Tim membalik sosis panggang dan steaknya seraya berdendang mengikuti alunan musik dari tape. Pesta barbekyu kecil-kecilan yang diselenggarakan oleh keluarganya selalu berlangsung setiap akhir pekan jika ada waktu senggang.
Pamela, istrinya, tak lama keluar dan menggotong sebuah cooler boks minuman bersama April, putri sulung mereka.
“Kau yakin ini tidak terlalu banyak?” tanya istrinya dengan napas terengah.
Tim menggelengkan kepala.
“Dia akan datang dan tidak mungkin melewatkan steak wagyu ini!” tukas Tim tanpa ragu.
“Jika Maddox tidak muncul sore ini, aku bersumpah akan mendiamkan dia selama sebulan penuh!” April terdengar mulai mengeluarkan ancaman yang selalu berhasil membuat Maddox melemah.
Di halaman belakang Tim yang tidak terlalu besar, tapi sangat rindang dan nyaman tersebut, mereka menghabiskan banyak waktu berkualitas.
April adalah putri sulung Tim yang sangat dekat dengan Maddox. Sedangkan Apple, putri keduanya, merupakan senjata Tim untuk meluluhkan pria pembakang tersebut jika menghilang selama beberapa waktu tanpa kabar.
“Aku sudah menyiapkan saus kesukaan Maddox!” seru Apple, gadis remaja yang baru menginjak enam belas tahun itu pandai membuat saus untuk steak.
“Ayolah, Ape (baca: Ep)! Maddox tidak pernah menyukai sausmu! Jangan menyiksa orang dengan makanan busukmu!” cetus April ,yang tiga tahun lebih tua darinya.
“Berhentilah memanggilku Ape, April!” protes adiknya dengan kesal.
Kakaknya tidak mengacuhkan dan terus membantu ayahnya membalik sosis juga steak. Berbeda dengan April yang memiliki sifat tegas, sedikit sinis dan sangat tomboi, Apple adalah gadis humoris yang selalu menyegarkan suasana dengan candanya.
Pamela melirik pada April yang terlihat hatinya dalam situasi baik.
“Mama masih berpikir jika kau lebih cantik tanpa tindikan di hidungmu, April. Kau benar-benar terlihat seperti anak lelaki,” ucap ibunya menyatakan keberatan akan penampilan April yang semenjak kuliah berubah total.
“Ma, aku sudah dewasa dan berhak menentukan penampilanku. Jadi, jika dulu aku menurut dengan kepang dua rambutku, atau warna baju pilihan Mama, sekarang waktunya untukku bebas bergaya. Oke?” balas si sulung dengan wajah mulai kesal. Matanya memutar dan mulai membangun benteng diri untuk mempertahankan pilihannya.
Pamela berpaling pada suaminya untuk meminta dukungan. Tim mengedikkan bahu seperti tidak mau ikut campur.
“April benar, Pam. Dia sudah besar dan tidak perlu kita arahkan seperti anak kecil,” jawab Tim akhirnya, tanpa bermaksud membela siapa pun. Pamela membulatkan mulut seperti tidak percaya, karena suaminya tidak mendukung sama sekali.
“Aku suka tindikan April, mirip dengan kerbau. Sangat pas sekali dengan karakternya,” ledek Apple seraya memberikan sebotol jus dingin pada kakaknya. Inilah kesempatan untuk membalas.
“Yeah! Kerbau adalah lambang kekuatan dan keberanian!” April dengan mudah membalikkan kata-kata adiknya.
Apple meringis dan menyentil hidung April dengan jari.
“Kau iri dan berharap memiliki ini, bukan?” tuduh April.
“Hmm … mungkin. Jika namaku April, tapi sayangnya Apple adalah panggilanku,” cetus Apple dengan ringan.
April tampak jengkel karena adiknya pandai berkata-kata. Perdebatan ringan yang selalu terjadi itu berlangsung seru. Tim dan Pamela hanya mendengarkan dengan geleng-geleng kepala.
Meski sering berbeda pendapat, akan tetapi kehangatan selalu terjaga. Bebas mengeluarkan pemikiran membuat Tim dan Pamela dekat dengan kedua putri mereka.
Inilah rumah, tempat mereka bisa menjadi diri sendiri dengan nyaman.
“Hei! Kalian memulai pesta tanpaku?!” Seruan lantang itu membuat semuanya menoleh dan Maddox muncul dengan dua botol whiskey di tangannya.
Baik Apple dan April memekik senang dan berusaha merebut perhatian Maddox, pahlawan mereka.
“Kau tampak normal hari ini, Pam!” sapa Maddox seraya mengecup pipi Pamela.
“Thank you!” sambut Pamela dengan senyum geli.
“Melihatmu dengan seragam dokter bedah dan gergaji yang mengamputasi korbanku, membuatku tidak bisa berhenti membayangkan seorang psikopat keji!” timpal Maddox.
