Telepon itu ditutup oleh Tim dengan setengah dibanting. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Mark Parker, Sherriff yang menjadi kepala polisi di Las Vegas, barusan menelepon untuk menegaskan kembali supaya dirinya segera mengontrol Maddox.
Masih tergiang di telinganya mengenai sepak terjang Maddox yang membuat Jimmy babak belur.
“Sudah kukatakan padamu, Tim! Maddox harus membenahi tingkah lakunya atau dia keluar dari kesatuan kita!” teriak Mark murka.
Jimmy merupakan salah satu pebisnis yang berada dalam daftar istimewanya. Mark tidak bisa berbuat apa-apa karena kepala imigrasi dan wali kota Las Vegas berada di pihak bajingan tua tersebut.
Entah berapa nilai suap yang Jimmy berikan, tapi yang pasti Mark memilih untuk tidak terlibat. Keharusannya untuk memenuhi perintah pejabat negara adalah salah satu hal yang tidak tertulis di dalam job description-nya, namun wajib dan mutlak dilakukan.
Jimmy selama ini kebal hukum bukan tanpa alasan.
Akan tetapi Maddox mengobrak abrik kasino dan hotelnya, serta menguak aibnya yang menggunakan gadis-gadis muda dari Asia untuk secara ilegal dipekerjakan.
Tekanan ini tidak bisa Tim abaikan lagi. Mark adalah atasannya yang tidak suka ditentang, apalagi Maddox sudah berulang kali mendapat peringatan.
“Bawa Maddox ke kantorku!” teriak Tim dari pintu pada semua pegawainya.
Chris tersenyum penuh kemenangan.
“Jagoan tengil kita mendapat masalah! Wow! Aku tidak pernah mengira ini adalah hari keberuntunganku!” seru Chris dengan bahagia.
Jean lewat dan menatap tajam Chris dengan wajah mencemooh. “Kau pikir Maddox selemah itu untuk ditumbangkan oleh masalah sepele ini?”
“Kau dengar kapten kita, Lockey!” bantah Chris.
Jean geleng-geleng kepala dan berlalu.
“Chris … Chris … masih saja dangkal dan tidak cerdas-cerdas!” cibirnya seraya menjauh.
Chris memberikan tatapan bingung atas cibiran Jean yang sangat aneh menurutnya.
“Dasar Lesbian! Pria semenarik aku tidak pernah menjadi minatnya!” gerutu Chris.
*
“Duduk!” perintah Tim dengan rahang mengeras.
Maddox dengan santai menghempaskan tubuh di kursi depan bosnya tersebut.
“Apa yang kau lakukan pada Jimmy, Mad? Sudah aku katakan berulang kali, jangan sentuh dia! Kau ini tuli atau bebal?!”
Maddox tidak diam mendengar kalimat pedas dari komandannya. “Kau tidak menjawab pertanyaanku yang kurang mengerti alasan sebenarnya, Tim! Secara hukum dia bermasalah dan aku tidak pernah membiarkan penjahat seperti Jimmy untuk terus bernapas! Aku pikir diriku sudah cukup baik hati hanya mematahkan tulangnya saja!”
“Kau tahu jika Mark terus menekanku dan meminta kau keluar dari kesatuan ini?! Apa kau paham?!” pekik Tim berada di situasi sulit.
Maddox menggelengkan kepala dengan senyum miring.
“Kau selalu ketakutan pada sistem dan menciut setiap sesuatu menekanmu, Tim! Kupikir kau lebih baik dari ini!” Maddox bersiap pergi.
“Aku belum selesai!” teriak Tim.
“Oh no! Kau sudah selesai, aku sudah selesai dan kita tidak ada urusan lagi!” jawab Maddox seraya mengacungkan tangannya.
“Kenapa kau ingin menghancurkan kami, Maddox? Hancurkan dirimu sendiri dan jangan bawa-bawa kesatuan ini!”
Maddox yang sudah selangkah menuju pintu berhenti dan memutar badannya.
“Kau membiarkan kejahatan merajalela sementara lencana sebagai penegak hukum menempel di dada dan sumpahmu adalah untuk menjunjung kebenaran! Seharusnya kau malu akan dirimu sendiri, Kapten Tim Muller!”
Wajah kepala detektif itu seketika memerah. “Kita hidup di dunia nyata dan ada hal-hal yang ada di luar kendalimu! Kau tahu apa, Bocah Berandalan yang bersikap sok menjadi pahlawan?!” Tim kali ini benar-benar murka pada Maddox.
Pria itu kembali mengacungkan jarinya pada Tim.
“Bocah berandalan ini adalah remaja yang kau didik dan tanamkan dalam dirinya untuk tidak pernah takut asalkan benar! Bocah berandalan ini adalah korban dari penjahat seperti Jimmy! Aku, adalah hasil dari mimpi indahmu yang kau sendiri takut untuk meraihnya!”
Maddox meninggalkan Tim yang tertegun. Pintunya terbanting keras hingga membuat kacanya bergetar.
Apa yang Maddox barusan lontarkan kepadanya adalah benar.
Dia yang menyelamatkan Maddox dari jalanan. Remaja tanggung berusia enam belas tahun yang memiliki catatan kriminal tinggi, akhirnya menarik perhatian Tim pada suatu kejadian.
Dirinya baru saja menjadi polisi selama beberapa tahun dan harus menjaring remaja jalanan yang selalu mencuri di kawasan Las Vegas. Maddox tertangkap dan Tim mendapat tugas untuk mengantarnya menuju panti sosial.
Usianya belum cukup umur untuk dipenjara, nurani Tim memberontak saat membayangkan remaja yang pantas jadi adiknya itu harus meringkuk di lembaga sosial yang busuk.
Selama perjalanan Maddox hanya terdiam dan ketika Tim memberinya hotdog murahan karena iba, remaja itu menangis sejadinya.
“Bukan ini pilihan hidup yang ingin kujalani! Hotdog ini mengingatkanku bagaimana masyarakat dan dunia memperlakukan aku sangat tidak adil. Jika aku hanya lahir untuk menjadi sampah, kenapa kematian tidak segera menjemputku?”
Tim tahu dari awal jika Maddox sangat istimewa. Ada keberanian yang tidak pernah surut yang tercermin di mata birunya.
Alih-alih mengirimkan Maddox ke panti sosial, Tim justru membuat laporan jika anak tersebut melarikan diri. Keputusan Tim mengirim Maddox dengan identitas baru ke sekolah kepolisian adalah tepat.
Xander Maddox adalah nama yang ia pilih untuk menggantikan nama Jurgen Voller. Tim yang juga memiliki darah Jerman merasakan simpati yang begitu mendalam pada Maddox remaja.
Selama ia menjadi wali dari Maddox, satu hal yang selalu ia tanamkan dalam diri pemuda tersebut setiap mereka bertemu.
“Jadikan kebenaran sebagai dasar hidupmu, supaya tidak ada yang pernah kau sesali. Agar jiwamu damai dan tidak ada tuntutan dari nuranimu.”
Tim memejamkan mata dan dengan bahu terkulai, terduduk kembali.
‘Aku yang menciptakan Maddox untuk menjadi penghukum sejati. Dia benar, aku terlalu pengecut untuk mau mengakui bahwa kebenaran adalah keinginan yang tidak pernah bisa aku terapkan dalam hidup. Aku tergilas oleh tuntutan kerja dan dunia.’
Gejolak dalam diri Tim membuatnya terpukul. Seandainya dia bisa mengubah dalam sekejap, Tim tidak akan melewatkan kesempatan tersebut. Sayangnya kenyataan tidak seindah mimpinya.
Dengan lincah Jean mengetik laporan dari tiap polisi dan detektif yang baru menyerahkan kasus yang sudah selesai. Wanita itu berperan cukup penting dalam departemen kepolisian yang Tim pimpin. Selain memasukkan setiap dokumen dan arsip, Jean juga sangat mahir dalam melacak lokasi dan bisa meretas jaringan rahasia. Untunglah manusia seperti Jean bekerja di bidang hukum. Jika seseorang menemukan bakatnya untuk menggunakan dalam kejahatan, mungkin banyak pihak yang akan mengalami kerugian. Maddox muncul dan meletakkan setumpuk dokumen Jimmy di mejanya. “Case closed?” tanya Jean dengan wajah mengernyit. Kacamatanya membuat Jean semakin menarik. Meski lelaki bukan orientasi seksnya, namun banyak pria yang ingin mengajaknya berkencan. “Terpaksa case closed! Aku menyesal tidak membunuhnya!” sahut Maddox geram. Pria itu menyambar gelas cappuccino yang ada di atas meja dan sementara meneguk serta tolak pinggang, matanya menatapa ke arah layar televisi yang tertempel di dinding kantor Je
Takdir manusia seperti benang yang terentang tak terputus kecuali oleh kematian. Seperti sebuah sulur-sulur tipis yang teratur, meskipun milyaran benang yang ada mengarah pada ribuan kemungkinan bersinggungan dengan untaian yang lain. Anehnya, di antara serba kemungkinan tersebut terkadang muncul sesuatu yang dibutuhkan. Misteri dari sebuah kebetulan dan pertemuan memang tidak bisa dipecahkan oleh siapa pun juga. Pagi itu Jean sedang membenahi sebuah file imigran yang Tim ingin dapatkan statistiknya. Berdasarkan bantahan Maddox yang mengatakan jika Jimmy sudah sangat keterlaluan, Tim menjadi terusik dan bermaksud menyelidiki lebih jauh. Laporan imigran gelap yang pernah tertangkap mereka telisik lebih mendalam dan Tim mengandalkan Jean untuk mengakses jaringan departemen imigrasi secara diam-diam, untuk mendapatkan data rahasia mereka. Sejauh ini, Tim mendapatkan informasi jika Jimmy bukanlah nama asli dari pria tersebut. James Arthur Ficher adalah nama asli si tua brengsek ters
“Hal yang paling aku takutkan sepanjang hidupku adalah bertemu dengan keluarga besarku,” cetus Claire dengan putus ada menatap layar ponsel canggihnya. Pesan dari paman Claire yang mengatakan untuk kembali saat thanksgiving membuat wanita itu menciut dan kehilangan semangat. “Seharusnya kau berbahagia karena masih memiliki keluarga!” cetus Foxy tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang sedang ia tanda tangani. “Jadi kau berharap memiliki keluarga? Pamanmu Josh sudah memberimu keluarga bukan?” tanya Claire, seakan tidak terima jika dia berada di posisi yang salah sendirian. “Apa yang dia berikan lebih seperti sebuah lembaga yang membesarkan dan mengantarkan aku menuju kesuksesan. Tidak ada kehangatan atau kedekatan keluarga!” Foxy menekankan tiap kata dengan tajam. Claire mengedikkan bahu dan menerima dokumen yang telah Foxy tanda tangani. “Berarti kau sama kacaunya denganku!” simpul Claire seraya meninggalkan Foxy. Pengacara sukses itu menghela napas pendek dan memejamka
“Membeli properti? Menyedihkan sekali alasanmu!” Maddox menarik sudut bibirnya, hingga membentuk senyum menjengkelkan. Foxy mendelik dan membanting pintu mustang itu sekuatnya. Belum apa-apa, pria itu sudah menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan. “Hei! Jika mustangku terluka, aku akan menuntutmu!” teriak Maddox seraya mengacungkan jarinya. Wanita itu tidak peduli dan duduk dengan ekspresi mendongkol. Mobil Maddox meninggalkan parkiran gedung kantor Foxy dengan kecepatan sedang. Tanpa ada pembicaraan yang lain, laju mobil terus melewati jalan raya Las Vegas yang cukup padat di siang hari. Foxy tidak tahu tujuan mereka, hingga akhirnya Maddox melewati persimpangan utama di Las Vegas Strip. “Kita mau keluar kota?” tanya si pengacara dengan wajah kebingungan. Maddox tidak menjawab. Ia sibuk mencari rokok yang ada di dashboard mobilnya. Setelah mendapatkan sebungkus nikotin yang ia inginkan, Maddox menyalakan sebatang dan dengan ekspresi lega menghisap dalam-dalam. “Peter memi
Begitu melihat Maddox masuk ke ruangan, Jean yang sedang menagih laporan dari Chris segera menghampirinya. “Laporanmu!” tangannya teracung dengan telapak terbuka. “Kau masih belum menyerahkan laporan kasus terakhir!” tagih Jean dengan wajah judes. “Dan Tim menunggumu di kantor, karena sepertinya kau meninggalkan pengacara cantik di tengah gurun!” sambung Jean, setelah Maddox memberikan tumpukan dokumen padanya. Maddox tidak menjawab, namun segera melangkah menuju ke kantor kaptennya. Begitu melihat, Tim segera mengakhiri panggilan dan menutup ponsel buru-buru. “Kau benar-benar tidak bisa diandalkan! Kenapa kau perlakukan Nona Dawson begitu buruk, Mad?!” “Dia menghina dan mencemooh kemampuanku! Dia yang menolak untuk kubantu!” “Lalu kau meninggalkan dia di tengah padang gurun?!” “Padang gurun? Jangan berlebihan, Tim!” “Mr. Muller bukan Tim! Aku bukan rekanmu!” Maddox menatap Tim dengan tidak percaya. “Kau marah meskipun aku benar? Siapa yang keterlaluan sekarang?!” Maddox be
Maddox menelusuri semua bukti dan dokumen yang ada di dalam file dan mempelajari satu persatu. Papan tulis putih telah penuh dengan coretan yang merupakan petunjuk dan peta yang hanya Maddox sendiri mengerti. Tim melihat dari kursinya dan tidak berniat mengganggu. Baginya menemani Maddox hanyalah untuk menghindari kecaman kedua putrinya mengenai perdebatan mereka tadi sore. Wanita tomboi dengan tindikan di bibir dan hidungnya muncul dan membawa tiga gelas kopi untuk kedua rekannya. “Itu yang tidak dilakukan oleh Chris! Semua tercatat dalam otak dungunya, sementara kapasitas otaknya tidak memadai!” Komentar Jean ditanggapi oleh Tim dengan tawa kecil. Tidak sedikit pun Maddox terusik untuk menimpali. Ia terus merangkai semua bukti dengan coretan di papan tulis. Konsentrasinya penuh tertuju pada kasus pembunuhan berantai yang telah menelan korban tujuh wanita muda. “Pembunuh ini benar-benar biadab. Tidak akan ada ampun baginya kali ini!” gumam Maddox ketika melihat foto-foto korban
Kepulan asap itu berkumpul, sementara akses udara satu-satunya hanya terdapat jendela yang tidak begitu lebar. Dua manusia duduk dengan sikap berlawanan. Tim dengan bahasa tubuh kebapakan, sementara Maddox sibuk menikmati kopi dinginnya dengan nikotin di jarinya. Mendengar Tim berbicara padanya di ruang makan apartemen kecilnya yang sempit, membuat perasaan Maddox menjadi kebas. Perasaan kecewa yang bergejolak di dalamnya ternyata justru berdampak lain saat ini. Maddox kehilangan minat untuk melawan, apalagi membantah. Kali ini, pria itu tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Sikapnya tampak tenang dan muncul keinginan untuk menghindar, mungkin menyendiri sementara waktu. Menghela napas panjang, Maddox mematikan rokok di asbak dan berjalan santai ke arah pintu lalu membukanya. “Pergilah, Tim. Akan kuikuti semua perkataanmu tapi tinggalkan aku sendiri.” Wajahnya melukiskan sebuah ekspresi yang sulit untuk dipahami. Tim tampak terkejut hingga lupa bicara selama beberapa detik. Dia ti
Maddox mengangsurkan gelas berisi mojito pada Foxy. Keduanya mengunjungi bar kecil, tempat dirinya biasa menghabiskan waktu menyendiri. “Mojito ini rasanya parah sekali,” keluh Foxy dengan wajah muram. “Setidaknya tempatnya lumayan sepi dan tidak ada gangguan yang menjengkelkan kita!” sahut Maddox terlihat tidak masalah dengan whiskey murahannya. Foxy terpaksa menyesap minuman yang memang ia butuhkan untuk menenangkan diri dari tragedi yang baru saja ia lama beberapa jam yang lalu. “Bagaimana dengan kondisimu? Kau cukup mencurigakan dengan tetap hidup dan tidak terluka, Nona Dawson! Empat manusia mati menggenaskan dan yang tersisa dari korban yang hidup adalah kau. Utuh, tanpa tergores sedikit pun!” Foxy mengerling padanya dan menatap tajam Maddox. Rasanya sulit dipercaya jika kalimat itu terlontar dari mulut detektif yang beberapa detik lalu menunjukkan perhatian padanya. “Kau menuduhku terlibat, Detektif Maddox?” Mata Foxy tampak berkaca-kaca dan bibirnya gemetar. Kilatan emosi