"Maura, kamu gak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan.
Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir.Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat."Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?""Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan."Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti.Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepon."Saya tunggu, Dok," ujar pria itu mengakhiri panggilan teleponnya, dan berjalan ke arah oma Ambar. "Dokter akan segera datang.""Baguslah." Oma Ambar mengangguk. "Ayo, kamu tiduran dulu," lanjut wanita tua itu sambil menepuk punggung tangan Maura dan membantu Maura berbaring di tumpukan bantal yang dibuat lebih tinggi."Kenapa kamu bisa jatuh? Apanya yang sakit?" tanya oma Ambar dengan wajah yang masih cemas."Aku ...." Maura ragu ketika sepotong kecil ingatan asing hadir di kepalanya. Dia melirik Dewangga yang memasang wajah datar sambil menatapnya. "Aku gak apa-apa, Oma. Cuma sedikit kecapekan dan kayaknya kurang darah juga, deh." Wajah Maura berubah sendu."Kecapekan? Kurang darah? Apa kamu nggak makan dengan baik? Nggak istirahat dengan baik?" Oma Ambar semakin terlihat cemas. "Ada apa sebenarnya, Maura? Apa kelas memasaknya terlalu berat?""Nggak, Oma, kelas memasaknya seru. Sekarang aku udah baik-baik aja, kok. Oma jangan khawatir, ya.""Untung tadi Mia masuk ke kamar ini sambil bawa baju Dewangga yang udah disetrika. Kalau nggak, mungkin kamu jatuh gak ada yang tahu sebelum Dewangga kembali ke sini," ujar oma Ambar dengan ekspresi wajah sedih. "Apa kita ke rumah sakit aja buat periksain kamu?""Oma nggak usah khawatir. Aku udah baikan sekarang. Cuma butuh tidur aja kayaknya. Kebetulan juga aku udah ngantuk," kata Maura sambil berpura-pura menguap."Ini, tangan kamu lecet-lecet begini kenapa?" tanya oma Ambar sambil meraih tangan Maura yang lecet kemerahan. "Kalau tangan oma kayak gini biasanya dari panasnya detergent pas nyuci baju sendiri. Kamu nggak mungkin nyuci baju sendiri, kan?""Eh? Nggak, kok, Oma," sanggah Maura berbohong. "Aku nggak mungkin nyuci baju sendiri. Buat apa coba? Kan ada Mia."Oma Ambar menatap Mia yang tersenyum kecut sambil tetap memijat kaki Maura."Beneran kamu nggak nyuci baju sendiri?" tanya oma Ambar memastikan.Maura mengangguk. "Beneran, kok, Oma. Mungkin ini karena aku ganti sabun cuci tangan. Sabunnya udah aku ganti kemarin, kok, ke sabun yang biasa dipakai."Oma Ambar mengangguk sambil menghela napasnya panjang."Oma, ini udah malam. Oma istirahat aja. Biar saya yang urus Maura. Lagipula ada Mia juga di sini, yang bantuin," ucap Dewangga membujuk."Nggak. Oma pengen nungguin dokter datang. Kalau dokternya udah di sini dan bilang sendiri bahwa Maura baik-baik aja, baru oma kembali ke kamar," tolak wanita tua itu."Oma, sebaiknya Oma istirahat." Maura juga ikut membujuk. "Aku udah agak apa-apa, Oma.""Enggak. Pokoknya oma mau di sini."Dokter tiba tak lama kemudian. Dia segera memeriksa keadaan Maura."Dokter, gimana keadaan cucu menantu saya?" tanya oma Ambar dengan wajah gusar."Keadaan ibu Maura—""Dokter, mari kita bicara sebentar," pinta Dewangga memotong pembicaraan.Dokter wanita itu berdiri sambil mengangguk dan mengikuti Dewangga ke dekat pintu balkon."Apa keadaannya baik-baik saja?" tanya Dewangga dengan suara perlahan sambil mengamati oma Ambar, memastikan suaranya tak sampai pada wanita tua itu. "Saat ini dia dalam keadaan amnesia, Dok.""Keadaan ibu Maura sekarang sudah lebih baik. Hanya saja, sebaiknya besok dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pasien amnesia butuh perawatan yang tepat dan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Biasanya mereka lebih rentan mengalami stress dan tekanan walaupun keadaan tubuhnya baik-baik saja."Dewangga mengangguk. "Tolong katakan pada oma saya bahwa Maura baik-baik saja. Beliau mengidap penyakit jantung. Jangan sampai beliau terkejut dan jatuh sakit," pinta pria itu penuh harap."Baiklah." Dokter itu mengangguk setuju dan menjelaskan perihal kondisi Maura pada oma Ambar sehingga wanita tua itu sedikit lega.Setelah mengantar dokter sampai pintu depan, dia kembali ke kamar."Oma, Maura tak apa-apa," ujar pria itu. "Sebaiknya Oma segera beristirahat.""Tapi, Dewangga—""Besok pagi saya akan bawa Maura ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jadi untuk sekarang Oma istirahat dulu. Saya tak mau Oma juga masuk ke rumah sakit sebagai pasien gara-gara tak mau istirahat.""Iya, iya. Oma istirahat sekarang. Oma akan kembali ke kamar tamu," ujar wanita itu sambil berdiri. "Maura, kamu lekas sehat, ya, Nak, ya.""Ya, Oma." Maura mengangguk sambil tersenyum."Yanti, antar Oma ke kamarnya. Hati-hati saat di tangga," pinta Dewangga dengan nada tegas."Baik, Tuan." Yanti segera mengangguk dan berjalan di sisi oma Ambar, diikuti Mia yang juga berpamitan.Ketika oma Ambar, Yanti, dan Mia telah berlalu, Maura menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari ranjang."Mau ke mana kamu?" tanya Dewangga dingin."Aku ... mau kembali ke kamar," jawab Maura sambil berdiri mengenakan sandalnya."Diam di sini, kembali lagi ke ranjang," ucap Dewangga setengah memerintah.Maura tertegun sesaat dan menatap pria itu ragu."Tapi bukankah kamu gak suka aku ada di sini?" tanya Maura hati-hati."Memang iya," jawab Dewangga terus terang. "Lantas kamu pikir oma Ambar tak akan kembali ke sini untuk memeriksa keadaanmu tengah malam nanti?""Memangnya oma Ambar akan melakukan hal itu?" Maura kembali tertegun sambil berpikir."Naik lagi ke ranjang dan tidur di sana," perintah Dewangga dengan lebih tegas lagi.Maura melepas sandalnya dan kembali naik. Dia berbaring dengan penuh keraguan. Sepotong ingatan itu, membuatnya sangat waspada dan ingin melarikan diri sejauh mungkin dari Dewangga. Jelas, pria itu membencinya.Lampu utama kamar telah dimatikan. Penerang ruangan hanya dari lampu tidur di kedua sisi ranjang.Dewangga naik ke ranjang yang sama dan berbaring di sisi Maura, namun masih ada jarak yang cukup jauh di antara mereka."Kamu mau tidur di sini?" Maura terkejut sambil bangun dan duduk."Ini ranjangku. Memangnya kalau saya tak tidur di sini mau tidur di mana? Di lantai?" Dewangga menutup matanya sambil menjadikan salah satu lengannya sebagai bantal.Maura menghela napasnya panjang, kemudian dia bergeser lebih jauh dan menatap langit-langit kamar."Kamu takut?" tanya Dewangga sambil membuka matanya dan menoleh menatap Maura.Maura terdiam meremas selimut yang dipakainya, yang juga dikenakan Dewangga."Asal kamu tahu, Maura. Dulu kamu selalu ingin naik ke ranjangku," ujar Dewangga datar."Tapi dulu kamu mengusirku dengan kasar," ucap Maura sambil menatap Dewangga.Kedua pasang mata itu saling bertatapan."Jadi kamu ingat itu?" tanya Dewangga."Aku baru mengingatnya tadi, sedikit.""Oh, baguslah. Aku bahkan bisa mengusirmu dari rumah ini lebih cepat jika oma Ambar tahu kita pisah ranjang selama ini." Dewangga kembali memejamkan matanya. "Ini sudah malam. Aku tak peduli kamu mau tidur atau tidak. Tapi aku tak ingin diganggu."