Share

Lorong Rahasia di Roof Top

Kita ini tumbal hidup. -Dokter Tirta-

 Tak ada rahasia yang tak mampu kuselidiki, tak ada celah yang alpa dari pandangan mata, tak ada kode yang tak dapat terenkripsi. -Sang Elang-

                             ~○0○~

Ini semua seharusnya tidak perlu terjadi. Jika saja di konferensi terkutuk tiga hari lalu itu Direktur membeberkan semua yang ia tahu tentang keadaan yang pasti terjadi. Lelaki misterius itu tahu banyak mengenai berbagai hal. Rahasia paling dalam, paling kelam yang dimiliki oleh dunia.

Tiba-tiba seisi ruangan ini seolah berada dalam tabung raksasa yang dilemparkan memutar ke udara, tubuhku sedetik merasakan seperti berada di ruang hampa udara. Kaki mencoba untuk tetap kokoh berpijak ke lantai, tangan refleks mencari sesuatu sebagai pegangan, perawat lelaki tadi, dengan sigap memegangiku.

“Dokter baik-baik saja?” Terlihat sekali dia khawatir. Tangan pun refleks membuat isyarat agar membawaku sejenak duduk.

Pemuda ini agak ragu-ragu untuk mendekat, aku tahu yang ada dipikirannya. Beberapa hari bergumul dengan pasien yang terdeteksi membawa virus baru yang berbahaya, tentu saat limbung sedikit membawa rasa waspada yang besar bagi banyak orang di sekitar.

Aku menyandarkan tubuh di kursi panjang dekat koridor taman, tidak banyak pasien yang berada di sini, karena ini taman di ruang Archimedes. Hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan akses menuju ruangan ini. Di sini terdapat beberapa laboratorium pemeriksaan serta kamar brankas rekam medis pasien.

“Dok ... ter ti-tidak sedang demam ‘kan?” Dengan sedikit gemetar, ia terbata menayai. Mendudukkanku di kursi tunggu depan ruang ICU yang kini lengang. Lampu yang beberapa jam lalu menyala, kini padam. Sejenak ia berdiri, ragu-ragu, memilih menjaga jarak dariku.

Lelaki 160 cm yang tingginya hanya selisih 10 cm dariku itu berdiri sedikit menjarak dari kursi panjang. Tangannya sedikit gemetar terulur pada otot bisepku yang tertutup pakaian khusus yang kukenakan, seolah khawatir aku benar-benar limbung. Apakah dia pikir olahraga teratur yang membentuk otot dan dada bidangku tak mampu menahan serangan virus atau penyakit yang datang?

“Aku tahu yang kau pikirkan. Tidak masalah, refleksmu bagus sekali.” Sambil mengibaskan tangan ke wajah sang perawat, untuk menenangkan hatinya, kasihan sekali, dia bahkan bingung harus berbuat apa.

“Kita memang harus meningkatkan kewaspadaan dua sampai empat kali lipat lebih tinggi. Dengan rekan, pasien dan diri sendiri.” Sambil berusaha memijat dahi untuk meredakan rasa nyeri di kepala, aku lupa bahwa helm terkutuk dari hazmat yang kukenakan itu masih nangkring di sana.

Cuaca hari ini sebenarnya sedikit mendung, nampak dari sisi koridor, langit-langit yang terbuka di tengah taman. Belum lagi pendingin ruangan yang aktif 24 jam di setiap sudut dan koridor. Namun, tubuh ini tetap saja meneteskan peluh tanpa henti, ini semua disebabkan oleh baju badut ini. Taman di sini selalu memiliki langit-langit yang terbuka agar mendapat cahaya matahari langsung, walaupun teknologi cahaya surya buatan saat ini marak digunakan dalam desain arsitektur taman modern yang sengaja dibangun di dalam ruangan, tetapi Direktur lebih memilih membuat taman dengan konsep naturally. Konsep yang dimaksud bukanlah hanya sekadar desain interior saja, tetapi benar-benar back to nature, itulah alasannya taman selalu berada di bagian samping gedung. Agar lebih mudah memasukkan cahaya matahari langsung ke taman.

“Kita ini tumbal hidup. Jaga stamina apa pun yang terjadi. Omong-omong, aku tidak demam, tapi kau boleh memeriksaku jika ragu.” Perawat itu mengangguk sembari menunduk sesaat, entah ketakutan karena virus atau takut dianggap kurang ajar olehku.

