Home / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 5. KELAS MEMASAK

Share

Bab 5. KELAS MEMASAK

Author: Clau Sheera
last update Last Updated: 2023-08-09 13:00:58

"Ha, ha, ha .... Aku bercanda, Oma," ujar Maura sambil tertawa canggung. "Jangan dianggap serius."

Maura mematikan kompor karena masakannya telah matang. Dia segera mencuci tangannya dan menghampiri wanita tua itu sambil melepaskan celemek dan meninggalkan oseng daging sayuran di wajan.

"Sini, Oma. Duduk sini," ajaknya sambil meraih lengan wanita tua itu dan membawanya duduk di salah satu kursi dapur.

Maura diam-diam melirik ekspresi wajah Dewangga yang mulai kembali datar. Bahkan ekspresi wajah Mia juga terlihat lega.

"Dasar, anak nakal. Oma sampai kaget. Oma kira kamu nggak mau kenal lagi sama oma," gerutu Oma Ambar sambil duduk.

"He, he, he ...." Maura kembali tertawa. Dia lega karena sepertinya dia tak melakukan kesalahan fatal.

"Kamu kelihatan cantik banget hari ini, Maura," puji oma Ambar tulus sambil menatap penampilan wanita itu. "Padahal cuma pakai lipstik doang, ya? Cuma seoles, pula."

"Ah, Oma bisa aja." Maura merasa malu, tapi juga senang karena wanita tua itu terlihat perhatian padanya.

"Tapi beneran, kok. Kamu lebih cantik begini. Jadi nanti nggak usah pakai makeup tebal lagi, ya," pinta Oma Ambar senang.

"Alena jauh lebih cantik, Oma," kata Maura sambil melirik Dewangga.

"Ya, dia memang cantik. Tapi oma lebih senang lihat kecantikan kamu," ujar oma Ambar sambil mengusap rambut Maura.

"Oma datang sama siapa ke sini?" tanya Maura mengganti topik pembicaraan, sebelum hidungnya terbang. "Gimana kabar Oma?"

"Oma baik. Oma datang sama Yanti, diantar sopir taksi online," jawab wanita tua itu sambil menunjuk seorang wanita muda berpenampilan sederhana yang menenteng sebuah tas milik oma Ambar yang berdiri di samping Mia.

Dari seragamnya, Maura tahu orang yang bernama Yanti itu pasti perawat yang merawat oma Ambar.

"Aku kira Oma datang ke sini sama Dewangga."

"Enggak. Dewangga tuh, tiba-tiba aja pulang dari kantor pas tahu oma mau ke sini." Oma Ambar menunjuk Dewangga yang baru duduk dengan dagunya. "Tapi, kok, tumben kamu gak manggil Dewangga dengan sebutan mas?"

"Eh?" Maura sedikit terkejut dan melirik pria itu.

"Kenapa memangnya, Oma?" tanya Dewangga sambil melepaskan jas dan meletakkannya di sandaran kursi. "Cuma masalah panggilan saja dan tak ada yang salah sebenarnya."

"Ya, emang nggak salah. Tapi bukannya lebih baik kalau istrimu memanggilmu dengan sebutan mas?"

"He, he, he ... iya, Oma. Aku yang salah," ujar Maura mengalah. Mana dia tahu sebelumnya dia memanggil apa pada Dewangga. "Oh, iya, Mia. Ajak Yanti makan camilan di belakang, ya."

"Baik, Nyonya," jawab Mia sambil mengajak Yanti pergi.

"Kamu, tuh, ya. Udah datang dari Perancis kemarin kenapa nggak langsung ke rumah oma? Udah nggak mau ketemu lagi sama oma?" tanya oma Ambar sambil menepuk punggung tangan Maura perlahan.

"Bukan begitu, Oma. Kemarin aku sampai di sini pagi-pagi benget dan langsung tidur karena capek," jawab Maura sambil duduk di kursi sebelah oma Ambar. "Siangnya ... aku pergi ke rumah papa."

