Pagi itu, dari celah gorden, cahaya menelusuk masuk ke kamar Irene. Dia merasakan panasnya cahaya matahari dan mulai membuka kelopak matanya. Irene menguap. Hari ini dia sudah harus masuk ke kantor. Dia bangun dari atas kasur dan masuk ke kamar mandi.
Irene sudah mengenakan pakaian dengan rapi. Tubuhnya dibaluti dengan blouse putih beaksen pita putih di dada dan rok hitam pendek selutut. Dia pergi ke kantor menaiki bus.
Sesampainya di kantor, Irene mulai bekerja dengan menghidupkan laptopnya. 40 menit sudah terlewati, namun entah mengapa Irene merasakan kepalanya sedikit pusing. Ia lantas berhenti mengetik dan mematikan laptopnya. Ia menuju ke dapur untuk membuat kopi. Biasanya rasa pusingnya akan hilang setelah meminum kopi. Dia menunggu hingga setengah jam, tapi denyutan dikepalanya belum menghilang. Akhirnya ia memutuskan keluar dari gedung kantor untuk mencari angin segar.
Irene berjalan-jalan di sekitaran kantornya. Dia duduk di kursi taman dekat dengan kantornya. Dia memijati keningnya agar sakitnya sedikit hilang. Dilain sisi, Rey sedang berjalan melewati taman perusahaan Rafles. Ia akan mengantarkan kopi pesanan karyawan perusahaan itu. Lantas Ia melihat seorang wanita yang terlihat familiar sedang duduk di kursi taman perusahaan itu. Ia berhenti sebentar dan melihat wajah wanita itu dengan seksama. Wanita itu sepertinya...
"Kak Irene"Irene mendongakkan kepala dengan wajah meringis menahan sakit. Setelah tahu siapa yang memanggilnya, ia tersenyum tipis. "Kenapa kak?""Gak papa, cuma pusing dikit. Udah minum kopi cuma masih sakit"Rey terdiam sebentar. Ia menyuruh Irene menunggunya sebentar. Rey pergi dengan terburu-buru ke dalam gedung. Setelah kopi telah sampai pada karyawan yang memesan tadi, Rey bergegas kembali ke tempat Irene tadi. Ia meminta Irene untuk ikut ke cafe tempatnya bekerja."Aku akan buatin kopi yang bisa nyembuhin pusingnya kakak" Mata Irene melebar. Karena ia sudah tak tahan dengan sakitnya, akhirnya ia menerima ajakan Rey. Kalaupun Rey akan menjebaknya, ia sudah siap-siap dengan semprotan cabe. Di dapur cafe, Rey meracik kopi spesial untuk diberikan pada Irene. Irene ragu-ragu memandangi cangkir kopi tersebut. Ia menatap Rey. Rey tersenyum tulus dan mempersilahkan Irene untuk meminumnya. Irene pun menyeruput kopi yang diberikan Rey. Seruput demi seruput hingga habis tak tersisa. Kepala Irene yang tadinya berdenyut-denyut, lambat laun sirna. Ia merasakan kelegaan pada tubuhnya. Ia merasa lebih segar. "Gimana kak? Udah mendingan?"Irene mengangguk dan tersenyum tipis. Rey yang mendengarnya mengucapkan syukur. Irene pun berterima kasih pada Rey.Dengan beberapa pertimbangan matang, Irene meminta nomor handphone Rey untuk jaga-jaga kalau ia ingin pesan-antar kopi. Rey langsung mengiyakan dan menyebutkan nomor handphonenya. Sebelum kembali ke kantornya, Irene membayar kopi yang sudah Rey buatkan. Walaupun sebenarnya Rey tidak menghendaki itu, tetapi akhirnya ia menerimanya.
Pekerjaan Irene lebih cepat selesai daripada biasanya. Mungkin karena efek racikan kopi spesial buatan Rey tadi siang. Ketika sedang mencetak lembar pekerjaannya, ia teringat kejadian di cafe tadi. Bibirnya lalu tersungging hingga matanya membentuk eye smile.
Shift kerja Rey di cafe hari ini adalah dari pagi hingga siang. Pukul 3 sore, ia mempunyai jadwal kuliah. Ia masuk ke kelas dan mendapati Ana sudah menyiapkan tempat duduk untuknya. Ana melambaikan tangan agar Rey segera ke tempatnya. Rey mengucapkan terima kasih dengan lirih. Dosen sudah masuk ke kelas. Ana dan Rey mulai fokus mendengarkan materi yang disampaikan oleh Dosen.
Rey sedang mencatat materi penting dari Dosen ketika secarik kertas hinggap didepan bukunya. Rupanya kertas itu dari Ana. Ia membaca isi surat itu dan matanya melebar. Isi surat tersebut berbunyi,
"Kamu free gak hari sabtu ini?"
Rey tidak menjawab di kertas itu namun langsung mengatakan dengan lirih, "free"
Ana mengambil secarik kertas itu lagi dan menulis lagi. Kali ini dada Rey sedikit berdegup. Kertas itu kembali lagi ke arah Rey,
"Bisa ikut ke museum?"
Membaca isi surat balasan dari Ana, nafas Rey berhenti berhembus sepersekian detik. Rey lalu menjawab dengan anggukan.
Mereka berdua duduk sofa. Rey melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul 7 malam. "Apa hari ini kamu gak kuliah?" Tanya Irene memulai pembicaraan setelah keadaan chaos tadi."Sudah tadi pagi kak" Jawab Rey seadanya. Lalu suasana menjadi sedikit canggung karena mereka berdua sama-sama diam. Tak lama terdengar suara asing yang berasal dari perut Rey. Mereka berdua saling bertatapan."Kamu lapar?" Tanya IreneRey hanya bisa tersenyum malu."Karna aku lapar juga, aku mau delivery. Gimana kalau pizza?" Cetus IreneMata Rey membulat bahagia. Tangan Rey menarik lapisan pizza perlahan dan melahapnya. Sore menjelang malam memang enak untuk memakan junkfood. Irene juga tak kalah lahap dengan Rey. Ia menyukai sensasi keju mozarela yang elastis. "Apa kuliah di teknik elektro sulit?" Irene bertanya sambil mengunyah.Rey tampak berfikir sejenak. "Setengah-setengah? Ada saatnya materinya sangat sulit tapi ada juga yang mudah" Rey berbicara sembari menelan potongan pizza. "Tapi sepertinya kam
Semenjak obrolan via Whyapps kemarin, Rey dan Irene semakin sering melakukan percakapan online. Setelah kuliah pagi hari ini, Rey bergegas pergi ke cafe untuk bekerja shift siang. Rey berjalan di lorong gedung kampusnya saat Ana memanggil lantang namanya. Ana terburu-buru menuju ke arah Rey untuk menanyakan kemanakah ia akan pergi. Rey menjawab bahwa ia akan pergi bekerja. Ana tersenyum dan tiba-tiba saja menanyakan sesuatu."Kak Irene gimana kondisinya sekarang?"Rey terkejut sebentar lalu menjawab, "belum pulih banget. Cuma udah mendingan"Ana mengangguk-anggukkan kepala. Ia ingin melanjutkan obrolan, namun terdengar bunyi notifikasi handphone dari balik saku celana Rey. Tangan Rey merogoh sakunya dan melihat siapa yang mengiriminya pesan. Ternyata Irene. Setelah membaca pesannya, Rey berpamitan pada Ana untuk pergi duluan. Ana melambaikan tangan pada Rey yang juga melambai-lambaikan tangannya. Di dalam lift apartemen Merlin, Rey menekan tombol 5, dimana merupakan lantai tempat tin