Aku membuka helm hazmat, menyisir rambut setengah ikal yang hampir sepanjang bahu ke belakang. Menghirup udara banyak-banyak melalui saluran hidung ke dalam rongga dada. Menyesakkan sekali pakaian terkutuk ini. Sungguh memakai seragam ini membuat tubuh seolah masuk ke dalam kuali panas. Lelaki itu mengangguk pelan seperti orang yang sedang kebingungan.

Sebenarnya itu adalah sikap alami yang wajar. Hanya saja, ketakutan seperti tadi dapat dimanipulasi oleh beberapa orang. Sehingga dalam kekalutan ini, akan ada kegemparan yang justru lebih berbahaya dari pada efek virus itu sendiri.

Aku berjalan ke ruang pemeriksaan khusus. Melintas di hadapan perawat muda yang masih kebingungan. Aritmia jantung sudah kembali normal, bola mataku pun sudah mulai jelas menangkap apa saja yang ada di sekitar. Namun, rasanya ketika berjalan koridor ini jadi dua kali lebih panjang dari biasanya, tubuh pun serasa lebih berat, seolah gravitasi menjadi dua kali lipat dari normal.

“Kau masih diam saja? Protokol kedua, jika melihat hal janggal dari diri atau rekanmu, jangan ragu untuk segera memeriksa. Keraguan adalah celah yang cukup untuk iblis menghabisi umat manusia. Ingat itu. Buang semua ragumu!” Pemuda itu masih terdiam hingga mulutku berbicara. Patah-patah mengikutiku menuju ruang pemeriksaan. Memanggil petugas jaga.

Tak seorang pun bisa menghindar jika wabah sudah menyebat di sebuah wilayah. Tak satu pun makhluk dapat mengaku paling kebal ketika antibodi tubuh mengatakan tak siap dengan DNA asing yang mengacaukan sistem kerjanya, dan aku tak bisa mengatakan bahwa sistem imun telah kalah dari virus terkutuk yang lolos dari kurungannya itu.

                                 ~○0○~

Ruang isolasi khusus ini mengingatkanku pada lorong-lorong pengap dan sempit yang kulalui 3 hari lalu bersama pria itu. Tiba-tiba saja ingatan ini terproyeksi ke sana. Bahkan urat-urat syaraf pada kaki masih jelas mengingat setiap ketukan sepatu yang beradu dengan lantai marmernya.

Saat itu, kedua kaki ini seolah melayang, tanpa merasakan lelah memangku beban tubuh puluhan kilo, ia terus menapak selangkah demi selangkah susul menyusul, seolah kaki kanan dan kiri sedang berlomba meraih garis finish. Ayunan langkah kaki melaju dengan cepat, bahkan belum sempat si kiri menyapa lantai marmer hitam legam yang mengkilat bak pualam, si kanan sudah bersiap maju ke depan.

Sigap dan pasti langkah ini mengiringi pria lima puluh lima tahunan yang berjalan tegap dan mantap di depan. Langkahnya panjang dan tenang, tetapi cepat dan pasti menyusuri sepanjang koridor yang terletak dalam gedung bercat putih ini. Benar-benar tidak mencerminkan usianya yang senja. Badan pria tersebut tinggi tegap, bahkan terkadang aku merasa kegagahannya mampu menyaingi pesonaku sebagai seorang doktor muda yang cakap. Gurat-gurat ketampanan khas negeri barat dengan garis pipi yang tegas mewarnai wajah pria berkulit blondie itu. Jika saja rambut itu tidak diwarnai dengan cat rambut warna hitam, maka tak banyak orang yang salah sangka mengira pria ini adalah kakakku.

Baru kutahu ada tempat begitu dingin dan kaku, menyebalkan sekali. Gedung dengan tinggi ribuan meter di atas permukaan laut ini begitu arsitektur dan futuristik, tetapi seolah tidak punya jiwa. Lantai marmer berwarna pastel dipadu dengan dinding berornamen bilahan kayu tua yang mengkilap seperti dipernis. Hiasan langit-langit atap yang memesona di lobi depan, dengan hiasan semacam kubah besar bertingkat. Ornamen-ornamen kecil menghiasi di tiap bagian pangkal kubah. Namun para pekerja di tempat ini seolah memiliki tatapan kosong dan senyum yang dipaksakan, orang-orang yang memasuki gedung seolah sibuk dengan dunianya sendiri, membuat tempat ini kosong tak berjiwa. Pernahkah kamu memperhatikan manekin?