Oma Ambar dan Dewangga serempak menatapnya.

"Lho? Ngapain kamu ke rumah papamu? Bukannya kalian nggak pernah akur?" tanya oma Ambar terkejut.

Tak pernah akur? Maura baru kali ini tahu kenyataan itu. Pantas, rasanya dia tak terlalu disambut di rumah itu. Tapi kenapa?

"Nggak ngapa-ngapain, Oma. Aku cuma penasaran dengan kabar mereka. Jadi aku datang berkunjung sebentar," jawab Maura sambil melirik Dewangga sekilas. "Bagaimanapun juga, papa tetap papaku."

"Oh, bagus itu. Nggak ketemu beberapa bulan aja ternyata kamu udah mulai berpikiran dewasa," puji oma Ambar senang. "Oh, iya. Kamu masak apa? Kok oma baru tahu kalau kamu bisa masak?"

"Aku nggak bisa masak, Oma, masih belajar. Ini aku baru aja nyoba bikin oseng sayuran yang dikasih potongan daging. Resepnya aku lihat dari internet," jawab Maura sambil meraih tiga cangkir kosong yang terletak tak jauh darinya dan mengisinya dengan teh hangat. "Minum dulu, Oma."

Oma Ambar mencicipi teh yang Maura sodorkan. "Oma jadi penasaran sama masakanmu. Pengen nyobain."

Maura yang sedang menyodorkan satu cangkir teh lain untuk Dewangga hampir menumpahkan isinya. "Jangan, Oma. Masakanku masih belum layak dimakan."

"Kok belum layak dimakan? Emangnya masakan kamu dikasih apaan selain daging, sayuran, dan bumbu?" tanya oma Ambar tersenyum.

Maura menggeleng sambil menyeringai. "Itu 'kan, karena aku baru banget belajarnya, Oma. Masakannya belum tentu enak."

"Pokoknya oma mau nyobain, titik," ujar wanita tua itu semakin penasaran.

Maura membuang napasnya. "Tapi Oma harus janji, jangan ngejek masakanku."

"Iya, iya. Oma janji." Wanita tua itu tersenyum lebar. "Sini, oma pengen nyobain sekarang."

Maura beranjak mengambil sebuah mangkuk kecil dan memindahkan sebagian isi wajan ke dalamnya. Dia menyerahkan mangkuk itu ke tangan oma Ambar.

"Hmm ... ini enak, Maura. Bumbunya pas," ujar oma Ambar senang saat dia mencicipi masakan Maura. "Oma pengen makan ini buat makan siang, ya."

"Seenak itu, Oma?" tanya Maura tak percaya.

"Iya," kata oma Ambar senang.

Maura mencicipi masakannya yang memang terasa enak. Ya, tentu saja enak karena ada bantuan dari Mia. Andai saja dia memasaknya sendirian, belum tentu seenak itu.

"Ternyata kamu berbakat," puji oma Ambar.

"Ah, nggak juga, Oma. Ini karena tadi Mi—"

Maura tak berani mengatakan yang sejujurnya bahwa Mia membantunya. Dia takut Mia akan terkena masalah karena di sana ada Dewangga yang ikut duduk walaupun pria itu tak berminat ikut dalam obrolan mereka dan hanya tertarik menikmati tehnya.

"Maksudku, ini karena cuma kebetulan aja, Oma. Lain kali belum tentu rasanya kayak gini."

"Ah, pokoknya kamu hebat. Kalau kamu pengen belajar masak, oma ada teman yang sekarang lagi buka kelas memasak. Ibu Dewi namanya. Kamu mau ikutan kelasnya?"

"Nantinya masak apa, Oma?" tanya Maura penasaran.

"Ya, macam-macam. Tapi, hampir semuanya masakan Indonesia. Kebetulan 'kan kamu sama Dewangga pecinta masakan Indonesia. Kelasnya juga cuma sebentar, sebulan doang."

