Share

Bab 6. SEPENGGAL INGATAN

"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget.

"Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas."

"Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk.

Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja.

"Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan."

Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini.

Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura.

"Terima kasih banyak," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Sampai jumpa nanti." Maura melambaikan tangan.

"Ya, hati-hati di jalan."

Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.

Andreas menatap kepergian Maura bersama pria yang menjemputnya. Tak ada perkenalan dan Maura pun tak mengenalkannya.

Siapa pria itu? Kekasihnya? Suaminya? Atau salah satu anggota keluarganya? Andreas sedikit penasaran.

Sementara itu, Maura berjalan bersama Dewangga di bawah payung yang sama menuju tempat parkir. Maura terdiam karena tak tahu harus berkata apa.

Mengapa Dewangga menjemputnya? Mengapa dia hanya membawa satu payung? Bukankah pria itu membencinya?

Sampai di dekat sebuah mobil, Dewangga membuka pintu belakang mobilnya.

"Naik."

Maura masuk ke dalam mobil itu dan duduk bergeser karena Dewangga pun masuk ke dalam mobil melalui pintu yang sama. Dilihatnya ada orang yang tak dikenalnya di belakang kemudi, seorang pria muda yang cukup tampan walaupun tak setampan Dewangga. Tapi penampilannya sangat rapi.

"Halo, Nyonya Maura," sapa pria itu sambil menoleh. "Saya Zefan. Pasti Anda lupa dengan saya. Saya asisten bos Dewangga."

"Oh? Halo. Salam kenal," jawab Maura sambil mengangguk kecil.

"Cepat jalan, Zefan," ucap Dewangga yang lebih mirip dengan perintah.

Mobil melaju dibawah guyuran hujan. Suasana di dalam mobil hening.

Maura memilih diam sambil menggenggam pegangan rantang susun di pangkuannya dan menatap hujan di luar. Sementara Dewangga menunduk memainkan ponselnya dan Zefan fokus menyetir.

"Kenapa kamu tak bilang kalau kelas memasaknya diadakan hari ini?" Dewangga memecah sepi sambil tetap menunduk, membuat Maura menoleh sedangkan Zefan takjub tak percaya karena bosnya itu bersedia memulai pembicaraan dengan Maura. "Bagaimana dengan uang kursusnya? Kamu belum datang meminta padaku."

"Udah dibayar semua," jawab Maura singkat sambil kembali menatap ke luar.

"Sudah dibayar?" ulang Dewangga tak percaya sambil menoleh menatap Maura. "Bukankah tabunganmu tinggal tersisa sedikit?"

Maura menoleh. Bukankah pria itu sendiri yang memangkas lebih dari setengah uang bulanannya? Untuk apa dia bertanya lagi?

Maura tak ingin menjawab. Dia kembali menatap hujan di luar.

"Kenapa kamu tak datang meminta uang padaku?" tanya Dewangga sambil menatap Maura yang pandangannya terarah ke luar mobil.

"Gak apa-apa, tabunganku masih cukup buat bayar kursus," jawab Maura menatap ke depan, ke jalanan yang mulai macet.

Dewangga terdiam menatap wanita itu. Jika itu dulu, wanita itu akan terus menempelinya, menjadikannya pusat dunia dan sangat bergantung padanya dalam hal apapun.

Tapi sekarang wanita itu tak acuh seolah tak butuh apapun dan tak merengek maupun mengeluh padanya lagi. Apalagi mencari perhatian.

Drrttt.

Ponsel Maura bergetar. Wanita itu meletakkan rantang plastik di sampingnya dan merogoh tasnya.

Dilihatnya layar ponselnya yang retak karena kecelakaan tempo hari menyala. Ada sebuah pesan masuk dari nomor baru.

Maura tersenyum membaca isi pesan tersebut yang dikirim Andreas, sementara Dewangga yang masih menatapnya memalingkan wajahnya tak suka.

"Malam ini kita tidur di kamar yang sama," kata Dewangga sambil menatap lurus ke depan, ke arah jalanan.

"Hah?!" Maura yang sedang asyik berkirim pesan dengan Andreas menoleh terkejut.

Bahkan Zefan yang mendengarnya hampir menginjak rem. Biasanya kalau oma Ambar ingin menginap, pria itu akan mengeluarkan banyak alasan untuk menolak.

"Kenapa?" tanya Maura heran.

"Oma mau menginap malam ini di rumah."