Kira-kira sama seperti itu ilustrasinya, manekin yang dipajang di etalase dengan aneka hiasan indah menawan, tak jarang berharga sangat mahal. Bahkan, tak sedikit dari mereka dipoles riasan mempesona, tetapi tetap saja dia tak memiliki jiwa. Mati, tak dapat bergerak dan kaku.

Langkah kaki pria di depanku tiba-tiba berhenti tepat di muka dinding berpintu licin seperti kaca. Nampak bayangan pria tua itu pada pintu tebal metalic, mengenakan setelan jas berwarna dark grey dengan celana senada dipadu dengan kemeja broken white.

Dasi blue electric bermotif garis yang terikat rapi di kerah kemeja menambah kesan eksklusif, style bagian bawah sepasang sepatu merk kenamaan dunia dengan design simpel menghias sepasang kaki bernomor empat puluh, membuat kesan wibawa yang mendalam. Kuncup mawar dusty pink tak pernah absen dari saku jasnya, menambah kharisma pria berpembawaan tenang itu. Entah bagaimana ia selalu mendapatkan kuncup mawar segar untuk diselipkan di saku jasnya dan jangan lupakan soal rambut, gaya pomade formal selalu menjadi favorit pria tua ini.

Kontras sekali dengan penampilanku yang tidak bisa dibilang terlalu formal. Walaupun gayaku tidak bisa dibilang berantakan, tetapi aku lebih suka memakai gaya casual. Seperti memadukan kemeja krem dengan simpel vest hitam dan celana chinos pastel gelap. Sebagai sentuhan akhir, aku memilih sneaker sebagai fashion yang menghiasi alas kaki. Rambut ikal dengan gaya classic pompadour yang mulai tumbuh memanjang memertegas bentuk rahang dan lesung pipiku. Sebuah jam tangan sport kenamaan dunia yang ditambah fitur tambahan khusus melengkapi style hari ini.

Lima detik setelah bunyi berdenting, pintu di hadapannya terbuka. Beberapa orang dengan setelan jas bernada gelap berhambur keluar dengan kesibukan masing-masing. Menenteng koper, sibuk memeriksa berkas sambil berdiri, menelepon atau sekedar menyelancarkan jempol di layar gawai.

Semua memiliki keselarasan pola yang sama, entah sadar atau tidak. Wajah-wajah itu tak mampu kuperhatikan. Mereka menutup sebagian muka dengan penutup wajah, hanya bola mata dan segaris alis yang nampak. Namun, kurang lebih cukup untuk membaca satu atau dua hal tersembunyi, bahwa mereka sama-sama ketakutan dan saling curiga.

Delapan puluh, begitu bacaan angka yang tertera di dinding layar saat pintu tertutup. Pria lima puluh lima tahun pemilik tubuh atletis dan nampak puluhan tahun lebih muda itu cekatan menekan tombol angka, seolah tak ingin orang lain mendahuluinya.

Pintu lift menutup dengan kilat, hanya butuh beberapa menit sampai akhirnya pintu terbuka kembali. Dia masih belum berbicara sepatah kata pun, sedangkan lidah ini masih segan mengucap tanya. Walau kepala ini hampir sesak dengan banyak pertanyaan.

“Sampai di sini, kita akan berjalan manual, Lang. Semoga kau tidak lupa cara menaiki tangga.” Dia berbalik, sedikit menyunggingkan senyum.

Pria ini bercanda? Aku mengerang dalam hati. Dia pikir gedung empat lantai tempat ia memerangkapku delapan tahun terakhir memiliki akses lift ke mana pun? Di setiap sudut, tangga berundak memutar panjang dan melelahkan selalu menyambut tapak kaki ini.

“Ini sudah lantai delapan puluh ‘kan, Direktur. Kita tidak mungkin melakukan konferensi di roof top, kan?” Mataku mengedar ke sekitar. Tidak mengerti maksud dari kata ‘berjalan manual'. Bukankah gedung ini hanya memiliki delapan puluh lantai dan di dalam lift tadi, jelas-jelas layarnya menunjuk angka delapan puluh?

Pria tua dengan dandanan parlente itu kembali tersenyum. Senyum yang biasanya selalu misterius, tetapi kali ini senyum itu seolah menggambarkan candaan berbalut ejekan. Apakah dia sekali lagi mengelabuiku?