"Mau, Oma," jawab Maura antusias. "Kapan diadakannya?"

"Mungkin ... beberapa hari lagi. Nanti oma tanyakan lagi sama bu Dewinya, ya."

Maura mengangguk senang. Tapi, kemudian senyumnya pudar saat ingat bahwa tabungannya hanya tersisa sedikit.

"Oma, mungkin nanti aja aku ikut kelasnya. Soalnya aku sama sekali nggak bisa masak. Aku latihan aja dulu dari resep di internet dan dari video biar nggak terlalu malu-maluin," ujar Maura yang tak ingin berterus terang mengenai keuangannya sekarang.

"Lho? Ya gak apa-apa. Namanya juga belajar. Sebenarnya memasak itu bisa dipelajari dari resep di internet atau video, tapi kalau banyak teman, 'kan, jadi lebih seru memasaknya. Biar kamu semangat belajar, biar banyak teman juga," ujar oma Ambar sambil mengusap lengan Maura.

Maura mengangguk ragu.

"Pokoknya kamu nggak usah khawatir gak bisa. Nanti minta Dewangga yang bayarin kursus kamu, ya," kata oma Ambar sambil menggenggam tangan Maura hangat.

Maura tersenyum canggung. Dia tak yakin Dewangga mau membayarkan biaya kursusnya, tapi mendapatkan perlakuan penuh kasih dari oma Ambar membuat hatinya menghangat.

"Ya, Oma. Terima kasih atas segala-galanya."

"Ah, apa sih, kok kamu bilangnya gitu? Oma, kan, udah sering bilang sama kamu. Apapun yang mau kamu lakuin, oma pasti bakal dukung kamu. Sekarang kamu lagi pengen belajar masak, tentu oma juga dukung, yang penting kamu bahagia."

Maura memeluk oma Ambar dengan penuh kasih sayang. Matanya hampir basah karena terharu. Inilah yang dia perlukan dua hari ini. Dia sama sekali tak menyangka ternyata masih ada seseorang yang begitu peduli dan mendukungnya.

"Terima kasih banyak, Oma. Oma memang yang terbaik."

***

Beberapa hari berlalu.

Maura berdiri di depan kitchen set yang dibuat khusus memanjang di tengah ruangan.

Kitchen set itu terdiri dari empat baris yang masing-masing baris memiliki tiga set lengkap untuk digunakan oleh masing-masing peserta.

Total pesertanya ada dua belas orang termasuk dirinya yang mendapatkan tempat di baris paling tengah sebelah kanan. Sedangkan chef pembimbing yang ada di sana berjumlah empat orang.

"Lengkuasnya kira-kira cukup pakai tiga sentimeter aja, ya, dimemarkan, gak perlu diulek bareng bumbu halus," ujar seorang chef wanita berumur tiga puluh tahunan yang mengaku sebagai asisten utama Bu Dewi sambil berjalan memperhatikan para peserta yang sibuk membuat bumbu.

Maura menunduk melihat mejanya. Ada beberapa jenis rimpang-rimpangan di sana yang membuatnya kebingungan.

Di matanya, semua rimpang itu terlihat sama. Yang mana lengkuas? Maura bingung.

Walaupun dia melihat ke sebelah kirinya, dia masih tak yakin.

"Kenapa? Ada yang masih bingung?" tanya seorang chef pria paling muda sambil mendekati Maura.

Maura menyeringai lebar dan mengangguk. "Yang mana lengkuas, Chef?" tanyanya polos.

Pria itu mengerutkan alisnya, namun bibirnya tetap tersenyum. "Kamu belum ngerti nama-nama bumbu dasar?"

Maura menggeleng sebagai jawabannya. "Saya belum bisa membedakan rimpang-rimpangan kayak gini. Semuanya kayak sama."