"Tapi—" Maura tak sempat bereaksi ketika Dewangga kembali bicara.

"Tak ada tapi, Maura. Beliau memiliki penyakit jantung. Jangan sampai oma tahu bahwa kita pisah kamar dan akan bercerai."

Maura berpikir sejenak.

Kalau Dewangga tak ingin oma Ambar tahu masalah mereka, apakah pria itu akan terus merahasiakan perceraian mereka kelak?

Lalu, kalau mereka tidur di kamar yang sama, bagaimana dia bisa tidur nyenyak?

"Saya datang menjemput kamu karena oma masih ada di rumah. Saya tak ingin membuat oma kecewa hanya gara-gara saya tak pulang bersamamu."

Maura tak tahu harus bagaimana menanggapi perintah Dewangga. Apakah dia harus setuju begitu saja?

***

Oma Ambar menyambut kedatangan Maura dan Dewangga dengan perasaan bahagia.

"Kamu bawa apa, Maura?" tanya oma Ambar penasaran.

"Ini gulai ayam khas Minang hasil masakanku di kelas memasak hari ini, Oma," jawab Maura sambil mengangkat rantang di tangannya dan menggoyang-goyangkannya sedikit.

"Wah, oma gak sabar buat nyicipin," kata oma Ambar dengan mata berbinar sambil mengambil alih rantang di tangan Maura. "Kalau gitu biar nanti Mia yang panasin."

"Ya, Oma." Maura mengangguk tersenyum.

"Makan malam udah siap," ujar oma Ambar sambil menggandeng tangan Maura. "Kalian mandi dan ganti baju, kita makan bareng. Oma udah lama gak nginep di sini. Jadi Oma harap kalian nggak keberatan ."

Maura mengangguk. "Aku senang Oma di sini."

"Oma tunggu kalian di meja makan, ya." Oma Ambar mengusap lengan Maura dan menatap Maura dan Dewangga bergantian.

"Kami tak akan lama," ujar Dewangga berjalan lebih dulu sambil melepaskan dasinya.

Oma Ambar mengangguk, sementara Maura menyusul Dewangga dan berjalan di belakangnya menuju lantai atas untuk mandi dan berganti pakaian.

***

Maura dan Dewangga duduk di depan meja makan bersama oma Ambar setengah jam kemudian.

"Maura, gulai ayamnya enak, lho," puji oma Ambar tulus.

"Aku bikinnya dibantuin sama chef-nya, Oma," jawab Maura berterus terang. "Jadi wajar kalau rasanya lumayan enak."

"Kamu gak mau nyicipin masakan istri kamu, Dewangga?" tanya oma Ambar pada Dewangga yang sedang fokus makan dan tak menyentuh masakan Maura sedikit pun.

Dewangga mendongak sambil menatap sejenak oma Ambar dan Maura bergantian. Tangannya hampir terulur meraih sendok gulai ketika Maura berbicara.

"Mungkin mas Dewangga hari ini gak berselera makan gulai, Oma. Ini kan udah malam. Oma juga sebaiknya jangan makan gulai terlalu banyak, takut kolesterol," ujar Maura yang berpikiran bahwa Dewangga tak mau memakan masakannya.

Dewangga mengurungkan niatnya. Dia kembali makan dengan tenang tanpa mau terlibat banyak pembicaraan dengan kedua wanita di dekatnya.

"Maura, ikut saya ke ruang baca," kata Dewangga setelah mereka selesai makan malam.

Maura yang masih menikmati tehnya sambil mengobrol ringan dengan oma Ambar menoleh, begitu juga dengan oma Ambar.

"Oma, sebaiknya Oma segera beristirahat. Dari rumah Oma ke sini perjalanannya lebih dari satu jam, kan? Oma pasti lelah," ujar Dewangga.

Oma Ambar tersenyum. "Baik, baik. Oma istirahat sekarang. Oma nggak akan gangguin kalian berdua," kata wanita tua itu sambil meletakkan cangkir tehnya dan berdiri.

Yanti, perawat oma Ambar segera mendekat dan menggandeng tangan wanita itu.

"Kalian berdua juga segera istirahat, ya." Oma Ambar menoleh sejenak.

Maura mengangguk. Dia segera berdiri mengikuti Dewangga ke ruang baca, sementara oma Ambar pergi ke kamar tamu.

Di ruang baca, Dewangga duduk di kursi kerjanya, sementara Maura duduk di seberang meja.