Kuliah siang hari adalah dambaan setiap mahasiswa. Begitupun dengan Rey, ia dapat tidur lebih lama daripada biasanya. Badan Rey rasa-rasanya akan remuk, sebab kemarin dari pagi hingga malam ia sangat sibuk di luar rumah. Suara alarm dari handphone membangunkan Rey. Ia membuka matanya perlahan. Tangannya meraih handphone dan mematikan alarmnya. Ia berdiri untuk pergi mandi dan ganti pakaian. Profesor sudah memasuki ruangan. Ana memandangi jam tangannya lalu celingak celinguk mencari keberadaan Rey. Syukurlah sedetik kemudian Rey muncul dari balik pintu sebelum profesor memulai pembelajaran. Tampilannya terlihat segar dengan setelan celana dan jaket jeans. Ana menunjukkan ekspresi lega, karena ia khawatir terjadi sesuatu pada Rey. Pasalnya semalam Rey tampak lelah sebelum akhirnya pergi ke apartemen Irene. Rey dan Ana fokus mencatat poin-poin penting yang disampaikan oleh Profesor. Saat sedang fokus menulis, seketika ingatan Rey melambung ke kejadian tadi malam di
Irene menggigil kedinginan. Sepertinya ia sedang demam. Sedari pagi hingga sore, Irene mengunci diri di kamar dengan menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia tak kuat untuk bangun dan badannya terasa sangat lemah. Seusai kehujanan semalaman, Irene terus bersin-bersin. Ia tidak langsung membilas badannya dengan air hangat ataupun minum air rebusan. Namun, ia langsung ganti pakaian dan tidur. Akibatnya ia jadi jatuh sakit. Irene berusaha mengambil handphone di meja dekat kasurnya. Setelah bersusah payah meraihnya, ia menekan layar dan mencari nomor kontak yang bisa ia telpon. Jarinya berhenti di kontak "Ibu". Ia berdiam lama. Ibunya pasti sedang sibuk dengan tokonya. Ia tidak mau membuat sang ibu khawatir, karena kediaman ibunya sangat jauh. Ayahnya pun sekarang sedang bekerja di luar kota. Irene menscroll lagi kebawah. Nafasnya semakin memburu. Ia sudah ditingkat terlemahnya. Dengan terpaksa, ia langsung menelpon seseorang. Orang ini adalah satu-satunya harapan Irene.
Sabtu sore, setelah kuliah pagi selesai, Rey sudah bersiap-siap di depan halte bus untuk menunggu Ana. Sesuai janji yang telah dibuat, mereka berdua berencana pergi ke museum lukisan.Dengan nafas yang memburu, Ana berlari kecil ke arah Rey. Ia menemui senyum manis milik Rey. Akhirnya bus yang ditunggu telah tiba. Mereka masuk ke dalam dan sopir segera melajukan bus dengan kecepatan sedang.Di museum itu, terpampang berbagai lukisan milik pelukis terkenal dari seluruh dunia. Mata Ana berbinar-binar memandangi setiap lukisan sampai ke detail terkecil. Ada lukisan Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, Leonardo Da Vinci dan masih banyak lagi. Rey juga melihat lukisan-lukisan itu dengan khusyuk. Entah mengapa hati Rey menjadi tenang.Ditempat lain, Irene sedang mengerjakan tugas kantornya dengan cekatan. Ia tak sabar untuk cepat menyelesaikannya, karena ia akan berjalan-jalan ke Mall untuk membeli pakaian baru setelah bekerja.Irene menaiki bus untuk sampai
Pagi itu, dari celah gorden, cahaya menelusuk masuk ke kamar Irene. Dia merasakan panasnya cahaya matahari dan mulai membuka kelopak matanya. Irene menguap. Hari ini dia sudah harus masuk ke kantor. Dia bangun dari atas kasur dan masuk ke kamar mandi.Irene sudah mengenakan pakaian dengan rapi. Tubuhnya dibaluti dengan blouse putih beaksen pita putih di dada dan rok hitam pendek selutut. Dia pergi ke kantor menaiki bus.Sesampainya di kantor, Irene mulai bekerja dengan menghidupkan laptopnya. 40 menit sudah terlewati, namun entah mengapa Irene merasakan kepalanya sedikit pusing. Ia lantas berhenti mengetik dan mematikan laptopnya. Ia menuju ke dapur untuk membuat kopi. Biasanya rasa pusingnya akan hilang setelah meminum kopi. Dia menunggu hingga setengah jam, tapi denyutan dikepalanya belum menghilang. Akhirnya ia memutuskan keluar dari gedung kantor untuk mencari angin segar.Irene berjalan-jalan di sekitaran kantornya. Dia duduk di kursi taman dekat deng