"Yang ini lengkuas," ujar pria itu sambil meraih dan meletakkan sebongkah besar lengkuas di atas talenan. "Kulit luarnya halus cenderung licin dan beruas. Ketika dipotong, luar maupun dalamnya lebih keras dari rimpang lainnya dan aromanya khas dengan bagian dalam berwarna putih, juga memiliki serat yang kasar ketika digeprek."

"Oh ...." Maura mengangguk mengerti sambil memotong lengkuas sepanjang tiga sentimeter. "Terima kasih, Chef."

"Sebelumnya kamu gak pernah masak?" tanya pria itu memastikan.

Maura mengangguk. "Saya masih belajar."

"Baiklah. Lanjutin bikin bumbunya. Kalau ada yang masih bingung, jangan ragu buat tanya dan minta bantuan," ujar pria itu yang tak ingin mengganggu Maura lagi, namun dia terus menerus memantau dan paling banyak membantu Maura selama kelas memasak berlangsung.

Kelas memasak berakhir sekitar pukul setengah enam sore saat gerimis mulai turun. Maura dan peserta lainnya sibuk beres-beres dan bersiap untuk pulang.

"Terima kasih banyak atas bantuannya, Chef ...?" Maura berujar ragu. Dia lupa nama pria itu saat perkenalan di awal kelas.

Pria itu tersenyum lebar memamerkan satu lesung pipinya di sebelah kiri.

"Andreas. Panggil aja saya Andreas. Saya kurang nyaman dipanggil chef karena saya merasa belum benar-benar ahli."

"Saya Maura, Chef, eh, Mas Andreas," ujar Maura sambil mengulurkan tangannya.

Andreas menyambut tangan Maura hangat. "Senang berkenalan denganmu, Maura."

Maura tersenyum. "Ya, saya juga."

"Kamu mau belajar mengenai rimpang-rimpangan sebentar sebelum pulang?" tanya pria itu.

Maura melihat arloji di tangannya. Sebagian orang di ruangan itu telah pergi dan hanya tinggal empat orang di sana termasuk dirinya dan Andreas.

"Apa saya nggak bakal menyita waktunya mas Andreas?" tanya Maura tak yakin.

"Oh, enggak, dong. Saya kebetulan lagi santai."

"Oke, kalau begitu saya mau." Maura mengangguk.

Dengan cepat Andreas menjelaskan perbedaan antara lengkuas, jahe, kunyit, dan kencur yang bagi Maura terlihat mirip.

"Aromanya beda-beda, 'kan?" tanya Andreas.

Maura mengangguk sambil tersenyum senang. Dia mulai nyaman berbicara dengan Andreas.

"Iya. Kalau udah dijelasin kayak gini aku jadi lebih ngerti dan bisa bedain," jawab Maura sambil mencium aroma beberapa rimpang itu bergantian.

Andreas mengeluarkan kartu namanya. "Ini nomor saya. Kalau ada yang ingin ditanyakan, kamu bisa telepon atau chat saya."

Mata Maura berbinar senang. Dia segera menerima kartu nama itu.

"Aku nggak punya kartu nama, Chef. Eh, Mas," kata Maura sambil meraih pulpen dari dalam tasnya dan selembar kertas struk belanja. "Aku tulis nomorku di sini aja, ya."

Andreas mengangguk sambil tertawa ringan. "Oke, nggak apa-apa."

Setelah selesai menuliskan nomornya, Maura menyerahkan kertas itu pada Andreas.

"Semoga Mas nggak nyesel ngasih nomornya ke aku. Nanti mungkin aku bakal tanya-tanya resep ke Mas," kata Maura sambil memasukkan kartu nama Andreas dengan hati-hati ke dalam tasnya.

"Oh, gak masalah. Tanya aja kapanpun kamu butuh. Pasti aku jawab sesegera mungkin."

"Oke." Maura mengangguk senang.