Pamela kembali tertawa kecil. Istri Tim adalah dokter bedah yang bekerja di rumah sakit umum dan sering membantu mereka untuk proses otopsi atau menyelamatkan penjahat yang terluka saat penyergapan.
“Mad, menurutmu tindik ini keren?” April mulai mencari dukungan dari Maddox.
Pria itu menghempaskan tubuh di kursi malas dan kemudian memicingkan matanya.
“Lumayan!” sahutnya acuh.
“Apa maksudmu lumayan? Itu komentar yang tidak aku harapkan, Mad!” keluh April.
“Sudah aku katakan, keren itu hanya dalam imajinasimu, April!” Apple tampak menang dan puas.
April menghentakkan kaki ke rumput dan meninggalkan halaman belakang sambil menggerutu.
“Dia merencanakan ingin melakukan tato,” bisik Pamela dengan khawatir.
“Biarkan April bebas dan memilih kehidupannya, Pam! Dia sudah cukup dewasa!” seru Tim yang mendengar dengan jelas.
“Aku adalah ibunya, Tim. Selamanya April akan selalu menjadi putri kecilku!” tukas Pamela tidak sepakat.
“Itu jelas dan tidak akan pernah berubah, tapi yang kau lakukan sekarang sama dengan merebut kebebasannya! Itu sudah tidak sehat!” bantah Tim juga bersikeras.
“Apakah jika aku dewasa Mama akan melakukan hal yang sama?” timpal Apple mulai khawatir.
Suasana menjadi perdebatan simpang siur saat April kembali dan Pamela berusaha membuat aturan yang menurutnya wajar.
“Hei … hei! Bisakah kalian berhenti?!” teriak Maddox tidak tahan lagi. Ketiganya bungkam dan membuang muka disertai sikap jengkel.
“Momen ini terlalu berharga untuk memusingkan masalah sepele itu! April ingin memiliki tato dan tindik, memangnya kenapa? Dia masih tetap April dan tidak ada yang mengubah hal tersebut! Apple ingin membesarkan payudaranya, tapi dia tetap putrimu. Ayolah! Biarkan mereka mencari jati diri yang paling nyaman, Pam! Jangan ciptakan suasana rumah menjadi penuh tuntutan, yang akhirnya menuntun mereka mencari kebahagiaan di luar!”
Kalimat Maddox terlihat menohok dan membuat Pamela tersadar, tapi pria itu belum selesai.
“Dan kau, April. Tidak seharusnya kau ingin terlihat keren dengan mengikuti tren basi itu! Kau jauh lebih baik dari sekedar menjadi gadis bertindik juga bertato. Ini juga berlaku untukmu, Apple! Menjadi cantik dan menarik secara fisik memang penting! Tapi ingat, saat otakmu kosong, tidak ada satu pun laki-laki yang bisa bertahan dan memberimu cinta yang tulus!”
April dan Apple menunduk dan tampak serba salah. Pamela mulai terlihat lega karena Maddox tidak sepenuhnya menentang apa yang ia inginkan.
Tim tersenyum lalu meletakkan hasil panggangannya di meja.
“Kau jauh lebih manusiawi saat ini, Mad! Kurasa tempat ini membuatmu menjadi manusia seutuhnya!” cetus Tim.
Maddox meneguk botol birnya dan mengusap sembarang dengan lengan jaket.
“Ya, aku tahu! Janganlah kalian bertingkah normal dan membuatku mulai tidak nyaman! Rumah ini satu-satunya tempat tersembunyi yang paling pas denganku!” sahut Maddox dengan ketus.
“Aku hanya ingin terlihat tidak lemah. Kupikir gaya gadis punk akan berhasil membuatku aman,” ucap April pelan.
“Latih terus martial arts-mu, kujamin tidak ada satu pun yang bisa menyentuhmu!” balas Maddox.
“Teman-temanku selalu mengejek, dadaku terlalu rata untuk gadis berusia enam belas tahun,” keluh Apple.
“Mulai asah otakmu hingga menjadi yang paling unggul! Baca dan cari tau mengenai penampilan yang paling pas untuk tetap menunjukkan kau adalah gadis yang sangat menarik! Tubuhmu bukan hambatan untuk menjadi cantik!” Usulan Maddox barusan membuat Apple tersenyum lebar.
“Oke. Problem solved! Bisakah kita menyantap ini? Aku sudah sangat lapar sekali!” protes Maddox tidak sabar.Kedekatan Maddox dengan keluarga Tim memang sangat terlihat. Sejak Tim menemukan dirinya pada usia remaja, Maddox menganggap pria itu adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Ketika menikah dengan Pamela dan kemudian dua putri mereka lahir, Maddox terlibat dalam kehidupannya dalam hal apa pun. Ada sesuatu yang membuat Maddox berbeda setiap berada di rumah ini.