***Keesokan harinya, Maura dan Dewangga sudah berada di rumah sakit. Setelah menjalani beberapa tes dan pemeriksaan, Maura duduk di depan seorang dokter bersama Dewangga."Keadaan ibu Maura cukup baik. Tak ada gangguan kognitif. Perawatan yang dijalani di Perancis sudah tepat," kata seorang dokter sambil membaca hasil pemeriksaan yang baru dilakukan maupun laporan kesehatan Maura yang sebelumnya. "Namun, ibu Maura masih membutuhkan psikolog atau konselor, juga dukungan dari orang-orang terdekatnya agar stress dan tekanannya jauh berkurang.""Baik, Dok. Terima kasih." Dewangga menatap Maura sejenak. "Kalau begitu kami permisi."Dokter itu mengangguk dengan ramah serta memberikan sedikit kalimat dukungan untuk Maura sebelum mereka benar-benar beranjak pergi.Maura dan Dewangga berjalan meninggalkan lobi rumah sakit setelah mengambil obat dan vitamin. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing."Ayo, Maura. Satu jam setengah lagi saya ada pertemuan penting. Jangan berjalan terlalu lama, saya tak ingin terlambat."Langkah Dewangga yang besar dan panjang, membuat Maura yang mengenakan heels 5 sentimeter sedikit kesusahan menyesuaikan langkah kakinya yang kecil. Beberapa kali wanita itu harus sedikit berlari agar dia tak ketinggalan.Ketika keduanya baru mencapai pintu keluar, pijakan kaki Maura goyah dan pergelangan kakinya tertekuk ke samping. Sontak membuat tubuhnya ambruk menabrak tubuh Dewangga yang tegap.Dengan sigap, pria itu menangkap bahu dan pinggang Maura, kemudian menatapnya tajam.Desiran aneh yang asing namun familiar menjalar di dasar hati Maura ketika dia menatap sepasang mata tajam milik Dewangga.Tak!Jentikan jari di dahinya membuat Maura terperanjat."Jangan bengong," kata Dewangga sambil membantu Maura berdiri tegak. "Kakimu baik-baik saja?""Aku gak apa-apa," jawab Maura berbohong menahan sakit."Baguslah." Pria itu kembali berjalan, dan Maura kembali mengikuti dengan langkah pincang."Katamu kakimu baik-baki saja," gerutu Dewangga ketika dia melihat langkah Maura yang terseok-seok.Pria itu segera membantu Maura duduk di salah satu kursi tunggu, kemudian berjongkok melihat pergelangan kaki Maura yang kemerahan."Kalau dipaksakan berjalan mungkin akan tambah sakit dan bengkak," kata Dewangga."Aku gak apa-apa, Dewangga. Tadi kamu bilang kalau kamu lagi buru-buru. Kamu pergi duluan aja, aku bisa pulang sendiri pakai taksi online nanti," ujar Maura sambil menarik kakinya yang masih disentuh pria itu.Dewangga menarik napasnya sambil menatap Maura, kemudian dia berdiri."Kita masih di rumah sakit. Ayo, periksakan dulu kakimu," ucapnya sambil membantu Maura berdiri."Nggak usah," tolak Maura cepat. "Nanti juga sembuh sendiri. Cuma butuh istirahat satu atau dua hari, nanti juga sembuh sendiri."***"Kamu ikut dulu ke kantor," kata Dewangga saat keduanya sudah berada di dalam mobil dan dia duduk di belakang kemudi, sementara Maura duduk di sampingnya. Kakinya baru saja diolesi minyak gosok aroma terapi."Aku udah bilang kalau aku bisa pulang sendiri," jawab Maura keberatan ketika Dewangga membawanya serta."Kamu sepertinya ingin sekali aku bermasalah dengan oma," ujar Dewangga sehingga membuat Maura menoleh terkejut."Aku nggak-""Kamu lupa apa yang oma katakan sebelum kita berangkat ke rumah sakit tadi?" tanya pria itu mengingatkan. "Dia bilang aku sendiri yang harus mengantarmu pulang dalam keadaan baik.""Oh, itu ... aku bisa jelasin ke oma nanti.""Aku akan antar kamu pulang setelah pertemuan selesai," kata Dewangga menutup pembicaraan.Mobil masuk ke area parkir khusus. Dewangga memapah Maura turun dari mobil dan masuk ke lift.Pria itu memeriksa jam di pergelangan tangan. waktunya sudah tak banyak lagi dan ponselnya berbunyi entah yang keberapa kali."Ya, Alena?" kata Dewangga mengangkat panggilannya dan Alena berbicara sesuatu, namun Maura tak dapat mendengarnya dengan jelas. "Jangan khawatir. Saya sudah berada di lift. Lima menit lagi saya sampai."Dewangga mematikan panggilannya."Aku akan