Share

Sebening Tirta
Sebening Tirta
Penulis: Vie Muthiyya

Horrendoma

Jika saja nyawa mampu dibeli dari Tuhan, maka akan kubeli untuk kalian. Namun tidak, nyawa adalah sebuah pinjaman yang bisa diambil kapan pun sang pemberi pinjaman ingin mengambilnya. -RanuTirta-

                               ~○0○~

“Di mana ventilator? Kita butuh ventilator lagi, segera!” Seseorang dengan jubah serba putih berteriak kepada siapa saja yang mendengar di ruangan itu sembari terus berjalan. Sebenarnya, sedikit berlari.

Di tempat ini, semua orang berjalan dengan kesibukan dan pikiran mereka masing-masing. Beberapa terlihat serius dan gelisah yang lain seolah membawa beban sebesar gunung dalam pundaknya.

Beberapa orang nampak lalu lalang di sekitar koridor mengenakan setelan katun berwarna hijau mint atau biru muda. Tangan mereka nampak sibuk membawa berkas-berkas atau cairan-cairan berbau aneh yang diletakkan di dalam tabung yang juga aneh. Beberapa orang keluar dari ruangan dengan kepala mereka terbungkus sesuatu berbahan seperti plastik penutup rambut saat mandi, tangan mereka terbungkus sarung dari karet, sebuah benda berujung bulat berbahan logam yang mengkilap tergantung di leher sedangkan wajah mereka tertutup masker dari tengah hidung hingga bawah dagu.

"Pasien horrendoma di UGD III, tolong bawakan ini ke sana, sekarang. Aku harus mengambil sesuatu." Seseorang dengan jas putih terbuka hingga batas lutut itu berbicara kepada salah satu rekannya.

Rumah, beberapa bahkan lebih banyak orang akan mengubah air mukanya mendengar kata tersebut. Tempat kembali paling nyaman di mana rindu-rindu memeram temu. Huma, di mana setiap luka selalu menemukan penawar. Jika dunia adalah sebuah zigot, maka rumah ialah rahim, di mana sebuah kehidupan mulai bertumbuh.

“Korban KLL di IGD mengalami fraktur parah di beberapa bagian, tetapi belum ada satu pun keluarganya yang muncul. Bagaimana ini, IGD kita semakin sesak?” Seseorang dengan seragam putih bersih, lengkap dengan segala atribut yang melekat berbicara dengan napas sedikit memburu, tetapi intonasinya tetap terkontrol.

“Dokter, pasien ruang kepler status dramaticus lagi.” Seorang perawat jaga yang baru saja keluar dari ruang perawatan VIP mengeluh ketika berpapasan di lorong denganku.

“Panggilkan Danik, dia akan dengan mudah mengatasinya. Lagipula, untuk apa kau ke sana? Itu bukan tugasmu, status dramaticus adalah spesialisasinya. Di mana nyonya muda itu sekarang?” Aku menjawab keluhannya tanpa menoleh sama sekali, bahkan masih terus melangkah.

“Sepertinya aku baru saja mendengar namaku disebut.” Wanita itu tiba-tiba saja muncul dari lorong samping dengan menjinjing banyak berkas di tangan kanan. Aku hanya memutar bola mata, melirik sebentar sambil melempar senyum nakal, lalu melanjutkan langkah. Nampak sekali kelelahan yang menggelayuti wajah yang tak pernah alpa dari ulasan senyum di bibir manisnya yang sensual. Melihatku yang tak banyak memberi reaksi, perawat berpostur mungil itu memasang muka masam sambil berlalu membawa berkas-berkas di tangannya.

Tempat itu sesungguhnya jauh dari kata menyeramkan, bangunan empat lantai yang megah dengan lahan parkir luas, di bagian depan, taman bunga warna-warni menyambut siapa pun yang singgah dengan senyum cerah. Suara gemericik air mancur dan kolam ikan mini di tengah taman sungguh menenangkan hati. Pohon-pohon buah yang rimbun, beberapa tempat duduk berkanopi dan jalan setapak berkerikil kecil, sungguh manis sekali.

“Di mana Damar?” Tanpa sedikit pun mengurangi laju langkah, kulontarkan balik sebuah pertanyaan pada Martha yang masih menunggu pendapatku mengenai korban KKL yang kuyakin masih terbengkalai.

Ketenangan itu seharusnya bertambah sejuk dengan keberadaan musholla kecil di sebelah barat daya taman. Tempat ibadah mungil berdinding hijau yang menyejukkan hati, bagian dalam musholla pun sama tenangnya dengan bangunan luar. Ruangan sebesar 6x5 meter itu memiliki ornamen kaligrafi unik di bagian dalam.

Pendingin ruangan yang tak pernah padam ditambah aroma terapi yang memanjakan. Rak buku mini di sudut timur laut penuh dengan kitab-kitab dan buku motivasi keagamaan. Tertata rapi berderet-deret sesuai dengan ukuran, terlihat seperti tangga dari buku berwarna-warni. Jika kau bertanya bagian dalam bangunan tersebut, tak jauh berbeda dengan bagian luar yang mewah. Bangunan empat lantai berdinding putih-hijau di bagian luar itu ternyata nampak lebih mengagumkan lagi bagian dalamnya.