Maddox merasakan dirinya menjadi manusia yang layak dan pantas memiliki keluarga.
“Hubungi beberapa saksi dan laporkan padaku segera! Jika aku bilang segera, itu berarti tidak lebih dari satu jam mendatang, Claire!” tegas Foxire dengan suara dingin. Sekretarisnya Claire mengangguk dan tidak membuang waktu lagi, berlalu dari ruang kantor pengacara Foxire Dawson. Wanita yang berusia tiga puluh tahun itu merupakan seorang pengacara yang sedang menanjak karirnya semenjak berhasil memenangkan kasus keracunan limbah pabrik dua tahun lalu. Foxire Dawson atau akrab dipanggil dengan Foxy terkenal sebagai wanita yang tegas dan ketus. Segala cara ia tempuh untuk memenangkan sebuah kasus. Meski demikian, Foxy selalu bermain rapi dan tidak ada yang bisa mengungkap trik kejinya dalam mendapatkan informasi atau memutar balikkan fakta. Wanita berambut pirang keemasan dengan wajah cantik seperti perempuan Yunani ini memiliki mata hijau terang. Wajahnya sangat menawan dan mempesona para lelaki. Sayangnya, Foxy adalah wanita misterius yang sulit dimengerti. Sebagai keponakan dar
Telepon itu ditutup oleh Tim dengan setengah dibanting. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Mark Parker, Sherriff yang menjadi kepala polisi di Las Vegas, barusan menelepon untuk menegaskan kembali supaya dirinya segera mengontrol Maddox. Masih tergiang di telinganya mengenai sepak terjang Maddox yang membuat Jimmy babak belur. “Sudah kukatakan padamu, Tim! Maddox harus membenahi tingkah lakunya atau dia keluar dari kesatuan kita!” teriak Mark murka. Jimmy merupakan salah satu pebisnis yang berada dalam daftar istimewanya. Mark tidak bisa berbuat apa-apa karena kepala imigrasi dan wali kota Las Vegas berada di pihak bajingan tua tersebut. Entah berapa nilai suap yang Jimmy berikan, tapi yang pasti Mark memilih untuk tidak terlibat. Keharusannya untuk memenuhi perintah pejabat negara adalah salah satu hal yang tidak tertulis di dalam job description-nya, namun wajib dan mutlak dilakukan. Jimmy selama ini kebal hukum bukan tanpa alasan. Akan tetapi Maddox mengobrak abrik kasino
Dengan lincah Jean mengetik laporan dari tiap polisi dan detektif yang baru menyerahkan kasus yang sudah selesai. Wanita itu berperan cukup penting dalam departemen kepolisian yang Tim pimpin. Selain memasukkan setiap dokumen dan arsip, Jean juga sangat mahir dalam melacak lokasi dan bisa meretas jaringan rahasia. Untunglah manusia seperti Jean bekerja di bidang hukum. Jika seseorang menemukan bakatnya untuk menggunakan dalam kejahatan, mungkin banyak pihak yang akan mengalami kerugian. Maddox muncul dan meletakkan setumpuk dokumen Jimmy di mejanya. “Case closed?” tanya Jean dengan wajah mengernyit. Kacamatanya membuat Jean semakin menarik. Meski lelaki bukan orientasi seksnya, namun banyak pria yang ingin mengajaknya berkencan. “Terpaksa case closed! Aku menyesal tidak membunuhnya!” sahut Maddox geram. Pria itu menyambar gelas cappuccino yang ada di atas meja dan sementara meneguk serta tolak pinggang, matanya menatapa ke arah layar televisi yang tertempel di dinding kantor Je
Takdir manusia seperti benang yang terentang tak terputus kecuali oleh kematian. Seperti sebuah sulur-sulur tipis yang teratur, meskipun milyaran benang yang ada mengarah pada ribuan kemungkinan bersinggungan dengan untaian yang lain. Anehnya, di antara serba kemungkinan tersebut terkadang muncul sesuatu yang dibutuhkan. Misteri dari sebuah kebetulan dan pertemuan memang tidak bisa dipecahkan oleh siapa pun juga. Pagi itu Jean sedang membenahi sebuah file imigran yang Tim ingin dapatkan statistiknya. Berdasarkan bantahan Maddox yang mengatakan jika Jimmy sudah sangat keterlaluan, Tim menjadi terusik dan bermaksud menyelidiki lebih jauh. Laporan imigran gelap yang pernah tertangkap mereka telisik lebih mendalam dan Tim mengandalkan Jean untuk mengakses jaringan departemen imigrasi secara diam-diam, untuk mendapatkan data rahasia mereka. Sejauh ini, Tim mendapatkan informasi jika Jimmy bukanlah nama asli dari pria tersebut. James Arthur Ficher adalah nama asli si tua brengsek ters