Ketukan sol sepatu kulit milik pria kharismatik itu kembali terdengar, melangkah susul menyusul selama beberapa menit, lalu terhenti oleh dinding pualam yang tegak menantang di hadapan. Terdiam dua detik, nampak sedikit ragu lalu berbalik ke arah lift dan tersenyum hangat.

“Rahasia di balik rahasia, Elang. Itulah yang menarik.” Sepersekian detik, kupikir ia akan melangkah berlawanan arah.

Namun, ternyata ia kembali membalik badan lalu dengan lincah jemari itu mengetuk dinding berwarna abu-abu kelam dengan sebuah pola. Itu sandi. Bagaimana bisa mata ini tidak menyadari bahwa dinding di hadapanku seperdelapannya adalah layar dan bagian lain merupakan pintu geser elektrik.

Baiklah, rahasia di balik rahasia, dia dan semua orang memberiku julukan sang Elang bukan tanpa alasan. Tak ada rahasia yang tak mampu kuselidiki, tak ada celah yang alpa dari pandangan mata, tak ada kode yang tak dapat terenkripsi. Oh, baiklah, kecuali kode dari makhluk bersandi “wanita”, mari temukan sandi dari lukisan da vinci.

Pssh ... pintu terbuka dan sebuah lorong panjang dengan tangga kecil di ujung telah menanti. Koridor ini gelap dan pengap. Penerangan satu-satunya hanyalah lampu bohlam lima puluh watt di atas sana. Kurasa telur ayam akan lebih cepat menetas jika disimpan di sini.

Lorong ini hanya selebar tiga sampai empat kaki saja, jika di depan ada pria tambun dengan lingkar pinggang 106 cm berjalan berlawanan, bisa dipastikan kita akan terhimpit. Apakah saat membuat ini orang-orang tidak memikirkan itu? Mereka pikir para pejabat itu rajin ke gym sehingga tubuh mereka seatletis aktor black mafia di film-film hollywood atau korea? Lawakan yang lucu.

“Kita tidak akan keluar lewat lorong ini lagi nantinya. Pintu keluar ada di sisi lain gedung, Lang. Agar tidak mencolok. Jadi berhenti membayangkan kita terjebak di tengah lorong sempit dan pengap karena terhalang orang berbadan lebar.” Pria tua cosmopolitan itu tergelak sebentar saat membicarakan hal itu.

Sejak kapan dia jadi ahli dalam menebak pikiran orang? Itu hanya menambah daftar panjang kekesalanku padanya, sungguh betapa lambat waktu berlalu ketika berhadapan dengan pria tua ini. Coba lihat sekarang, aku harus menghadiri sebuah konferensi yang akan memakan waktu berjam-jam dengan pilihan topik yang membosankan, mungkin ada baiknya jika tadi aku membawa serta bantal tidur.

Lorong ini cukup untuk membuat penderita claustrophobia dan nyctophobia kehabisan napas sebelum sampai di ujung tangga. Tempat ini seharusnya dilengkapi dengan tabung oksigen dan lampu suar untuk para penderita phobia.

Apa susahnya memasang lampu yang lebih terang, sih. Jika memasang teknologi seperti pintu tersembunyi di ujung gang bisa mereka lakukan, maka kesan apa yang ingin mereka tampilkan dengan hanya memberi penerangan lampu lima puluh watt pada lorong dua puluh kaki ini, memberi kesan dramastis?

“Kita menaiki tangga. Sudah menemukan sesuatu selama berjalan di lorong tadi selain memikirkan penderita claustrophobia, Dokter?” Dia sengaja mengucapkan kalimat itu untuk mengejekku.

Seringai lebarnya mengingatkan pada serigala lapar yang menemukan sekawanan domba gemuk sedang merumput tanpa penjagaan.

Di sana terdapat 216 anak tangga dengan undakan yang ringan, tidak membuat kaki cepat lelah saat menapaki satu demi satu anak tangga tersebut. Semakin ke atas, penerangan mulai semakin baik. Lorong tangga pun sedikit lebih lebar, kurasa lorong ini sudah mampu menampung tiga orang yang berjalan beriringan.

Pada hitungan ke 216 sebuah ballroom yang luas dan terang menyambut dengan aroma lavender bercampur vanilla yang manis. Saat pertama memasuki ruangan, tubuh sedikit menggigil. Perubahan drastis dari lorong gelap dan panas menuju lobi dengan pendingin ruangan maksimal membuat sistem syaraf tubuh terkejut sejenak.

“Watch your step, Lang. Kita akan mulai membuka pintu.” Direktur menatapku mantap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status