Aroma khas yang menusuk penciuman langsung menyambut di lobi depan, ruang tunggu yang nyaman dengan puluhan tempat duduk yang empuk dan AC full dua puluh empat jam. Resepsionisnya ramah dan murah senyum, jangan lupakan tentang cantik, ya, walau standar untuk itu relatif bagi setiap orang.

“Di UGD II, Dok. Arthrodesis.” Langkah kakiku perlahan melambat, wanita berpakaian setelan kemeja biru muda dan celana panjang dengan warna senada yang sejak tadi kesulitan menyejajari langkah nampak gugup saat tubuhku berbalik, menatapnya.

“Flooby? Suruh dia tangani pasien itu, arthrodesis bisa dilakukan tanpanya.”

“Tapi keluarga pasien belum--." Kulayangkan tatapan tajam menusuk sebelum ia menuntaskan kalimatnya. Wanita ini, sulit sekali dikasih tahu.

“Bilang sama Damar kalau dokter Ranu Tirta yang suruh. Managemen tempat ini saya yang atur, jadi masalah administrasi pasien itu, biar saya bereskan.” Wanita berwajah langsat dengan riasan yang mulai acak-acakan dan wajah berminyak ini cepat mengangguk dan berlalu.

Wanita itu memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah panjang yang cepat. Aku masih melanjutkan langkah, kali ini dengan sedikit santai menuju tikungan depan. Koridor di tempat ini lebih dominan nuansa putih yang menenangkan, walaupun faktanya mendengar kata Medica Center saja bisa membuat seseorang dengan tingkat traumatis berat akan pengobatan dan terapi bergidik ngeri hingga mual-mual.

“Jadi, Dokter. Bisa kau terangkan apa maksud perkataanmu tadi? Aku, spesialis status dramaticus? Hei, kau mau aku cepat keriput, ha?” Wanita itu telah kembali dari lorong yang berlawanan entah sejak kapan. Lalu tiba-tiba saja dia sudah menyejajari langkahku, kini di tangannya tak ada lagi tumpukan berkas yang tertinggal hanyalah wajah kesalnya dengan bibir manyun yang menggemaskan. Aku hanya memandang dengan senyum geli untuk sekedar menggangunya.

“Kembalilah ke tugasmu, kita sibuk hari hari ini,” ujarku padanya sambil menahan tawa. Aku sedang tak bisa banyak bercanda dengan wanita itu, tempat ini selalu membutuhkan lebih banyak perhatian dariku.

Wanita 155 cm dengan tubuh yang tak bisa dibilang kurus walau tidak juga dapat dikatakan berisi itu memutar bola mata sambil melirikku sejenak. Tak berapa lama dia memacu langkah menjauh dariku, berbelok di koridor depan untuk melanjutkan tugasnya.

Setelah melewati lobi depan, aura ketenangan pun berpindah menjadi kegelisahan. Setiap orang berjalan hilir mudik dengan jubah putih atau setelan biru muda lengkap dengan tudung dan masker. Orang-orang resah menunggu di sepanjang koridor, duduk atau berdiri gugup, beberapa menunggu di depan ruangan berlampu merah menyala seraya menutup wajah, menyeka peluh berkali-kali, menangkupkan tangan, menengadah merapal doa bahkan menangis sesenggukan yang lain terlihat tersenyum bahagia, menguatkan satu sama lain atau hanya berpura-pura tersenyum saja. Entahlah, tak seorang pun dapat membaca hati, pun tak ada alat enkripsi yang mampu menafsirkannya untukku.

“Dokter Tirta!” Teriakan lantang dari koridor utara tempatku beranjak dari pembicaraan dengan perawat tadi, memaksa tubuh berbalik arah menuju sumber suara.

“Pak Bagas, jadwal menunggu lagi?” Aku mengenal lelaki itu, sudah beberapa hari ini menunggu keluarganya yang sedang dalam perawatan.

“Ibu sudah diijinkan pulang hari ini, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan dokter selama ini. Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak bertemu dokter.” Seulas senyum terbit dengan cerah di wajah tanpa dapat kukekang.

“Jangan pada saya, berterima kasihlah pada Tuhan yang memberi ibu Pak Bagas kesempatan sembuh. Saya hanyalah perantara, jaga beliau dengan baik. Maaf saya permisi, ada beberapa hal yang harus saya tangani.” Sekali lagi masih dengan senyum penuh kesopanan kutinggalkan lelaki paruh baya tadi sambil mengangguk sopan.

‘Tuhan, apakah tadi lidah ini kesleo menyebut nama Tuhan?’ Batinku tergelak. Bagaimana kau memberi nasehat sebijak itu bahkan saat kau sendiri masih mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam laju takdir yang akan semakin kupertanyakan kehadiran-Nya pada satu pekan kemudian hingga hari-hari panjang selanjutnya.