"Untuk apa kamu minta aku ke sini?" tanya Maura saat Dewangga tengah membuka laci sebelah kanan paling bawah meja kerjanya. "Apa ada tanda tangan yang terlewat?"

"Tanda tangan?" Dewangga balik bertanya dengan alis berkerut sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat panjang dan meletakkannya di atas meja. "Tanda tangan apa?"

"Dua hari lalu aku udah tanda tangan berkas perceraian kita," jawab Maura. "Aku pikir kamu udah periksa."

Dewangga memeriksa lacinya yang paling atas. Di sana ada berkas perceraian mereka.

"Dua hari ini aku sibuk dan pulang larut. Jadi tak sempat datang ke ruangan ini," ujar pria itu sambil membuka lembaran demi lembaran untuk memastikan bahwa Maura tak melewatkan satu pun tanda tangannya di berkas itu.

Maura mengerutkan alisnya. "Kalau kamu gak ke sini, kenapa berkas itu bisa ada di dalam laci? Perasaan waktu itu aku simpan berkasnya di atas meja supaya bisa langsung kamu lihat."

"Mungkin mbok Narti atau Bu Asih yang memindahkan berkas ini saat datang untuk bersih-bersih."

Maura mengangguk mengerti.

"Ini ... ambillah," kata Dewangga sambil menyodorkan amplop yang tadi dikeluarkannya setelah pria itu meletakkan kembali berkasnya di laci.

"Ini apa?" Maura bertanya dengan bingung dan rasa sedikit penasaran.

"Buka saja."

"Uang? Untukku?" tanya Maura memastikan ketika dia melihat isinya.

"Untuk mengganti biaya kursus."

"Ohh." Maura tak menyangka Dewangga akan berbuat seperti itu. "Aku rasa kamu gak perlu-"

"Kamu mau menolak? Bukankah uangmu sudah tak banyak lagi?" tanya Dewangga dengan ekspresi datar. "Saya hanya tak ingin kamu membuat alasan untuk tetap tinggal di rumah ini setelah tiga bulan. Bukankah kamu sendiri yang meminta waktu untuk tetap tinggal karena belum siap pindah?"

Maura terdiam. Dewangga benar. Dia sedang membutuhkan uang saat ini, jadi tak seharusnya dia menolak uang pemberian pria itu.

"Baiklah, terima kasih."

"Pergilah, saya ada sedikit pekerjaan. Malam ini kamu tidur lebih dulu di kamar saya."

Maura menatap pria itu gamang. Apakah dia benar-benar harus tidur di tempat tidur yang sama dengan pria itu?

"Ada apa? Apa saya harus mengulang perkataan saya?"

Maura menggeleng dan segera beranjak dari sana tanpa berbicara lagi.

***

Di dalam kamar Dewangga, Maura masih berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Ini pertama kalinya dia memasuki kamar itu setelah kecelakaan.

Kamar itu lebih luas dari kamarnya saat ini, juga lebih rapi dan bersih. Ada satu set sofa tak jauh darinya, satu kursi santai di samping jendela besar, dan walking closet yang juga lebih luas dari yang ada di kamarnya.

Tempat tidurnya pun ukuran king size dengan penataan lampu ruangan yang apik.

Maura masih kebingungan. Apakah dia langsung tidur atau bagaimana? Tubuhnya sudah cukup lelah. Dua malam terakhir dia kurang tidur karena sibuk mengambil foto produk yang ingin dijualnya.

Maura berjalan ke arah tempat tidur, menginjak karpet lantai yang empuk.

Aroma wood dan amber tercium di udara, entah dari aroma parfum yang tertinggal, ataukah mungkin pengharum ruangannya yang beraroma seperti itu. Entah mengapa dia merasa sangat familiar.

Ketika dia mengangkat satu lututnya dan naik ke tempat tidur, bayangan asing menghantam pikirannya diikuti rasa sakit di kepala yang tak bisa dia jelaskan.

"Turun dari tempat tidurku sekarang, Maura!! Tidakkah kau lihat dirimu yang seperti jalang?!"

Maura tercekat mematung di sisi tempat tidur sambil memegangi kepalanya.

"Turun sekarang juga!! Saya tak sudi kamu ada di kamar ini!!"

Siapa? Siapa yang berbicara?

Denyutan sakit di kepalanya semakin menjadi. Maura limbung kehilangan keseimbangan. Kepalanya terbentur nakas sebelum dia jatuh ke atas karpet.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status