"Udah hampir mau malam, di luar juga hujan deras. Kamu pulangnya dijemput?" tanya Andreas sambil melihat ke luar melalui jendela yang sedikit terbuka.

Maura menggeleng. Lagipula, siapa juga yang akan menjemputnya?

"Palingan aku pulang sendiri," jawab Maura.

"Kalau gitu apa mau aku anta—"

"Maura."

Panggilan dari seorang pria terdengar. Maura segera menoleh terkejut, begitu juga dengan Andreas.

Dilihatnya Dewangga berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar sambil menggenggam payung hitam basah yang terlipat. Celana kerja dan sepatutnya pun sama basahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 77. Ini Anakku

    “Maura, dokter bilang katanya kandunganmu lemah. Jadi kamu harus istirahat total seenggaknya selama trimester pertama ini.”Maura terdiam sambil menggigit bibirnya dan menatap Andreas yang duduk di samping ranjang pasien yang ditempatinya.“Maaf udah ngerepotin, Mas,” ucapannya perlahan. “Sebenarnya aku malu, karena hanya aku satu-satunya orang yang paling sering mengambil libur.”Andreas tersenyum lembut sambil menepuk punggung tangan Maura.“Nggak perlu malu, Maura. Aku paham keadaan kamu. Jadi mulai besok, sebaiknya kamu jangan masuk kerja dulu sampai kandunganmu cukup kuat. Kalau kamu tetap memaksakan bekerja, kemungkinan anak dalam kandunganmu nggak bisa bertahan.”“Mas, aku dipecat, ya?” tanya Maura dengan mata berkaca-kaca.Andreas tertawa pelan. “Nggak, lah. Kamu bisa kerja lagi kalau kandunganmu cukup kuat. Oke?”Maura terdiam sambil berpikir sejenak, lalu mengangguk.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 76. Kabar dari Mawar

    Maura segera membaringkan tubuhnya begitu dia tiba di kamar. Dia sangat lelah hingga tak sanggup untuk melakukan apapun lagi. “Kondisi awal kehamilan seperti ini rentan keguguran. Sebaiknya Anda perbanyak istirahat, ya, Bu. Jangan terlalu banyak bekerja dan jangan terlalu lelah.” Nasihat dari dokter sebelum Maura meninggalkan ruang pemeriksaan terngiang-ngiang di telinganya. Haruskah dia menambah aktivitasnya agar kandungannya keguguran? Maura menggelengkan kepalanya begitu pemikiran itu terlintas di benaknya. Tak semudah itu dia memaksakan diri bekerja. Pulang dari rumah sakit saja sudah membuatnya kerepotan dan malas bergerak lagi. Wanita itu menatap foto janin yang dilihatnya tadi di monitor. Seukuran apakah anak itu sekarang? Pasti masih sangat kecil. Dia sangat penasaran sebenarnya. “Kasihan kamu kalau harus sampai lahir. Pasti kamu nggak dapat kasih sayang seorang ayah, sama sepertiku,” gumam Maura perlahan. Wanita itu meletakkan foto janinnya di atas nakas, lalu meraih

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 75. Jangan Sampai Dewangga Tahu

    Sore itu sebelum jam kerja berakhir, di dalam ruang kantor Dewangga, Alena duduk tenang menghadapi atasannya. “Kamu tahu alasan saya memintamu datang ke sini?” tanya Dewangga dengan nada dingin. “Apa karena saya ngambil sesuatu dari laci Anda?” tebak Alena, yang sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari. “Lebih tepatnya saya mengambil sesuatu dari map biru tua yang Anda simpan di sana.” “Kenapa kamu lakuin itu?” tanya Dewangga, yang tak perlu repot memaksakan pengakuan dari wanita itu padahal dia sudah menyiapkan rekaman CCTV apabila wanita itu menyangkal. “Udah lama Anda ingin bercerai dari Maura. Udah tiga tahun, kan? Entah karena alasan sibuk, entah karena alasan lain, Anda menunda perceraian Anda. Anda yang dulu biasanya tak pernah ragu mengambil keputusan. Tapi Anda yang sekarang seolah bimbang. Saya cuma sedikit membantu mengirimkan dokumen itu,” kata Alena dengan nada suara yang tanpa ragu. “Mungkin … hari ini atau besok, Maura akan dapat undangan untuk mediasi.” Dewangga b