Mengapa? Mungkin bisa dimulai dari menceritakan pemandangan di sini yang sudah mirip scene film alien. Makhluk-makhluk berpakaian serba keperakan, tertutup dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan beberapa memakai masker aneh di wajah yang membuat mereka seolah terlihat memiliki belalai. Setiap hari seperti itu tanpa pernah dilepas.

Mungkin dunia yang mulai menua, membuat tubuh bumi kian renta. Imunitas yang makin terkikis oleh residu mesin-mesin berteknologi tinggi, keserakahan manusia yang tak terbendung dan evolusi rekayasa genetika membabi buta.

Apakah kita yang tak pernah mempersiapkan diri atau alam yang murka sedang menyiapkan sistem seleksi? Sepertinya bahkan para pramuka pun telah lupa pada bunyi dasadharma yang kedua. Tak ada cinta tersisa yang terlibat dalam interaksi bersama bumi ini, kurasa.

"Ranu, bukankah kau seharusnya di ruang operasi?" Hanya satu orang yang memanggilku dengan nama itu. Aku menoleh, menatap perawat yang tadi terlihat manyun karena kelakar tentang status dramaticus di koridor selatan.

"Kau tahu, mengapa rasa sakit lebih ditakuti dari pada ketakutan itu sendiri?" Aku memandang lekat ke dalam wajahnya, ada gurat kebingungan yang terlihat jelas di sana.

                                ~○0○~

“Tolong, dia milikku satu-satunya,--.” Seseorang berbicara kepadaku dengan berkaca-kaca. Di sudut utara tak jauh darinya, seorang gadis belia digeladak dalam kereta dorong. Kondisinya buruk, napasnya terlihat sesak dan tersengal-sengal, bibirnya memucat dan wajah itu nampak sayu sedang matanya memerah sama dengan sekujur tubuh yang kulitnya penuh dengan bintik kecil merah dan ruam di sekitar lipatan kulit. Keadaannya benar-benar horrible.

Mereka mendorongnya dengan tergesa, berkata memerintah satu sama lain dengan kalimat pendek dan tegas. Air muka mereka tegang penuh keseriusan, lenyap sudah bersit senyuman, lindap semua tawa dan canda. Wanita paruh baya itu mulai menangis saat digiring menuju satu ruangan khusus, tentu dia harus diperiksa juga, kemungkinan untuk terpapar sangat besar. Sungguh pemandangan yang ironi, jika saja nyawa mampu dibeli dari Tuhan, maka akan kubeli untuk kalian. Namun tidak, nyawa adalah sebuah pinjaman yang bisa diambil kapan pun sang pemberi pinjaman ingin mengambilnya.

“Dokter, kita kekurangan tabung oksigen.” Seorang perawat dengan kostum keperakan layaknya seorang astronot hendak menuju kripton berkata dengan nada putus asa.

Hatiku tertawa kecut, bercandakah itu? Sayangnya tidak, kita masih hidup di bumi dan belum pindah ke Orion. Namun, untuk bernapas beberapa dari kita membutuhkan tabung berisi oksigen yang berharga fantastis. Padahal Tuhan telah memberi kita dengan harga gratis.

Di taman depan pokok-pokok mangifera dan hibiscus masih tegak berdiri, daunnya merimbun dan berbuah lebat. Mereka adalah pabrik oksigen paling besar di muka bumi. Kokoh nan gagah menopang daun pada setiap dahan dan ranting, di setiap sudut taman serta area lain. Setiap tujuh meter, satu pohon yang lebat ditanam.

“Stok gudang?” tanyaku padanya.

Pemuda dua puluh lima tahun itu diam sejenak, terlihat ragu-ragu hendak berucap. Aku tak bisa melihat wajah atau sorot mata yang kuyakini sudah sangat kelelahan itu. Helm astronot itu menyembunyikan wajah mereka, lelaki atau perempuan kini tak bisa dibedakan lagi, kecuali ia angkat suara.

“Bahkan di gudang darurat. Stok khusus juga habis.” Kini napasnya terdengar berat. Seberat beban yang tertanggung di pundak.

Kutukan Tuhan atau semacam lelucon apa lagi sekuel takdir kali ini? Apa pun itu, selalu butuh sesuatu atau seseorang untuk membalik takdir buruk yang sebentar lagi menimpa lebih banyak umat manusia. Keningku mengernyit spontan, habis?

Aku telah menyimpan berton-ton tabung oksigen di ruang penyimpanan khusus untuk hal-hal tak terduga. Wabah macam ini bukanlah sesuatu yang tersebar secara tidak disengaja.

Ayolah, saat ini teknologi semakin mutakhir. Bahkan jumlah daun yang jatuh setiap tahun di musim gugur pun dapat diperkirakan perhitungannya dengan berbagai cara. Pandemi, bukanlah rumor yang tiba-tiba datang, melainkan wacana yang sudah dibicarakan bahkan sejak beberapa dekade sebelumnya. Bukankah Einstein pernah berkata bahwa semua hal dapat dihitung, walaupun tidak semua yang dapat dihitung telah diperhitungkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status