“Hal yang paling aku takutkan sepanjang hidupku adalah bertemu dengan keluarga besarku,” cetus Claire dengan putus ada menatap layar ponsel canggihnya. Pesan dari paman Claire yang mengatakan untuk kembali saat thanksgiving membuat wanita itu menciut dan kehilangan semangat. “Seharusnya kau berbahagia karena masih memiliki keluarga!” cetus Foxy tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang sedang ia tanda tangani. “Jadi kau berharap memiliki keluarga? Pamanmu Josh sudah memberimu keluarga bukan?” tanya Claire, seakan tidak terima jika dia berada di posisi yang salah sendirian. “Apa yang dia berikan lebih seperti sebuah lembaga yang membesarkan dan mengantarkan aku menuju kesuksesan. Tidak ada kehangatan atau kedekatan keluarga!” Foxy menekankan tiap kata dengan tajam. Claire mengedikkan bahu dan menerima dokumen yang telah Foxy tanda tangani. “Berarti kau sama kacaunya denganku!” simpul Claire seraya meninggalkan Foxy. Pengacara sukses itu menghela napas pendek dan memejamka
“Membeli properti? Menyedihkan sekali alasanmu!” Maddox menarik sudut bibirnya, hingga membentuk senyum menjengkelkan. Foxy mendelik dan membanting pintu mustang itu sekuatnya. Belum apa-apa, pria itu sudah menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan. “Hei! Jika mustangku terluka, aku akan menuntutmu!” teriak Maddox seraya mengacungkan jarinya. Wanita itu tidak peduli dan duduk dengan ekspresi mendongkol. Mobil Maddox meninggalkan parkiran gedung kantor Foxy dengan kecepatan sedang. Tanpa ada pembicaraan yang lain, laju mobil terus melewati jalan raya Las Vegas yang cukup padat di siang hari. Foxy tidak tahu tujuan mereka, hingga akhirnya Maddox melewati persimpangan utama di Las Vegas Strip. “Kita mau keluar kota?” tanya si pengacara dengan wajah kebingungan. Maddox tidak menjawab. Ia sibuk mencari rokok yang ada di dashboard mobilnya. Setelah mendapatkan sebungkus nikotin yang ia inginkan, Maddox menyalakan sebatang dan dengan ekspresi lega menghisap dalam-dalam. “Peter memi
Begitu melihat Maddox masuk ke ruangan, Jean yang sedang menagih laporan dari Chris segera menghampirinya. “Laporanmu!” tangannya teracung dengan telapak terbuka. “Kau masih belum menyerahkan laporan kasus terakhir!” tagih Jean dengan wajah judes. “Dan Tim menunggumu di kantor, karena sepertinya kau meninggalkan pengacara cantik di tengah gurun!” sambung Jean, setelah Maddox memberikan tumpukan dokumen padanya. Maddox tidak menjawab, namun segera melangkah menuju ke kantor kaptennya. Begitu melihat, Tim segera mengakhiri panggilan dan menutup ponsel buru-buru. “Kau benar-benar tidak bisa diandalkan! Kenapa kau perlakukan Nona Dawson begitu buruk, Mad?!” “Dia menghina dan mencemooh kemampuanku! Dia yang menolak untuk kubantu!” “Lalu kau meninggalkan dia di tengah padang gurun?!” “Padang gurun? Jangan berlebihan, Tim!” “Mr. Muller bukan Tim! Aku bukan rekanmu!” Maddox menatap Tim dengan tidak percaya. “Kau marah meskipun aku benar? Siapa yang keterlaluan sekarang?!” Maddox be
Maddox menelusuri semua bukti dan dokumen yang ada di dalam file dan mempelajari satu persatu. Papan tulis putih telah penuh dengan coretan yang merupakan petunjuk dan peta yang hanya Maddox sendiri mengerti. Tim melihat dari kursinya dan tidak berniat mengganggu. Baginya menemani Maddox hanyalah untuk menghindari kecaman kedua putrinya mengenai perdebatan mereka tadi sore. Wanita tomboi dengan tindikan di bibir dan hidungnya muncul dan membawa tiga gelas kopi untuk kedua rekannya. “Itu yang tidak dilakukan oleh Chris! Semua tercatat dalam otak dungunya, sementara kapasitas otaknya tidak memadai!” Komentar Jean ditanggapi oleh Tim dengan tawa kecil. Tidak sedikit pun Maddox terusik untuk menimpali. Ia terus merangkai semua bukti dengan coretan di papan tulis. Konsentrasinya penuh tertuju pada kasus pembunuhan berantai yang telah menelan korban tujuh wanita muda. “Pembunuh ini benar-benar biadab. Tidak akan ada ampun baginya kali ini!” gumam Maddox ketika melihat foto-foto korban