkan pada sebuah gaun sifon lembut berwarna pink muda dengan model asimetris di bagian roknya yang terselip diantara gaun lain, membuat Alena sedikit kecewa karena pria itu tak menaruh perhatian lebih padanya.“Apa ada pakaian yang mau dibeli lagi buat tante Laura?” tanya Alena sambil melihat ke arah pandang Dewangga, mencoba mencari tahu sesuatu namun dia tak yakin.“Tak ada.” Dewangga segera menggeleng dan mengalihkan pandangannya pada Alena.“Aku udah milih satu gaun yang cocok dengan selera Maura,” kata Alena sambil menumpuk pakaian miliknya dan bebe
Di sebuah mall, Maura dan Dewangga berjalan bersisian dengan sedikit jarak di antara keduanya. Sebenarnya Mauralah yang sengaja menjaga jarak. Lebih tepatnya menjaga jarak agar hatinya tak menjadi goyah dan berdebar-debar tak karuan.“Hadiah apa yang akan kita beli buat mama?” Dewangga membuka suara.Maura menghela napasnya. “Kamu salah bertanya, Dewangga. Aku nggak tahu selera mama Laura. Kenapa kamu nggak pergi sama Alena aja?”“Dia mungkin udah nunggu—”“Dewangga?” Seorang wanita cantik yang berjalan berpapasan dengan mereka menyapa tiba-tiba dan berhenti di depan Dewangga dengan wajah antusias. Di tangannya terdapat beberapa kantong belanjaan. “Apa kabar? Udah lama kita nggak ketemu.”Dewangga menghentikan langkahnya dengan raut wajah terkejut, Maura pun ikut berhenti.“Sandrina?” Pria itu menyebut namanya.Wanita bernama Sandrina itu tertawa renyah, terlihat sangat senang karena masih dikenali oleh Dewangga.Sementara Maura memperhatikan ekspresi keduanya dan membaca situasi. Se
Maura membeku dengan degup jantungnya yang berdebar kencang.Sudah berapa kali pria itu berdiri terlalu dekat dengannya tanpa jarak seperti itu? Jika dia melangkah mundur, pasti punggungnya bersentuhan dengan dada pria itu.Orang yang melihat mereka sekilas, mungkin akan berpikir bahwa Dewangga tengah memeluknya dari belakang.“Dewangga?” Maura mendongak. “Bukannya kamu mau berangkat kerja?”“Sebentar lagi,” jawab pria itu sambil menggulungkan lengan baju Maura yang satunya lagi. “Aku akan membilas gelas dan piringnya, kamu yang menyabuni semua.”“Tapi Dewang—”“Dewangga, kita udah telat,” protes Alena tak terima sambil mendekat, sambil menahan hatinya yang terbakar cemburu melihat interaksi mereka yang terlalu dekat dan terlihat lebih intim. “Pagi ini kita ada rapat penting.”Dewangga menoleh.“Sudah kubilang, kamu berangkat saja lebih dulu,” ujarnya sambil berdiri di sisi Maura, sambil melepas kancing lengan k
Dewangga mengerutkan alisnya di balik topeng. Tapi tatapannya yang terhunus tajam dirasakan dengan jelas oleh Maura yang berpura-pura tak mendengar atau melihat apapun.Maura memilih menatap ke tempat lain sambil menopang dagunya, daripada menatap pria itu yang kembali dirangkul Alena sambil berjalan menuju kursi kosong di depannya.Apanya yang tak memiliki hubungan? Sudah terlihat jelas mereka sedekat itu, yang anehnya membuat Maura merasa kesal. Kesal dibohongi, padahal sebelumnya dia hampir percaya dengan ucapan pria itu yang mengatakan bahwa dirinya dan Alena tak memiliki hubungan apapun.Mustahil mereka tak memiliki hubungan, disaat mereka bekerja di tempat yang sama, bertemu dan berinteraksi setiap hari, bahkan kadang wanita itu mampir ke rumahnya hanya untuk makan malam atau menjemputnya di pagi hari agar bisa berangkat bekerja bersama.Itukah yang disebut tak memiliki hubungan apapun?Maura merasakan tenggorokannya tercekat dan haus. Dia segera menghabiskan minumannya dan mele
Musik indah mengalun lembut saat Maura dan Narendra masuk ke ballroom hotel, tempat diadakannya acara resepsi pernikahan itu.Keduanya telah mengenakan topeng yang dibagikan di pintu masuk saat memperlihatkan undangan yang dibawa pria itu pada staff yang berjaga di depan karena tamu yang menghadiri pesta itu sangat terbatas.Maura menatap dekorasi pesta yang terlihat mewah dan glamor. Lampu-lampu hias menggantung, ada yang seperti air mancur, ada juga yang seperti bintang-bintang.Aneka makanan dan minuman terhidang di meja yang dilapisi kain satin hitam. Mulai dari makanan ringan, sampai makanan berat.Lalu di ujung panggung pengantin, sepasang penyanyi melantunkan lagu cinta dengan suara yang merdu.“Apa Dewangga udah ada di sini?” bisik Maura sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ke wajah orang-orang yang telah mengenakan topeng separuh yang menutupi mata, sama sepertinya.“Entahlah,” jawab Narendra acuh tak acuh. “Kita harus menemui tuan rumah dulu dan kedua mempelai. Aku
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa
Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria