Share

Chapter 2. Place To Feel Human

Tim membalik sosis panggang dan steaknya seraya berdendang mengikuti alunan musik dari tape. Pesta barbekyu kecil-kecilan yang diselenggarakan oleh keluarganya selalu berlangsung setiap akhir pekan jika ada waktu senggang.

Pamela, istrinya, tak lama keluar dan menggotong sebuah cooler boks minuman bersama April, putri sulung mereka.

“Kau yakin ini tidak terlalu banyak?” tanya istrinya dengan napas terengah. 

Tim menggelengkan kepala.

“Dia akan datang dan tidak mungkin melewatkan steak wagyu ini!” tukas Tim tanpa ragu.

“Jika Maddox tidak muncul sore ini, aku bersumpah akan mendiamkan dia selama sebulan penuh!” April terdengar mulai mengeluarkan ancaman yang selalu berhasil membuat Maddox melemah.

Di halaman belakang Tim yang tidak terlalu besar, tapi sangat rindang dan nyaman tersebut, mereka menghabiskan banyak waktu berkualitas.

April adalah putri sulung Tim yang sangat dekat dengan Maddox. Sedangkan Apple, putri keduanya, merupakan senjata Tim untuk meluluhkan pria pembakang tersebut jika menghilang selama beberapa waktu tanpa kabar.

“Aku sudah menyiapkan saus kesukaan Maddox!” seru Apple, gadis remaja yang baru menginjak enam belas tahun itu pandai membuat saus untuk steak.

“Ayolah, Ape (baca: Ep)! Maddox tidak pernah menyukai sausmu! Jangan menyiksa orang dengan makanan busukmu!” cetus April ,yang tiga tahun lebih tua darinya.

“Berhentilah memanggilku Ape, April!” protes adiknya dengan kesal.

Kakaknya tidak mengacuhkan dan terus membantu ayahnya membalik sosis juga steak. Berbeda dengan April yang memiliki sifat tegas, sedikit sinis dan sangat tomboi, Apple adalah gadis humoris yang selalu menyegarkan suasana dengan candanya.

Pamela melirik pada April yang terlihat hatinya dalam situasi baik.

“Mama masih berpikir jika kau lebih cantik tanpa tindikan di hidungmu, April. Kau benar-benar terlihat seperti anak lelaki,” ucap ibunya menyatakan keberatan akan penampilan April yang semenjak kuliah berubah total.

“Ma, aku sudah dewasa dan berhak menentukan penampilanku. Jadi, jika dulu aku menurut dengan kepang dua rambutku, atau warna baju pilihan Mama, sekarang waktunya untukku bebas bergaya. Oke?” balas si sulung dengan wajah mulai kesal. Matanya memutar dan mulai membangun benteng diri untuk mempertahankan pilihannya.

Pamela berpaling pada suaminya untuk meminta dukungan. Tim mengedikkan bahu seperti tidak mau ikut campur.

“April benar, Pam. Dia sudah besar dan tidak perlu kita arahkan seperti anak kecil,” jawab Tim akhirnya, tanpa bermaksud membela siapa pun. Pamela membulatkan mulut seperti tidak percaya, karena suaminya tidak mendukung sama sekali.

“Aku suka tindikan April, mirip dengan kerbau. Sangat pas sekali dengan karakternya,” ledek Apple seraya memberikan sebotol jus dingin pada kakaknya. Inilah kesempatan untuk membalas.

“Yeah! Kerbau adalah lambang kekuatan dan keberanian!” April dengan mudah membalikkan kata-kata adiknya.

Apple meringis dan menyentil hidung April dengan jari.

“Kau iri dan berharap memiliki ini, bukan?” tuduh April.

“Hmm … mungkin. Jika namaku April, tapi sayangnya Apple adalah panggilanku,” cetus Apple dengan ringan.

April tampak jengkel karena adiknya pandai berkata-kata. Perdebatan ringan yang selalu terjadi itu berlangsung seru. Tim dan Pamela hanya mendengarkan dengan geleng-geleng kepala.

Meski sering berbeda pendapat, akan tetapi kehangatan selalu terjaga. Bebas mengeluarkan pemikiran membuat Tim dan Pamela dekat dengan kedua putri mereka.

Inilah rumah, tempat mereka bisa menjadi diri sendiri dengan nyaman.

“Hei! Kalian memulai pesta tanpaku?!” Seruan lantang itu membuat semuanya menoleh dan Maddox muncul dengan dua botol whiskey di tangannya.

Baik Apple dan April memekik senang dan berusaha merebut perhatian Maddox, pahlawan mereka.

“Kau tampak normal hari ini, Pam!” sapa Maddox seraya mengecup pipi Pamela.

“Thank you!” sambut Pamela dengan senyum geli. 

“Melihatmu dengan seragam dokter bedah dan gergaji yang mengamputasi korbanku, membuatku tidak bisa berhenti membayangkan seorang psikopat keji!” timpal Maddox.

Pamela kembali tertawa kecil. Istri Tim adalah dokter bedah yang bekerja di rumah sakit umum dan sering membantu mereka untuk proses otopsi atau menyelamatkan penjahat yang terluka saat penyergapan.

“Mad, menurutmu tindik ini keren?” April mulai mencari dukungan dari Maddox.

Pria itu menghempaskan tubuh di kursi malas dan kemudian memicingkan matanya.

“Lumayan!” sahutnya acuh.

“Apa maksudmu lumayan? Itu komentar yang tidak aku harapkan, Mad!” keluh April.

“Sudah aku katakan, keren itu hanya dalam imajinasimu, April!” Apple tampak menang dan puas.

April menghentakkan kaki ke rumput dan meninggalkan halaman belakang sambil menggerutu.

“Dia merencanakan ingin melakukan tato,” bisik Pamela dengan khawatir. 

“Biarkan April bebas dan memilih kehidupannya, Pam! Dia sudah cukup dewasa!” seru Tim yang mendengar dengan jelas.

“Aku adalah ibunya, Tim. Selamanya April akan selalu menjadi putri kecilku!” tukas Pamela tidak sepakat.

“Itu jelas dan tidak akan pernah berubah, tapi yang kau lakukan sekarang sama dengan merebut kebebasannya! Itu sudah tidak sehat!” bantah Tim juga bersikeras.

“Apakah jika aku dewasa Mama akan melakukan hal yang sama?” timpal Apple mulai khawatir.

Suasana menjadi perdebatan simpang siur saat April kembali dan Pamela berusaha membuat aturan yang menurutnya wajar.

“Hei … hei! Bisakah kalian berhenti?!” teriak Maddox tidak tahan lagi. Ketiganya bungkam dan membuang muka disertai sikap jengkel.

“Momen ini terlalu berharga untuk memusingkan masalah sepele itu! April ingin memiliki tato dan tindik, memangnya kenapa? Dia masih tetap April dan tidak ada yang mengubah hal tersebut! Apple ingin membesarkan payudaranya, tapi dia tetap putrimu. Ayolah! Biarkan mereka mencari jati diri yang paling nyaman, Pam! Jangan ciptakan suasana rumah menjadi penuh tuntutan, yang akhirnya menuntun mereka mencari kebahagiaan di luar!” 

Kalimat Maddox terlihat menohok dan membuat Pamela tersadar, tapi pria itu belum selesai.

“Dan kau, April. Tidak seharusnya kau ingin terlihat keren dengan mengikuti tren basi itu! Kau jauh lebih baik dari sekedar menjadi gadis bertindik juga bertato. Ini juga berlaku untukmu, Apple! Menjadi cantik dan menarik secara fisik memang penting! Tapi ingat, saat otakmu kosong, tidak ada satu pun laki-laki yang bisa bertahan dan memberimu cinta yang tulus!”

April dan Apple menunduk dan tampak serba salah. Pamela mulai terlihat lega karena Maddox tidak sepenuhnya menentang apa yang ia inginkan.

Tim tersenyum lalu meletakkan hasil panggangannya di meja.

“Kau jauh lebih manusiawi saat ini, Mad! Kurasa tempat ini membuatmu menjadi manusia seutuhnya!” cetus Tim. 

Maddox meneguk botol birnya dan mengusap sembarang dengan lengan jaket. 

“Ya, aku tahu! Janganlah kalian bertingkah normal dan membuatku mulai tidak nyaman! Rumah ini satu-satunya tempat tersembunyi yang paling pas denganku!” sahut Maddox dengan ketus.

“Aku hanya ingin terlihat tidak lemah. Kupikir gaya gadis punk akan berhasil membuatku aman,” ucap April pelan.

“Latih terus martial arts-mu, kujamin tidak ada satu pun yang bisa menyentuhmu!” balas Maddox.

“Teman-temanku selalu mengejek, dadaku terlalu rata untuk gadis berusia enam belas tahun,” keluh Apple.

“Mulai asah otakmu hingga menjadi yang paling unggul! Baca dan cari tau mengenai penampilan yang paling pas untuk tetap menunjukkan kau adalah gadis yang sangat menarik! Tubuhmu bukan hambatan untuk menjadi cantik!” Usulan Maddox barusan membuat Apple tersenyum lebar.

“Oke. Problem solved! Bisakah kita menyantap ini? Aku sudah sangat lapar sekali!” protes Maddox tidak sabar.

Kedekatan Maddox dengan keluarga Tim memang sangat terlihat. Sejak Tim menemukan dirinya pada usia remaja, Maddox menganggap pria itu adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki.

Ketika menikah dengan Pamela dan kemudian dua putri mereka lahir, Maddox terlibat dalam kehidupannya dalam hal apa pun. Ada sesuatu yang membuat Maddox berbeda setiap berada di rumah ini.

Maddox merasakan dirinya menjadi manusia yang layak dan pantas memiliki keluarga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status