mengantarmu ke ruang kerjaku," ucapnya sambil merapikan dasinya, tepat ketika pintu lift berhenti dan terbuka di lantai tempatnya bekerja. "Ayo."Dewangga keluar dari lift sambil memapah Maura.Beberapa pasang mata memperhatikan keduanya sambil saling melirik diam-diam dan bergosip ketika keduanya telah berlalu.Dewangga mendorong pintu ruang kerjanya dan membawa Maura masuk."Duduklah aku akan—""Bos, saya pikir Anda akan—" Zefan langsung mendorong pintu ruang kerja Dewangga yang tak tertutup rapat ketika Maura baru saja duduk di sofa. Dia tak meneruskan lagi kalimatnya namun wajahnya berubah syok."Nyonya Maura?! Bagaimana Anda bisa ada di sini?!" Keterkejutan tak dapat Zefan sembunyikan.Selama Dewangga menikah, baru kali ini bosnya membiarkan Maura datang ke kantor. Padahal dulu, pria tak berperasaan itu tak pernah sekalipun mengizinkan Maura menginjakkan kakinya walaupun hanya di tempat parkir.Tapi hari ini dia melihatnya duduk di sofa ruangan kerja bosnya. Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi?"Oh? Aku ...." Maura hendak berdiri, tapi Dewangga menahan bahunya agar dia tetap duduk."Zefan, apa Dewangga udah .... Oh, Dewangga. Baguslah kamu udah dat—" Alena datang dengan beberapa berkas di tangannya. Wajahnya berubah syok sama seperti Zefan ketika dia melihat Maura di sana."Maura?! Kamu ngapain di sini?!"Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup.Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya."Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri.Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus."Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena."Tapi Dewang—""Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena.Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati."Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewangga sambi
Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan."Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan."Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak.""Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya gak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap."Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak aja.""Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura."Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin mencema
Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos."Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Itu bisa menjadi fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?"Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu."Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu."Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun."Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan."Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan semakin aku tak percaya," gumam Zefan
Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas.Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya."Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran.Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta.""Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan.Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan.""Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana."Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup alot dan
"Maaf, Alena. Kamu bisa bersama Dewangga nantinya," kata Maura perlahan dengan perasaan yang semakin bersalah. "Aku ... sudah menanda-tangani surat perceraian itu. Setelah tiga bulan, kalian bisa bersama secara resmi.""Begitukah?" Alena menatap Maura dengan pandangan rumit. Dalam hatinya, wanita itu bersorak karena tiba-tiba dia memiliki sebuah ide. "Mengapa harus menunggu tiga bulan? Mengapa tidak sekarang?""Itu karena aku—""Alena? Mengapa kamu ada di sini?"Di atas tempat tidur, Dewangga telah bangun dan duduk menatap keduanya yang tengah berada di ambang pintu."Hai, Dewangga. Selamat pagi," sapa Alena dengan senyum hangat. "Aku datang buat jemput kamu. Kenapa kamu baru bangun? Ini udah siang.""Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau mandi di kamar sebelah," kata Maura sambil terburu-buru pergi dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit."Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Dewangga dingin sambil menatap tajam Alena.Alena tersenyum kaku. "Aku nggak bilang apapun.""Benarkah?" D
Alena memegangi pergelangan kakinya dengan wajah sendu dan berurai air mata."Alena, kamu baik-baik saja? Apanya yang sakit?" tanya Dewangga panik sambil berjongkok di depan wanita itu. "Apa kakimu terkilir?""Sepertinya begitu, Dewangga," jawab Alena sambil mengangguk penuh kasihan. "Pinggangku juga sakit."Maura menyaksikan adegan itu. Hatinya kembali berdenyut, lebih sakit dari sebelumnya."Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang," ajak Dewangga sambil membantu Alena berdiri."Aku gak apa-apa, Dewangga," jawab Alena sambil menggeleng. Dia berdiri dengan pincang sambil berpegangan kuat pada tangan Dewangga. "Maura cuma gak sengaja dorong aku."Maura tercengang. Mengapa Alena berbohong dan menuduhnya? Terlebih wanita itu mengadu pada Dewangga seperti itu.Maura mempertahankan kesabarannya. "Alena, mengapa kam—""Segera minta maaf, Maura," potong Dewangga dengan tatapan dingin yang menghujam.Hati Maura memanas, juga berdarah. Maura menggeleng. "Mengapa aku harus meminta maaf?""Sud
Di rumah sakit, Dewangga kembali memakai jasanya ketika Alena telah selesai melakukan pemeriksaan tahap awal."Kamu mau pergi?" tanya Alena yang berbaring di ranjang pasien."Saya sudah menghubungi orangtuamu. Sebentar lagi harusnya mereka tiba," ujar Dewangga sambil mengecek arlojinya. "Besok kamu harus menemui dokter ortopedi untuk memeriksakan tulang kaki dan pinggangmu—""Jadi, kamu gak mau nemenin aku di sini?" tanya Alena dengan wajah memelas."Kamu bukan lagi anak kecil, Alena." Dewangga mengecek ponselnya sebelum beranjak. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mia. Entah apa yang terjadi di rumah.Alena mengepalkan tangannya. Hatinya terasa pilu mendengar jawaban pria itu."Saya akan pulang sekarang," ujar pria itu sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jas bagian dalam, kemudian dia berjalan menuju pintu."Apa kamu mencintainya?" Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Dewangga mematung. Dewangga tahu siapa yang Alena maksud. Pria itu tak menoleh meski tangannya baru men
"Lihat, kan, Tuan? Mia udah ngaku," ujar bu Asih senang karena tak hanya dirinya yang terkena masalah.Mia terdiam sambil menelan ludahnya. Dia tahu dia sudah melakukan kesalahan karena Dewangga tak ingin siapapun melayani Maura."Beberapa hari ini Mia membantu nyonya Maura melakukan semuanya dari mulai memasak, sampai membereskan kamarnya, Tuan," adu bu Asih. "Mbok Narti juga tuh."Mbok Narti menghela napasnya. Dia sudah pasrah jika harus mendapatkan peringatan keras dan gajinya dipotong."Tuan, oma Ambar sering berpesan pada saya buat jagain dan bantuin nyonya Maura," kata Mia membela diri. "Karena itulah saya tetap membantu nyonya Maura walaupun udah Tuan larang."Dewangga terdiam beberapa saat kemudian dia berbicara dengan ekspresi datar, "Bagaimana dengan bu Asih? Apa Bu Asih juga membantu Maura secara diam-diam?""Saya? Oh, saya manut, Tuan. Saya gak pernah bantuin nyonya Maura apapun. Biar aja nyonya Maura yang ngerjain sendiri," jawab bu Asih senang. "Pokoknya, saya gak bakal m