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 74. Garis Dua

    Jam menunjukkan waktu sekitar setengah sembilan malam.Dewangga menghentikan mobilnya di depan pintu pagar rumah Maura.Sepanjang perjalanan tak ada obrolan apapun di antara mereka.Bahkan mereka tak membahas soal oma Ambar yang meminta mereka menginap, namun mereka tolak dengan berbagai alasan dan memilih pulang.Dia yang dulu biasanya menurunkan Maura di jalan setelah jauh dari kediaman oma Ambar, kini rela mengantarkannya pulang. Padahal rumah mereka tak searah.Ternyata tak hanya Maura yang berubah, dia juga turut berubah.Maura segera membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil, masih tanpa sepatah katapun.“Maura,” panggil Dewangga dengan ragu.Maura menoleh sebelum dia sempat menutup pintu mobil dengan bibir tertutup rapat.Hening sejenak, kemudian Dewangga menggelengkan kepalanya.“Nggak jadi,” ujarnya.Maura menutup pintu mobilnya segera, kemudian berjalan memasuki halaman rumahnya tanpa kata, tanpa mengucapkan terima kasih, tanpa menoleh apalagi berbasa-basi. Sementara itu,

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 73. Berjarak

    Sudah berlalu lebih dari seminggu sejak saat itu. Tak ada komunikasi apapun di antara Maura dan Dewangga.Istirahat siang itu, Dewangga yang berada di dalam ruang kantornya masih duduk di depan meja kerja.Di tangannya terdapat seberkas persyaratan yang sudah lengkap.“Mau di kirim sekarang?” Zefan yang berada di ruangan itu, mengalihkan perhatian pria itu.“Apanya?”“Berkas perceraian itu,” tunjuk Zefan dengan dagunya ke arah kertas-kertas di tangan Dewangga.“Nanti,” jawab Dewangga sambil membereskan berkasnya, lalu memasukkannya ke dalam map biru tua.“Ragu?” tebak pria berkacamata itu.Dewangga hanya mengangkat kelopak matanya, menatap Zefan sejenak, kemudian meletakkan map biru tua itu di atas tumpukan dokumen lain.“Anda tak pernah seperti ini sebelumnya,” kata Zefan meneruskan. “Biasanya Anda tak pernah ragu mengambil keputusan apapun.”D

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 72. Wanita Pengacau Pikiran

    Maura terburu-buru menuruni tangga dan berdiri di depan pintu.Di luar sana, Dewangga masih mengetuk, menunggu Maura membukakan pintunya.“Maura, buka pintunya!”“Nggak, Dewangga. Aku bilang, aku nggak leluasa ketemu siapapun,” ujar wanita itu, yang berdiri dengan gugup sambil menatap pintu yang terkunci.Ketukan di pintu berhenti.“Maura, kita harus membicarakan masalah semalam sampai jelas,” kata Dewangga dengan suara yang lebih rendah.“Masalah semalam udah jelas, Dewangga. Kita lupain aja semuanya,” ucap Maura sambil menelan ludahnya dan berjalan semakin mendekati pintu.“Lupain? Kamu benar-benar lupa kejadian semalam?” Suara Dewangga kali ini lebih rendah lagi, namun masih terdengar jelas.Maura bersandar di pintu, sambil menoleh ke samping seolah dia bisa melihat sosok pria itu di balik tubuhnya.“Aku nggak ingat,” jawab wanita itu sambil meremas ujung roknya. “Aku nggak tahu kenapa bisa ada di ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status